Mereka tidak
percaya kalau aku tidak punya ruang untuk rasa rindu. Mereka bertanya padaku
apakah aku tidak punya rasa rindu pada orang-orang yang kutinggalkan selama aku
terus saja berjalan.
“Nnnggg...
Nggak,” jawabku singkat dan datar. Sebenarnya aku tidak lagi membutuhkan waktu
untuk memikirkan jawaban itu.
“Kok bisa?”
“Karena aku
sudah pernah membunuh rindu, sampai rindu mati,” kataku pada seorang teman.
“Bagaimana
bisa?” tanya mereka yang sudah pernah babak belur dianiaya rindu dan masih
terus jadi korban penyiksaannya.
Aku
berpikir. Mmmm, yah. Terus terang, kalau jawaban untuk pertanyaan mengapa, aku
masih harus berpikir-pikir lagi karena aku belum sempat merenungi dan memahaminya.
Sejak kapan aku sudah membunuh rindu sampai rindu mati? Dan bagaimana bisa?
Kalau kepada
keluargaku sendiri, aku memang tidak rasakan rindu. Sedari dulu. Beberapa orang
yang tidak bisa menerimanya, mencoba menasihatiku agar aku jangan seperti itu.
Bahwa bagaimana pun aku harus merindukan mereka, merindukan pulang ke rumah
mereka. Aku mengerutkan dahi, merasa aneh, jengah bahwa dalam soal-soal
perasaan seperti begini, aku masih harus didikte oleh orang lain. Siapa ya
mereka itu? Tidak tahu apa-apa tentang aku kok berlagak bijaksana sekali. Masak
perasaan dinasihati. Dan aku pun malas melanjutkan percakapan dengan mereka.
Okeh,
lanjut. Karena tidak merasakan rindu pada keluarga dan rumah, maka aku tidak
merasakan dorongan harus mengusahakan sering pulang ke rumah orang tuaku. Bila
sedang berada di Jakarta pun, kota tempat tinggal keluargaku, sekali-sekali
saja aku sempatkan singgah ke rumah mereka. Tidak, aku tidak merasa bahwa aku
harus terbebani dengan kewajiban untuk pulang walaupun kedua orang tuaku
berkali-kali mencoba menimbulkan rasa bersalahku.
Mereka tidak tahu bahwa aku juga sudah pernah
membunuh rasa bersalah. Mereka tidak tahu apa pun tentang aku...
Untuk
teman-temanku, aku pun tak merasakan rindu. Duh, kepada teman yang kuanggap
paling dekat pun, rindu nyaris tak pernah muncul. Yang tidak paham aku mungkin
akan merasa tersinggung. Kalau ada yang melayangkan pesan singkat di telepon
genggam atau via e-mail, meneriakkan rindu mereka padaku, aku biasanya hanya
tersenyum atau tertawa cengengesan lalu bertanya kabar mereka. Lagipula, aku
bukan orang yang jago berbasa-basi, yang bisa mengisi waktu sekedar bertukar
kabar dengan ringannya kemudian memakai waktu lebih banyak lagi dengan
percakapan tak berarah. Aku biasanya menghubungi mereka karena ada yang sedang
kubutuhkan dari mereka dan ada yang harus kusampaikan pada mereka. Dengan
sendirinya, aku juga tak menuntut seorang pun menghubungi aku kalau mereka
sedang tidak butuh bantuanku atau sedang tidak harus menyampaikan sesuatu yang
penting. Jarang sekali aku merasa tersinggung karena teman lama tak berkabar.
Paling-paling aku hanya akan marah bila suatu saat aku mendapati bahwa ada
orang-orang yang mengaku teman, mereka hanya datang untuk minta bantuanku dengan
mengumbar janji mereka lalu memanipulasi aku dan kabur meninggalkan aku karena
tahu mereka mengingkari janji mereka padaku. Tapi marahku tak lama. Sesudahnya
aku hapus mereka dari ingatan pertemananku dan aku tak peduli lagi. Mereka
hanya membuang enerjiku saja. Aku tak sudi ruang memoriku dikuasai oleh
orang-orang seperti mereka.
Perasaan
rindu yang pernah seringkali membuatku paling merana adalah kepada para mantan
pacar dan mantan gebetan. Tapi itu dulu, sebelum rindu kubunuh. Konon, keterpisahanku
dengan mereka betul-betul membuat ruang di jantung dan hatiku ciut menyesakkan
sampai terasa sakit, seperti dihimpit sesuatu yang punya massa berat dan kelam bernama
rindu. Tidak hanya sekedar terbayang, tapi lambat laun aku mulai benar-benar
bisa merasakan hantaman di ulu hatiku bila sedang dilanda gelombang rindu yang
besar. Dalam keadaan seperti itu, kehadiran siapa pun yang lain tidak berarti
bagiku. Hanya satu orang yang kuinginkan saat itu. Dan dia harus berada di
situ. Saat itu juga. Tuntutan itu menderaku. Aku mendera kekasihku itu. Tanpa
kami sadari, kami saling menyiksa diri sendiri dan satu sama lainnya. Kami
saling mencandu, lalu tersiksa sendiri karena ketagihan dan tak mendapatkan
obat peredam candu. Bila yang satu sedang merindu dan yang lainnya kebetulan
sedang tak merindu (entah karena sedang sibuk dengan sesuatu atau alasan apa
pun), maka yang merindu akan sakit hati sendiri dan menuduh pihak tak merindu
sebagai yang tidak cukup mencintai. Kekanak-kanakan sekali...
Aku sangat
tidak menyukai beban yang ditimbulkan dari rasa rindu itu. Aku membencinya. Aku
benci rindu. Dia musuhku. Beban berlebih yang harus kuluruhkan kalau aku mau
terus hidup dengan kewarasan relatif di dunia yang tidak waras ini. Aku ingin
membunuhnya sampai mati. Dia memberati langkahku, membelenggu kakiku, membuat
aku jadi seperti orang lemah yang tidak bebas. Dan aku menatap sengit dan dengan
keras menegur rindu. Aku menyeringai, mengancamnya dan mengusirnya pergi.
Jelas sekali, aku tidak butuh kau. Tidak ada
tempat untukmu. Tidak ada waktu untukmu. Habis kesabaranku. Kau hanya
menyia-nyiakan dan menguras enerjiku. Engkau adalah sisi sial dari cintaku. Aku
tidak butuh merindu untuk bisa mencinta. Aku tidak ingin engkau
mencampur-adukkan dirimu dengan cinta. Jangan berani-berani kau menipuku,
menyamarkan wajahmu dengan wajah cinta...
Tapi rindu
keras kepala. Terlalu angkuh untuk mau patuh. Dia ingin terus berada di atas
sana, merajaiku.
Kau pikir kau yang punya badan dan jiwa ini?
Kalau pun kuijinkan kau berada di sini, bukan berarti kau lalu melumpuhkanku dan
menindasku. Enak saja, kau tiba-tiba datang begitu saja dan ingin menguasaiku.
Pada saat
itu, aku punya perasaan lain yang punya kekuatan jauh lebih besar daripada
rindu. Kekuatan yang sudah begitu akrab di dalam diriku sejak aku kecil, yaitu kekuatan
perasaan marahku. Aku bisa merasakannya ketika rasa marah bangkit, merasa diusik,
ditantang oleh rasa rindu yang rakus dan semena-mena itu. Di saat itu aku sudah
sampai pada titik muak mengasihani diriku sendiri yang merindu kekasih yang
berada jauh. Rasa marahku memandang melecehkan diriku sendiri yang tersungkur
tak berdaya di sudut kamar sendirian, meratapi cinta selama berhari-hari. Dan
aku pun malu pada diriku sendiri. Perasaan marahku membuatku tersadar, bahwa
aku tidak boleh dilumpuhkan oleh rindu, bahwa aku harus merebut kembali kendali
atas diriku sendiri.
Lalu kubunuh
rindu. Kubunuh dengan rasa marah dan rasa muak akan sikap mengasihani diri
sendiri. Kusimpan dalam peti mati tembus pandang bersama perasaan-perasaan lain
yang sudah pernah kubunuh. Tapi bersamaan dengan matinya perasaan rinduku pada
seseorang saat itu, mati pula rasa cintaku padanya. Aku tidak ingin berpanjang-panjang
meratapi keduanya. Kukubur mereka bersama-sama. Kupandang sebentar saja, lalu
aku berpaling pergi kembali ke hidupku. Menatap ke depan. Moving on...
************
Mencintai
tanpa merindu...
Asing,
memang. Rasanya seperti punya kekasih baru yang kuat, bijak, dewasa dan mampu
berdiri di atas kaki sendiri. Seperti mencintai seorang kekasih yang baik aku
maupun dia mampu menekuni pilihan hidup kami sendiri-sendiri, tak perlu saling
tergantung, tak perlu saling memiliki, tak menuntut untuk saling melengkapi,
sadar sepenuhnya bahwa kami harus bertanggung jawab pada hidup kami
masing-masing, namun bersedia bekerja sama dalam hal-hal yang kami berdua
sepakati. Seperti itulah aku mencintai rasa cintaku yang baru itu. Yang tanpa
kehadiran pihak ketiga pun, kami berdua akan baik-baik saja...
TTN, 2 Juli
2012
Rindu adalah peristiwa yang pernah dialami yang ingin kita ulangi tidak selalu dengan manusia tapi lebih pada peristiwa yang membuat nyaman atau berkesan..
BalasHapuscontoh: dielus punggungnya waktu menjelang tidur,dipeluk dan didongengkan oleh ibumu.
Bagaimana caranya?? kamu membunuh rindu jika sama ibumu/ peristiwa tersebut/ kasih tulus yang ada dalam persitiwa tersebut/ rasa nyaman dan damai dalam peluk seseorang yang dekat dengan kita.
Kubunuh dia karena pada saat itu rindu itu bersifat kekanak-kanakan dan ingin menguasai sepenuhnya hidupku dan membuat aku tidak bisa melanjutkan hidupku. Bagaimana orang lain memperlakukan rasa rindu mereka adalah terserah pada pilihan masing-masing.
BalasHapusoke..ditunggu tulisan yg lain..keep fight!
BalasHapus