MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN
Berbagi Cermin Hidup...
Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.
Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.
Kamis, 03 November 2011
‘PERSONAL ME’, ‘SOCIAL ME’ (AKU-PERSONAL, AKU-SOSIAL)
Ini aku. Ada ‘Aku Sosial’. Ada ‘Aku Personal’. Yang mana yang kau pikir kau ketahui tentang aku? Yang mana yang kau pikir kau lebih sukai tentang aku? Aku yang mana yang kau sanggup hadapi?
Mungkin kau lebih menyukai ‘Aku Sosial’, “Social Me”, karena untuk kalian-lah Aku-Sosial dimaksudkan. Karena orang-orang di luar sana banyak sekali macam dan maunya, maka Aku-Sosial semestinya dapat jauh lebih luwes dibanding Aku-Personal. Rupaku, gerak-gerikku, cakapku, waktuku, materi yang kumiliki, adalah untukmu. Sebagai imbalan, aku mungkin akan menuntut Aku-Sosial-mu untukku juga. Mungkin juga tidak. Tergantung apakah aku berpamrih dan seberapa besar aku merasa perlu berpamrih padamu. Karena bukankah kita adalah makhluk sosial yang perlu melakukan transaksi sosial?
Lalu, mengenai Aku-Personal. Biarpun dia lebih bermuka-tunggal daripada Aku-Sosial, aku harus mengakui, bahwa dalam kasusku, dia malah seringkali lebih rumit dipahami dan didekati. Aku harus mencoba memahami dulu, baru bisa mendekati. Aku yang ini lebih keras kepala, punya indera yang sangat tajam dan sensitif untuk mencium niat-niatku. Tapi, akhh, dia tak malu-malu dan sangat jujur; begitu jujurnya sampai seringkali terasa begitu menyakitkan. Alamnya juga dalam. Katanya: siapa yang bisa mengukur dalamnya hati?
Seorang teman pernah bertanya padaku, tepatnya bingung, bagaimana membedakan antara hati nurani dan moral. Setelah direnungi, aku beranggapan bahwa moral lebih banyak dimaksudkan untuk Aku-Sosial dan hati nurani lebih untuk Aku-Personal. Menurutku, jauh lebih mudah mengetahui apa yang dituntut secara moral daripada yang dituntut oleh hati nurani. Untuk mengetahui hati nuraniku, aku seringkali harus meluangkan waktu-waktu khusus untuk merenung. Hati nurani bersifat sangat personal dan hanya bisa dicari oleh si pemiliknya sendiri. Sedangkan nilai-nilai moral sudah sejak lama ada dan beredar di luar sana, diketahui oleh banyak orang.
Kalau Aku-Sosial seringkali berbeda, bahkan bertentangan dengan Aku-Personal, apakah kemudian moral juga jadinya berbeda bahkan bertentangan dengan hati nurani? Pernahkah kau mengalami konflik di dalam dirimu karena yang dua itu berbeda kutub? Lucunya, kadang-kadang aku bisa menangkap gelagat Aku-Sosialku mencoba membohongi Aku-Personalku. Lalu aku akan tertawa dan bertanya pada diriku sendiri: Siapa yang kau coba bohongi, Sondang?
Ada lagi yang namanya insting atau naluri; yang menurutku adalah bagian dari Aku-Personal yang lebih bersifat kekanak-kanakan, lebih polos alias naif, di tingkatan yang lebih rendah (dibanding hati nurani) dan mendekati naluri hewani – yaitu untuk kepentingan survival. Di antaranya, reaksi-reaksi kedaruratan banyak dipicu oleh insting. Untukku, kurasa insting yang kumiliki berperan menghanguskan rasa bersalah dan penyesalan sehingga aku tidak merasa sempat memilikinya, demi survival-ku. Lalu aku bisa tetap melangkah maju. Hati nurani kemudian memberiku beban tanggung jawab atas perbuatan-perbuatan masa laluku untuk kupilih sebagai tugas ke depan.
Aku ingat satu waktu kebetulan menonton satu sesi dari serial film TV Avatar, agak lupa detil-detilnya, jadi garis besarnya saja. Di sesi tersebut, si Avatar mengalami konflik antara pilihan membunuh Pengendali Api (yang selalu membuat kekacauan di dunia dan berhasil membunuh para pendahulu Avatar) atau tidak membunuhnya, dengan resiko Pengendali Api akan terus berlaku keji pada siapa pun, apa pun. Semua temannya meminta Avatar membunuh Pengendali Api, tapi Avatar tidak pernah mau membunuh.
Lalu Avatar menyepi, pindah ke alam lain, tidak terdeteksi keberadaannya di dunia fisik oleh teman-temannya yang mencarinya. Di situ dia konsultasi dengan roh para pendahulunya, mereka yang pernah memerangi Pengendali Api tapi mati dibunuh. Semua meminta Avatar membunuh musuh yang tak terkalahkan itu, atau Avatar (dan menyusul teman-temannya) yang akan mati terbunuh dan akhirnya dunia akan kacau-balau di bawah kekuasaan Pengendali Api. Salah satu roh pendahulunya meminta Avatar tidak bersikap egois mempertahankan nilai-nilai pribadinya (yaitu tidak membunuh), dan mengorbankan nilai pribadinya untuk keselamatan dunia. Namun Avatar tetap bingung. (Pernahkah kau dituduh egois oleh orang-orang di sekitarmu karena kau ingin mempertahankan pilihan hati nuranimu yang sebenarnya sama sekali tidak egois?)
Setelah Avatar kembali ke alam fisik, dia harus berhadapan dengan Pengendali Api itu. Pertarungan sengit terjadi antara kubu Pengendali Api dan kubu Avatar Cs. Tentu saja, jatah berhadapan dengan Pengendali Api adalah milik Avatar. Penutupnya adalah: Avatar tidak membunuh Pengendali Api, melainkan membiarkannya tetap hidup dengan mengambil semua kekuatan yang dimiliki Pengendali Api hingga dia hidup dalam kelumpuhan.
Yang manakah moral, yang mana hati nurani? Mana Aku-Sosial dan mana Aku-Personal Avatar? Secara moral, sah saja bila Avatar membunuh Pengendali Api, bukan? Bukankah perang selalu boleh meminta korban jiwa, apalagi kalau untuk kepentingan menyelamatkan dunia? Jika Avatar sependapat dengan teman-teman dan roh para pendahulunya (mungkin juga para penonton), dia akan jadi pahlawan mereka jika berhasil membunuh Pengendali Api, bukan? Namun, Avatar tidak ingin jadi pahlawan, nampaknya. Dia sekedar ingin mengikuti hati nuraninya, nilai Aku-Personalnya yang dia terus percayai. Beruntunglah Avatar punya kekuatan maha dahsyat sehingga bisa memenangkan pertempuran dan mencabut kekuatan musuhnya tanpa harus membunuhnya. Bayangkan betapa diberkahinya dunia ini jika kita benar-benar memiliki Avatar.
Menjadi favorit banyak orang, populer, menjadi pahlawan umat manusia, sungguh suatu figur yang menggoda. Menjadi diri yang disukai diri sendiri seringkali menjadi pilihan yang tidak populer. Populer, menurut pahamku, adalah yang menjadi terkenal dan disukai oleh populasi atau sebagian besar populasi. Mengapa moral jadi bertentangan dengan hati nurani?
Kira-kira tujuh bulan yang lalu, aku merasa lelah dan muak menjadi Aku-Sosial dan ingin menjadi Aku-Personal saja. Untungnya, aku bukan jenis orang yang sering memberi janji atau banyak berhutang pada orang-orang lain, sehingga mudah bagiku, tanpa banyak beban, untuk meninggalkan Aku-Sosial menuju ke Aku-Personal. Maksudku, aku bisa saja dengan cepat pergi dari suatu lingkungan sosial ke lingkungan lain di mana aku bisa berada bersama diriku sendiri saja. Yaaah, tentunya pilihan menjadi lajang yang tidak punya rumah, tidak menjadi tulang punggung siapa-siapa, tidak terikat pada pekerjaan dan kewajiban mengejar kestabilan finansial, turut banyak menyumbang untuk pilihan pergi seperti ini. Cukuplah sebuah surat pamit pendek untuk orang-orang tertentu dan mengetahui tempat tujuan serta barang bawaan yang penting-seadanya saja, hitung-hitung sekalian latihan membakar jembatan, aku: Cabut!
(Aku membayangkan diriku seperti seorang perempuan yang hampir telanjang, dengan membawa gitarnya, menyelam ke dalam laut yang gelap untuk menyendiri di situ, bersama semua makhluk kedalaman laut.)
Aku memilih diriku sulit dihubungi orang-orang dengan mematikan handphone, juga jarang cek e-mail. Cukup sedikit saja orang yang tahu ke mana aku pergi dan apa yang kulakukan. Hibernasi sosial. Ah, tidak juga. Aku tetap memilih suatu lingkup sosial kecil, orang-orang yang istimewa bagiku, untuk terlibat di dalamnya, karena ada suatu misi nuraniah. Mereka bahkan tidak menyadari misiku. Ternyata misi ini cukup memakan waktu dan enerji, aku belum menemukan cukup kesempatan untuk merenungi suara-suara hati nuraniku lebih dalam lagi. Jadi, di situlah aku, menggarap misi nurani yang sudah terlebih dahulu kuniatkan namun pada saat bersamaan belum berhasil menemukan suara hati nurani yang lebih segar. Tanpa terasa enam bulan berlalu sudah. Damn, cepatnya waktu berlalu. Sementara waktuku tidak banyak lagi karena beberapa teman sudah aku ijinkan menembus tembok hibernasiku dan mereka meminta bantuan.
Kadang aku menyalakan handphone-ku sejenak, sekedar melihat pesan yang datang. Pesan-pesan yang menanyakan kabar dan keberadaanku tidak pernah kujawab. Demikian pula bila aku sedang cek e-mail. Aku tidak merasa wajib menjawab. Aku menganggap adalah pilihan bagiku untuk menjawab atau tidak. Hai, bukankah dunia di luar sana tetap berputar dan melanjutkan kehidupannya walaupun aku di sini tidak melakukan apa pun untuk dunia? (Aku bukan Avatar.)
Aku masih bertanya-tanya: Mengapa ketika aku melakoni Aku-Sosialku di bidang pekerjaan kemanusiaan, aku sering resah? Mengapa ketika aku memilih untuk tidak melakoni Aku-Sosial, yaitu berada dengan diriku saja, aku merasa lebih tenang? Bukankah aku melakukan pekerjaan kemanusiaan untuk melayani suara hati nuraniku? Lalu, mengapa resah, hatiku? Mengapa orang lain bisa merasakan bahwa mereka sedang melakukan sesuatu yang baik dan benar adanya, merasakan kedamaian, kebahagiaan dan pemenuhan diri di pekerjaan kemanusiaan mereka? Apakah aku sedang melarikan diri dengan mendatangi Aku-Personalku? Tapi mengapa aku merasa nyaman di situ? Kalau melarikan diri, mengapa bisa merasa nyaman? Padahal aku berusaha merawat hati nuraniku. Kalau aku sedang melarikan diri dari hati nuraniku, pasti dia akan menggangguku dan membuatku resah. Atau jangan-jangan menjadi pekerja kemanusiaan bukan pilihan hati nuraniku, melainkan lebih sebagai pilihan moralku? Ataukah caranya yang salah? Atau mimpiku yang mustahil? (Aku sudah tahu kok, bahwa mimpiku itu mustahil.) Atau aku masih ingin menjadi pahlawan, populer dan favorit? Ataukah pilihanku sudah cukup benar namun aku belum melakukannya dengan cukup baik, dengan cukup keras? Bagaimana aku bisa menentukan mana pertanyaan yang tepat dan bagaimana menjawabnya? Aku rasa hanya dengan perenungan dan hati nurani aku bisa mendekati pertanyaan dan jawaban yang kubutuhkan.
Sebenarnya ada lagi pertanyaan-pertanyaan lain. Namun karena menyangkut hidup orang lain, aku tidak berkenan dan tidak punya hak membaginya di sini. Cukuplah dulu sampai di sini. Aku masih mau kembali menyelam, selagi masih ada waktu….
REM, 3 November 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
bagaimana dengan mereka yang dipuja karena dianggap bertahan untuk mendengarkan personal-me nya? lantas menjadi hero juga, seperti avatar.atau gandhi.
BalasHapusartinya, gak musti dibentrokin juga kan? atau dilihat dengan cara terbalik. gara-gara dia populer, lantas dianggap bukan orang yang mendengarkan suara hatinya. sial banget.
just a thought :D
Menjadi populer untuk orang-orang seperti ini adalah konsekuensi tak terhindarkan. Mereka sendiri mungkin tidak menginginkannya.
BalasHapus