Seorang teman lewat pesan di HP bertanya dinamakan apa jalan hidup aku sekarang ini. Aku berpikir sebentar dan memberikan jawaban memakai istilah yang mulai populer saat ini. Kubilang, ada yang menamakannya slow-living, ada yang menamakannya sustainable living. Beberapa hari kemudian dia bertanya lagi, tantangan apa yang dihadapi dengan hidup slow-living. Daripada menjelaskan dengan potongan-potongan jawaban singkat, aku memilih menulisnya di sini saja. Lagipula, sudah lama juga aku tidak menulis.
Sejujurnya, aku tidak berminat memakai label apa pun untuk pilihan hidup yang kujalani sekarang ini. Menurutku, label mengikat seseorang untuk tetap di dalam rentang definisi label tersebut, bila dia bersedia menyandangnya. Label juga terikat dengan waktu. Slow-living yang mulai populer sekarang mungkin sebenarnya juga dipraktekkan di jaman dulu, tapi label itu tidak dipakai di jaman dulu. Slow-living di jaman ini mungkin tidak lagi bisa dipakai di masa depan karena satu atau lain hal. Orang-orang juga bisa berjarak, terpecah belah atau malah bertikai karena label. Untukku, label cukup sejauh yang ada di KTP dan KK saja, di luar itu, tidak perlu. Bahkan label agama di KTP pun sebenarnya juga tidak perlu-perlu amat, kan? Kolom pekerjaan pun juga terus terang aku sering bingung mau isi tulisan apa. Karena hidupku cair dan kompleks.
Tapi bolehlah saat ini aku ingin mencoba menempatkan sebagian hidup dan diriku di rentang definisi slow-living. Apa itu slow-living? Aku akan menjabarkannya menurut penghayatan pribadiku. Orang lain bisa punya penghayatan berbeda, which is okay. Orang lain mungkin tidak setuju denganku, aku tidak ambil pusing. Aku tidak berminat bertengkar karena definisi dan penghayatan berbeda. Menurutku, slow-living adalah pilihan hidup seseorang di mana dia (atau aku, dalam hal ini) menolak hidup diseragamkan dalam ‘ketergesaan’, karena melihat ketergesaan itu mempunyai konsekuensi yang agresif, konsumtif dan destruktif. Slow-living, selain dilihat dalam rangka perilaku mengkonsumsi, menurutku, semestinya juga dipakai dalam rangka perilaku kita memproduksi atau menciptakan sesuatu. Slow-living juga bisa diterapkan di berbagai aspek kehidupan kita.
Kita tergesa karena ada sesuatu yang ingin kita dapatkan atau selesaikan dengan segera. Apa yang kita lakukan ketika kita tergesa-gesa? Kita tidak lagi sensitif dengan yang ada di dalam diri sendiri maupun apa pun yang di luar kita. Kita tidak punya waktu untuk membaca tanda-tanda yang penting, apalagi mencoba memahaminya. Tanda-tanda yang kita bersedia dan bisa baca adalah yang sesuai dengan ketergesaan itu sendiri. Bagaimana menghasilkan uang banyak dengan cepat, bagaimana makan enak tanpa harus tahu dari mana semua bahan itu datang, bagaimana caranya semua timbunan sampah di rumah secepatnya dienyahkan dari rumah tanpa harus mengolahnya lagi, bagaimana memastikan semua produk yang kita pakai di dalam rumah bisa cepat kita beli di toko, bagaimana petani bisa bercocok tanam dengan hasil panen yang cepat dan banyak, dll. Di luar pilihan-pilihan itu, orang menganggap hanya akan bikin hidupnya ribet saja. Tidak ada uang, enerji dan waktu untuk ribet.
Menurutku, gerakan slow-living mulai muncul karena mereka resah melihat jaman yang makin tergesa, seragam, konsumtif dan destruktif ini. Bayangkan jaman dulu ketika mesin belum ditemukan. Belum ada komputer, sosial media yang nyandu, mass-scale industries, kimia sintetis berbahaya, dll. Menurutku, di jaman seperti itu bisa dibilang orang-orang hidup dengan slow-living dalam versi paling murni. Tapi waktu itu belum ada label slow-living. Manusia bekerja dengan alat-alat sederhana, memproduksi sendiri apa yang dikonsumsinya, memakai bahan-bahan dan peralatan dari alam, dan hidup yang harmonis dengan dipandu alam semesta. Mereka juga belum punya pilihan untuk hidup lebih modern. Mereka akan dicap orang ketinggalan jaman kalau masih hidup seperti itu di jaman ini. Kalau mereka mengecap teknologi modern, bisa jadi mereka tidak lagi memilih hidup yang slow-living.
Ironisnya, sebagian orang memandang bahwa slow-living di jaman ini adalah gaya hidup eksklusif orang yang sudah kaya dan mapan, yang punya rumah dan lahan bercocok tanam, yang pikirannya nyentrik, dan mungkin memilih menarik diri dari masyarakat karena mau-maunya hidup di tempat terpencil, misalnya. Banyak orang berpandangan bahwa slow-living adalah pilihan ekstrim yang menuntut perubahan yang drastis dan sumber daya yang besar. Pandangan seperti ini muncul, menurutku, sebagiannya karena dosa si ‘label’ itu.
Kalau aku boleh berpendapat untuk orang lain, perubahan atau pilihan sadar sekecil apa pun yang dilakukan untuk tidak tergesa-gesa, yang mengurangi perilaku konsumtif dan dampak destruktif, maka perubahan atau perilaku tersebut sudah bisa disebut sebagai upaya slow-living. Kita bisa mulai bertanya setiap kali mau membuat pilihan atau mengambil keputusan, apakah pilihan atau keputusan tersebut konsumtif dan destruktif? Kalau iya, bisakah kita melakukan sesuatu untuk mengurangi kadar konsumtif dan destruktifnya? Kalau produk yang kita makan atau pakai mengandung zat kimia berbahaya bagi diri sendiri maupun lingkungan, misalnya, bisakah kita mengurangi pemakaiannya? Atau yang lebih baik lagi, bisakah kita membuat sendiri tanpa memakai bahan kimia berbahaya? Jika saat ini terlalu sulit untuk memproduksinya sendiri, bisakah kita memastikan bahwa kita membeli dari mereka yang memproduksinya tanpa memakai bahan kimia berbahaya? Kalau setiap mau bepergian harus pakai kendaraan bermotor pribadi, bisakah kita memulai memakai sepeda, atau jalan kaki, atau kendaraan umum, misalnya? Jejak karbon yang kita hasilkan juga mempunyai dampak destruktif. Perilaku mendaur ulang sampah, mengurangi kemasan sekali pakai, mengurangi pemakaian plastik, menurutku juga merupakan upaya slow-living. Bahkan sekedar mengunyah makanan lebih perlahan pun, adalah upaya slow-living. Jadi, apakah harus menunggu jadi kaya dan mapan dan punya lahan bercocok tanam sendiri dulu?
Selain bersinggungan dengan isu lingkungan, menurutku slow-living juga bisa saja bersinggungan dengan isu lain, seperti misalnya perkembangan kepribadian dan keterhubungan kita dengan orang lain atau makhluk lain. Sewaktu kita tergesa, kita menjadi kompetitif. Dalam kompetisi ada yang menang dan ada yang kalah. Jika perlu, kita menghancurkan atau mencederai orang lain agar kita menang. Ketergesaan juga cenderung menggiring kita ke kehidupan yang superfisial, yang cetek. Untuk menjadi “dalam”, kita butuh berproses lebih reflektif dan meditatif. Di jaman internet dan sosial media seperti sekarang ini, mendapatkan “like” secepatnya dan sebanyaknya menjadi tolok ukur keberhasilan kehidupan sosial. Kita haus mengkonsumsi validasi dan mengejar jumlahnya, kita sibuk mempercantik ‘kemasan’ yang ternyata kosong dan hampa makna.
Bagaimana bentuk upaya slow-living dalam konteks relasi sosial? Aku rasa mulai dengan yang sederhana saja dulu: awalnya adalah membangun relasi sosial bermakna dengan orang-orang terdekat. Dalam kasus-kasus tertentu, jika hal itu sulit dilakukan, maka kita bisa juga memilih bergabung dengan komunitas kecil yang di dalamnya memungkinkan kita untuk membangun relasi yang bermakna. Atau jika kita mengambil pilihan-pilihan lain yang intinya membuka kesempatan untuk menjalin relasi yang bermakna, maka menurutku itu adalah upaya slow-living. Tapi jangan salah, relasi bukan hanya antar manusia saja. Relasi bisa juga dengan alam sekitar kita, dengan hewan, dengan tanaman, dengan entitas-entitas lainnya. Bahkan juga dengan yang kita sebut Tuhan. Coba kita lihat, ritual-ritual keagamaan yang ada sekarang ini, apakah masih mencerminkan kedalaman relasi manusia dengan Tuhan mereka?
Untuk hidupku sendiri, seingatku, upaya-upaya slow-living sebenarnya sudah sejak lama aku lakukan. Bersepeda, jalan kaki, masak sendiri atau membantu orang lain memasak, berkebun walau tidak punya lahan sendiri, mendaur ulang sampah, memilih lingkaran pertemanan yang kecil, menghemat listrik dan air, dan seterusnya, dulu aku lakukan bukan karena mengejar label slow-living, karena toh waktu itu juga belum ada label tersebut. Upaya-upaya itu kulakukan karena perjalanan mencari makna hidup, selain karena aku merasa cocok dan senang melakukannya.
Kembali ke pertanyaan temanku tadi, apa tantangan hidup slow-living bagiku? Tantangannya berasal dari diri sendiri dan dari luar diri. Siapa pun yang memilih hidup melawan arus, berpotensi berkonflik dengan orang lain dan sering dianggap aneh dan tidak mudah dipahami. Dalam kasusku, kuakui aku tidak pandai mengelola konflik, sehingga seringkali aku mudah menyerah jika harus meyakinkan orang lain yang tidak memperlihatkan minatnya. Lagipula, relasi sosial bagiku memang bukan prioritas utama. Sehingga sampai saat ini fokusku adalah menjalani sendiri upaya slow-living untuk hidupku sendiri. Jika ada yang memang berniat berupaya slow-living, barulah aku berbagi, sejauh itu tidak mengancam personal space-ku. Sebab, semakin lama durasi dan semakin intens personal space-ku terlanggar, semakin besar kemungkinan aku korslet lalu error.
Upaya slow-living dengan sendirinya menuntut aku membagi waktu dengan baik, yang merupakan kelemahanku lainnya. Seringkali aku merasa waktu berlalu begitu cepat, sementara banyak hal lain yang juga harus atau ingin kulakukan. Aku punya banyak hobi tapi rasanya saat ini banyak hobi yang hibernasi. Misalnya saja, hobi menulis beberapa tahun belakangan ini sampai aku lupakan karena banyak hal lain yang harus dilakukan. Menjalani slow-living menimbulkan hobi-hobi baru yang membuatku mengesampingkan hobi-hobi lainnya. Mengurus kebun lalu mengolah hasilnya memang menyenangkan, namun cukup memakan waktu.
Upaya slow-living juga membutuhkan kesabaran dan daya tahan, yang masih merupakan ujian bagiku, karena aku orang yang mudah bosan. Untuk sesuatu yang membutuhkan proses yang lama, kadang aku melupakannya dan beralih ke hal-hal lain. I simply suck at routines. Selain itu, jika upaya slow-living tertentu belum memantap, maka bisa saja aku tergoda dan melenceng, misalnya konsumsi makanan tidak sehat. Bagaimanapun, makan mie instan pedas panas-panas di malam yang dingin setelah hari yang stressful masih terasa sangat sedap. Aku juga belum bisa melepaskan makanan dan minuman manis. Minum kopi pahit bagiku seperti hukuman. Sama sekali tidak nikmat.
Upaya slow-living ada yang low-cost, ada yang high-cost. Makanan organik yang etis lingkungan, selain dari yang kita tanam sendiri, dominan masih mahal di negara kita ini. Solar pannel butuh biaya yang tidak sedikit. Mau mendaur ulang limbah air rumah tangga? Harus bikin waste water management yang menurutku tidak sederhana dan lama prosesnya. Mau menghidupkan lagi tanah bekas sawah konvensional? Butuh waktu bertahun-tahun. Hidup di tengah subak yang dikelilingi sawah-sawah tetangga yang semuanya pakai kimia? Wah... tidak bisa berharap banyak.
Itu hanya sebagian saja dari semua tantangan yang ada. Tantanganku akan berbeda dengan tantangan yang dihadapi orang lain. Kepribadian berbeda bisa menghasilkan tantangan yang berbeda pula. Kondisi lingkungan berbeda juga menghasilkan tantangan yang berbeda. Sejauh mana dan sedalam apa penghayatan seseorang menjalani slow-living juga akan menghasilkan tantangan yang berbeda. Yang terlihat dari keseharian seseorang ber-slow-living, menurutku hanyalah the tip of the iceberg. Di bawah tip of the iceberg itu, ada perjalanan dan proses panjang, ada perenungan dan pengambilan keputusan yang selalu harus dilakukan, ada persimpangan-persimpangan yang harus dipilih.
Maaf ya teman, kalau jawaban dari pertanyaanmu ternyata tidak sesederhana yang kamu harapkan. Namanya juga slow-living, harus dicerna pelan-pelan dan secara seksama. Tapi yang terpenting: dilakukan, sesuai dengan kemauan, kemampuan, dan kesempatan yang ada. Tentunya setiap orang akan berbeda. Selamat berupaya slow-living. Peace, ah.
Tambug, 2 Desember 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar