Terkejut-Menyangkal, Marah, Tawar-Menawar, Depresi, Menerima
Yang pernah belajar ilmu psikologi biasanya sudah tidak asing lagi dengan tokoh yang satu ini (sampai sekarang saya belum tahu dia itu perempuan atau laki-laki?): Kubler Ross. Dia menjelaskan bahwa luka duka dan kehilangan akibat kejadian yang mengejutkan biasanya tidak berwajah tunggal, melainkan bisa unik karena orang satu dengan orang lainnya bisa saja melewati tahapan-tahapannya secara berbeda.
Begini tahapan yang dia rumuskan: 1) keterkejutan dan penyangkalan, 2) kemarahan, 3) penawaran/tawar-menawar, 4) depresi, 5) penerimaan. Kadang tahapan ini tidak hanya dialami oleh individu/secara personal, melainkan juga bisa secara kolektif/komunal.
Begini tahapan yang dia rumuskan: 1) keterkejutan dan penyangkalan, 2) kemarahan, 3) penawaran/tawar-menawar, 4) depresi, 5) penerimaan. Kadang tahapan ini tidak hanya dialami oleh individu/secara personal, melainkan juga bisa secara kolektif/komunal.
1. Keterkejutan dan penyangkalan
Pada tahap ini kita mengalami keterkejutan atas apa yang dialami. Kita cenderung menyangkal, dan menolak untuk percaya bahwa peristiwa tersebut sungguh-sungguh terjadi. ‘Kenapa aku, Tuhan? Apa dosaku? Mengapa bisa Kau jatuhkan pencobaan seperti ini padaku? Ini tidak mungkin, ini tidak benar-benar terjadi. Ini pasti hanya mimpi buruk!’ Ketahuilah, jangankan yang mengalaminya langsung, yang menyaksikan orang lain harus mengalami kejadian sangat buruk dan tiba-tiba pun bisa mengalami tahapan ini. Ingatkah kita semua saat dulu Aceh dilanda tsunami yang dahsyat itu? Ingat betapa terkejutnya kita saat melihat liputan beritanya? Ingat betapa kita sulit percaya bahwa jumlah korban bisa sedemikian banyaknya? Di awal-awalnya, kita hanya ingin mempercayai bahwa korban yang dikabarkan hilang hanya hilang sementara saja, bahwa mereka akan segera ditemukan dalam keadaan baik-baik dan dapat ditolong. Ternyata...
2. Kemarahan
Di tahapan ini, si penyandang luka dikuasai perasaan marah, protes atas apa yang menimpanya, menjadi mudah frustrasi, tersinggung, dan marah terhadap semua orang, bahkan mungkin pada Tuhan, yang dianggap sebagai penyebab kemalangan tersebut. Tidak hanya kepada orang-orang/hal-hal di luar diri, dirinya sendiri pun bisa menjadi sasaran kemarahan dan tuduhan. ‘Dikuasai perasaan marah’ berarti bahwa usaha untuk membantu orang yang berada pada tahap ini sulit dilakukan, karena dia cenderung menolak bantuan apapun yang ditawarkan padanya. Bantuan apa pun jadi serba salah. Pahami apa yang mendasari kemarahan dia. Balik marah kepada orang yang sedang berada di tahapan ini tidak banyak gunanya, seperti memancing di air keruh saja. Kuatkan telinga dan hati, dinginkan kepala kita sendiri dengan meyakini bahwa kemarahannya bukan secara khusus ditujukan atau dimaksudkan kepada kita (orang yang mencoba membantunya), melainkan pada apa pun yang sedang dilihatnya dan bisa dicaci-maki olehnya saat itu. Kalau cuma kita yang ada saat itu, yaaa kita bisa jadi sasaran kemarahan dia. Dengarkan saja. Pastikan bahwa dampak kemarahannya tidak merusak orang lain maupun dirinya sendiri. Kalau bisa, berikan dia wadah/media yang aman untuk dia bisa marah sampai puas. Makanya lebih enak kalau kita bisa bawa dia ke tempat-tempat yang aman di mana di situ tidak ada orang lain dan dia bisa berteriak dan mengutuk dengan suara keras. Karena dia butuh marah. Karena kita bisa memahami bahwa jika kita yang sedang berada dalam posisi dia, kita pun mungkin butuh marah. Semanusiawi itu.
3. Penawaran/tawar-menawar
Di tahap ini si penyandang luka melakukan negosiasi atau penawaran, termasuk mungkin juga kepada Tuhan. Dengan melakukan hal ini dia berharap musibah tidak akan menimpanya atau diangkat dari dirinya. Misalnya, berjanji jika Tuhan mengeluarkannya dari penderitaan, maka ia akan rajin beribadah, atau mengamalkan hartanya untuk kaum fakir miskin dan yatim piatu, atau janji untuk menaklukkan suatu tantangan yang sulit, dst. Ketika si penyandang luka mungkin sudah puas marah-marah, atau ketika dia marah pun tidak ada jawaban apa pun, tidak ada sesuatu yang bergeming, tidak ada secercah sinar harapan terlihat, tidak ada solusi apa pun yang datang kepadanya,... maka dia mulai ingin melakukan tawar-menawar, cara yang lebih bersifat membujuk, membujuk siapa pun yang dia pikir bisa merubah kemalangannya. Sebagian orang sampai ke tahapan ini dalam keadaan sudah hampir putus asa, hampir hilang daya dan akal, sehingga tawar-menawar yang dilakukannya bisa jadi terdengar tidak masuk akal, menggelikan, atau kekanak-kanakan. Bila dalam tahap ini pun kemarahan masih tersisa kuat, maka penawaran dilontarkan dalam nada memerintah atau mengancam. Bila di dalam tahap ini si penyandang luka juga sebenarnya merasakan depresi (tahap yang diuraikan setelah ini), maka penawarannya mungkin bersifat seperti penyerahan diri total, bahkan tawaran kesediaan untuk mengakhiri hidupnya, asalkan kemalangan itu bisa dirubah.
4. Depresi
Dan ternyata, tidak ada perubahan apa pun. Energi sudah banyak tercurah untuk marah dan tawar-menawar, maka si penyandang luka mulai merasa putus asa dan tidak berdaya. Biasanya dia kemudian cenderung menarik diri dari pergaulan, tidak mau melakukan kegiatan sehari-hari, dan mengalami kesulitan tidur atau bahkan tidur berlebihan. Tidak saja pola tidurnya, pola makan dan nafsu makannya pun terganggu. Dia terlihat murung dan bersedih, sering melamun dan menangis. Pada tahap ini, sebagian orang yang sangat putus asa mungkin berpikir bahwa bunuh diri merupakan penyelesaian terbaik atau satu-satunya pilihan yang ada. Justru di tahap inilah sebaiknya dia tidak dibiarkan sendirian. Mungkin kita enggan ‘mengganggunya’, merusak keheningannya atau menginvasi masa berdukanya. Bila kita tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, setidaknya terus perhatikan atau awasi dia, bahkan bila itu sekedar berada diam di dekatnya. Baguslah kalau dia mau menangis di bahu kita, maka beri dia pelukan dan belaian serta kata-kata yang menenangkan dan menguatkan. Di tahap inilah dia paling membutuhkan ‘perawatan’ atas luka jiwanya, penguatan, gambaran dan bayangan tentang harapan hidup ke depan.
5. Penerimaan
Si penyandang luka yang berada pada tahap ini, ‘syukurlah’, sudah dapat menerima kejadian yang dialaminya dengan lapang dada. Ia tidak lagi menunjukkan kemarahan, protes, ataupun keputusasaan. Dia mampu melanjutkan kehidupannya, merencanakan langkah-langkah yang akan ditempuh, dan kembali menjalankan kegiatan sehari-hari seperti sebelum terjadinya peristiwa yang menyakitkan itu.
Namun berhati-hatilah membedakan antara tahapan penerimaan dan tahapan depresi yang menuju pada perencanaan bunuh diri. Orang yang merasa mantap mengambil pilihan bunuh diri bisa saja setelah perilaku depresinya, tiba-tiba terlihat seperti tenang dan baik-baik saja. Dia minta maaf pada orang-orang di sekitarnya, mengatakan bahwa dia menyayangi mereka, membereskan ‘hutang-hutangnya’, pokoknya mirip perilaku orang yang mau pamit pergi jauh dan tak akan kembali lagi. Kita bisa saja tertipu pada perilaku ini, merasa lega bahwa akhirnya dia baik-baik saja. Berdialoglah dengannya, cari tahu apa rencana-rencana dia ke depan dan cari tahu apa yang bisa kita bantu dengan rencana-rencananya. Apakah terdengar jujur seperti orang yang mau melanjutkan hidup dengan pandangan optimis, atau berpura-pura masa duka telah selesai dan mencoba menenangkan kita yang bertanya? Kalau dia (yang mantap dengan rencana bunuh diri) merasa terganggu dengan kehadiran dan dialog kita sehingga marah, tidak apa-apa. Toh, apa ruginya? Ketika dia marah, dia mungkin kembali ke tahap kedua itu, dan kita bisa sekali lagi menyediakan wadah yang aman untuk dia marah, lalu mungkin tawar-menawar lagi, lalu mungkin depresi lagi. Temani dan kuatkan dia. Tapi bila memang benar dia sudah di tahap penerimaan dan mau melanjutkan hidupnya dengan harapan akan masa depan, temani dan kuatkan dia. Bisa dipahami?
Nah, kemiripan Kubler Ross dengan Abraham Maslow adalah, mereka berdua sama-sama bilang bahwa tahapan-tahapan belum tentu dilalui secara berurutan. Pokoknya kalau sudah bicara tentang yang namanya manusia, tidak ada suatu kepastian yang mutlak, deh. Apalagi kalau juga disangkut-paut dengan konteks budayanya, beuh,... tambah njlimet. Makanya sekolah psikologi tidak bisa semena-mena dan angkuh berdiri sendiri di menara gadingnya. Masih ada lagi yang namanya sosiologi, antropologi, sastra (dan lain-lain?).
Dari tahap satu (keterkejutan, penyangkalan) seseorang belum tentu bergerak ke tahap dua (kemarahan), bisa saja ke tahap tiga (tawar-menawar) dulu, baru ke tahap dua, atau langsung dari tahap satu ke tahap empat (depresi). Bisa saja dia bolak-balik dari satu tahap ke tahap lain, lalu balik lagi. Bahwa bisa saja seseorang dalam satu peristiwa duka yang khusus, tidak pernah sampai ke tahap lima (penerimaan). Bahwa lamanya seseorang bertahan dalam satu tahap tertentu bisa berbeda-beda. Bisa saja seseorang hanya sebentar mengalami keterkejutan, tapi di tahap depresi bisa lamaaa sekali berkutat di situ. Lalu dia marah sebentar, lalu depresi lagi lamaaa, lalu pernah menerima sebentar, lalu ketika dia ingat lagi dukanya, dia bisa depresi lagi lamaaa...
Saya menduga (jadi, masih tentatif dan perlu diuji) bahwa karakter awal seseorang memegang kunci atau menentukan di tahap mana dia akan bertahan lama atau kembali dan kembali lagi ke satu tahapan tertentu. Misalnya saja, si penyandang luka memiliki karakter yang agresif, pemarah. Maka ketika dia menyandang luka duka dan kehilangan, di tahap kemarahan-lah dia akan bertahan lama, atau lagi-lagi kembali ke tahap kemarahan walaupun sudah sempat masuk ke tahap depresi atau tahap penerimaan. Serupa halnya bila dia memiliki karakter yang melankolis atau pemurung atau mudah sedih, maka dia akan lama terpaku di tahap depresi. Bila dia gemar sekali dengan kisah-kisah dongeng dan senang mengandaikan dirinya seperti tokoh-tokoh di kisah-kisah negeri dongeng, maka bisa jadi dia akan hidup bertahun-tahun menyangkal realitas kehilangannya. Saya punya karakter pemarah dan ketika saya terluka, maka di tahap kemarahan-lah saya sering dan lama terpaku. Engkau punya karakter apa, teman?
Lalu, bila kita bicara soal keterkaitan budaya dengan tahapan Kubler Ross ini, maka budaya seperti apa yang berlaku dalam kehidupan kita dan bagaimana budaya tersebut menjadi penentu keterpakuan kita dalam tahapan-tahapan tersebut? Bila kita hidup dalam budaya yang agresif, yang sehari-harinya diwarnai dengan kekerasan, maka mungkin sekali kita bertahan atau berkali-kali kembali ke tahap kemarahan. Bila kita, misalnya, diasuh oleh sebuah keluarga dan masyarakat yang senang berdagang sehingga kita juga punya bakat berdagang, maka kita nampaknya akan bertahan dalam tahap tawar-menawar.
Bila kita dididik dalam asuhan dan budaya yang ‘nrimo’, menerima saja, atau bersikap fatalistik, maka dengan cepat kita akan sampai ke tahap penerimaan, mungkin tanpa berlama-lama atau sempat berada di tahapan-tahapan lain. Di sinilah kita bisa mempertanyakan teori ini jika posisinya, misalnya, ada dalam konteks perjuangan untuk kemanusiaan atau perjuangan untuk mimpi.
Saya teringat pertemuan saya dengan seorang perempuan pejuang kemanusiaan yang mempertanyakan makna ‘rekonsiliasi’ seperti yang ditawarkan oleh teori ini. Bila penerimaan, berdamai atau rekonsiliasi berarti menerima kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara atau pelaku dan korbannya lanjut begitu saja dengan kehidupan ke depan tanpa merubah pemaknaan sejarah atau menuntut pertanggungjawaban negara atau pelaku, maka pendekatan teori ini hanya memperlemah tujuan perjuangannya. Untuk alasan ini, saya setuju dengan dia.
Saya punya teman-teman pekerja kemanusiaan di Aceh yang selain anggota keluarganya dan handai-taulannya juga menjadi korban tsunami, rumah dan harta kepemilikan mereka nyaris musnah. Namun mereka tidak sempat berduka karena harus segera bergerak cepat dan bekerja habis-habisan untuk membantu korban lain yang selamat/survivor/penyintas. Tidak ada waktu untuk berlama-lama berduka sehingga tahapan duka harus ‘menunggu’. Kerja, kerja, kerja terus. Mereka juga diserukan untuk tidak berlarut dalam kesedihan dan segera berserah kepada Yang Kuasa. Namun, tahapan duka dan kehilangan seringkali menagih bagiannya di saat-saat tenang dan ‘kosong’. Entah itu ketika kejadian mengerikan itu sudah lewat dan kondisi mulai berjalan normal kembali, entah itu di saat-saat kita sendirian dan sedang beristirahat. Lalu datanglah kembali penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar dan depresi, sebelum benar-benar sampai ke tahapan menerima. Ada ‘urusan’ yang belum selesai, unfinished business, suatu efek yang tertunda. Banyak dari mereka yang tidak paham kenapa tiba-tiba mereka merasa ‘terganggu’ lagi dengan kenangan atas luka itu padahal waktu sudah lama berlalu.
Hal yang mirip akan kita temukan pada peristiwa orang-orang meninggal. Akan ada orang-orang yang bisa langsung menjalani tahapan duka dan kehilangannya, tapi orang-orang tertentu yang di mana mereka merasa bertanggungjawab mengurus pemakaman, upacara ritual pemakaman, menghibur mereka yang bersedih dan ‘meneruskan kehidupan’ seringkali merasa dirinya harus cepat kuat dan tidak boleh larut dalam kesedihan. Mereka adalah orang-orang yang sering kita andalkan bantuannya dan kepemimpinannya di saat duka, karena mereka terlihat tabah dan kuat. Padahal mereka pun punya kebutuhan akan ruang berduka mereka sendiri. Lalu di suatu hari yang damai dan tenang, pertahanannya mulai roboh. Luka duka dan kehilangan datang menggugat bagiannya.
Love the Ones You’re With, Love the Life You Live, Or What?
If you can’t be with the one you love, then love the ones you’re with... If you can’t live the life you love, then love the life you live...Or what?
Jika kau tidak bisa berada bersama dengan orang yang kau cintai, maka cintailah orang-orang yang sekarang berada bersamamu... Jika engkau tidak bisa menghidupi kehidupan yang kau cintai, maka cintailah kehidupan yang sekarang kau hidup di dalamnya... Atau apa?
Ada seorang bijak yang berkata bahwa kehidupan adalah seni dalam ‘mempertahankan’ dan ‘melepaskan’, life is an art of holding on and letting go. Ada seorang bijak lain yang punya doa begini: Tuhan, berikan aku ketentraman untuk menerima hal-hal yang tidak bisa aku rubah, keberanian untuk merubah hal-hal yang bisa aku rubah, dan kebijaksanaan untuk dapat membedakan keduanya.
Seseorang bisa saja selama bertahun-tahun hidup menyangkal kehidupan, misalnya si penyandang luka mempercayai bahwa (mantan) kekasihnya masih mencintainya dan suatu saat kekasihnya itu akan kembali lagi. Oya, baguslah kalau memang sang (mantan) kekasih setelah berpuluh-puluh tahun kemudian kembali padamu dan mengatakan menyesal telah meninggalkanmu serta bersedia untuk mencintaimu lagi. Lalu, bagaimana kau mau mengisi kehidupanmu sepanjang ‘masa penantian’ berpuluh-puluh tahun itu (atau mungkin cuma bertahun-tahun, atau mungkin cuma berbulan-bulan), teman? Bisakah kau menerima dengan perasaan tentram bahwa dia tidak akan kembali lagi?
Jika dia boleh bahagia, tidakkah kau juga berhak bahagia? Mengapakah engkau tidak mengijinkan dirimu juga membahagiakan kehidupanmu? Jika kuasa akan penentuan masa depan tidak bisa sepenuhnya berada di dalam genggaman tanganmu, lalu kuasa apakah yang masih tersisa di tanganmu untuk boleh kau gunakan demi hidupmu sendiri? Bila pilihannya tinggal dua: dia atau dirimu, maka mana yang kau pilih: memelihara harapanmu terhadap dirinya atau memelihara harapanmu terhadap dirimu sendiri? Bisakah engkau dengan tentram melepaskan pilihan tentang memelihara harapan terhadap dirinya? Jika engkau tetap berkeras ingin memelihara harapanmu terhadap dirinya, bisakah engkau mengatur bahwa pada saat bersamaan engkau juga memelihara harapanmu terhadap dirimu sendiri, terhadap hidupmu sendiri?
Talenta yang ada padamu (biarpun itu hanya satu talenta saja) yang kau mampu kembangkan semaksimal mungkin, adalah jauh lebih baik daripada engkau selalu menangisi dan mencemburui talenta-talenta lain yang kau tidak punya. Juga jauh lebih baik daripada engkau punya banyak talenta tapi tidak ada yang kau kembangkan.
Pada saat engkau berkeras hati untuk memelihara mimpi yang satu itu, tidak bisakah engkau melapangkan ruang dalam jiwamu sehingga engkau juga boleh merengkuh dan memelihara mimpi yang lain? Mungkin, tempatkanlah dirimu ibaratnya engkau adalah seorang ibu/bapak yang punya dua anak yang mimpinya berbeda. Bisakah engkau mengasuh kedua anak itu bersamaan dan memelihara mimpi mereka berdua bersamaan pula? Menjadi adil untuk kedua anak tersebut dan kedua mimpi mereka, tanpa perlu yang satu mencederai yang lainnya? Menerima keduanya, mendamaikan keduanya, merekonsiliasi keduanya?
Bersambung...
Margonda, 8 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar