Tentunya, sebagian besar orang ingin berumur panjang. Artinya kan, kita mengharapkan hidup sampai usia lanjut. Berarti jika paruh baya diakhiri sejak usia 60 tahun (dimulainya kehidupan sebagai orang lansia), dengan usia harapan hidup rata-rata Indonesia adalah 69-70 tahun, maka bisa dibayangkan kita akan menjalani setidaknya 9-10 tahun sebagai orang lansia. Hmmm. Sembilan sampai sepuluh tahun sebagai lansia. Sudah terbayangkan? Tak terbayang? Amatilah orang-orang lansia di sekitarmu.
Mari bicara statistik dan lihat besaran masalahnya. Diramalkan bahwa pada tahun 2025, populasi dunia untuk orang-orang berusia 60 tahun lebih akan meningkat dua kali lipat, yaitu dari 542 juta di tahun 1995 menjadi 1,2 milyar di tahun 2025. Di negara berkembang pun, jumlahnya akan berganda menjadi 850 juta, dan Indonesia jumlah lansia diramalkan akan mengalami peningkatan empat kali lipat di tahun 2025 itu. Di seluruh dunia, 1 juta orang mencapai usia 60 tahun tiap bulannya, dan 80%-nya adalah di negara-negara berkembang. Perempuan, hampir di seluruh negara baik negara kaya maupun miskin, berusia hidup lebih panjang daripada laki-laki. Namun, di negara berkembang, kesenjangan usia hidup ini dipersempit oleh tingkat kematian ibu yang tinggi dan epidemi penyakit seperti AIDS.
Di negara-negara berkembang, usia lanjut sering dikaitkan dengan waktu di saat penurunan kondisi fisik membuat orang-orang berusia lanjut ini tidak mampu lagi melakukan peran atau tugas-tugas keluarga. Sehingga, walaupun baru di usia 50 tahun, bila seseorang tidak mampu lagi berfungsi maksimal dan produktif, dia sudah dianggap sebagai manula.
Komnas Lanjut Usia (2009) menyatakan, persoalan yang mendesak dari penduduk lanjut usia, adalah adanya lanjut usia yang miskin telantar, cacat, dan mengalami tindak kekerasan. Pada 1991, jumlah lansia terlantar diperkirakan 1.811.484 jiwa. Padahal, daya tampung Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW) masih relatif kecil.
Kesedihan, Kedukaan yang Kompleks dan Depresi
Ketika kita beranjak lanjut usia, ternyata banyak, banyaaaak sekali perubahan yang akan harus dihadapi, dan bisa dibilang pada faktanya sebagian besar perubahan itu tidak menyenangkan untuk dijalani. Secara psikologis, kesedihan dan depresi adalah sebagian di antaranya, terutama jika tidak ada atau hanya sedikit orang yang peduli pada kita.
Semakin bertambah usia, semakin banyak peristiwa kehilangan terjadi dalam hidup kita. Dan kehilangan adalah perasaan yang menyakitkan. Kita berduka dan bersedih karenanya. Berduka atas kehilangan-kehilangan ini adalah wajar, bahkan bila berduka memakan waktu berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Yah oke, kita akan lebih sering terlihat murung dan sedih, tapi dalam kewajaran lansia, bahkan dalam keadaan sedih pun, kita masih mungkin tertawa ketika mendengar atau melihat humor yang lucu, mengalami perasaan bersinar ketika menerima pelukan, dan menghayati secara tulus keindahan matahari tenggelam. Bersedih adalah seperti sebuah roller-coaster, yang masih menjalani banyak ragam emosi, hari-hari baik dan hari-hari buruk. Meski bersedih, kita masih bisa menikmati saat-saat senang atau bahagia.
Nah, ada lagi yang namanya kedukaan yang kompleks/rumit (complicated grief). Biasanya kedukaan ini disebabkan seseorang yang disayangi pergi/meninggal, dan meninggalkan rasa sakit berkepanjangan bagi yang ditinggalkan sehingga mencegahnya kembali hidup seperti sedia kala. Orang yang ditinggalkan tersebut sulit menerima fakta kepergian orang yang dicintainya (meski kejadiannya sudah lama berlalu). Pikirannya dipenuhi dengan bayangan dan kerinduannya akan orang yang disayanginya tersebut, sehingga mengganggu pada keseharian dan hubungannya dengan orang lain. Bahkan dia mungkin menyangkal bahwa orang tersebut sudah pergi/meninggal, masih membayangkan dia masih hidup dan mencari-carinya di tempat-tempat yang akrab/familier, atau mungkin juga menghindari barang-barang yang mengingatkannya pada orang terkasih tersebut. Dia akan sangat merasa marah atau pahit dengan peristiwa kehilangan tersebut dan merasa hidupnya hampa dan tak bermakna.
Kehilangan semua harapan dan rasa senang dalam hidup, itu tidaklah wajar. Kalau sampai begitu, katanya, kita sudah berada dalam kondisi depresi. Depresi adalah perasaan kosong dan tak berpengharapan yang konstan. Penyebabnya: rasa kesepian dan keterasingan, hidup sendirian, peristiwa kematian (kematian teman, anggota keluarga, pasangan hidup dan bahkan kematian hewan peliharaan) atau perpindahan, mobilitas yang menurun karena penyakit atau tidak mampu melakukan perjalanan lagi, yang adalah sebagian faktor yang membuat lingkar sosial lansia menciut. Pensiun dari pekerjaan atau kondisi fisik yang tidak memungkinkan lagi aktif di pekerjaan seperti dulu, membuat seorang lansia dibebani perasaan tidak berguna dan tak bermakna. Dihantui oleh rasa ketakutan: takut mati, takut menderita sekarat, atau cemas akan masalah keuangan dan kesehatan. Banyak orang lanjut usia yang mengalami depresi mengungkapkan bahwa mereka tidak merasa sedih sama sekali. Kalau ini namanya depresi tanpa kesedihan.
Bendera merah untuk tanda-tanda bahwa seorang lansia sedang mengalami depresi adalah bila mengalami lebih dari satu tanda di bawah ini, dan makin buruk dengan tanda yang makin bertambah:
|
Depresi, akan memperparah kondisi fisik yang sudah menurun di tahapan usia ini, seperti semangat hidup, nafsu makan, pola tidur, minat di pekerjaan, hobi dan hubungan dengan orang lain. Juga turut merecoki daya memori, konsentrasi dan daya pikir. Depresi bisa terjadi pada siapa pun, tak peduli seberapa banyak dan hebat capaian kita sebelumnya di dalam hidup.
Bagaimanapun, katanya, depresi bukanlah sesuatu yang semestinya wajar maupun harus menjadi bagian dari proses penuaan. Bila berhasil ditangani, kita tetap bisa menjalani masa tua dengan perasaan yang lebih baik, dan sekali lagi tahun-tahun keemasan bisa kita genggam apa pun tantangan yang datang.
Demensia
Demensia adalah kumpulan gejala-gejala: kehilangan daya ingat, perubahan kepribadian, dan gangguan fungsi intelektual akibat penyakit ini atau trauma pada otak. Perubahan-perubahan tersebut cukup buruk sehingga mempengaruhi keseharian kita, kemandirian dan hubungan kita dengan orang-orang lain. Perubahan bisa terjadi perlahan-bertahap, atau tiba-tiba. Ngomong-ngomong, demensia bukanlah bagian wajar dari penuaan, yang artinya, perlu penanganan dan perawatan khusus.
Tanda-tanda khusus demensia:
- kehilangan daya ingat
- gangguan pada kemampuan membuat penilaian dan keputusan
- kesulitan dalam pemikiran abstrak
- penalaran yang keliru
- perilaku tidak sewajarnya
- hilangnya ketrampilan berkomunikasi
- disorientasi waktu dan tempat
- masalah keseimbangan, berjalan, motorik.
- mengabaikan keselamatan dan perawatan diri
- halusinasi, paranoid dan gugup/gaduh-gelisah
Kita mungkin akan mengenali orang dengan demensia dengan perilaku:
- menanyakan hal yang sama berkali-kali
- tersesat atau mengalami disorientasi di tempat-tempat yang sudah dikenal/akrab
- tidak mampu mengikuti petunjuk-petunjuk
- disorientasi tanggal dan jam
- tidak mengenali atau bingung melihat orang-orang yang sudah dikenal/akrab
- mengalami kesulitan melakukan rutinitas harian
- mengabaikan perawatan, kesehatan dan nutrisi untuk diri sendiri
Kita seringkali akan mengingat lansia seperti ini sebagai orang tua yang pikun, yang kembali bertingkah seperti anak kecil, keras kepala, harus diurus sampai hal-hal paling kecil, cerewet dan suka mutung, sering tersesat di lingkungan rumah sendiri dan sering bicara tentang keinginan untuk mati. Bila demensia dikenali gejalanya sejak awal dan ditangani dengan baik, maka beberapa jenis demensia bisa diperbaiki, dihentikan, atau diperlambat. Tipe demensia yang paling umum adalah alzheimer dan vascular dementia. Sedangkan jenis yang lebih jarang ditemukan adalah: penyakit picks (picks disease), Creutzfeldt-Jakob disease, Huntington, Parkinson, dan Lewy Body disease.
Tapi tunggu dulu, bukan semua tanda kemunduran fungsi mental serta-merta kita label demensia. Kalau pada penurunan biasa/normal karena penuaan, biasanya orang tersebut mengeluhkan lupa tapi masih bisa mengatakan contoh-contoh hal yang dilupakannya, misalnya: “Di mana ya saya taruh sapu tadi? Saya kok lupa.” Sedangkan pada kasus demensia, orang itu akan mengeluhkan lupa hanya jika ditanya, dan tidak mampu mengingat kejadian khususnya. “Apa? Sapu? Nnnggg, taruh di mana?” Pada penuaan yang biasa, si lansia mungkin harus diam/berhenti sejenak dulu untuk mengingat arah tapi tidak tersesat di daerah-daerah yang sudah dikenalnya/akrab dengannya, sedangkan demensia tersesat dan butuh waktu lama untuk kembali ke rumah. Penuaan biasa masih mampu mengingat kejadian-kejadian penting yang baru-baru ini dan percakapannya tidak mengalami gangguan. Sedangkan pada demensia terlihat jelas penurunan daya ingat akan kejadian baru-baru ini dan di dalam isi percakapannya. Pada penuaan biasa, ketrampilan sosialnya tidak terganggu, sedangkan pada demensia dia kehilangan minat pada kegiatan-kegiatan sosial dan berperilaku tidak wajar di dalam relasi sosial.
Kekerasan dan Salah Perlakuan terhadap Orang Lanjut Usia
Kekerasan pada lansia adalah suatu kondisi ketika seorang lansia mengalami kekerasan oleh orang lain; yang seringkali dalam banyak kasus, berasal dari orang-orang yang mereka percayai. Karenanya, mencegah kekerasan pada lansia dan meningkatkan kesadaran akan hal ini, menjadi suatu tugas yang sulit. Menurut statistik, di Amerika saja, lebih dari dua juta lansia mengalami kekerasan setiap tahunnya. Lebih dari 90% pelaku kekerasan terhadap lansia adalah anggota keluarganya sendiri.
Definisi yang pernah dibuat tentang kekerasan terhadap orang lanjut usia (elder abuse): ‘‘Elder abuse adalah satu atau berulangnya perlakuan, atau kurangnya atau tidak adanya perlakuan yang layak, yang terjadi dalam sebuah relasi sosial di mana dalam relasi tersebut terdapat ekspektasi untuk rasa percaya, yang menyebabkan kerugian atau tekanan psikologis pada orang lanjut usia.’’ Elder abuse dikategorikan ke dalam:
1). Kekerasan fisik – yang menyebabkan rasa sakit atau luka, pemaksaan terhadap fisik, atau tindakan pengendalian/pembatasan disebabkan pemakaian obat-obatan,
2). kekerasan psikologis/emosional dan verbal – yang menyebabkan penderitaan pada jiwa, termasuk kata-kata yang mengancam, merendahkan, mempermalukan, tuduhan palsu, diskriminasi berdasarkan usia, pengasingan dan stigmatisasi.
3). kekerasan keuangan atau material – penggunaan atau eksploitasi yang illegal atau tidak benar terhadap uang atau sumber-sumber daya milik orang lansia,
4). kekerasan seksual – segala macam kontak seksual tanpa persetujuan dari orang lanjut usia,
5). pengabaian – menolak atau gagal memenuhi kewajiban perawatan dan pengasuhan.
Semua jenis kekerasan ini dapat terjadi secara tidak disadari atau disadari dengan maksud memberikan tekanan emosional atau fisik pada orang lanjut usia. Untuk suatu perilaku dikenakan istilah kekerasan, pengabaian, atau eksploitasi, mungkin akan tergantung pada frekuensinya, durasi, tingkat keparahan dan konsekuensinya, dan seringkali dan terutama, adalah konteks budayanya. Sudah tentu, semua jenis perlakuan ini menurunkan kualitas hidup orang lansia yang menjadi korban.
Sedihnya, kekerasan dan salah perlakuan terhadap manula sudah ada sejak jaman dulu sekali dan seringkali tersembunyi dari mata publik, sekedar jadi urusan internal keluarga. Korbannya tetap bisu dan tak berpengharapan, tidak mencari bantuan karena percaya bahwa permintaan tolongnya tidak akan diperhatikan atau takut pelaku akan balas dendam. Bila pelakunya adalah anggota keluarganya sendiri, maka korban tidak melapor karena tidak ingin pelaku menanggung konsekuensi hukum dari perbuatannya. Atau bisa jadi orang lansia tersebut merasa malu mengakui bahwa dirinya jadi korban.
Kita bisa mengenali orang-orang lansia yang mengalami kekerasan dan salah perlakuan dari tanda-tanda berikut:
• rambut tidak disisir dan berantakan
• kondisi kulit atau kesehatan yang buruk
• tak terpelihara atau kotor
• rambut menghilang di bidang-bidang kepala atau kulit kepala berdarah
• kondisi medis yang tidak terawat
• kekurangan gizi atau dehidrasi
• berbau tidak sedap
• pakaian atau baju dalam robek atau ada noda darah
• bekas luka garukan, melepuh, luka terbuka atau luka bekas cubitan
• memar atau bilur yang tidak bisa dia jelaskan
• luka bakar/melepuh karena air panas, rokok atau tali tambang.
• luka-luka yang tidak sesuai dengan penjelasan yang diberikannya
• luka-luka yang menyerupai gambar sebuah objek, misalnya: sabuk pinggang, kabel/kawat atau tangan.
Tanda-tanda yang bisa kita lihat dari perilakunya:
- menarik diri
- terlihat bingung atau lupa yang parah
- depresi
- tak berdaya atau marah
- enggan bicara dengan bebas
- takut
- sembunyi-sembunyi/menyembunyikan sesuatu
Pelaku kekerasan terhadap lansia akan lebih senang kalau korbannya terasing dari dunia luar. Orang lansia akan dibuat, dimanipulasi untuk tidak percaya kepada orang lain (teman, dokter, bahkan anggota keluarga yang lain) selain kepada pelaku. Dengan keterasingan seperti itu, orang lansia menjadi mangsa empuk pelaku kekerasan. Si lansia akan tidak diijinkan bicara dengan orang lain bila tanpa kehadiran si pelaku di dekatnya. Jangan lupa, bahwa pelaku kekerasan pada lansia bisa saja keluarganya atau pengasuhnya sendiri. Dengan pelaku yang dekat seperti itu, orang lansia senantiasa berada di bawah pengawasan si pelaku.
Khusus tentang elder abuse yang bersifat finansial (financial elder abuse), kekerasan jenis ini berisi tindakan mencuri, menggelapkan uang atau bentuk properti lain milik orang lansia. Dari tindakan kecil seperti mengambil uang dari dompetnya sampai yang manipulasi tingkat tinggi seperti membuat orang lansia menyerahkan harta bendanya pada pelaku. Betapa menghancurkannya kekerasan jenis ini karena dalam sekejap mata harta orang lansia dapat lenyap, dan si lansia ditinggalkan dalam keadaan tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan takut akan ketidakpastian hari esok.
Coba lihat tanda-tanda lansia yang mengalami kekerasan finansial:
- Aktivitas rekening bank yang di luar kebiasaan, seperti penarikan dari ATM, padahal si lansia pemilik rekening tidak bisa pergi ke bank.
- Tandatangan pada cek atau dokumen-dokumen lain yang tidak cocok dengan tandatangan si orang lansia.
- Cek atau dokumen lain ditandatangan si orang lansia padahal dia tidak bisa menulis atau tidak memahami apa yang dia tandatangani.
- Berbagai bayaran/iuran yang tak terbayar padahal seseorang sudah ditugaskan untuk melakukan pembayarannya.
- Adanya perubahan dalam pola pembelanjaan uang, seperti barang-barang yang dibeli yang tidak dibutuhkan dan tidak dapat digunakan oleh orang lansia tersebut.
- Munculnya orang baru/orang asing yang mulai menjalin hubungan dekat dengan orang lansia dan menawarkan untuk mengelola keuangan dan aset si orang lansia.
Bentuk paling luas dari financial elder abuse, dari banyak ragamnya, adalah telemarketing (pemasaran melalui telpon), pencurian identitas, pinjaman uang yang mencekik, jasa perbaikan rumah, penipuan rencana investasi tanah/rumah dan pengendalian/pemerasan dana pensiun milik orang lansia. Bahkan orang lansia yang dipaksa untuk mengurus cucu-cucunya termasuk dalam kekerasan jenis finansial.
Pelaku selain anggota keluarga, juga adalah pemerintah, yang dinamakan kekerasan oleh sistem. Misalnya: perlakuan terhadap lansia yang tidak manusiawi di layanan-layanan milik pemerintah (rumah sakit, kantor pensiun, dll) dan marginalisasi oleh pemerintah, misalnya dengan tidak menyediakan fasilitas-fasilitas umum yang ramah untuk orang lansia. Lembaga swasta pun, misalnya rumah sakit swasta, dapat menjadi pelaku kekerasan. Contoh perilaku mereka adalah: tidak memberikan perawatan medis tertentu tapi menagih bayarannya, tagihan berlebihan atau tagihan ganda untuk suatu perawatan yang diberikan, merekomendasikan penyembuhan dengan cara licik/curang, pengobatan berlebihan atau pengobatan di bawah standar, dst.
Kekerasan terhadap orang lansia yang berbasis budaya, paling umum disebabkan malahan oleh pandangan keluarga/masyarakat yang beralasan perlindungan dan kepedulian. Mengambil alih peran lansia sebagai kepala keluarga, menahan otoritas mereka, akan membuat mereka merasa diperlakukan seperti anak-anak sehingga mereka merasa diasingkan, tertekan dan patah semangat. Di beberapa masyarakat adat, janda-janda lansia ditinggalkan sebatang kara dan harta bendanya dirampas. Praktek kejam seperti kekerasan seksual, janda tidak beranak yang dipaksa menikahi adik/kakak almarhum suami karena peraturan adat, lansia dipaksa keluar dari rumah/diusir, terjadi di belahan benua Afrika dan India. Di tempat-tempat lain, tuduhan ilmu sihir/guna-guna dilemparkan kepada lansia perempuan yang hidup menyendiri ketika ada kejadian-kejadian buruk dalam masyarakat yang tak dapat dipahami oleh logika masyarakat, seperti gagal panen, wabah penyakit, kecelakaan atau kematian. Tuduhan sihir/guna-guna ini menjadi penyebab banyak kasus pengusiran lansia perempuan di daerah gurun Afrika dan Tanzania. Semua ini tidak dianggap tindak kekerasan dalam konteks budaya bersangkutan.
Mengapa Terjadi Kekerasan pada Lansia?
Tidak ada satu penjelasan khusus untuk penyebab kejadian kekerasan pada lansia. Masalah ini adalah kompleks dan berasal dari beberapa penyebab. Tiga faktor besarnya adalah situasi dalam keluarga, permasalahan pengasuh dan permasalahan budaya.
Situasi dalam keluarga yang menyumbang pada kekerasan terhadap lansia adalah perselisihan dalam keluarga yang diciptakan oleh keberadaan orang lansia di situ. Situasi lainnya adalah sejarah kekerasan dalam keluarga tersebut; apakah orang-orang di dalamnya biasa mempraktekkan kekerasan. Jika lansia perempuan sudah menjadi korban kekerasan selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya dalam kehidupan pernikahannya, misalnya, kecil kemungkinan dia akan melaporkan kekerasan yang masih dialaminya di usia lanjutnya. Seorang anak yang dulunya menjadi korban kekerasan dan pengabaian dari orang tuanya, pada saat dia dewasa, bisa jadi, walaupun tidak semua, membalasnya dengan memperlakukan orang tuanya yang sudah lanjut usia dengan kekerasan dan pengabaian pula. Keluarga yang memiliki sumber daya terbatas dan kompleksitas permasalahan, akan menganggap kehadiran lansia di dalam rumah sebagai beban tambahan yang tak tertanggungkan, apalagi jika lansia tersebut berada dalam kondisi lemah dan punya disabilitas tertentu. Semakin permasalahan, tekanan dan perselisihan di rumah memuncak, orang lansia di dalamnya semakin rentan menjadi sasaran tindak kekerasan.
Kondisi psikologis dan masalah pribadi orang yang diserahi tugas mengurus lansia juga berpengaruh, ketika si pengasuh merasa terbeban, terperangkap, frustrasi, dan mulai memperlakukan lansia dengan kekerasan dan pengabaian, dan/atau si pengasuh sekedar tidak punya pengetahuan memadai mengenai masalah dan kebutuhan lansia. Lansia dengan kondisi medis dan klinis tertentu pastinya juga akan membutuhkan perawatan dan pengasuhan khusus. Ketidaktahuan akan membuat si pengasuh bingung, marah, putus asa dan hilang kesabaran menghadapi orang lansia tersebut dan menguatkan faktor resiko tindak kekerasan dan pengabaian terhadap lansia. Bila si pengasuh secara finansial tergantung pada orang lansia, orang lansia beresiko menjadi sasaran kekerasan finansial. Atau kebalikannya, maka orang lansia beresiko dianggap sebagai beban, tidak disukai dan menerima perlakuan kekerasan. Pengasuh yang punya masalah ketergantungan obat dan alkohol lebih cenderung memperlakukan lansia yang diasuhnya dengan kekerasan, dibanding pengasuh yang tidak punya masalah dengan alkohol dan obat-obatan. Pengasuh dengan masalah emosional dan kepribadian juga cenderung tidak mampu mengendalikan perilakunya terhadap lansia yang diasuhnya, di saat-saat pengasuh tersebut sedang berada dalam kondisi emosional dan kepribadian yang buruk/bermasalah.
Faktor budaya seringkali membuat tindak kekerasan terhadap lansia jadi tidak terdeteksi dan tak tertangani. Merendahkan nilai lansia dan kurangnya penghargaan terhadap lansia, kepercayaan masyarakat bahwa apa yang terjadi di dalam rumah adalah urusan rumah tangga itu (bukan urusan masyarakat), adalah penyumbang paling umum kekerasan terhadap lansia yang dilakukan oleh budaya dan masyarakat. Nilai-nilai agama, adat dan etika sosial kadang mengijinkan salah perlakuan terhadap seorang anggota keluarga, terutama perempuan. Di sinilah kekerasan terhadap lansia berbasis jender kerap terjadi. Pelakunya serta orang-orang yang turut berpartisipasi dalam pelanggengan kekerasan terhadap lansia perempuan tidak merasa bahwa mereka sedang melakukan kekerasan.
Di luar ketiga faktor tersebut (situasi keluarga, permasalahan pengasuh dan permasalahan budaya), pemerintah pun, sekali lagi ikut menjadi faktor penyebab kekerasan terhadap lansia terus berlangsung dan tak tertangani. Faktor budaya berperan terhadap pandangan yang dianut pemerintah bahwa orang lansia adalah orang-orang yang lemah, tidak berharga dan tergantung pada orang lain, membuat golongan lansia menjadi kelompok yang tak terlindungi dan sebagai target empuk yang siap dieksploitasi.
Trend yang berkembang sekarang ini adalah menaruh orang lansia di tempat-tempat khusus pengasuhan lansia seperti panti jompo. Di beberapa negara, lembaga perawatan lansia secara cepat semakin sering menggantikan peran pengasuhan lansia oleh keluarga sendiri. Banyak dari kita sudah mengetahui, bahwa menaruh lansia di sana tidak menjamin perlakuan yang manusiawi kepada lansia dan tidak menjamin peningkatan kualitas hidup lansia, apalagi kebahagiaannya. Dilematisnya, seringkali orang lansia lebih sering mengalami kekerasan dan pengabaian di rumah keluarganya sendiri daripada di luar rumah.
Kematian orang lansia, baik di tempat-tempat perawatan khusus lansia maupun di dalam masyarakat, seringkali dikatakan penyebabnya adalah alami, kecelakaan atau tidak diketahui. Pada kenyataannya, kematian orang lansia banyak disebabkan oleh perilaku kekerasan dan pengabaian terhadap dirinya.
**************************
Phiiiuuuuhhh… Berat ya jadi orang lansia itu. Walau katanya surga di telapak kaki ibu dan orang tua harus dihargai dan dijunjung tinggi, hah, siapa yang tahu mereka menerima perlakuan seperti apa di rumah? Belum lagi dihadapkan kemungkinan menurunnya kondisi fisik, mental dan kognisi. Sepuluh tahun berada dalam kondisi seperti itu? Sanggupkah?
Aku menulis ini selain untuk menyiapkan masa senjaku, juga karena seorang teman pernah meminta aku menulis tentang orang lansia dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi mereka. Tujuannya, menyiapkan masa lansia dan agar keluarga dan masyarakat bisa lebih berempati pada orang lansia. Sebenarnya serial menuai senja yang membahas lansia ini lompat dari urutan semestinya. Namun, aku merasa saat ini aku harus menulis tentang lansia dulu. Selamat menyiapkan masa tua.
AKB, 9 Desember 2011
Sondang Sidabutar
Bacaan:
…Abuse of the Elderly Ch.5…
http://www.aarp.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar