Mengapa Aku Menginginkan Seorang Istri?
Aku ingin sekolah lagi, supaya aku bisa mandiri secara ekonomi untuk menanggung biaya hidupku sendiri, dan jika perlu, mereka yang tergantung padaku. Aku ingin istri yang juga bekerja dan membiayai sekolahku. Sementara aku sekolah, aku ingin istriku mengurus anak-anakku.
Aku ingin istri yang mengantar anak-anakku ke dokter dan menjaga kesehatan anak-anakku. Menjaga kesehatanku juga, tentunya. Aku ingin istri yang menjamin anak-anakku makan dengan baik dan benar, menjaga anak-anakku tetap bersih. Aku ingin istri yang mencuci dan menjahit rapi baju anak-anakku. Aku ingin seorang istri yang mengurus anak-anakku dengan baik, mengawasi pendidikan anak-anakku, memastikan bahwa mereka punya teman pergaulan yang baik, membawa anak-anakku pergi jalan-jalan. Aku ingin istri yang mengurus anak-anakku ketika mereka sakit, yang bisa mengusahakan menemani anak-anakku ketika mereka membutuhkan perawatan khusus, karena tentu saja, aku tidak bisa absen dari pelajaranku di sekolah. Istriku harus bisa mengusahakan ijin dari tempatnya bekerja tanpa harus kehilangan pekerjaannya. Yah, mungkin akibatnya gajinya sedikit dipotong, tapi aku rasa aku masih bisa mentolerir itu. Gajinya bisa dipakai untuk membiayai anak-anak.
Aku ingin istri yang akan mengurus kebutuhan jasmaniku. Aku ingin istri yang menjaga rumahku tetap rapi dan bersih. Istri yang akan menjemput anak-anakku, juga menjemput aku. Aku ingin istri yang menjaga bajuku tetap bersih, disetrika, diganti kalau perlu, dan yang memastikan barang-barang pribadiku disimpan di tempat yang benar sehingga aku bisa menemukannya di saat aku memerlukannya. Aku ingin istri yang pintar memasak, yang bisa mengatur menu, yang belanja bulanan, yang menghidangkan makanan di meja sehingga mengundang selera, dan yang bersih-bersih meja sehingga setelah makan aku bisa langsung belajar. Aku ingin istri yang mengurusku di kala aku sakit, yang bisa memperlihatkan simpatinya kalau aku jatuh sakit. Aku ingin istri yang bisa ikut pergi berlibur dengan keluargaku sehingga saat liburan dia tetap bisa mengurusku dan anak-anakku ketika aku ingin beristirahat dan berganti suasana.
Aku ingin istri yang mengurus hal-hal sampai detil kehidupan sosialku. Ketika aku dan istriku diundang oleh teman-temanku, aku ingin istriku yang mengurus kebutuhan anak-anak. Ketika aku mengundang teman-teman sekolahku ke rumah, aku ingin istri yang beres-beres rumah, menyiapkan menu khusus, menghidangkannya untukku dan teman-temanku, dan tidak menyela pembicaraan ketika aku sedang berbicara topik yang menarik bagiku dan teman-temanku. Aku ingin seorang istri yang memastikan bahwa anak-anak sudah diberi makan dan siap pergi tidur sebelum tamu-tamuku tiba sehingga anak-anak tidak mengganggu kami. Aku ingin istri yang mengatur kebutuhan tamu-tamuku sehingga mereka merasa nyaman di rumahku, yang menyediakan asbak, menghidangkan makanan penutup, yang membuat gelas berkilau dan diisi terus oleh minuman, dan yang menghidangkan kopi sesuai pesanan tamu-tamuku.
Dan aku ingin seorang istri yang paham bahwa terkadang aku ingin waktuku sendiri saja. Aku ingin istri yang peka terhadap kebutuhan seksualku, yang bercinta dengan nafsu yang menggelora seperti yang aku inginkan, yang membuat aku mencapai kepuasanku. Dan tentu saja, aku ingin istri yang tidak menuntut hubungan seks ketika aku sedang tidak ingin. Aku ingin istriku yang memakai alat KB, karena aku tidak ingin menambah anak lagi. Aku ingin istriku tidak selingkuh sehingga aku tidak perlu mengotori otakku dengan kecemburuan. Dan aku ingin istri yang memahami bahwa kebutuhan seksualku mungkin saja membuatku tidak bisa kaku hanya dengan pernikahan monogami. Jika, kalau-kalau saja, aku menemukan perempuan lain yang lebih baik sebagai istriku daripada istri yang sekarang, aku menginginkan kebebasan untuk berganti istri. Sehinnga kalau aku mengharapkan hidup yang benar-benar baru dan berubah, istriku yang akan mengambil anak-anak dan bertanggung jawab sepenuhnya sehingga aku bisa terbebas dari kewajiban mengasuh anak.
Ketika nanti aku sudah lulus sekolah dan dapat pekerjaan, aku ingin istriku berhenti kerja dan tinggal saja di rumah sehingga dia bisa lebih memfokuskan dirinya memenuhi kewajibannya sebagai istri.
Ya ampuun, tentu saja aku ingin seorang istri! Siapa yang tidak mau?
(Artikel ditulis oleh Judy Syfers, dimuat dalam terbitan perdana majalah Ms., tahun 1971)
*******************
Siap-siap!
Para perempuan paruh baya, lajang dan tidak punya anak, atau yang sedang menuju ke arah itu, baik itu karena pilihan sendiri maupun memang begitu keadaan yang harus dialami,… terbayangkah yang akan dihadapi di depan sana? Pertanyaannya: Jika engkau akan hidup lajang selamanya: a) apa saja yang menjadi ketakutan terbesarmu? Dan, b) apa yang kau lakukan untuk menghadapi ketakutan itu? Atau mungkin kau tidak punya rasa takut itu, tapi apa perhitungan yang kau ambil dengan pilihanmu?
Rumput Tetangga Lebih Hijau
Menikah: Enaknya hidup bebas melajang seperti kamu, tidak punya anak, lagi. Coba dulu aku memilih hidup melajang sepertimu.
Lajang: Kenapa kamu mengeluhkan pernikahanmu kalau memang engkau memilihnya? Kenapa kamu berpikir bahwa lebih baik kamu tidak pernah menikah dan punya anak? Kamu kan sudah tahu bahwa pernikahan menuntut komitmen dan tanggung jawab.
Menikah: Kau tahu bagaimana laki-laki bisa sangat mengendalikanmu? Semuanya diatur dari soal uang, soal istri bekerja atau tidak, bahkan jumlah anak. Kalau kita punya pendapat sendiri, kita dianggap membangkang. Berapa banyak sih laki-laki yang bisa menerima perempuan seperti apa adanya? Banyak perempuan yang dipaksa oleh suaminya meninggalkan pekerjaannya sehingga harus tergantung sepenuhnya pada suami dan uang suami.
Lajang: Tapi itu tidak mencegahmu menikah lalu punya anak, kan? Kelihatannya kamu ingin menyenangkan hatiku saja dengan mengatakan betapa beruntungnya aku bisa hidup bebas begini.
Menikah: Seumur hidupku, aku tidak memimpikan punya karir yang sukses, atau banyak gelar. Yang kuinginkan hanya menikah dan punya keluarga. Memangnya kalau kuliah dan punya pekerjaan, mau aku apakan semua itu? Tapi justru itulah yang membuatku tidak punya pilihan sekarang. Aku tidak punya pekerjaan, aku tidak lulus kuliah dan tidak punya kepintaran atau ketrampilan yang dituntut dalam pekerjaan. Aku dulunya berpikir, apa gunanya hidup jika tidak punya keluarga dan anak sebagai penerus keturunan? Aku tinggal di rumah yang bagus dan punya mobil bagus. Tapi aku akan kesepian dan sendiri. Seakan-akan hidupku sekarang adalah tinggal menunggu kematian saja.
Lajang: Kurasa, kesendirian yang paling parah adalah kesendirian emosional. Aku mampu melakukan hampir segalanya sendirian, namun kurangnya dukungan emosional-lah yang membuat aku paling kesepian. Karena semua orang tidak bersedia memahami dan peduli. Gaya hidup seperti dalam film “Sex and the City” adalah dongeng isapan jempol bagiku, karena melajang itu tidak mudah.
Menikah: Aku seperti merasa bahwa aku bertumbuh melampaui hidup ini, aku perlu membuat perubahan penting dan memulai hidup lagi. Kehidupan keluarga bagiku sudah selesai karena anak-anak sudah dewasa dan punya kehidupan mereka sendiri. Aku sering merasa kecil di saat liburan karena mereka tidak ada di rumah. Rasanya kadang-kadang lebih baik kalau aku dulu hidup melajang tanpa anak.
Lajang: Kamu tetap berpikir bahwa hidup melajang itu enak? Aku seringkali merasa kesepian, bukan karena tidak adanya laki-laki di sisiku, tapi karena disalah-mengerti dan diabaikan oleh orang-orang di sekitarku. Dilecehkan oleh perempuan-perempuan yang sudah menikah, digoda oleh para suami yang mengira aku haus akan petualangan cinta, atau ditipu oleh orang-orang yang menilai aku sebagai sasaran mudah untuk dicurangi karena aku tidak punya laki-laki garang yang akan melindungiku. Keluargaku menganggap aku harus menjadi pengasuh mereka dan anak-anak mereka. Di tempat kerjaku para lajang diharapkan untuk menanggung beban kerja lebih banyak, harus ambil lembur lebih banyak, atau hanya diijinkan lebih sedikit hari libur karena kami tidak punya anak. Atau tidak mendapatkan bantuan untuk masalah-masalah kami karena dipikirnya orang lajang tidak punya masalah dan tidak perlu bantuan.
Menikah: Tapi kan kamu bisa bebas ngapain aja. Kamu punya banyak waktu luang untuk dirimu sendiri dan punya banyak teman. Ke mana-mana kamu tidak perlu minta ijin keluarga, pergi-pergi begitu saja, tidak perlu banyak pertimbangan. Sedangkan aku, habis waktuku untuk mengurus keluarga, mengurus anak-anak. Hidup berumah tangga seperti aku tanggung jawabnya lebih berat daripada orang-orang lajang seperti dirimu.
Lajang: Kamu tidak akan mengerti kehidupanku, karena kamu tidak mengalami yang aku alami. Dan bagiku, harus selalu terlihat senang dan bahagia adalah sangat menyebalkan. Ya, memang aku tidak harus mengurus suami dan anak-anak. Tapi, kau pikir aku hidup enak-enak saja? Hidupku berkisar seputar orang tuaku yang sudah lanjut usia. Ibuku sering berkata ‘Ah, kamu kan tidak punya anak untuk kamu urus, jadi kamu semestinya mengurusku,’ dan ini membuatku marah. Seakan-akan aku tidak punya persoalan lain yang penting dalam hidupku selain mengurus kesusahan mereka.
Menikah: Kenapa kamu yang harus mengurus ibumu? Memangnya ke mana saudaramu yang lain?
Lajang: Saudara perempuanku tinggal jauh, sudah menikah dan tidak punya waktu untuk ibuku. Aku jadi mulai berpikiran bahwa ‘insting keibuan’ digunakan sebagai alasan untuk tidak memikul tanggung jawab lain-lain. Aku sering merasa marah pada saudara perempuanku karena kurasa dia mengambil keuntungan dari status lajangku. Dia tidak pernah datang membantuku mengurus ibu karena alasan kesibukan dengan suami dan anak-anaknya lebih penting daripada aku atau ibu. Aku harus jungkir balik dengan semua ini: kerja penuh waktu, membantu ibuku, dan mengurus dua rumah – rumahku dan rumah ibu. Temanku yang hanya sedikit akhirnya bosan dengan ketidakmampuanku pergi sepanjang hari dengan mereka, dan mereka akhirnya menghilang. Mereka masih punya waktu bersenang-senang dan pergi berlibur akhir pekan dan di hari-hari libur lain, tapi aku tetap harus mengantar ibuku ke dokter, belanja, memasak untuknya dan membersihkan rumahnya dan lain-lain. Menjadi lajang berarti harus mengurus semua kebutuhanmu sendiri tanpa bantuan orang lain. Dan orang-orang beranggapan bahwa hidup melajang tanggung jawabnya lebih ringan daripada menikah. Ya, seperti yang kamu bilang tadi. Aku tidak punya orang lain yang membantuku dan membayar semuanya sendirian. Ketika ibuku meninggal, barulah aku bisa mulai memperhatikan diriku sendiri walaupun kematiannya tidak serta-merta membuatku melonjak kegirangan.
Menikah: Tapi mengurus keluarga benar-benar menghabiskan waktu dan enerji. Aku merasa kelelahan tiap hari sewaktu anak-anakku masih membutuhkan perhatian penuh dariku. Dan suamiku pun tidak banyak membantu. Apakah engkau tidak pernah menginginkan pasangan? Atau mungkin tidak ada laki-laki yang menginginkan kamu?
Lajang: Hubungan yang pernah paling membuatku merasa penuh adalah dengan seorang pria di mana kami tidak perlu melakukan segalanya bersama-sama seperti kembar siam yang menempel di kepala. Aku tidak mengharapkan harus bersama dia tiap hari, hanya bertemu kalau kami berdua menginginkannya saja dan kami nyaman dengan itu. Kami berdua punya rumah kami sendiri-sendiri, melakukan sendiri apa yang kami ingin lakukan, kapan pun kami sendiri inginkan. Tidak ada jadwal dan tenggat waktu yang harus dikejar dalam hubungan itu, seperti kapan harus punya anak, kapan membeli rumah, dst. Benar-benar hubungan yang bebas dengan kehendak sendiri. Tapi malangnya, dia meninggal, dan semua laki-laki yang pernah kutemui setelahnya tidak pernah sanggup menjalin hubungan seperti itu. Mereka inginkan komitmen, memberikan beban dan memberlakukan pembatasan. Kalau aku ingin dibatasi dan dibebani seperti itu, aku pasti sudah menikah. Tapi maaf, bukan itu yang kuinginkan.
Menikah: Tapi setidaknya kamu bisa memilih dan memutuskan sendiri. Kalau aku? Pilihan apa yang kupunya? Laki-laki mana yang akan tertarik pada ibu rumah tangga yang sudah punya anak di usia seperti ini?
Lajang: Di usia seperti ini, ketika aku punya teman kencan, laki-laki akan pergi setelah satu atau dua bulan. Laki-laki seusiaku menginginkan perempuan separuh usia mereka. Bukan berarti aku mau menikah dengan laki-laki umur 80-an! Sekarang aku tidak lagi berkencan, lebih karena aku capek dengan laki-laki. Aku lelah membangun harapan, lalu dikecewakan.
Menikah: Kamu tidak menyesal memilih hidup melajang seperti ini? Memangnya kamu bisa hidup sendiri seperti ini seumur hidupmu?
Lajang: Waktu usiaku dua puluhan, aku juga sempat berpikir menyedihkan sekali hidup perempuan yang melajang sampai tua. Sekarang aku 49 tahun, tidak pernah menikah, tanpa anak, dan orang-orang memandang hidupku menyedihkan. Sejak kecil aku suka main rumah-rumahan dan pura-pura punya anak. Tapi pernikahan tak pernah terjadi padaku. Aku seperti orang di luar jendela mencemburui pemandangan di dalam rumah. Aku bosan diundang ke acara-acara teman-temanku karena semua yang datang sudah punya anak. Kalau aku tidak datang, aku dikritik, bagaimana aku bisa punya hubungan yang dalam dan bermakna kalau hanya tinggal di rumah? Tapi kalau aku undang mereka ke rumahku, mereka tidak pernah datang. Lebih sepuluh tahun belakangan ini aku berangsur-angsur seperti orang yang tidak lagi berharga dan terlihat karena status lajangku ini. Hidup melajang dan tak punya anak bukan pilihanku. Aku muak dituduh orang-orang bahwa ini kesalahanku.
Menikah: Kau tahu? Aku telah membuat pilihan salah dalam menikah dan aku akan melakukan apa pun untuk kembali ke saat sebelum aku membuat pilihan itu agar tidak menikahi laki-laki yang menjadi suamiku ini. Pernikahanku tidak berhasil, dan aku tetap akan kesepian. Aku juga tidak ingin bercerai dan mendapat sebutan janda. Anak-anak memberikan aku fokus. Sekarang mereka tidak ingin aku fokus ke mereka lagi dan membiarkan aku sendirian.
Lajang: Kau pikir kalau kau melajang maka kau pasti akan hidup bahagia? Aku tumbuh dalam masa di mana hidup menyediakan banyak pilihan dan teman-temanku waktu itu mengungkapkan bahwa mereka tidak tertarik pada kehidupan berkeluarga, sampai akhirnya suatu hari, whuuusssh! Tiba-tiba semua kehidupan mereka sebelumnya terlihat konyol bagi mereka. Dari sisi pandangku, mereka mengalami kemunduran dan kehilangan kemandirian. Aku merindukan masa-masa umur duapuluhan, bukan karena aku ingin memutar balik waktu dan melakukan hal-hal itu lagi, tapi aku merindukan masa di mana aku dan kawan-kawanku dapat hidup sebagai teman sebaya yang cocok, yang bisa mengobrol dengan santai dan menyenangkan, bersenang sama-sama. Tapi mereka sudah menghilang. Di mana mereka sekarang? Sekarang aku merasa seperti tidak punya apa-apa, hanya karir yang menuntut banyak waktuku.
Menikah: Tidak adakah teman-temanmu yang peduli padamu? Mungkin, teman-teman lajang lainnya? Seperti aku, aku bisa punya teman-teman perempuan yang sudah menikah dan punya anak juga. Walaupun yaaah, engkau tidak bisa mengharapkan percakapan yang berbobot dengan mereka. Yang mereka tahu cuma anak, suami dan keluarga. Di luar itu, pandangan mereka sempit sekali.
Lajang: Aku kehabisan tenaga untuk terus-menerus mencari teman baru, karena begitu datang laki-laki dalam hidup mereka, mereka akan pergi. Bagiku bukannya tidak apa-apa kalau mereka bisa berlaku seperti itu pada teman mereka. Itu salah. Betapa noraknya pasangan-pasangan itu. Mereka suka memamerkan kemesraan mereka secara berlebihan di depanku. Cih, mereka senang sekali mengejek orang-orang yang tidak punya pasangan. Kalau sedang tidak punya pacar, barulah teman-teman perempuan akan menghubungiku. Tapi kalau tiba-tiba mereka punya pacar baru, mereka hilang begitu saja, tak terdengar kabarnya. Atau kalau perempuan yang menikah, mereka baru akan menghubungi kalau ada masalah. Di saat-saat mereka sedang sibuk dengan kesenangan mereka, aku dilupakan. Aku berharap ada perempuan-perempuan lajang lain yang tinggal di dekat-dekat sini yang bahagia hidup melajang. Tapi, tidak ada perempuan lajang. Aku kadang merasa kesepian. Aku sudah coba mencari teman ketika usiaku sudah mencapai akhir 30-an. Aku mencari perempuan lajang lainnya, tapi jumlah mereka sedikit sekali. Juga mereka kurang menarik bagiku, karena kegiatan mereka hanya belanja, makan di luar, atau ke bioskop, dan semua itu tidak menarik bagiku.
Menikah: Cobalah perluas pergaulanmu. Siapa tahu, kadang-kadang ada juga perempuan menikah yang menyenangkan.
Lajang: Aku tidak suka tinggal di kota ini dengan lensa mikroskopnya itu. Mungkin akan lebih nyaman tinggal di kota yang lebih besar di mana perempuan berjalan sendiri tidak terlalu mencolok dibanding di kota kecil. Aku juga tidak nyaman berada di tengah-tengah pasangan yang sudah menikah. Aku merasa seakan-akan para istri mengawasiku lekat-lekat dan akan mencongkel biji mataku kalau aku terlalu dekat dengan suami mereka. Huh maaf ya, aku tidak berniat meniduri suami kalian.
Rumputku Lebih Hijau
Menikah: Apa sih, enaknya hidup melajang? Apalagi di usia paruh baya seperti kamu.
Lajang: Hidup melajang memang punya tantangannya sendiri, namun bagiku masih lebih baik. Kalau melihat masalah pernikahan, aku lebih senang tetap melajang, karena menurutku pernikahan tidak serta-merta membuat orang jadi bahagia. Tergantung diri kita sendiri, lah. Kau tidak bisa mengharapkan pasanganmu atau anak-anakmu memenuhi semua kebutuhanmu. Anak-anak bertambah dewasa dan mereka akan punya kehidupan mereka sendiri.
Menikah: Tapi anak-anakku memberikan aku makna hidup. Mereka adalah sumber kebahagiaanku. Untuk apa hidup jika tidak punya makna hidup dan tidak bahagia? Kita perempuan normal akan menikah dan punya anak.
Lajang: Engkau mengatakan bahwa anak adalah makna hidup? Lalu bagaimana dengan orang-orang mandul, atau yang memiliki kesulitan nyata untuk bisa melahirkan anak? Bagaimana dengan mereka yang sudah memilih untuk hidup selibat, seperti pastur, pendeta dan suster biarawati? Semua orang itu tidak punya makna hidup, begitu?
Menikah: Ah, mereka itu kan berbeda. Mereka memang memilih jalan hidup berselibat. Juga yang tidak bisa melahirkan anak, ya apa boleh buat. Tapi jika perempuan bisa melahirkan anak, untuk apa dia dilahirkan sebagai perempuan jika tidak untuk punya anak? Siapa yang akan menjadi penerusmu kalau bukan keturunanmu sendiri?
Lajang: Engkau tidak harus melahirkan untuk mencari alasan keberadaanmu di dunia ini, untuk menjadi manusia yang berharga, untuk menjadi bijaksana, atau untuk punya tujuan hidup tertinggi. Banyak orang yang tidak punya anak mampu membuat hidup mereka menjadi sumber inspirasi dan perubahan bagi dunia. Bunda Theresa tidak melahirkan anak, dan itu tidak membuat dia kurang perempuan, bahkan dia mengasuh anak-anak yang tidak diinginkan. Selalu ada tuntutan untuk menyesuaikan diri, dan kebanyakan diantaranya tidak benar-benar kita butuhkan. Pandangan hidupku, adalah tugas kita untuk mengusahakan dan meninggalkan jadi dunia sedikit lebih baik dibanding sewaktu kita menemukannya, dan tetap bisa bersenang di dalamnya. Kita punya banyak pilihan jalur untuk ini, ada jalur yang di dalamnya kita punya anak, ada jalur-jalur di mana kita tidak punya anak, ada menikah, ada tidak menikah. Manusia berbeda, jadi mengapa memaksakan sama dan mengapa harus terkejut ketika orang lain yang memilih jalur berbeda dari jalur yang kita pilih?
Menikah: Ah, sudahlah. Kamu pasti memilih hidup melajang karena kamu pernah patah hati karena dikecewakan oleh laki-laki. Jangan khawatir, pasti kau akan menemukan jodohmu suatu hari nanti.
Lajang: Khawatir? Aku tidak khawatir. Kenapa kamu yang khawatir? Ini jalanku, jalan yang kupilih untuk kebahagiaanku sendiri dan untuk membuat dunia ini jadi sedikit lebih baik.
Menikah: Kau tahu, orang menikah agar bisa hidup bahagia dengan pasangan yang kau cintai di sisimu dan anak-anak yang akan mengisi hidupmu, sehingga kau tidak perlu merasa kesepian. Kamu egois, hanya mementingkan kesenangan diri sendiri dan ingin hidup yang gampang. Kamu tidak ingin bertanggung jawab dengan memikul beban berkeluarga dan punya anak, kan?
Lajang: Tidak, tidak benar seperti yang mereka bilang bahwa aku egois. Bagiku, kamu yang egois, menginginkan anak supaya mereka memenuhi kebutuhanmu, menemanimu seumur hidupmu agar kau tidak kesepian dan sendirian. Aku punya saudara perempuan yang punya anak, dan coba tebak? Dia seringkali harus sendirian di hari-hari libur karena anaknya selalu punya acaranya sendiri. Jadi, jangan berharap engkau tidak kesepian karena sudah punya anak. Lagipula umur laki-laki lebih pendek, jadi banyak perempuan tetap akan merasa sendiri. Aku kenal dengan orang-orang lanjut usia yang ditaruh di rumah-rumah perawatan atau panti jompo. Aku bekerja di situ merawat mereka. Banyak orang lansia tetap berakhir di rumah jompo, baik mereka menikah atau tidak. Lebih tepat kalau dikatakan bahwa 90% orang berakhir di rumah jompo karena mereka tidak punya anak atau anak mereka tidak bersedia merawat orang tua mereka. Dan kalau aku disuruh memilih, lebih baik aku tinggal di rumah jompo karena aku tidak punya anak daripada karena aku dibuang oleh anak-anakku yang egois dan brengsek.
Menikah: Anak-anakku tidak akan membuangku ke panti jompo kalau aku sudah tua nanti. Aku yakin itu. Aku menyayangi mereka dan mereka juga menyayangi aku. Kalau pun suamiku meninggal duluan, aku masih punya anak-anakku yang akan menemani aku di masa tuaku.
Lajang: Kau keras kepala. Begitu anak-anakmu mandiri, hari-harimu sebagai ‘ibu yang mengasuh’ berakhir, kecuali mereka membutuhkan bantuanmu di saat darurat; entah itu uangmu, atau tenagamu untuk menanggung sebagian beban berlebih mereka yang sejak semula telah mereka pilih sendiri.
Menikah: Tapi mana mungkin orang yang hidup sendirian bisa bahagia? Manusia diciptakan untuk hidup berpasang-pasangan. Manusia itu juga makhluk sosial, manusia butuh berada bersama manusia lainnya.
Lajang: Sesungguhnya, aku cukup bahagia. Kalau melihat pada gambaran besarnya, aku menyadari bahwa aku adalah salah satu dari orang yang paling beruntung di muka bumi ini. Aku dapat menunjang diriku sendiri, aku tidak harus menjelaskan diriku pada orang lain, aku menjalani hidup pilihanku sendiri, lengkap dengan resiko dan tanggung jawabnya. Aku mampu menjalani hari-hari, bahkan berminggu-minggu dengan diri sendiri dan merasa puas. Berapa banyak sih perempuan yang bisa berkata seperti ini?
Menikah: Kau pasti akan kesepian. Lihat saja nanti.
Lajang: Berada dalam suatu hubungan bukan obat untuk menyembuhkan perasaan kesepian. Aku pikir, perempuan seringkali melupakan hal ini ketika mereka masih lajang. Mereka pikir suatu hubungan/pernikahan adalah kunci kebahagiaan dan pemenuhan diri. Aku punya teman-teman yang sudah menikah dan punya anak. Kehidupan mereka menyedihkan. Mereka sering menangis di tempat tidur. Meskipun di luarnya mereka terlihat bahagia, tapi di dalam mereka merasa hidup ini sepi dan hampa. Lagipula hidup melajang begini memungkinkanku untuk fokus pada ketertarikan dan hobi-hobiku. Aku bahkan bisa belajar atau mengambil kursus lagi. Kesibukan seperti ini mengurangi perasaan kesepian, baik kau menikah atau melajang.
Menikah: Siapa bilang perempuan yang sudah menikah tidak bisa belajar lagi? Teman-temanku yang sudah menikah masih ada yang mengambil sekolah lagi.
Lajang: Meskipun tetap bersekolah sambil menikah, apakah berarti perempuan bebas dari tugas sebagai ibu rumah tangga? Tetap saja banyak perempuan yang harus mengurus anak, memasak dan mencuci sebelum mereka bisa membaca buku atau mengerjakan tugas sekolahnya. Tetap saja mereka harus meminta ijin suami mereka untuk pilihan-pilihan hidup mereka. Apakah itu tandanya mencapai kedewasaan? Atau justru kemunduran kedewasaan?
Menikah: Lho, iya dong. Kita perempuan harus menyadari tugas-tugas kita sebagai ibu rumah tangga juga, meskipun punya pekerjaan di luar rumah atau bersekolah lagi. Siapa yang akan mengurus rumah dan anak-anak kalau bukan perempuan?
Lajang: Aku pikir, perempuan yang menikah dan bicara dengan mulut besar tentang kemandirian dan kesamaan, kalau dilihat baik-baik kehidupan mereka, nampaknya tidak banyak beda dengan perempuan di jaman dulu. Kalau memang perempuan hanya ingin jadi ibu rumah tangga, lakukanlah. Aku menghargainya. Tapi jangan berlagak seperti engkau seorang yang punya kebebasan memilih, padahal kau tidak bebas memilih.
Menikah: Aku tidak mengerti hidup seperti yang kau jalani ini. Aku tetap menganggap bahwa menikah dan punya anak itu penting.
Lajang: Orang tidak bisa begitu saja berharap tiap orang menikah dan punya anak di usia tertentu. Ada banyak alasan mengapa ada orang-orang yang tidak menikah. Sejarah keluarga, pengasuhan masa kecil, pengalaman hidup, kepercayaan diri, trauma hidup dan perubahan moral, dan masih banyak lagi penyebab lainnya. Banyak orang punya anak sebenarnya tidak siap punya anak, mereka menggunakan anak-anak mereka sebagai jalan memperoleh kesenangan. Atau mereka menikah dan punya anak karena didasari oleh perasaan takut: takut sendiri, takut diasingkan oleh masyarakat, takut oleh perasaan tidak aman karena tidak ada yang melindungimu. Yang begitu itu tidak dewasa. Namun mereka terus memenuhi planet ini meskipun anak-anak mereka tidak mendapat cukup kasih sayang, perhatian, bimbingan dan disiplin yang dibutuhkan agar anak-anak mereka tumbuh menjadi orang yang benar-benar berfungsi dan menjadi manusia yang berguna. Banyak orang memproduksi anak seperti kelinci dan mereka tidak menyumbang perubahan apa pun untuk dunia ini.
Menikah: Atau mungkin kau punya masa lalu yang tidak bahagia dalam keluargamu sehingga membentuk persepsimu yang negatif tentang menikah dan punya anak?
Lajang: Ibuku adalah pelaku kekerasan dan dia semestinya tidak punya anak saja karena menjadi ibu tidak mengajarkannya apa pun! Dia berkata bahwa hidupnya hancur karena punya anak. Banyak perempuan yang lainnya menjadi ibu bukan karena pilihan sadar mereka sendiri. Sama saja, mereka pun membenci anak mereka sendiri dan melakukan kekerasan pada anak-anak mereka. Jadi aku tidak akan membiarkan orang-orang dengan anak itu, atau kau, menganggap diri kalian lebih tinggi dari aku, menyuruhku menikah dan menasihatiku tentang hidup. Kalian menikah dan punya anak karena cuma itu pilihan yang kalian tahu. Aku lebih baik menjadi orang yang dikategorikan “mementingkan diri sendiri” daripada punya anak dan menyumbang masalah-masalah di dunia ini. Hidup melajang di usia paruh baya dan tidak punya anak bukan untuk orang yang cengeng. Engkau tidak akan sanggup menjalaninya.
Menikah: Engkau terlalu mandiri. Laki-laki akan takut melihat perempuan sepertimu. Mana bisa kamu laku kalau kamu tidak butuh laki-laki seperti ini? Cobalah untuk mengalah sedikit. Siapa tahu ada laki-laki yang tertarik padamu, sehingga kau tidak perlu hidup menyendiri.
Lajang: Semestinya aku menyadari lebih awal bahwa banyak sudah enerjiku terbuang dalam kencan-kencan dan hubungan-hubungan itu. Butuh waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa aku adalah orang yang lebih bahagia hidup sendirian. Aku mengakui bahwa aku orang yang introvert. Meskipun aku bertemu banyak orang yang ekstrovert, aku hanya punya sedikit teman yang benar-benar cocok dan dekat. Aku sering menyendiri dan aku memang menyukainya. Aku menyukai tempat-tempat yang tenang. Jadi, menurutku, jika aku tidak pernah menikah, itu adalah suatu berkat tersendiri untukku. Aku punya beberapa keponakan dan aku menyukai mereka. Aku senang bermain dan mengganggu mereka, tapi aku selalu bisa mengembalikan mereka ke orangtuanya. Aku merasa kelelahan menghabiskan waktuku sepanjang hari dengan anak-anak. Aku lega bisa pulang ke rumah dan tidur istirahat. Kalau aku punya anak, aku akan selalu kelelahan tiap hari. Aku pernah bertemu beberapa perempuan yang sudah jadi ibu-ibu, dan berdasarkan pengalaman mereka sendiri mereka menasihati aku agar tidak usah punya anak saja. Seorang temanku malah berkata dia pernah bertemu seorang ibu yang berkomentar bahwa nampaknya makin banyak orang pintar yang lebih memilih untuk tidak punya anak.
Menikah: Lalu bagaimana kalau kau jatuh sakit dan tidak ada orang yang merawatmu? Bagaimana kau menghadapi masa tuamu nanti di saat tenagamu sudah melemah dan kau butuh bantuan orang lain untuk mengurus dirimu?
Lajang: Tiga tahun yang lalu aku mengalami kejadian yang merubah perspektifku tentang hidup. Aku didiagnosa kanker payudara. Tubuhku adalah medan pertarungan dan aku memenangkan peperangan yang pertama. Aku selalu ingin menjadi orang yang mandiri dan tiba-tiba aku harus minta bantuan orang lain. Dulu aku selalu siap menolong orang lain. Sekarang aku tahu mengapa Tuhan mengantarku pada kehidupan tak menikah tanpa anak seperti ini. Aku tidak akan mau menyeret mereka ke dalam kesulitan hidupku. Dan aku pun merasa bahwa pilihan ini adalah sebuah berkat. Menyadarkanku bahwa aku punya kekuatan di dalam diriku yang begitu besar yang tadinya belum teruji, sehingga aku harus menjalani ini sendirian. Namun aku juga akhirnya mengetahui mana teman yang sejati. Untuk menghadapi hari-hari paruh baya dan lajangku, aku juga mencoba mengumpulkan banyak informasi yang kubutuhkan, menangani masalah-masalah kesehatanku dan menemukan advis terbaik yang bisa kuperoleh.
Menikah: Tidak pernahkah engkau merasa kesepian?
Lajang: Tidak. Aku tidak sendirian. Aku dikelilingi oleh alam. Lagipula aku punya beberapa teman baik yang usianya di bawah 30 tahun dan cukup dewasa, mereka membuatku merasa tetap muda. Aku juga berharap ada semacam komunitas untuk perempuan lajang. Media massa menegasi para perempuan lajang, namun di sisi lain media massa jugalah yang membuatku sadar dan bersyukur aku tidak menikah. Berita-berita tentang masalah pernikahan dari orang-orang yang kaya dan terkenal, skandal-skandal, semua membuatku menyadari bahwa pernikahan bukanlah surga di bumi.
Menikah: Kamu tidak tahu rasanya bahagia karena punya pasangan hidup dan anak-anak tempat engkau mencurahkan kasih sayangmu. Mereka adalah permata hatiku. Hari Ibu membuat aku merasa sebagai ibu yang paling beruntung di dunia ini karena suami dan anak-anakku akan merencanakan sesuatu untukku. Pergi ke acara-acara keluarga dan berlibur bersama keluarga adalah saat-saat yang indah. Tidakkah engkau menginginkan itu?
Lajang: Ya oke, aku sedikit iri. Tapi maaf ya, permisi aku harus pergi. Aku mau melakukan apa pun yang kuinginkan setiap saat.
Jadi, Rumput Siapa yang Lebih Hijau?
Lajang 1: Apa yang akan kau lakukan bila kau punya banyak waktu luang? Hmm, aku bisa memikirkan banyak sekali. Aku punya ketertarikan untuk 2 atau 3 kerja voluntir, aku menyukai kegiatan yang menuntut kebugaran jasmani seperti naik gunung. Aku juga suka menemani anak kecil belajar, membuat ketrampilan tangan, fotografi, membantu para lansia, menulis, menjahit, pergi ke perpustakaan, dll. Aku ingin bangun di pagi hari dan berjalan-jalan ke kedai-kedai kopi, duduk dan membaca koran sambil minum kopi, atau menikmati sinar matahari yang masuk melalui jendela. Aku tidak ingin hidupku melulu tentang kerja dan kerja.
Lajang 2: Aku kesepian, oke? Aku sudah berusaha mengisi waktu luangku, kalau pun ada, dengan berbagai kegiatan dan berusaha menemui orang-orang, tapi aku masih belum mampu mengatasi perasaan ini. Pekerjaanku menghabiskan enerjiku dan aku pulang dalam keadaan lelah. Aku paling benci hari libur dan akhir pekan karena di saat-saat itulah aku merasa paling sendirian dan tertekan. Aku sering bertanya-tanya: untuk apa semua ini, pekerjaan yang kukerjakan ini, kemandirianku ini, bila pada akhirnya aku tetap merasa kecil seperti ini?
Lajang 3: Perempuan yang sudah menikah dan punya anak pun tetap bisa merasa kesepian. Pernikahan dan anak bukan jaminan bahwa seseorang tidak akan mengalami kesepian dalam hidupnya.
Lajang 2: Tapi kesepian yang harus dihadapi oleh perempuan lajang berbeda dengan mereka yang menikah dan punya anak. Yang lajang-tak punya anak, sebagian dari mereka, menikahi karir/pekerjaannya, mengalami kebosanan, lalu merasa kesepian. Aku rasa, aku tetap membutuhkan kehadiran orang lain. Berbahagialah mereka yang punya anak dan mengisi hidup mereka bersama anak-anak mereka.
Lajang 1: Kalau memang kau ingin anak, mungkin masih ada waktu asalkan kau cukup fleksibel untuk perubahan dan mau berkorban. Tapi punya anak di usia paruh baya bagiku seperti kau mengalami krisis paruh baya dan mungkin motivasimu berpusat pada kepentinganmu sendiri. Saudara perempuanku sudah menikah. Setelah bertahun-tahun menikmati kehidupan bebas tanpa anak, bisa berperjalanan ke banyak tempat dan melibatkan dirinya dalam kegiatan-kegiatan spontan yang mengasyikkan, harus merubah hidupnya 360 derajat karena dia akhirnya punya anak. Pekerjaannya yang telah 30 tahun dibangun perlahan-lahan merosot. Suaminya mencintai anak mereka, namun kupikir tidak sebanyak cinta istrinya, sehingga diserahkan pengasuhan anak pada saudara perempuanku itu. Dia harus mengesampingkan persahabatannya, kegemarannya jalan dan hobi-hobi lainnya karena keberadaan anak. Dia tidak pernah lagi membagi kerja denganku mengurus orang tua kami yang sudah lanjut usia. Nampaknya keputusannya yang egois untuk punya anak menuntut agar orang-orang lain berkorban karena itu. Banyak perempuan yang sudah punya anak berharap orang tuanya yang sudah lanjut usia untuk ikut mengasuh anak-anaknya atau membiayai mimpinya.
Lajang 2: Tapi laki-laki mana yang tertarik pada perempuan usia paruh baya? Kalau pun kau ikut iklan-iklan mencari jodoh itu, mereka selalu bilang menginginkan perempuan yang sangat cantik dan masih berusia duapuluhan.
Lajang 3: Bukankah ironis bahwa perempuan yang bahagia dengan status lajangnya adalah mereka yang banyak teman dan berkencan? Sayang sekali kalau engkau belum bisa melihat di luar perasaan-perasaanmu yang negatif. Aku melihat ada tiga macam perempuan lajang: pertama adalah mereka yang hidup dengan kemarahan, kepahitan dan tidak bahagia dengan nasib mereka dan terus menghabiskan hidup mereka mencari laki-laki. Kedua, mereka yang awalnya masih menginginkan punya pasangan tapi sejalan dengan waktu akhirnya tidak terlalu mementingkan harus punya pasangan dan menerima dengan nyaman status lajang dan kesendirian mereka. Ketiga, mereka yang memang sudah dari awalnya memilih tidak menikah (dan jenis yang ketiga ini belakangan bertambah jumlahnya baik perempuan maupun laki-laki).
Lajang 2: Aku kehilangan teman-temanku karena aku tetap lajang dan mereka kemudian menikah. Mereka lebih memilih suami mereka daripada teman-teman perempuan mereka. Pokoknya, sejak mereka menjadi ‘nyonya’, mereka meninggalkan minat, ketertarikan dan hidup mereka yang sebelumnya, dan semua digantikan dengan ‘menikah’ atau ‘menjadi ibu’. Terus terang saja, bagiku mereka jadi orang-orang yang membosankan. Dulu mereka bisa diajak ngobrol soal politik, seni dan beragam topik pembicaraan yang menarik. Sekarang mereka tidak bisa lagi fokus ke apapun selain keluarga mereka. “Aduh, suamiku nelpon, aku pergi dulu ya.” Atau “Aku tidak bisa ketemu kamu, soalnya suamiku minta aku begini-begitu….” Atau perempuan-perempuan yang dulunya bisa kuajak ngobrol serius, sekarang tidak bisa ke mana-mana kalau tidak bawa anak-anaknya. Bukannya aku tidak bisa menghadapi kenyataan bahwa mereka punya anak dan suami. Aku bisa. Tapi, orang-orang yang menikah memperlakukan mereka yang lajang tanpa penghargaan, seakan-akan kami tidak penting hanya karena kami lajang. Mereka bisa saja dengan mudah membatalkan janji di menit-menit terakhir karena alasan keluarga. Terlebih lagi, yang menikah biasanya lebih suka bergaul dengan juga yang sudah menikah, pasangan dengan pasangan lain. Aku berharap setidaknya ada semacam komunitas untuk perempuan lajang seperti kita, yang mempunyai ketertarikan bersama untuk menciptakan persahabatan, dukungan dan kesenangan. Tapi sulit sekali menemukan perempuan lajang untuk dijadikan teman. Mereka tinggal jauh dariku. Aku lelah harus selalu berusaha mencari teman baru karena teman lajang yang ada meninggalkanku begitu mereka punya pasangan atau teman kencan.
Lajang 3: Menarik tentang konsep komunitas perempuan lajang. Feminisme menawarkan pada kita perempuan dengan kepribadian mandiri, berkarakter kuat dan positif, tapi di mana mereka? Mereka tidak pernah ada. Feminisme menjanjikan gambaran positif untuk kaum perempuan di jangka panjang, namun perempuan sendiri yang menolak gambaran ini dan tetap berlari menuju arah sebaliknya, ke arah tradisional. Tapi kalau memang kau percaya bahwa pernikahan dan anak adalah kebahagiaanmu dan engkau bersedia berkorban untuk kebahagiaanmu itu, silakan saja. Aku percaya hidup adalah mengejar kebahagiaan DAN kerja keras karena hidup memang tidak mudah apa pun pilihan yang kau ambil. Tapi kau hanya menambah kesulitanmu dengan menyesali masa lalumu dan kehidupanmu yang sekarang. Intinya, tidak ada yang namanya terlambat jika ingin mengejar kebahagiaanmu.
Lajang 1: Bukan feminisme yang menjual mimpi kosong, tapi dongeng-dongeng itu! “Mereka akhirnya bahagia hidup berdampingan sampai selamanya” tidak bisa menipuku. Aku cukup senang bisa mengendalikan dan melakukan segala keperluanku sendiri. Kesepian dan keraguan akan makna hidup sebagai lajang disebabkan karena dunia ini dibuat untuk manusia berpasang-pasangan dan menjadi orang tua. Seberapa membantukah orang-orang yang tanpa diminta memaksakan pandangannya bahwa orang-orang lajang sedang menjalani pilihan hidup yang keliru, dan bahwa masalah-masalah yang terjadi pada mereka adalah akibat kesalahan mereka sendiri? Tidak membantu sama sekali, malahan kejam. Dan orang-orang yang dewasa, bahagia dan tidak egois, tidak akan memaksakan itu. Perempuan yang menikah dan bahagia karena benar-benar bisa melakukan yang mereka inginkan, mungkin kehidupannya lebih mudah daripada kita perempuan lajang. Tapi aku ragu banyak perempuan punya hidup seperti itu. Inti dari feminisme adalah menghindari situasi di mana perempuan hidup dengan pembatasan seperti itu, dan bahwa perempuan tidak butuh validasi dari laki-laki untuk eksistensinya dan kebahagiaannya.
Lajang 3: Saat ini, feminisme muncul dengan kekuatan penuh. Aku mengasumsikan bahwa aku akan disupport oleh setidaknya para perempuan lain dalam pencarianku akan persamaan dan kemandirian. Tapi aku keliru, sangat keliru. Yang paling menyakitkan bukanlah tidak didukung laki-laki, melainkan tidak didukung oleh para perempuan. Itulah kebohongan besar feminisme. Mereka ingin bicara tentang persamaan tapi dalam realitasnya kebanyakan perempuan tetap menginginkan kehidupan tradisional yang diurus oleh laki-laki yang tampan, profesional dan banyak uang. Aku sangat marah pada para perempuan dan pada gerakan tolol feminisme. Aku pikir laki-laki bodoh lah yang mengejar ketertarikan fisik dengan perempuan berpayudara besar dan mengabaikan sisi-sisi positif lainnya dari seorang perempuan. Aku pikir perempuan adalah dungu dengan keinginan memenuhi gambaran pria tolol seperti itu. Yang membuat aku paling muak adalah para perempuan menikah yang bicara dengan mulut besar tentang kemandirian dan kesamaan. Tapi kalau dilihat baik-baik kehidupan mereka, nampaknya tidak banyak beda dengan perempuan di jaman dulu. Mereka berlagak seperti feminis yang hebat padahal mereka bukan itu.
Lajang 1: Jika perempuan lainnya melajang karena itulah pilihan terbaik mereka, maka aku melajang karena kondisi. Aku tidak ingin nekat menikah sekedar agar bisa punya pasangan. Aku masih ingin menonton acara yang aku suka di televisi di akhir pekanku. Aku tidak ingin merasa selalu khawatir dan tertekan kalau berat badanku naik maka suamiku akan lari mencari perempuan lain yang lebih menarik. Kalau memang ada laki-laki yang tepat untukku, wah itu menyenangkan sekali. Tapi kalau tidak ada, lebih baik bagiku begini. Dan aku tidak akan membiarkan diriku dibuat merasa tak berharga hanya karena aku perempuan lajang, tidak punya anak, dan berusia 40 tahun. Kesadaran ini datang padaku dibantu oleh pemahamanku tentang feminisme. Kalau engkau punya pandangan keras tentang feminisme, sayang sekali. Namun aku punya pandanganku sendiri.
Lajang 2: Ketika kau menjelaskan tiga kategori perempuan lajang, aku pikir kau akan memasukkan aku ke dalam kategori pertama yang hidup dengan kemarahan, kepahitan dan tidak bahagia dengan nasib mereka dan terus menghabiskan hidup mereka mencari laki-laki, sedangkan engkau adalah orang yang berbahagia dengan status lajangnya. Tapi aku lihat engkau lah yang marah dan punya banyak kepahitan hidup.
Lajang 3: Tidak, sayang. Aku bukan kategori pertama atau kedua. Aku kategori ketiga yang sejak awal sudah memilih untuk hidup melajang. Aku dapat memahami kesulitan yang dihadapi para perempuan lajang, tapi juga tidak mengerti mengapa banyak dari kita tidak memahami bahwa perempuan lajang lain punya pandangan dan jalannya sendiri untuk kebahagiaannya. Kalau saja bisa paham, maka akan membentuk sikap yang lebih positif. Ada perempuan lajang yang memiliki vitalitas dan kegairahan hidup yang tinggi dan bahagia dengan pilihannya dan perempuan lajang lainnya memandang negatif hal demikian. Mungkin engkau tidak memahami konsep hidup bahagia menjadi lajang karena pilihan sendiri. Tidak seorang pun ingin diabaikan, tapi kita harus kreatif kalau kita ingin hidup bahagia. Perempuan lajang yang tak lelah-lelahnya ingin menyesuaikan dirinya dengan ekspektasi sosial agar bisa masuk ke dalam jalan yang ditempuh kebanyakan orang, nampaknya pada akhirnya akan merasa kecewa. Sebagai perempuan yang sudah masuk dalam kategori paruh baya, nampaknya kita tidak perlu lagi terlalu dipusingkan dengan harapan sosial dan mengharap persetujuan masyarakat.
Lajang 2: Kamu bilang jangan sampai masyarakat kita membatasi pilihan hidup kita? Yah, kedengarannya tegar sekali, tapi bagaimanapun, kita adalah bagian dari masyarakat. Ada bentuk-bentuk diskriminasi yang betul-betul diberlakukan oleh masyarakat untuk perempuan lajang. Benar-benar tidak mudah untuk berjuang dengan gambaran diri sendiri.
Lajang 3: Akui saja, kita tidak bisa mendapatkan semuanya. Perempuan tidak bisa punya karir yang berhasil PLUS keluarga yang hebat dan mengharapkan suami mereka bisa menyesuaikan diri dengan harapan perempuan yang nyaris serakah tentang hidup. Itulah makanya perempuan lajang bisa tampil lebih cemerlang di dunia pekerjaan, karena mereka memilih pekerjaannya dan mereka masih bisa merasa bahagia. Kita tidak bisa mendapatkan semuanya, tidak tanpa harga yang mahal. Aku juga berpendapat bahwa perempuan lajang perlu menghadapi fakta bahwa mereka harus menghentikan permainan mereka dengan laki-laki, atau mereka akan menjadi orang yang kehilangan makna hidup mereka karena selalu mencari kesempatan tidur dengan laki-laki. Tidak ada hal yang lebih tak bermakna daripada itu. Aku lebih memilih tetap lajang dan bahagia daripada selalu berusaha menggaet laki-laki.
Lajang 1: Yah, biarkan saja teman-teman kita hidup seperti yang mereka mau. Kalau mereka mau membuang teman-teman lajangnya agar bisa punya pacar, biar saja. Mungkin mereka punya desakan ekonomi sehingga butuh laki-laki untuk membiayai hidup mereka. Atau mungkin mereka belum bisa berdamai dengan status lajangnya. Apa pun alasannya, aku tidak akan menghalangi jalannya. Tapi tentu saja, itu berarti aku tidak akan membagi prioritas waktuku untuk dia lagi dan aku tidak akan bersedia diriku digunakan lagi untuk masa-masa di mana dia sedang tidak punya hubungan dengan laki-laki. Aku lebih baik mencari kawan-kawan lain yang lajang yang bahagia dengan status lajangnya dan melakukan hal-hal positif bersama mereka. Dan para perempuan lajang yang punya affair dengan laki-laki yang sudah menikah, yang aku pahami, mereka haus akan perasaan diinginkan. Laki-laki menikah itu juga tahu perempuan lajang mana yang haus akan perhatian seksual sehingga akan melancarkan godaan-godaan yang sulit untuk ditolak. Terkadang kita tergoda untuk berpikiran, ah masa bodoh, aku pun berhak untuk dicintai, walaupun dalam pikiran kita juga tahu bahwa itu secara moral salah. Dan kita pun akan menginginkan laki-laki itu untuk diri kita sendiri, lalu kita akan kecewa.
Lajang 3: Cobalah jangan terlalu sering dikelilingi oleh pasangan yang sudah menikah atau yang masih pacaran. Juga, jangan mau berada terus-menerus dekat dengan perempuan yang mati-matian mencari pasangan karena orang seperti ini akan membuatmu ingin mati saja. Cobalah cari orang-orang yang tahu caranya bersenang-senang dalam hidup tanpa harus bersama pasangan dan dengan mereka yang tidak tiap saat bicara soal pasangan. Temukanlah hobi yang akan memakai banyak waktu luangmu, bahkan mungkin kau akan bertemu orang-orang baru yang menarik melalui hobimu itu. Itu akan mengurangi kesedihan dan perasaan tertekanmu. Namun aku juga paham bahwa tetap ada bagian dalam dirimu yang hilang dan bahwa rasanya menyakitkan. Aku juga berhenti membaca majalah perempuan, atau berhenti menonton acara-acara tertentu di TV yang memamerkan kehidupan berpasangan sebagai tujuan akhir hidup. Ada sebuah buku menarik berjudul “All Over the Map” mengenai seorang perempuan lajang di usia awal empatpuluhan. Di satu bab berisi bagaimana dia berperjalanan ke Itali dan bagaimana perempuan lajang (yang populasinya terus bertambah) direngkuh oleh masyarakat dan keluarga di sana. Temannya yang lajang dan tidak bisa memasak, diundang setiap malam untuk makan malam bersama di rumah seseorang. Waw, sulit dibayangkan. Sementara di mana-mana, perempuan lajang paruh usia dianggap tidak ada atau dianggap sebagai kasta terendah.
Lajang 2: Stigma sosial yang dihadapi perempuan lajang tak punya anak adalah bahwa dia tidak pernah diinginkan oleh siapapun. Pasti ada yang salah dengannya sehingga dia masih lajang. Atau terkadang disangka gay. Kita harus memamerkan pacar laki-laki atau menikah supaya berhenti dicurigai sebagai gay. Kalau perempuan yang sudah pernah menikah lalu bercerai, setidaknya dia dianggap pernah diinginkan dan pernah mengalami kesulitan hidup berumah tangga. Perempuan paruh baya, lajang dan tidak punya anak adalah kelompok minoritas. Mereka sering dilecehkan, diawasi, dan disasar perlakuan sampah lainnya. Laki-laki memandang mereka dengan pandangan kotor jika melihat perempuan jalan sendirian di tempat-tempat sepi. Mengapa orang-orang berpikir bahwa kami ini remeh tanpa laki-laki?
Lajang 1: Kau tahu apa di dalam diri kita yang kurang dihargai? Keberanian, nona-nona. Butuh nyali untuk membiayai sendiri kehidupanmu; pergi dan menghadiri acara-acara keluarga, profesional dan liburan sendirian; untuk menjalani pemeriksaan medis yang menakutkan sendirian; pensiun sendirian, tanpa bantuan orang lain. Hargailah dirimu sendiri untuk tiap keberanian yang telah kalian tunjukkan, setiap harinya. Aku tidak pernah bisa memastikan siapa yang akan bersedia mengurusku di saat aku lanjut usia nanti, walaupun misalnya aku menikah dan punya anak. Maka aku mengusahakan tabungan masa tua dan asuransi jangka panjang yang kubayar tiap bulan sehingga aku tahu aku mesti ke mana jika aku butuh seseorang untuk mengurusku. Mungkin 20-30 ke depan aku akan masuk rumah jompo.
Lajang 3: Ya, mendekati penghujung usia duapuluhan, perempuan lajang disesakkan oleh ekspektasi sosial dan perlakuan kurang dihargai oleh teman, rekan kerja dan keluarga besar karena tidak memenuhi ekspektasi tersebut. Teman-teman yang menikah pergi menjauh, yang bertunangan atau sedang berpacaran memandang dengan kasihan, dan pendapat mereka tentang cinta dan hidup dianggap sepi. Masyarakat mendikte bahwa perempuan akan ‘lengkap’ kalau menikah dan melahirkan anak. Oh, begitu? Berarti hidupku ‘masih tertunda’ sampai aku menjadi istri dan ibu?
Lajang 1: Yang menggangguku bukanlah nasihat atau saran yang diberikan, melainkan kurangnya kepekaan orang lain dalam memahami masalah perempuan paruh usia yang melajang dan tak punya anak. Dan ini terjadi di mana-mana. Jika ada perempuan lajang yang hidupnya sedang terpaku pada kesedihan dan kesendirian, mungkin itu berarti mereka sedang di tengah-tengah perjuangan akan identitas diri mereka dan kesulitan-kesulitan nyata yang sedang mereka hadapi. Kita tidak bisa menyangkalnya. Kesulitan, kesedihan dan kesendiriannya adalah nyata dia rasakan. Bukan dibuat-buat. Butuh proses yang tidak instan untuk tiap orang sampai pada kesadaran dan jalan bahwa “kebahagiaan datang dari dalam diri”, bukan tergantung dari pasangan, anak atau orang lain.
***********************
Margonda, 5 April 2011
Sondang Sidabutar, menjelang paruh baya
Catatan:
Tulisan ini diinspirasi dan diramu dari sebuah blog:
http://lifetwo.com/production/node/20070927-midlife-and-always-single-women.
Sebuah blog yang tetap berlaku bertahun-tahun, sesuatu yang langka di kalangan kita di tempat ini, kurasa.
MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN
Berbagi Cermin Hidup...
Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.
Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar