Ya. Cengengkah bila ada orang yang datang berkeluh-kesah
padamu bercerita tentang kelelahannya peduli pada orang lain?
Mengurus anggota
keluarga yang sakit berkepanjangan, mencoba mengeluarkan teman atau saudara
dari permasalahan-permasalahannya yang terus mengulang siklus tak berkesudahan,
menjadi pendamai para pihak yang senantiasa bertikai, membantu para korban,
entah itu korban konflik, bencana, kemiskinan atau kekerasan, menjadi pemimpin
bagi suatu kelompok atau suatu komunitas yang menghadapi hantaman arus masa, berdiri
menantang kekalnya ketidakadilan dan kezaliman, dan seterusnya.
Mungkin kau akan berkata, wajar saja orang mengalami
kelelahan kepedulian. Manusia ada batas kemampuannya sendiri-sendiri. Tapi
tunggu dulu, apa yang akan kau lakukan padanya? Kau bilang, “Lihatlah
orang-orang lain yang tidak seberuntung kamu. Beruntunglah kamu masih punya
ini-itu dan masih bisa melakukan itu-ini.” Atau, “Beristirahatlah dulu barang
satu-dua minggu, lalu
kalau kamu siap kamu bisa mulai bekerja lagi.” Kau juga mungkin akan
menambahkan, “Orang-orang yang peduli sepertimu jarang. Janganlah berhenti
peduli, karena banyak yang membutuhkanmu.” Salahkah berkata begitu? Ini bukan soal
salah atau benar.
Dulu
pada awalnya, kau mungkin bersemangat berkekuatan penuh untuk peduli. Apalagi
kalau kau sudah melihat hasil-hasil dari garapan kepedulianmu dan orang mulai
menunjukkan penghargaan atas kerja-kerjamu. Mereka percaya pada kemurnianmu,
ketulusanmu. Kemudian, mereka mulai datang dengan lebih banyak masalah,
meletakkannya di depanmu dan minta dengan hormat dan takzim agar kau
menyelesaikannya. Karena kau adalah pahlawan mereka. Kau orang hebat, orang
yang langka di jaman yang tidak peduli ini. Mereka menganggap mereka bisa
mengandalkanmu.
Lalu
kau mulai merasa kewalahan dengan masalah-masalah yang disodorkan padamu. Bebanmu
terlalu sarat-berlebih. Kau mulai merasa dua puluh empat jam dalam sehari tidak
cukup, kau merasa semestinya kau di-kloning saja biar ada lebih banyak orang
seperti kau untuk mengurus timbunan masalah yang tidak juga berkurang malahan
terus bertambah. Yang satu ini belum selesai, sudah datang yang lain lagi.
Mengurus masalah satu orang saja bisa-bisa enerjimu tersedot habis, apalagi
mengurus perkara umat. Dan kau menjerit dalam hati, “Tuhaaaannn, mengapa Kau
ciptakan begitu banyak masalah di dalam dunia ini?” Menjeritlah keras-keras! Karena
sama saja, Tuhan juga sudah tahu walau kau bungkam jerit hatimu itu. Ya memang,
Tuhan yang Maha Pemurah itu begitu royalnya melimpahkan begitu banyak masalah
di dunia ini. Entah apa pula maksudNya.
Kau
geram melihat orang-orang yang hidup enak-enak saja. Ingin rasanya kau ludahi
dan injak-injak muka mereka yang tersenyum penuh kepuasan dan kenikmatan itu.
Dengan ketidakpercayaan yang takjub engkau menyaksikan bagaimana orang bisa
hidup tenang-tenang di atas penderitaan orang lain dan kepalsuan. Dan kau pun
bertanya-tanya, bertanya-tanya, tanya-tanya tak terjawab. Lalu kau mulai
meneriakkan tanya-tanyamu, tapi dianggap sepi. Kau mencoba mengganggu kesadaran
orang-orang tapi mereka gusar kau ganggu, menyuruhmu tutup mulut. Mereka tetap kembali
menjadi mereka. Tak berubah.
Kau
sangka, kalau manusia masih punya hati nurani, mereka seharusnya resah,
gelisah, tergerak, bertanya-tanya seperti kau bertanya-tanya, berjuang seperti
kau berjuang, membenci seperti engkau membenci, berteriak seperti kau
berteriak. Tapi nyanyimu bisu dan jeritmu sunyi… Di sana mereka berpesta,
bersenang-senang, tak peduli. Engkau menggeleng pelan dan menghela napas
melihat generasi tua yang sedang membuat surga mereka sendiri di dunia dan
generasi muda yang sedang menggali kuburan mereka sendiri.
Lalu
engkau pun mulai merasa muak. Muak dengan segalanya. Tidak percaya pada apa
pun. Bila bertemu dengan orang-orang, sinismu tak tertahan. Mereka menjauhimu,
kau memusuhi mereka. Lalu kau mulai memilih menyendiri. Engkau merasa asing. Dunia
di luar sana terlalu mengecewakan dan menyakitkan bagimu. Kau merasa hampa.
Lemas tak berdaya digerogoti kemarahanmu sendiri. Terbakar habis oleh baramu
sendiri. Tak ada kedamaian. Tidak ada kebahagiaan. Mau lari ke mana kau?
Engkau
mau jalan keluar yang mudah dan cepat? Banyak orang yang menginginkan solusi
mudah dan cepat, barangkali kau salah satu di antaranya. Jalan keluar
paling gampang adalah:
berhentilah peduli. Keluar saja dari pengatasnamaan kepedulian itu. Kalau kau lakukan
itu, kau bukan orang pertama dan kau tidak sendirian. Sudah banyak, bahkan jauh
lebih banyak yang memilih berhenti peduli daripada terus bertahan. Mudah. Remeh. Aku jamin, jauh lebih
mudah mengurus perkara-perkara kecil dan langkahmu akan jauh lebih enteng.
Daripada…
Lihatlah,
bukankah mereka
hidup baik-baik saja? Mereka
terlihat bahagia dan mengejar prestasi, luwes dan toleran, bersih-berkilau dan harum, menawan,
makmur dan terkenal. Hidup
hanya sekali, nikmatilah, kata mereka. Daripada terus bertahan dengan pedulimu, kau nampak
seperti orang pahit yang hidup di jaman yang salah, bersikap keras pada siapa
pun termasuk pada
dirimu
sendiri, kau mudah
tersinggung dan meledak, gosip buruk dan ejekan tentangmu beredar
di seputaran handai-taulanmu. Kau jadi bahan tertawaan. Kalau kau datang mendekat, mereka buang muka
dan menutup telinga mereka karena sudah mengira-ngira kau mau khotbah apa. Ah, betapa
seringkali kau merasa sendirian dan kesepian.
********************
Kira-kira
sudah dua belas tahun aku menjadi penggiat kemanusiaan. Aku tidak tahu apakah
itu sudah terbilang lama atau belum. Awalnya dari keresahan dan kemarahan yang
bibitnya sudah ada sejak aku masih kecil. Siapa yang menaruh bibit itu di situ,
aku tidak tahu. Mungkin darah turunan orang tuaku karena mereka berkutat di
pelayanan umat dan rakyat kecil. Sejak umur muda aku sudah senang menyendiri,
resah dan gusar. Waktu puber, bergaul di lingkaran orang-orang gaul karena
kelihatannya keren dan asyik. Aku orang berbeda di rumah dan di luar rumah. Di
rumah aku adalah anak yang suka memberontak yang berbeda dengan
saudara-saudaraku yang lain, di luar rumah aku menjadi teman yang menyenangkan
dan ‘rada unik’ (kata teman-temanku). Aku kayak laki-laki, kata mereka. Mereka
senang-senang saja punya teman tomboy sepertiku. Dan aku senang mereka senang
aku. Tapi di rumah aku tidak cukup peduli untuk mencoba menyenangkan
orang-orang rumah. Sampai sekarang.
Tapi
sudah lama aku berhenti mencoba menyenangkan hati teman-temanku, begitu kudapati
jalan hidupku menjadi berbeda dengan jalan hidup mereka. Bukan aku sengaja ingin
membuat mereka jauh, namun aku seringkali merasa tidak nyaman dengan ketidak-nyambungan
gaya dan pilihan hidup kami. Jadi, aku pun masuk ke lingkungan pergaulan para
pekerja kemanusiaan yang lebih nyambung. Dengan mereka aku merasa bisa berbagi
keresahanku, kegusaranku dan mimpiku.
Bergaul
dengan mereka, aku mulai menangkap warna-warni mereka. Ada manusia-manusia
setengah dewa yang begitu hebatnya hingga membuatku segan dan ciut, ada yang dengan
jiwa liar meledak-ledak – bara mereka membuatku merasa gerah kepanasan berada
dekat mereka, mereka yang sangat antusias dan positif yang membuatku jadi
terlihat terlalu pahit dan pesimis, ada yang dingin dan membatu yang membuatku
merasa seperti menghadapi tembok tebal tinggi, ada yang penuh kehangatan dan
kasih sayang yang malah membuatku jadi merasa tidak enak sendiri karena aku
merasa terlalu dilimpahi oleh mereka, ada yang alam pikiran dan perasaannya
terlalu njlimet dan tak bisa diduga –
aku tidak mampu memahami mereka, ada yang merasa dirinya paling benar paling
tahu dan paling berjasa – membuatku bertanya-tanya apakah mereka pikir diri mereka
tuhan, ada yang di dalam diri mereka aku tidak mampu menemukan makna sejati
kepedulian sehingga di mataku mereka seperti manusia mesin yang sekedar bekerja
daripada tidak ada kerjaan, ada yang memperlihatkan kepedulian sebagai cara
untuk mendapatkan kembali imbalan kepedulian dari orang-orang lain yang
membuatku tertawa melihat tingkah mereka, ada para pencari muka-pengemis air
mata yang oportunis dan manipulatif – mereka membuatku muak lalu merasa hambar
berada dekat mereka. Cukuplah dulu. Terlalu banyak untuk aku telusuri macamnya
satu persatu.
Dari
mereka semua, ada yang masih mencoba bertahan dengan kepedulian mereka,
walaupun ada pasang-surutnya juga. Tunggu, mungkin yang manusia setengah dewa
hampir tidak ada lagi surutnya. Dulu mereka mungkin pernah ada pasang-surut,
lalu entah bagaimana, mereka sekarang jauh lebih tenang, stabil, yakin dan tak
tergoyahkan. Mungkin mereka memang titisan Nabi. Sedangkan yang lain-lainnya,
ada masa-masa di mana mereka mengalami kelelahan kepedulian.
Jika
kelelahan kepedulian semata terjadi karena enerji mental yang terserap habis,
maka pengalihan atau istirahat mental mungkin adalah jawabannya. Pergi
berlibur, rekreasi dan olah raga, bercinta, sejenak menyendiri untuk meditasi
dan refleksi, mencari lingkungan pergaulan yang lain untuk mencari kesegaran
baru, melanglang buana untuk menghidupkan lagi gairah petualangan adalah
beberapa pilihan yang bisa diambil supaya ada enerji baru yang segar untuk
nantinya bisa melanjutkan lagi kerja kepedulian. Mereka yang sadar terlalu
mencurahkan enerji berlebih untuk peduli, memilih untuk mengatur dan membatasi
arus enerjinya. Mereka ini yang teratur dengan waktu-waktu unttuk kerja dan untuk
istirahat, mencoba menambah ragam kegiatan lain selain kerja kepedulian,
mencari lingkungan sosial lain di luar lingkungan peduli berjenis tunggal.
Kadarnya juga bisa beragam. Ada yang mengatur lebih besar porsi kerja
kepeduliannya dibanding kerja/kegiatan lain, ada yang mengatur keseimbangan
yang setara di antara keduanya, ada juga yang memilih peduli sekedarnya saja, yaitu
memakai sisa-sisa sumber daya mereka. Tapi bagaimana kalau kelelahan kepedulian
sejatinya adalah kehambaran kepedulian?
Menurutku,
untuk bisa mengetahui apakah kita sekedar lelah peduli atau hambar peduli,
adalah dengan mencoba dulu cara-cara atau jalan keluar untuk masalah yang
diduga kelelahan kepedulian. Jika setelah itu kau berhasil mendapatkan enerji
baru yang segar untuk peduli lagi, atau kau bisa mengatur dengan stabil
kepedulian dengan mengatur kadar enerji untuk peduli dan enerji untuk
lain-lain, maka perkiraanku, kau mengalami kelelahan kepedulian. Tapi jika
dengan cara-cara itu kau masih merasakan ada yang salah, tetap merasa hampa dan
datar dengan kepedulianmu, atau kau merasa muak dengan kerja-kerja kepedulian
yang tadinya membuat hidupmu bergairah dan bermakna, maka mungkin kau mengalami
kehambaran kepedulian. Ini adalah permasalahan yang eksistensial, mungkin juga
spiritual. Dan masyaallaaah,… yang ini lebih rumit. Dan inilah yang kualami.
Berkali-kali.
*********************
Bertanya,
adalah inti hidupku. Dengan bertanya, aku mencari jawaban. Dengan menemukan
jawaban, aku menjalaninya. Dengan menjalaninya, muncullah pertanyaan-pertanyaan
baru lagi. Kalau aku mau hidupku damai dan tenang, semestinya dari awal aku
berhenti bertanya. Tapi tidak bisa. Aku digugat terus oleh
pertanyaan-pertanyaanku sendiri. Entah setan ataukah malaikat yang
menghembuskan hasutan berbentuk pertanyaan-pertanyaan itu.
Dulu,
aku pernah beberapa kali bekerja di LSM internasional, sampai kemudian
bentuk-bentuk perlakuan yang tidak setara antara pekerja bule, pekerja nasional
dan pekerja lokal membuat aku bertanya-tanya. Lingkungan yang dicoba ditata
serba teratur di situ juga membuatku menggeliat gelisah, sesak dan kepanasan. Lalu
aku bergabung dengan LSM nasional. Tentunya perlakuannya lebih setara dibanding
LSM internasional, tapi aku tetap didera oleh perasaan ingin bisa menentukan
langkah dan tujuanku sendiri. Lalu aku memilih menjadi pekerja kemanusiaan yang
independen, tidak terikat oleh lembaga apa pun. Tujuh tahun sudah aku bebas dan
independen. Dan belakangan ini aku mulai merasa gelisah lagi. Kupikir, bebas
dan independen adalah pilihan final yang terbaik dari semua pilihan yang ada.
Tapi kok, mengapa aku masih merasa terganggu? Mengapa aku merasa hambar di
sini? Mengapa aku mulai merasa… apa yah,… mati rasa dengan pekerjaan-pekerjaan
ini? Akhir-akhir ini, aku butuh enerji yang begitu besar dan waktu yang lebih
lama untuk pemanasan dan melakukan satu persatu kerja-kerja kepedulian. Ada apa
ini? Sialan! Tidak pernah selesai.
Kira-kira
satu tahun belakangan ini aku merasa mulai menikmati menjadi invisible, tidak terlihat, tidak
terdeteksi, tidak bisa didekati. Terus terang aku kadang merasa terganggu kalau
ada teman-teman atau keluargaku yang bertanya-tanya tentang kabar dan
keberadaanku. Kadang aku memaksakan diriku menjawab pertanyaan mereka. Kadang,
kalau suasana hatiku sedang lebih baik, aku akan dengan senang hati menjawab
pertanyaan mereka tentang kabarku. Aku lebih suka mereka tidak tahu aku lagi
ngapain dan sedang berada di mana. Karena tokh, yang sedang aku lakukan ini bukan
sesuatu yang mungkin bermakna bagi mereka atau yang bisa segera mereka
mengerti. Aku cuma ingin menyendiri dan merenungi pertanyaan-pertanyaanku dan
menjadi jujur bagi diriku sendiri. Aku merasa sekarang ini aku seperti sedang
berada di persimpangan jalan, dan jalan ke depan penglihatannya masih buram,
belum jelas teraba bentuk dan rupanya. Ada apa di depan situ? Aku belum tahu. Tapi
rasanya itu pilihan yang baru, yang belum kualami sebelumnya, yang belum
kukenal dalam hidupku.
Setahun
yang lalu, aku memulai invisibilitasku yang sempat bertahan selama delapan
bulan, lalu terputus karena sebuah hutang lama. Aku masih punya satu-dua hutang
lagi. Sepertinya setelah itu aku akan menyelam lagi, menghilang dari permukaan,
tidak terlihat. Lalu kuharap aku akan muncul lagi untuk menemukan daratan baru
yang kucari-cari.
******************
Baru-baru
ini aku mendapati beberapa temanku mengaku sedang mengalami kelelahan
kepedulian. Engkau merasa lelah, atau kau merasa hambar dan hampa? Sebelum kau
mengambil kesimpulan bahwa kau merasa hambar, kalau boleh kusarankan, cobalah
dulu obati kepenatanmu. Mungkin kau sudah terlalu jauh berjalan dan berlari nyaris
tanpa henti. Lalu bertanyalah pada dirimu sendiri, masih bersediakah kau
melakukan kepedulian yang sama? Bagiku, untuk menyadari bahwa aku bukan sekedar
penat dan lelah, butuh waktu yang tidak sebentar untuk menemukan jawabannya. Apakah
kau masih ingin berada di jalan yang sama, ataukah kau ingin mengambil simpang
perjalanan yang lain? Atau kau mau balik arah dan mengambil jalan yang sudah
ramai orang berada di situ? Atau kau lebih tertantang dan tertarik dengan
jalan-jalan yang kurang disukai kebanyakan orang? Hidupmu adalah pilihanmu.
Klise, memang. Tapi kurasa engkau menyadari apa jadinya dunia ini bila semua
orang memilih jalan-jalan yang ramai itu. Mungkin mulailah dulu dengan
pertanyaan: Untuk apa kau dilahirkan di dunia ini? Jika kau percaya pada Tuhan,
cobalah menjawab untuk apa Tuhan menciptakan keberadaanmu di atas muka bumi
ini?
AM-HU,
29 April 2012.
Still re-searching…
heeem, kadang ada rasa lelah itu,,,, kadang perduli kepada orang lain, namun ternyata seringkali orang lain itu kemudian tidak memperduliakan apa yang telah kita usahakan untuknya. bukannya ingin mendapat penghargaan,,,, namun bila ini terjadi berulang kali,,, kita pun akan berpikir ... apakah yang kita lakukan itu berguna dan bermanfaat... ku belajar untuk stop memperdulikan orang tersebut.. lelah hati... kita juga mempunyai kehidupan sendiri, yang mungkin ternyata telah kita abaikan... mengurus diri sendiri... jangan sampai pula kita menzolimi diri sendiri...
BalasHapusHalo, anonim. Dari perilaku anak kecil aku seringkali menegur diriku sendiri bahwa bila seseorang bisa bertanggung jawab pada dirinya sendiri, maka sebaiknya aku memberikan haknya untuk berjuang, yaitu untuk bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Seringkali kita tergoda untuk mengambil alih tanggung jawab mereka pada dirinya sendiri.
BalasHapus