Jakarta. Kebetulan aku sedang berada di kota ini sehingga bisa punya serangkaian pengalaman berikut. Malam itu aku dan teman-temanku sedang duduk berkumpul di sebuah kedai kopi, mendiskusikan penulisan naskah pementasan teater untuk peringatan hari anti penghilangan paksa internasional nanti tanggal 30 Agustus. Belum lama aku duduk, perasaan tak nyaman sudah mulai menggeliat di dalamku.
Kedai kopi itu jelas untuk kalangan menengah ke atas. Pendingin ruangannya bisa membuat orang yang duduk di arah hembusannya menggigil dan duduk meringkuk. Ruangan penuh asap rokok. Boleh taruhan, udara di jalan raya di luar sana saat itu pasti terasa lebih bersih daripada di dalam sini. TV lebar berlayar rata punya loud speaker yang nangkring pas di atas kepala kami. Malam itu kedai kopi memantap di sebuah stasiun TV yang sedang menyiarkan film laga kungfu. Yang pasti, hingar bingar. Suara kami kompetisi dengan suara loud speaker, dengan suara para pengunjung lain di meja-meja sebelah, dengan suara teman-teman kami sendiri yang sibuk menerima panggilan telpon. Dan kami berusaha untuk terus berdiskusi dan mendulang ilham.
“Kenapa kita mau membawakan pengalaman perempuan korban penghilangan paksa? Memangnya apa yang membedakan perlakuan antara perempuan dan laki-laki ketika mereka diculik, ditahan dan dibunuh?” tanyaku pada mereka. Kelompok kami perempuan semua, menamai diri kami Wadon Syndicate, Sindikat Betina. Selama ini kami memang membawakan isu hak perempuan dan kekerasan terhadap perempuan dalam karya-karya kami. “Apa yang bisa kita bawakan nanti yang membuat baik para aktivis HAM itu maupun masyarakat awam bisa berkata ‘oooh, rupanya begitu ya? Beda ya, antara korban penghilangan paksa yang perempuan dengan laki-laki’?”
Seorang teman mengeluarkan buku dan kertas-kertas print-out, hasil riset kilatnya tentang para perempuan korban yang dihilangkan secara paksa dan dibunuh oleh negara dan pihak berkuasa. Ada Marsinah, aktivis pergerakan buruh yang tewas dibunuh tahun 1993. Ada Ita Martadinata, aktivis untuk perempuan etnis Tionghoa yang jadi korban kekerasan seksual massal di tragedi Mei ’98, yang dirinya juga tewas dibunuh di tahun yang sama. Ita masih sekolah di tingkat SMA ketika dia dibunuh. Ada Supeni, seorang perempuan korban tragedi ’65. Kami sama-sama mempelajarinya, berdiskusi mencari kesamaan sekaligus keragaman pengalaman di dalam peristiwa-peristiwa para perempuan korban.
Hampir semua korban mengalami kekerasan seksual. Para korban ’65 diperkosa beramai-ramai, dijadikan budak seks dan budak rumah tangga oleh para aparat. Sewaktu mereka ditangkap dan ditahan, mereka ditelanjangi dan disuruh mengaku punya tanda palu-arit di tubuh mereka. Marsinah tidak hanya diperkosa, vagina-nya dihujam besi sampai rusak tulang selangkangannya. Ita Martadinata kabarnya tidak diperkosa, tapi hasil otopsinya dipelintir dan dipublikasikan bahwa dia sudah tidak perawan lagi dan sudah sering melakukan seks anal sebelum dia dibunuh. Semuanya berbau penodaan keperempuanan: perkosaan, penelanjangan paksa, perusakan vagina dan alat reproduksi lainnya, perusakan reputasi dan nama baik sebagai perempuan di mata masyarakat. Menjadi budak seks dan budak rumah tangga adalah pengalaman yang kental terlihat pada para perempuan korban ’65. Beberapa dipaksa menikah di bawah tangan dengan para aparat dengan ancaman bahwa anggota keluarganya akan dibunuh jika mereka menolak dinikahi.
Laki-laki korban penghilangan paksa tidak menjadi budak seks dan budak rumah tangga. Mereka juga tidak mengalami penodaan atas kelaki-lakiannya. Mungkin ada beberapa laki-laki yang diperkosa, tapi yang pasti jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding perempuan korban. Namun kisah seperti ini belum kami jumpai. Dalam masyarakat pun penodaan nama baik pada laki-laki tidak terkait dengan ketubuhan mereka. Sedangkan perempuan, propaganda hitam dengan penodaan nama baik seringkali dikaitkan dengan tubuh perempuannya, dengan reputasi kotor bernuansa seksual, seperti yang dialami oleh Ita Martadinata dan para perempuan korban ‘65.
“Bagaimana dengan perempuan-perempuan di meja sana?” aku menunjuk pada sekumpulan perempuan di meja beberapa meter dari tempat kami duduk. Kami sama-sama mengamati para perempuan itu. Kalau pernah nonton film bioskop “Arisan”, kira-kira mereka seperti para perempuan di film itu: make-up lengkap, baju terlihat mahal, memakai perhiasan, sepatu hak tinggi, langsing, rambut tatanan salon. “Apa bedanya dengan kita-kita di meja ini? Mana kelompok perempuan yang lebih mungkin jadi korban penghilangan paksa? Mereka atau kita?” tanyaku. “Mengapa kita yang lebih mungkin dihilangkan secara paksa dan bukan mereka? Atau, jangan-jangan sebenarnya mereka pun sudah “hilang” tanpa perlu dihilangkan paksa seperti para aktivis HAM itu? Mari kita berpikir out of the box kalau kita ingin ada pemahaman baru dalam naskah teaternya,” ajakku.
**************
Aku akan mengutip pernyataan dalam dokumen undangan acara peringatan Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional di Jakarta 30 Agustus lalu: ‘Sejak tahun 1965, di awal periode naiknya Soeharto, penghilangan secara paksa telah dilakukan bagi mereka yang dilabeli status komunis. Praktek ini terus terjadi sepanjang pemerintahan Orde Baru, pada kasus Tanjung Priok, Talangsari, Lampung, Timor Timur dan sepanjang periode operasi militer di Aceh dan Papua. Juga termasuk penghilangan secara paksa para aktivis mahasiswa pada tahun 1998, di ujung masa kekuasaan Soeharto. Kasus terakhir ini yang kemudian mendapat sorotan publik luas berkat kesaksian para korban yang bisa kembali’.
“A forced disappearance (or enforced disappearance) occurs when a person is secretly imprisoned or killed by agents of a state or other organization, but the organization does not admit that they have carried out this act, thereby placing the victim outside the protection of law.”
Kira-kira artinya begini: penghilangan paksa terjadi ketika seseorang secara diam-diam dipenjara atau dibunuh oleh agen-agen sebuah negara atau organisasi lainnya, tapi organisasi tersebut tidak mengakui bahwa mereka melakukan tindakan tersebut, sehingga korbannya diposisikan berada di luar jangkauan perlindungan hukum. Tindakan tersebut dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam tindak penghilangan paksa seringkali dilakukan juga tindak pembunuhan. Korbannya terlebih dahulu diculik, kemudian secara ilegal ditahan/ditawan, seringkali juga disiksa, lalu korban dibunuh dan mayatnya disembunyikan atau dibuang agar tidak pernah bisa ditemukan. Bila pelaku dituduh atas tindak penghilangan paksa dan pembunuhan, maka pelaku bisa menyangkal karena tidak pernah ditemukan mayat korban. Jikalau diadakan pengadilan pun, maka korban tidak mungkin dihadirkan sehingga sempurnalah tindak kejahatan itu.
PBB dalam Konvensi Anti Penyiksaan-nya mendefinisikan penghilangan paksa dengan:
“the arrest, detention, abduction or any other form of deprivation of liberty by agents of the State or by persons or groups of persons acting with the authorization, support or acquiescence of the State, followed by a refusal to acknowledge the deprivation of liberty or by concealment of the fate or whereabouts of the disappeared person, which place such a person outside the protection of the law.”
Penangkapan, penahanan, penculikan atau segala bentuk perampasan kemerdekaan yang dilakukan oleh agen-agen Negara atau oleh orang-orang atau oleh kelompok-kelompok yang bertindak sebagai pihak yang ‘berwenang menjalankan, mendukung atau menyetujui, mematuhi, menerima’ tindakan Negara tersebut, yang diikuti oleh penyangkalan atas tindakan perampasan kemerdekaan tersebut atau oleh tindakan menyembunyikan nasib atau keberadaan orang yang dihilangkan tersebut, sehingga menempatkan korban pada posisi di luar jangkauan perlindungan hukum. Lebih jauh konvensi itu menyatakan bahwa tindakan penghilangan paksa tidak bisa dibenarkan apa pun alasannya: apakah itu karena situasi perang atau ancaman perang, ketidakstabilan politik internal, atau situasi darurat publik lainnya; dan oleh karenanya termasuk tindak kejahatan terhadap kemanusiaan. Sampai sekarang, Indonesia masih juga belum mau menyetujui, menandatangani, apalagi melaksanakan konvensi tersebut.
Segala bentuk perampasan kemerdekaan? Bentuk-bentuk lain di luar penangkapan, penahanan dan penculikan, katanya? Heeey, ayolah..., ada banyak sekali bentuk perampasan kemerdekaan. Penghilangan paksa atas pilihan-pilihan hidup dan idealisme juga kupikir adalah bentuk penghilangan paksa. Segala tindakan pembodohan, penipuan, menahan atau menyembunyikan pengetahuan bahwa pilihan-pilihan lain sebenarnya ada, juga adalah tindak penghilangan paksa terhadap hak atas pengetahuan dan hak untuk mengetahui kebenaran dalam hidup. Peniadaan dan penyangkalan atas perbedaan dan keragaman juga adalah bentuk penghilangan paksa karena dirampasnya kemerdekaan untuk menjadi berbeda dan beragam.
Penghilangan paksa ada di mana-mana, di segala jaman, dan setiap hari di sekitar kita. Namun aku yakin, banyak sekali orang yang telah menjadi korbannya, atau tidak menyadari bahwa penghilangan paksa terjadi, atau tidak memahaminya, atau melupakannya, atau menyangkalnya, atau menyembunyikannya, atau mendukungnya, atau malah menjadi orang yang merasa berwenang melakukan tindakan penghilangan paksa tersebut. Menyedihkan...
Siapa saja orang yang dihilangkan dan potensial untuk dihilangkan? Yang jelas, mereka yang dianggap sebagai ancaman oleh mereka yang berkuasa atau yang merasa dirinya berkuasa. Orang-orang yang berani tampil berbeda, orang-orang yang berani mengkritik ketidakadilan, orang-orang yang giat menyadarkan orang-orang lain atas ketidakadilan yang sedang terjadi, orang-orang yang memiliki pemikiran atau kepercayaan bertentangan dengan pemikiran atau kepercayaan penguasa, atau pemikiran atau kepercayaan yang dianut oleh orang banyak lainnya.
Mungkin juga orang-orang yang dihilangkan adalah orang-orang yang dekat dengan orang yang potensial untuk dihilangkan ini, sebagai bentuk ancaman dan untuk menimbulkan rasa takut pada orang yang potensial dihilangkan agar dia menghentikan misinya. Orang-orang dihilangkan juga untuk dipertontonkan sebagai contoh. Orang-orang dihilangkan untuk menanamkan rasa takut pada masyarakat agar masyarakat berhenti berusaha menjadi berbeda, berhenti mencari kebenaran dan keadilan, berhenti mencoba jadi pahlawan, dan agar masyarakat merawat lupa. Sssshhh!!! Jangan terlalu berani kamu ngomong! Nanti kamu diangkut seperti tetanggamu yang aktivis itu! Diam saja dan berusalah untuk tidak terlihat!
Perampasan kemerdekaan, di luar bentuk penangkapan, penahanan dan penculikan, juga paling sering dan paling parah dialami oleh orang-orang yang lemah, yang tidak mempunyai kemewahan bernama kekuasaan. Perempuan, di negara ini, adalah tergolong kelompok yang tidak memiliki kemewahan itu. Lain-lainnya adalah anak, kelompok minoritas, masyarakat miskin, suku-suku terasing dan orang-orang dengan kondisi fisik dan mental yang kurang beruntung.
Bicara soal perempuan: bukankah para perempuan yang memilih pilihan-pilihan dan identitas berbeda dari yang diperbolehkan oleh negara dan masyarakat, tapi kemudian dihilangkan pilihan dan identitasnya itu, juga adalah korban penghilangan paksa? Pernahkah kita tahu pasti berapa banyak sesungguhnya perempuan pejuang yang sudah “dihilangkan”? Namun yang tercatat dalam sejarah cuma secuil dari ujung kuku. Berbagai propaganda hitam dihujatkan pada para perempuan yang dianggap terlalu berani dan berbeda: pelacur, kebarat-baratan, perempuan perusak rumah tangga, perempuan liar, dan lain-lain dan seterusnya. Masyarakat di daerah-daerah yang menganut paham kepercayaan, keagamaan, adat dan budaya yang konvensional dan patriarkis yang paling sering melancarkan tuduhan demikian itu pada para perempuan aktivis atau jenis perempuan manapun yang dianggap terlalu berani dan berbeda.
Seorang aktivis anti penghilangan paksa pernah mengeluarkan pernyataan publik: salah satu konsekuensi paling brutal dari penghilangan paksa adalah bahwa penghilangan paksa mentransformasi keberadaan manusia menjadi ketiadaannya. “Keberadaan” sebaiknya tidak dipahami sekedar dalam batas fisiknya, namun juga psikologisnya, pemikirannya, hak-haknya, spiritualitasnya, dan segala sesuatu yang bila tidak ada maka manusia kehilangan eksistensinya, keberadaannya.
“Dilakukan oleh agen-agen Negara atau oleh orang-orang atau oleh kelompok-kelompok yang bertindak sebagai pihak yang ‘berwenang menjalankan, mendukung atau menyetujui, mematuhi, menerima’ tindakan Negara tersebut.” Jadi, pelakunya tidak hanya negara. Institusi pendidikan bisa saja “menghilangkan” orang atau sekelompok masyarakat dengan kurikulum sama-ratanya dan survival of the fitest-nya. Pelaku industri dan bisnis mungkin sekali “menghilangkan” orang dengan peniadaan hak-hak para pekerjanya. Media massa pun turut berperan merawat lupa dan “menghilangkan” orang-orang dan sejarahnya. Pelaku seni dan budaya turut serta merawat lupa dengan menghilangkan esensi eksistensi kemanusiaan. Masyarakat dan keluarga kita sendiri pun bisa saja “menghilangkan” orang-orang di dalamnya. Siapa pun dan apa pun yang melakukan tindakan langsung yang berakibat terampasnya kemerdekaan seseorang atau sekelompok orang, menyetujui tindakan perampasan kemerdekaan, mendukungnya atau menerimanya, adalah para pelaku tindakan penghilangan paksa. Ngeri, nggak?
Penghilangan paksa terus terjadi. Penghilangan paksa ada di mana-mana. Penghilangan paksa terus memakan korban di segala jaman. Orang hilang, perempuan hilang, kelompok lemah hilang, bangsa hilang. Sampai kapan? Sampai kita semua lelah, takut, menyerah, lalu... lupa?
**************
Kami melanjutkan diskusi dan gambaran tentang naskah jadi semakin lengkap dan matang. Rupanya, tidak percuma juga datang ke kedai kopi kelas atas ini, membayar mahal untuk secangkir minumannya. Setidaknya, ada pemahaman lain yang muncul tentang penghilangan paksa dan orang hilang. Tapi ah, jangan sering-sering, lah. Bisa-bisa hilang isi kocek-ku
Margonda, 1 September 2010
Sondang Sidabutar (Pekerja kemanusiaan, melawan lupa!)
MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN
Berbagi Cermin Hidup...
Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.
Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar