Kau tersenyum lesu, nampak
lelah. “Sebenarnya tidak empat belas tahun, tapi dua puluh tahun.” Kau
mengajakku berhitung dari dua tahun awal hubungan kalian, lalu empat belas
tahun masa penantian ditambah empat tahun hubungan kalian belakangan ini, sebelum
akhirnya kandas.
Empat belas tahun
saja sudah bikin aku terheran-heran, ini dua puluh tahun pula. Aku punya
pertanyaan yang menggangguku, “Bagaimana bisa? Mengapa? Dan kenapa dia?”
Beberapa saat engkau
terdiam, akhirnya kau menyerah, mengakui tidak mengetahui jawabannya dengan
pasti.
“Kau pasti tahu.”
Aku tetap mendesak.
“Aku nggak tau.”
“Tapi kau semestinya
tahu.”
Engkau diam,
menatapi sepraimu, meratapi sesuatu.
Kau benar-benar tidak tahu atau tidak mau tahu? Waktu
dulu kau bercerita tentang dia dan aku menanyakan apa keistimewaan dia yang
membuatmu mau menunggu empat belas tahun, kau juga tidak tahu pasti. Semakin
banyak kau bercerita tentang dia, semakin aku tidak tertarik untuk menemuinya
untuk sekedar berkenalan. Bagiku, dia tidak istimewa. Tidak layak untukmu.
“Kenapa? Dia kan
nggak worth it. Dan kau telah
bertahan mencintainya sampai dua puluh tahun?”
Kau melamun. Lalu
mengangkat bahu. Tetap mengaku tidak tahu. Aku gemas. Ingin menguak benih kesadaranmu
yang kuyakin masih terkubur dan sebenarnya tinggal menunggu pertanyaan atau
pancingan yang tepat saja.
“Sebenarnya, dia itu
worth it, nggak?”
Selama empat tahun
terakhir ini kau pacaran dengannya, kau terkadang heran sendiri mengapa mau
bertahan mencintainya padahal kau tahu dia tidak membalas cintamu dengan
sepadan. Alih-alih, dua bulan yang lalu dia akhirnya mengaku telah mendua
selama ini. Dan konyolnya, walaupun dia sudah tahu jelas pandanganmu yang tegas
menolak perselingkuhan dan poligami, lelaki sinting itu masih mau coba-coba
minta kesediaanmu untuk tetap mau menikahinya, sementara dia ingin menikahi kau
dan perempuan lainnya itu. Setelah engkau meledak di hadapannya, dia gencar
membujuk kau kembali padanya dan dia janji akan meninggalkan perempuan lainnya
itu. Engkau sempat tergoda. Kalian berdua sempat berdamai, tapi dia kemudian
bertingkah sok cemburu nggak jelas gitu. Kau lelah, kau menyerah. Akhirnya kau
merasa tidak dapat mempertahankan lagi, apa pun itu, entah cinta, entah khayalanmu
sendiri.
Mana bisa laki-laki macam begitu dipercaya? Kau sudah
kuberi tanda-tanda. Tidak kulihat binar di matamu sewaktu kau dulu cerita bahwa
setelah empat belas tahun penantianmu, akhirnya dia ‘kembali’ padamu.
Seakan-akan kau tidak sedang jatuh cinta. Engkau hanya berharap dan berkeras
hati untuk terus menghidupkan kenangan tentang dia walaupun pada kenyataannnya
dia tidak semenawan khayalan Taj-Mahalmu. Jauh dari itu. Aku tahu kau keras
kepala, teman. Aku tahu, karena kepalaku ini juga keras. Tapi untuk apa keras
kepalamu itu? Apa kau pikir kau bertanggung jawab pada harapanmu dan khayalan
cintamu itu? Kau bilang sendiri bahwa dia tidak mendukung mimpi-mimpimu dan
tidak menunjukkan minat pada duniamu. Kalian tidak bisa bersepakat pada hal-hal
yang paling mendasar. Kalian bersama, tapi tidak benar-benar bersama. Engkau sendirian
memperjuangkan hubungan kalian. Dia pasif saja seperti anak kecil manja yang
memanfaatkan cinta ibunya, yang menuduh berkali-kali ibunya tidak cukup
menyayanginya. Dia bukan anak kecil, dan kau bukan ibunya. Dia bertanggung
jawab pada dirinya sendiri. Kau bertanggung jawab pada dirimu sendiri. Kita
bisa berbagi tanggung jawab, tapi tidak bisa melemparnya seenaknya ke orang
lain.
Kau balik bertanya
padaku,”Pernah nggak kamu menjumpai kejadian seperti ini? Ada nggak orang lain
yang menceritakan kisahnya kepadamu yang seperti ini?”
Aku mencoba mengorek
dan mengais bank data memoriku.
“Ada yang bertahan
sampai lama, tapi itu karena layak. Sepadan. Pantas. Kalau pun tidak layak,
biasanya tidak bertahan selama itu. Tidak sampai dua puluh tahun. Pada akhirnya
mereka sadar cinta itu tidak sepadan. Atau mereka bertemu cinta lain yang lebih
layak.”
Sebenarnya ada, sih. Yaaah, kebanyakan dari mereka
adalah perempuan korban kekerasan yang sudah terlanjur terjerat dalam hubungan
yang sialan itu. Mereka pada awalnya bisa melihat, lalu karena memilih untuk
pura-pura tidak melihat, pandangan mereka mulai kabur, sampai akhirnya mereka
benar-benar buta. Lalu orang-orang menamakannya cinta buta. Semestinya lebih
tepat kalau dinamakan cinta bodoh, karena orang buta banyak yang pintar dan
bijaksana. Kebutaan tidak membuat mereka bodoh, malahan mata kalbu mereka bisa
melihat dengan lebih tajam daripada orang-orang yang bisa melihat dengan mata
fisik mereka. Tapi semestinya kau sudah paham itu. Mungkin kau juga korban.
Korban ketaklayakan. Mata kalbumu mestinya bisa melihat, tapi engkau dibodohi
oleh imajinasi cintamu sendiri. Apa itu namanya? Cinta tak bersyarat? Ah, taik
kucing dengan cinta tak bersyarat. Bahkan cinta Tuhan-pun bersyarat. Kau
percaya kitab suci? Kau percaya surga dan neraka? Kalau kau percaya kitab suci,
sebagian besar isinya adalah isyarat akan syarat. Tuhan memberikan ujian pada
manusia. Lulus atau tidak lulus. Yang memenuhi syarat kelulusan akan masuk
surga, yang lainnya masuk neraka. Aku yakin Tuhan juga mencintai diriNya
sendiri dan Dia tidak membiarkan orang-orang memanfaatkan dan memanipulasi
cinta-Nya. Dia tidak sebodoh itu.
Kau pernah
menceritakan masa lalumu padaku, kisah dari sejak kau kecil. Dan kuajukan
pertanyaan ini.
“Adakah orang yang
pernah mencintaimu seperti kau mencintai dia? Pernahkah ada orang yang
mencintaimu dengan benar?”
Tidak, jawabmu.
Tidak ada yang pernah mencintaimu ‘sebenar’ engkau mencintai dia. Bahkan tidak
orang tuamu dan keluargamu sendiri. Tidak juga kekasih-kekasih di masa lalumu.
Mereka malah memperlakukanmu dengan buruk, membalasmu dengan pengkhianatan. Tetes-tetes
air mata jatuh, tak bersuara. Engkau beranjak mengambil tissue, mengeringkan air mata dan ingus.
“Jadi, mungkinkah
mencintainya dengan benar selama dua puluh tahun ini adalah caramu untuk menunjukkan
bahwa kau bisa mencintai dengan benar walaupun tidak ada orang yang bisa
melakukannya padamu?”
“Mungkin saja”.
Jeda. “Iya, kayaknya begitu.”
Aku mengambil jedaku
sejenak. Memberimu waktu untuk meresapi jawabanmu sendiri, memberimu ruang untuk
memantapkan atau menolaknya.
“Mungkin ini adalah
caramu membalas pada orang-orang itu. Menunjukkan bahwa kau bisa mencintai lebih
baik daripada mereka semua. Bahkan kau
mampu mencintai laki-laki yang sebenarnya tidak layak untuk cintamu.”
Atau mungkin juga, karena tidak ada cinta yang bisa
kau jadikan pegangan, kau ciptakan cintamu sendiri dan kau erat-erat pegang
itu, supaya kau tak mati tenggelam sesak kehabisan nafas ke dalam ketiadaan
cinta. Supaya kau bisa berdiri tegak di atas fondasi imajiner yang kau susun dari
batu-batu kenanganmu sendiri daripada harus berdiri di atas sejarahmu yang
kejam terhadapmu. Makanya kau bisa bertahan selama itu, karena kau belum
melihat pilihan lain yang lebih baik daripada itu, karena matamu dikaburkan
oleh kabut kenanganmu. Kau tetap berteguh, walaupun itu terasa menyakitkan
dengan ketidakhadirannya di sisimu selama empat belas tahun.
Diam yang lebih
panjang. Aku mencari celah dan arah berikutnya. Pikiranku sibuk di dalam
labirin benak, mencari pintu yang tepat. Kau membiarkanku dalam diamku. Kau
salah satu temanku yang masih bisa merasa nyaman dengan diamku. Aku suka itu.
Tapi saat ini kau sedang butuh aku, kehadiranku, menemanimu dalam laramu, walau
hanya sebentar persinggahan di mungilnya kamarmu.
Ah, teman. Kalau saja cintamu itu kau kerahkan dulu
untuk dirimu sendiri, betapa yang demikian itu akan memperkaya dan menguatkanmu. Aku ingin kau
menyadarinya. Maka aku tak bisa diam saja.
“Mengertikah kau,
jika kau mampu mencintai orang yang nggak worth
it sebenar dan selama itu, maka sesungguhnya kau mampu mencintai dirimu
sendiri dengan benar dan lebih lama lagi? Dua puluh tahun. Kau bisa melakukan
lebih dari itu untuk dirimu sendiri. Dan kau sungguh layak untuk itu.”
Lebih dari separuh usiamu, teman. Tapi aku tahu itu
tidak akan sia-sia kalau kau belajar darinya untuk bisa memulai mencintai
dirimu sendiri. Sebab, jika tidak ada seorang pun yang bisa mencintaimu dengan
benar, jika tidak ada seorang pun yang mampu bersikap adil padamu, maka
setidaknya kau sendiri yang mencintai dirimu dengan benar dan kau sendiri yang
bersikap adil pada dirimu. Jika demikian kejadiannya, maka kau bisa mengetahui
apakah kekasih-kekasihmu yang berikutnya, atau siapa pun yang kau temui dalam
hidupmu nanti, mampu mencintaimu dengan benar dan adil. Engkau tidak akan
membiarkan orang lain menyia-nyiakanmu lagi. Dan kau tidak akan menyia-nyiakan
dirimu, hidupmu, mimpimu. Tahukah kau, begitu banyak kujumpai orang-orang yang
bermain-main dengan cinta, menganggap itu permainan belaka untuk membuat
keasyikan dalam hidup mereka yang hambar dan hampa? Dan sesungguhnya mereka
membenci diri mereka sendiri, tidak mengerti bagaimana mencintai orang lain
karena mereka sendiri tak bisa mencintai diri sendiri. Betapa kau jauh lebih mulia.
Kau tidak bermain-main dengan cintamu. Maka, pertahankanlah kekuatan cintamu.
Itulah inti kekuatan hidupmu.
“Iya, aku sadar.
Memang tidak ada orang yang pernah mencintaiku kayak begini. Mungkin memang aku
ingin menunjukkan bahwa aku bisa mencintai lebih baik daripada mereka.”
Hening yang lama
lagi. Musik riang pilihanmu yang tidak sesuai dengan atmosfir saat itu masih
melatari percakapan kita.
“Tapi aku merasa
hidupku berat sekali di saat-saat sedang sendiri dan sedang tidak ada yang
kukerjakan. Atau di saat-saat yang biasanya aku habiskan waktu bersama dia.”
“Ya iya-lah. Kau kan
hidup dengan rutinitas. Kalau ada satu saja rutinitasmu yang tercabut, pasti
kau merasa terganggu. Apalagi kalau di saat itu kau sedang berada sendirian saja
dan kosong. Tapi kau bisa menganggap perubahan ini sebagai kebebasanmu yang
baru. Aku tahu sih, banyak orang yang tidak bisa menggunakan kebebasan ketika
kebebasan itu datang pada mereka. Tapi kau bisa mencoba mengisinya sendiri. Kau
bisa punya pilihan-pilihan lain yang selama ini tak sempat kau lakukan.”
Lalu kami bicara menggali
hal-hal yang disukainya, yang bisa menjadi minatnya, tentang orang-orang baru
yang bisa ditemuinya, tempat-tempat yang bisa dikunjunginya.
Tapi ingatlah, teman, walaupun kau mungkin akan merasa
terhibur dengan hal-hal baru yang menyenangkanmu, masih ada satu kekosongan besar
yang harus kau isi terlebih dahulu. Mencintai dirimu sendiri.
“Jadi, sekarang kau
mau apa?”
“Aku mau fokus saja
ke mimpiku. Aku sudah punya banyak rencana.”
“Terus, mantan-mu
itu gimana?”
“Aku udah nggak bisa
lagi kembali ke dia.”
Aku
mengangguk-angguk. Mudah-mudahan kali ini kau bisa teguh. Seteguh keras
kepalamu selama dua puluh tahun. Mudah-mudahan seteguh itu pula kau bisa
merangkai jembatan ke mimpimu, mencintai dirimu sendiri, hidupmu.
“Aku boleh menulis tentang
ini, ya?”
Kau tersenyum.
“Dengan senang hati. Mungkin aku juga mau menulis dengan versiku sendiri.”
Aku senang. Aku
selalu senang kalau ada temanku yang mau merekam jejak perenungannya sendiri.
Tapi aku tetap akan menulisnya, teman. Aku juga
belajar dari cintamu. Aku menulis ini, agar kau tidak lupa untuk
terus melihat dan bercermin, bahwa kau layak untuk Taj-Mahalmu sendiri yang
paling indah...
AKB, 26 Mei 2012
Aku tidak bisa terus berada di sampingmu. Semoga
tulisan ini bisa menjadi teman dalam perjalananmu dan kesendirianmu, kawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar