"Andaikan Kartini masih hidup dan menulis surat..."
Untuk Adinda,
Yang bekerja demi menolong orang-orang malang yang terkena bencana alam.
Adinda, aku tak menyangka begitu hebatnya alam ini menghajar kita. Adakah kau menangkap pesan dan maksud dari semua bencana ini? Bukankah kita telah begitu lama berlaku sangat tak adil terhadap ibu pertiwi ? Jika setelah ratusan tahun alam telah bersabar menahan diri atas tingkah kita, bukankah kita semestinya paham mengapa sekarang ia mengirimkan pesan-pesan yang keras untuk mendidik kita? Kita diajarkan untuk bertingkah sebagai penguasa alam, tapi sayang,… kita memilih menjadi penguasa yang zalim.
Adinda, engkau sungguh beruntung bisa menolong orang-orang malang itu. Jika aku juga bisa melakukan hal yang sama dengan yang kau lakukan, aku akan bersyukur pada Tuhan bahwa aku diberikan kesempatan untuk tidak tinggal diam menjadi penonton bencana dan hanya bilang, « Ah, kasihan…. », lalu lupa dan kembali ke seharian yang menyia-nyiakan alam.
Kalau di sana engkau bertemu perempuan-perempuan, baik yang masih muda maupun yang sudah sepuh, sampaikan salam kasihku pada mereka. Bimbing mereka untuk bangkit di atas kaki mereka sendiri, Dinda. Lalu biarkan mereka memutuskan hidup mereka sendiri ke depan. Ajar mereka akan pesan-pesan alam ini, buat mereka peduli, karena aku yakin perempuan adalah kaum yang sungguh mampu berwelas asih pada alam. Pasti mereka bisa mengerti. Karena bukankah perempuan sungguh peduli akan kelanjutan hidup keluarganya dan keturunannya di alam ini sampai pada generasi yang mereka sendiri pun tidak akan bisa lihat? Aku yakin engkau sendiri pun paham.
Adinda, adakah kau melihat sesiapa yang mengambil keuntungan di atas kemalangan orang-orang yang terkena bencana ini ? Adakah benar kabar bahwa ada orang-orang yang tak keruan bertambah makmur saja karena bantuan yang semestinya untuk korban, malahan dimanfaatkan untuk diri sendiri? Geram betul aku pada orang-orang itu! Jika kau berkesempatan bertemu orang-orang seperti ini, jangan ragu untuk menegur mereka. Amatlah tidak berkeprimanusiaan perbuatan mereka. Dan engkau pun sendiri, Dinda, jangan engkau tergoda untuk berbuat hal yang sama. Serakah ialah awal dari segala bencana ini dan karena serakah pula bencana akan terus berulang. Sayang sekali bila pengorbananmu harus cemar. Tabah dan teguh, Dinda. Tuhan memahami pengorbananmu.
Adinda, kiranya kau sungguh sibuk dan lelah membantu saudara-saudara kita korban bencana. Aku tidak akan berpanjang lagi. Kalau jiwa-jiwa yang berduka itu belum sempat menuturkan terima kasih padamu, biar aku yang menghaturkannya. Adinda, terima kasih. Aku bangga memiliki saudari seperti dirimu.
Yang tercinta,
Ibu para anak hilang.
Surat ini kupersembahkan untuk para ibu yang anaknya dihilangkan karena sebagai manusia sejati mereka bertekad memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Mereka hilang karena ada orang-orang berkuasa yang tidak berkenan dengan perjuangan mereka. Mereka cemas kalau suara anak-anakmu akan menggugah orang-orang lain untuk ikut berjuang dan menggugat mengancam kekuasaan mereka yang sesungguhnya tidak adil dan menindas.
Ibu, ketika anakmu hilang, rasanya seperti hidup diambil darimu. Apakah mereka yang mengambil anakmu dirinya bukan seorang anak pula, yang (pernah) punya ibu juga? Bila mereka adalah orang tua, apa yang mereka rasakan bila anak-anak mereka yang dihilangkan secara paksa? Bila mata hilang harus diganti dengan mata, mana bisa seorang anak yang hilang diganti dengan seorang anak juga? Apalagi jika diganti dengan uang??? Bukan begitu hakikat kebenaran dan keadilan. Kebenaran adalah para penculik anakmu harus mengakui mereka bersalah menculik. Keadilan adalah bahwa mereka bertanggung jawab atas segala kesalahan-kesalahan mereka itu dan akibat-akibat yang terjadi sesudahnya. Tapi bagi seorang ibu, bahkan keadilan macam begitu pun mungkin juga tidak cukup. Tidak pernah cukup. Karena semua itu tidak menjamin anakmu kembali padamu, hidup dan tak kurang suatu apa.
Di malam-malam engkau membayangkan penderitaan macam apa yang ditanggung anakmu saat mereka diculik, ditahan dan disiksa sampai mungkin dibunuh… Di malam-malam engkau membayangkan duka rindu anak-anakmu yang kesepian akan kehadiran dirimu… Di malam-malam engkau mempertanyakan arti semua kejadian ini, arti kehidupan, arti menjadi manusia dan arti kebenaran dan keadilan… Lalu kau bangkit dan memutuskan untuk meneruskan detak jantung juang anakmu. Engkau bertekad engkau sendiri harus berjuang, karena kalau bukanmu, Ibu, siapa lagi ?
Orang-orang yang tidak mengerti mengapa engkau masih saja terus berjuang untuk keadilan dan kebenaran atas hilangnya anakmu, mungkin mereka tidak pernah punya orang tua, tidak punya anak, atau mereka manusia tanpa perasaan yang tidak paham makna kebenaran dan keadilan. Yang teramat kejam adalah mereka yang menculik anakmu, menyembunyikan kebenaran dan keadilan yang menjadi hak-mu.
Ibu, aku adalah seorang anak yang dilahirkan dari orang tuaku, dan aku pun melahirkan anak-ku sendiri. Air matamu adalah air mataku juga. Aku pun akan melakukan yang kalian lakukan, dan aku tidak akan tidak mengerti perjuanganmu. Sampai badanku bersemayam di lubang kubur pun, aku berbaring dalam wujud doa – mendoakan perjuanganmu. Sampai jasadku habis tak tersisa di liang kubur sekali pun, doaku tak habis-habisnya dilantunkan pohon-pohon yang akarnya mencerna ragaku, udara yang dihembuskan pohon menyanyikan kesepahamanku akan perjuanganmu, dan udara yang dihirup manusia mengalirkan semangat ke-ibuan-ku ke dalam darah mereka. Biarlah terus hidup kebenaran itu karena engkau memilih untuk tidak tinggal diam. Ibu-ibu bersatulah melawan penindasan ini! Jangan menyerah!
MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN
Berbagi Cermin Hidup...
Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.
Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar