MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Senin, 20 September 2010

MENGHIRARKI KEBUTUHAN

Yuk, Belajar (Lagi) Dari Paman Maslow!

Ada sebuah teori dalam Psikologi yang disebut hirarki kebutuhan yang ditemukan oleh Abraham Maslow dan dianut oleh lumayan banyak orang. Begini gambar dan penjelasannya (pakai bahasa Inggris ya, copy paste dari website, maklum gaptek):




Hirarki kebutuhan Maslow berbentuk Piramida, yang paling rendah adalah kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan mendasar yang bersifat fisik/ragawi/badan/ketubuhan, yang dibutuhkan oleh seluruh anggota badan manusia untuk dapat bertahan hidup yang jika tidak terpenuhi maka sebagian tubuh manusia tidak dapat berfungsi dengan baik. Yang utamanya adalah kebutuhan untuk bernafas, makan, air, tidur, seks, pembuangan, “homeostasis” (keseimbangan fisik dinamis yang harus diusahakan terus-menerus pada makhluk hidup). Kebutuhan ini adalah yang paling mendasar, rendah dan konkrit untuk daya survival (bertahan hidup) manusia, juga binatang. Jadi, kalau kita terus-menerus berkutat di level ini, menurut paman Maslow, kita gak ada bedanya sama hewan.

Lapis kedua adalah kebutuhan akan keamanan dan rasa aman, kebutuhan yang dirasakan setelah kebutuhan fisiologis terpenuhi. Kebutuhan ini ada karena manusia mendambakan dunia yang teratur dan dapat diprediksi, di mana ketidakadilan dan ke-tidakkonsisten-an masih dapat dikendalikan. Dalam dunia kerja, kebutuhan rasa aman ini mengambil bentuk kepastian pekerjaan/karir, kepemilikan atas tabungan/simpanan, asuransi, keamanan personal, keamanan keuangan, kesehatan dan kesejahteraan, jaring pengaman/jaminan untuk kecelakaan/penyakit dan akibat-akibatnya, kebutuhan untuk punya rumah dan tinggal di lingkungan yang aman, serta kebutuhan-kebutuhan lainnya yang serupa.

Mmmm, ngomong-ngomong hewan pun juga banyak memperlihatkan perilaku pemenuhan kebutuhan di tingkat ini. Lihat saja semut yang membangun tempat perlindungan yang aman, lalu mencari makan sebagai simpanan demi ketahanan pangan koloninya. Hewan-hewan juga bersenggama untuk meneruskan keturunannya, yaitu untuk memastikan dan mengamankan spesies mereka tidak punah. Jadi maaf ya, di tingkatan ini pun kita masih belum banyak berbeda dengan hewan. Heheee...

Kebutuhan tahap ketiga adalah kebutuhan akan cinta dan kepemilikan (belongingness), yang dapat dijelaskan dengan kebutuhan untuk disayangi, dicintai, berteman, berkeluarga, memiliki tempat di ranah sosial dan keintiman dalam hubungan seksual, untuk dapat berinteraksi dengan makhluk lainnya. Manusia butuh ikatan dan penerimaan dari orang lain, kebersamaan dan kekeluargaan, entah itu dengan sebuah kelompok besar seperti klub, kantor, kelompok keagamaan, organisasi profesional, tim olah raga, geng; maupun kelompok lainnya yang lebih kecil seperti anggota keluarga, pasangan, mentor, kawan dekat, dll. Kalau kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka biasanya orang akan mengalami kesepian, kecemasan sosial dan depresi.

Sebagian spesies hewan yang memang hidupnya berkelompok, maka penerimaan kelompok juga penting baginya. Bahkan ada jenis-jenis hewan yang harus memperlihatkan kekuatannya dan “prestasinya” agar tidak dibuang dari kelompoknya. Kalau kita memelihara anjing, misalnya, lihatlah bahwa mereka menikmati sekali kasih sayang dari kita, majikannya. Dia juga akan terlihat murung kalau tuannya pergi lama. Memang ada banyak spesies hewan yang soliter atau tidak berkoloni. Dalam hal ini, kita banyak yang tidak seperti hewan-hewan soliter itu. Apakah soliter sebuah keunggulan? Hmmm.... Mungkin ya, mungkin tidak.

Lapis keempat adalah kebutuhan akan rasa hormat, penghormatan dan penghargaan. Isinya yaitu pemenuhan kebutuhan akan harga diri, percaya diri, pencapaian suatu prestasi, menghargai dan dihargai orang lain. Ketenaran dan kemuliaan datang dari “pemberian” orang lain, tergantung pada respon dari orang lain. Orang menjadi produktif, berkontribusi, ingin menjadi tenar dan mulia karena kebutuhan untuk diakui oleh yang lainnya. Kekurangan pemenuhan kebutuhan ini akan membuat seseorang menjadi merasa tidak diakui, tidak dihargai, tidak diterima, rendah diri, lemah dan tidak berdaya. Orang yang rendah diri butuh penghargaan dari orang lain. Namun begitu, amatilah bahwa banyak orang yang ternyata tidak bisa memperkuat kepercayaan dirinya walaupun mereka menerima penghargaan, kemuliaan dan pengakuan dari orang lain, karena syaratnya adalah pertama kali dirinya sendirilah yang harus menerima dirinya. Syarat atau dasar inilah yang sebenarnya memiliki kualitas lebih tinggi dibanding jika seseorang tergantung pada penerimaan dan penghargaan dari orang lain semata, dengan kata lain, penghargaan intrinsik (datang dari dalam diri) lebih bermakna daripada penghargaan ekstrinsik (datang dari luar diri).

Saya pernah membaca kisah keunikan budaya masyarakat di suatu pulau di kepulauan Fiji. Ada suatu jenis pohon berkayu keras yang bagus sekali kalau dibuat sebagai bahan membuat bangunan. Tapi, pohon itu besar sekali dan kayunya terlalu keras untuk bisa ditebang. Jadi begini yang dilakukan masyarakatnya: selama empat puluh hari, sekelompok orang dikerahkan mengambil posisi di bawah (sekeliling) pohon dan di atas pohon. Mereka ditugaskan untuk mencaci-maki dan menghina pohon itu tanpa henti. Apa yang terjadi, saudara-saudara? Di hari keempat puluh, pohon itu sudah dalam keadaan meranggas, hampir mati dan kayunya jadi mudah untuk ditebang. Ck, ck, ck...ajaib. Betapa miripnya tumbuhan dengan manusia di tingkatan ini.

Empat kebutuhan yang lebih rendah ini adalah kebutuhan defisiensi/deprivasi (kebutuhan yang ada karena kita merasakan kekurangan sehingga orang mengejar untuk memenuhi kekurangan tersebut). Kebutuhan aktualisasi diri (di tingkatan berikutnya) disebut dengan kebutuhan pertumbuhan (kebutuhan yang ada karena telah selesai mengisi kekurangan yang ada sehingga melangkah lebih jauh menuju pertumbuhan diri). Seperti gini deh perumpamaannya: ahli gizi meresepkan asupan gizi sampai standar tertentu untuk menghindarkan kita dari “kekurangan gizi”. Kalau kita kekurangan gizi, maka badan kita mudah jatuh sakit, kurus dan kerdil (maaf, ini tanpa maksud menghina mereka yang punya fisik mungil). Nah, setelah kita selamat dari kekurangan gizi (karena sudah memenuhi standar gizi yang diresepkan tersebut), maka asupan gizi di atas standar adalah tambahan agar kita bisa bertumbuh secara lebih sehat lagi. Menurut Maslow, dari kebutuhan fisiologis (lapis pertama) sampai kebutuhan akan penghargaan (lapis keempat), manusia akan senantiasa mengejar untuk mengisi kekurangan (defisiensi). Jika kekurangan yang ada sudah dilengkapi, barulah seseorang siap untuk “bertumbuh”, menuju aktualisasi dirinya.

Lapis kelima adalah kebutuhan akan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan akan moralitas, kreativitas, spontanitas, pemecahan masalah, minimnya prasangka, kemampuan menerima kenyataan. Di tingkat ini seseorang mengejar potensi diri secara penuh dan menyadari adanya potensi diri tersebut. Seseorang mengejar lebih dan lebih sampai menjadi apa pun yang dia mampu raih. Mereka tidak terlalu peduli lagi pada opini-opini orang lain terhadap dirinya, apalagi bila opini-opini tersebut hanya menjadi penghalang untuk mencapai pemenuhan diri.

Menurut Maslow, orang yang mencapai aktualisasi diri memiliki ciri:
1. Mampu menerima kenyataan, termasuk punya persepsi yang realistis mengenai dirinya, orang lain dan dunia di sekitarnya.
2. Fokus pada masalah dan pemecahannya di luar dirinya, termasuk menolong orang lain dan mencari solusi akan masalah-masalah di dunia di luar dirinya. Orang-orang seperti ini seringkali termotivasi oleh adanya tanggung jawab personal dan etika.
3. Spontanitas. Selain mampu menghargai norma dan harapan sosial, dia juga cenderung terbuka dan tidak kolot. Walau dia bisa mengikuti norma sosial, tapi dia merasa bahwa pikiran dan tindakannya tidak harus dibatasi oleh norma sosial tersebut.
4. Kemandirian dan kesendirian. Kebutuhan untuk menjadi mandiri dan kebutuhan akan privacy. Jadi, selain mampu menikmati kehadiran orang lain, dia juga butuh waktu untuk fokus pada mengembangkan potensi personalnya dan penemuan diri sendiri.
5. Senantiasa memperbaharui dan menghargai hidup, bahkan pengalaman sederhana pun bisa menjadi sumber kesenangan dan inspirasi baginya. Punya kemampuan untuk memiliki pengalaman-pengalaman “puncak”, gairah, ketakziman. Setelah pengalaman-pengalaman ini, dia akan merasa terinspirasi, kuat, diperbaharui atau bertransformasi.
6. Menikmati perjalanan. Di saat orang yang teraktualisasi memiliki tujuan konkrit dalam hidupnya, dia juga menikmati perjalanan sama pentingnya dan sama menyenangkannya dengan tiba di tujuan.
7. Menerima diri dan demokratis. Menerima diri sendiri dan diri orang lain apa adanya. Dia mampu menikmati dirinya sendiri dan hidupnya bebas dari rasa bersalah. Dia memperlakukan orang lain sama terlepas dari faktor latar belakang, status sosial ekonomi dan budaya orang lain tersebut.
8. Humor yang filosofis. Mampu menikmati humor dan mentertawakan diri sendiri, tapi tidak mengejek dan mempermainkan orang lain yang akan melukai perasaan orang lain.

Sampai di sini, masih mau mengejar kebutuhan aktualisasi diri? Susah, lho. Kayaknya hampir nggak mungkin, malah. Apalagi kita hidup di masyarakat yang menganut nilai komunal dan kolektif di mana kebutuhan diterima dan dihargai oleh orang lain mungkin adalah kebutuhan tertinggi, dan yang lebih tinggi lagi bisa-bisa dianggap gila. Tapi kalau memakai kepercayaan Maslow, justru di tingkatan ini binatang dan tumbuhan kalah set sama kita manusia. Dan ternyata, untuk bikin lebih pusing, Maslow masih iseng menambahkan lagi. Dia kemudian memperbaiki teorinya sendiri dengan memperkaya kebutuhan pertumbuhan selain aktualisasi diri. Ada lagi dua kebutuhan pertumbuhan yang berada di bawah kebutuhan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan kogitif dan kebutuhan estetika; dan satu kebutuhan pertumbuhan yang letaknya lebih tinggi dari kebutuhan aktualisasi diri yaitu kebutuhan transendensi.

Kebutuhan kognitif yaitu kebutuhan untuk tahu, paham dan mengeksplorasi yang terjadi di sekeliling kita, untuk bisa mengendalikannya, dan kalaupun tidak bisa mengendalikannya, paling tidak mengetahui pilihan-pilihan untuk menghadapinya. Kebutuhan ini yang katanya paling bertanggung jawab terhadap terjadinya perkembangan pesat kehidupan umat manusia dengan banyaknya penemuan-penemuan baru. Jika kita tidak bisa memenuhi kebutuhan ini kita akan memiliki kebingungan dan kegamangan yang besar. Posisi sosial dapat pula direbut karena berhasil mengejar kebutuhan ini, di mana orang-orang tertentu dianggap ahli atau berkuasa.

Kebutuhan estetika yaitu kebutuhan akan simetrisitas, keteraturan dan keindahan. Estetika, keindahan berhubungan langsung dengan emosi/perasaan. Jika kita suka pada seseorang, sebuah rumah, lukisan atau lagu, kita tidak bisa menjelaskannya dengan logika. Ya, kita memang suka aja. Keindahan ada di mata orang yang melihatnya, dan sangat mungkin berbeda di kultur yang berlainan. Di beberapa negara yang mengalami kelaparan dan krisis pangan, orang yang besar dan gemuk malah dianggap menarik. Jadi, kita semua harus mengalami kelaparan dan krisis pangan dulu, baru berubah lah pandangan masyarakat tentang ukuran tubuh yang indah. Kalau belum begitu, jangan mimpi bahwa boneka Barbie akan dibuat yang berukuran gemuk.

Kebutuhan transedensi (atau disebut juga kebutuhan spiritual) adalah kebutuhan yang sudah melampaui atau ada di luar ego, kebutuhan untuk membantu/menolong yang lainnya agar mereka mengalami pemenuhan diri dan menyadari potensi mereka. Katanya, tiap orang mampu memiliki pengalaman puncak, namun yang tidak bisa akan cenderung menekannya atau menyangkalnya. Maaf, ternyata di bagian ini saya belum berhasil menemukan banyak keterangan. Mungkin karena urusannya bukan lagi dunia, tapi sudah bicara soal surga, dan karena belum pernah ada orang ke surga lalu balik lagi ke dunia, maka Maslow masih agak kesulitan merumuskan teorinya dengan jelas di tingkatan yang satu ini. Dan payahnya, Paman Maslow setelah meninggal, lupa balik lagi ke dunia untuk merampungkan teorinya ini. Tapi kalau orang-orang lapar katanya akan membayangkan surga yang ada meja penuh dengan makanan lezat, lelaki dewasa usia seksual produktif akan membayangkan surga penuh bidadari cantik yang siap melayani hasratnya. Hehehe, itulah surga dalam bayangan orang-orang yang sebenarnya belum sampai di tingkatan aktualisasi diri dan transendens.

Jadi, gambar pembaharuan teori Maslow kayak gini:






Maslow juga menulis bahwa dia menemukan dua jenis orang-orang yang mengalami aktualisasi diri, yaitu mereka yang benar-benar sehat, tapi pengalaman transendensinya minim atau tidak ada sama sekali. Dan ada orang-orang yang mengalami transedensi dan hidupnya berpusat di pengalaman transedensi tersebut. Dia juga bilang bahwa bukan hanya orang-orang yang sudah mengalami aktualisasi diri saja yang bisa mengalami transedensi, namun orang-orang yang tidak teraktualisasi diri pun bisa juga mengalami transedensi.

Ternyata Maslow sendiri pun bilang bahwa walaupun bentuknya hirarki, bukan berarti bahwa urutan dan prioritasnya adalah selalu seperti itu. Contohnya: untuk beberapa orang, kebutuhan akan penghargaan diri lebih penting daripada kebutuhan akan cinta. Sedangkan untuk orang lain, kebutuhan untuk pemenuhan kreatif bisa saja menggantikan kebutuhan yang paling dasar, seperti seorang seniman yang rela kelaparan daripada dipaksa menciptakan karya seni yang komersil. Misal lainnya, kebutuhan di tahap ketiga (kebutuhan akan dicintai dan diterima) dapat mengalahkan kebutuhan fisiologis dan rasa aman, tergantung kekuatan tekanan kelompok (peer-pressure), misalnya: orang dengan kecenderungan anorexia (kelainan psikis yaitu kurangnya nafsu makan meskipun lapar, biasanya dengan alasan ingin kurus, berlebihan ketakutan terhadap kegemukan dan takut terlihat tidak menarik). Jadi bingung saya, sebenarnya maunya Maslow seperti apa sih?


Melihat Dunia yang Menyimpang dari Maslow

Saya punya banyak pertanyaan yang mungkin bisa bikin pusing. Karena Maslow sudah tidak ada, nggak bisa juga langsung tanya ke dia. Banyak sekali orang yang (sempat atau masih) setuju dengan teori pemenuhan kebutuhan Paman Maslow. Tapi benarkah bahwa kebutuhan itu sifatnya hirarkis? Dan bila hirarkis, betulkah urutannya seperti itu? Apakah bila kebutuhan di satu tingkat telah dipenuhi, maka kebutuhan itu akan hilang dan melanjutkan ke kebutuhan di tingkat yang lebih tinggi? Apakah tidak mungkin bahwa walaupun seseorang sudah mencapai tingkatan kebutuhan yang tinggi, pada saat yang sama juga masih memiliki kebutuhan yang besar di tingkatan-tingkatan yang lebih rendah? Ataukah orang-orang yang tidak mengikuti hirarki kebutuhan ini (dengan urutan yang tepat) sebenarnya adalah orang-orang yang kacau yang kalau berkumpul dalam jumlah milyaran maka membentuk dunia yang juga kacau dan sakit?

Apakah hirarki ini sebenarnya lebih cocok untuk orang-orang yang bertumbuh kembang dalam masyarakat yang memiliki pandangan individualis dibanding untuk mereka yang hidup di dalam masyarakat yang berpusat pada ikatan komunal? Seperti yang saya bilang tadi, dalam masyarakat kolektif, kebutuhan untuk diterima dan berada bersama komunitas dinilai lebih tinggi daripada kebutuhan akan kebebasan dan individualitas.

Apakah hirarki ini berlaku untuk semua orang bahkan yang sama-sama hidup di satu masyarakat yang sama? Apakah kalau saya hidup dalam masyarakat komunal berarti kebutuhan untuk diterima dan berada bersama komunitas akan lebih tinggi daripada kebutuhan akan kebebasan dan individualitas? Apakah tetangga saya yang juga adalah teman sekelas saya dari TK sampai lulus kuliah memiliki hirarki kebutuhan yang sama tingkatannya?

Apakah orang yang belum pernah menikmati seks mampu untuk merasakan keindahan dan peduli pada pemenuhan potensi orang lain? (Seperti juga para perawan dan perjaka yang memilih hidup berselibat). Ataukah dia akan terus berdoa pada Tuhan, jangan dulu saya mati karena saya belum kawin, Tuhan?

Bagaimana dengan orang-orang yang berpuasa? Yang menyangkal atau menunda sebagian kebutuhan fisik untuk mengalami pemenuhan spiritual seperti umat Islam di bulan Ramadhan, atau umat Kristen Katholik di masa Advent, atau kaum sufi atau para pendeta Buddha? Atau bagaimana dengan mereka yang berpuasa demi dinilai orang-orang lain bahwa dia telah cukup berprestasi karena sukses dengan puasanya? Atau bagaimana dengan mereka yang sudah “berhasil” berpuasa, sudah mencapai “kemenangan”, dan ketika tuntutan itu sudah tidak dirasakan perlu lagi, maka orang-orang kembali bergulat di kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih rendah tingkatannya? Bagaimana dengan orang-orang yang memang tidak meniatkan berpuasa (karena memang beneran miskin), dan dia juga tidak memiliki pengetahuan dan prestasi akademis yang tinggi namun mampu mengapresiasi keindahan dan mampu memahami dan membantu dalam penderitaan orang lain? Bagaimana dengan kaum pertapa yang santai-santai saja berpuasa dan kelaparan, yang tidak lagi mencari kemasyhuran, yang biasa saja dengan kesendiriannya? Apakah mereka bisa disebut telah mencapai kebutuhan transendensi? Tapi mengapa dia tidak tergerak untuk keluar dari gua pertapaannya dan menolong orang-orang lain di dunia nyata?

Bagaimana dengan adanya anak-anak kecil yang terlihat berbeda dengan anak-anak lainnya, yaitu anak kecil yang mampu memahami penderitaan dan kelaparan orang lain lalu memberikan makanannya sendiri untuk orang yang lapar itu? Sementara anak-anak kecil lainnya tidak akan peduli dan tetap memegang erat makanannya padahal dia melihat gelandangan kelaparan di jalan? Padahal dua contoh/jenis anak kecil itu sama-sama belum punya pendidikan tinggi dan belum diajarkan nilai-nilai sosial dan agama sampai sedalam itu? Padahal orang dewasa yang sudah berpendidikan tinggi dan khatam norma sosial dan agama pun belum tentu memberikan makanannya pada yang kelaparan?

Dalam masyarakat yang lapar dan miskin: kenapa ada masyarakat yang berjuang untuk keluar dari penjajahan, dan kenapa ada yang mencari kesempatan menjarah dalam kekacauan? Apakah orang-orang yang sedang kesakitan dan kelaparan tidak bisa punya keinginan untuk menjadi orang yang merdeka? Atau mereka rela diperbudak oleh siapa saja dan apa saja asalkan diberi makanan dan tidak dibuat kesakitan? Kenapa di jaman perbudakan dulu, ada budak yang masih terus saja rela menjadi budak, dan ada budak-budak yang mulai berpikiran untuk memberontak demi kemerdekaan mereka? Padahal budak-budak tersebut sama-sama tiap hari kerjanya jadi budak yang selalu kelaparan dan kelelahan bekerja?

Bagaimana dengan orang-orang yang sempat menikmati kemewahan material dan sempat dihormati oleh banyak orang, lalu ketika bencana datang yang menghancurkan harta bendanya, dia ikut memiliki mental pengemis? Kenapa ada korban bencana yang tidak sudi minta-minta sedangkan ada orang-orang di lembaga kemanusiaan untuk korban bencana (yang jadi gemuk dan kaya karena bencana) jago menangis dan minta-minta?

Bagaimana dengan janda yang berhasil keluar dari hubungan penuh kekerasan dengan mantan suaminya, sempat mampu mandiri mencari uang untuk menghidupi dirinya dan keluarganya, lalu ketika lelah dengan stigma kotor dari masyarakat mengenai janda, akhirnya dia memilih menikah lagi demi kembali memiliki tempat yang “lebih pantas” dalam masyarakat untuk dirinya dan terutama untuk anak-anaknya? Apakah dia sedang naik peringkat atau turun peringkat?

Apakah Maslow membedakan antara “kebutuhan” dan “keinginan”? Kalau dikaitkan dengan ajaran agama, katanya Tuhan lebih tahu apa yang kita butuhkan. Dia sering tidak mengabulkan keinginan kita, tapi Dia mengerjakan hal-hal aneh untuk memberi apa yang sebenarnya kita butuhkan. Apakah yang Maslow maksudkan dalam teorinya adalah kebutuhan, namun pada kenyataannya, orang-orang sedang mengejar pemenuhan keinginannya sehingga teori Maslow adalah teori Ke-Tuhan-an, sehingga tidak cocok untuk menjelaskan isi dunia ini, tidak cocok untuk fakta yang terjadi. Yang ada adalah kita sedang jungkir balik ngalor-ngidul nggak jelas kalau dipetakan dalam piramida Maslow.


**********

Namun, walaupun hirarki kebutuhan Maslow tidak sesuai bila dibandingkan dengan fakta-fakta yang ada, saya rasa mengetahui dan memahaminya saja sudah cukup berguna untuk kita mulai merenungkan ulang kebutuhan kita. Dan untuk itu saya berterima kasih pada Pak Maslow. Mungkin kita perlu merenung ulang tentang kebutuhan apa yang selama ini kita masih berkutat dan belum juga ada lompatan ke tingkatan yang lebih tinggi. Tentang bahwa sebenarnya kita sedang mengejar pemenuhan keinginan, tapi bukan pemenuhan kebutuhan, sehingga nggak heran dunia ini jadi aneh dan sakit.

Mungkin pernah di suatu masa kita memiliki pengalaman “puncak” tapi kemudian, entah kenapa, sekarang kita tidak mampu lagi memiliki pengalaman-pengalaman puncak. Kita lagi-lagi terperangkap dalam empat kebutuhan defisiensi (fisiologis, rasa aman, rasa sayang dan penghargaan) yang masih setara dengan kebutuhan hewan dan tumbuhan. Seakan-akan kita manusia busung lapar yang “kekurangan gizi”. Tentang bahwa ternyata kita masih saja berfokus untuk pemenuhan kebutuhan diri sendiri tapi belum menjadikan kebutuhan aktualisasi dan transedensi (kebutuhan aktualisasi yang paling rendah muatan ego-nya, kebutuhan transedensi yang paling tidak egois) sebagai rencana dalam hidup yang akan kita kejar ke depan.

Bahwa walaupun kita hidup dalam masyarakat yang kolektif, sebenarnya banyak dari kita yang memiliki kebutuhan untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi namun dirasakan terlalu banyak tantangan untuk menempuh perjalanan ke tingkat yang lebih tinggi itu sehingga kita merasa cukup berhenti sampai di tingkat kebutuhan sosial dan penghargaan. Bahwa piramida Maslow bisa diterapkan untuk kita boleh membangun mimpi yang jelas, untuk membayangkan sebuah dunia yang utopis, yang ideal, dunia di mana orang-orang tidak lagi takut lapar, tidak lagi perlu takut pada kondisi yang membahayakan, tidak takut akan penolakan, tidak lagi takut untuk menjadi manusia yang bebas, merdeka dan memiliki banyak kemampuan dan kesempatan untuk pengalaman-pengalaman puncak. Mungkin dengan begitu, tidak perlu ada orang yang kelaparan dan sakit, ketakutan, merasa terbuang, merasa tidak dihargai. Mungkin bila Maslow benar, dan kita semua benar-benar mengejar sampai ke kebutuhan paling puncak, tidak perlu ada orang yang sampai harus sakit jiwa, dan kita semua bisa sama-sama masuk surga.




Gudang Seng, 20 September 2010

Sondang Sidabutar (pekerja kemanusiaan yang bermimpi dan percaya bahwa Maslow cuma bermimpi di dunia ini)

1 komentar:

  1. tulisan yang cukup menggelitik dan (mungkin) drama sebabak tadi malam disini.

    5 orang berkumpul, o1: dia mengulas perkelahian jalanan, o2: dia mengulas obat2an narkotik, o3: dia mengulas kerja kantoran, o4: dia mengulas tentang seni dan kerajinan. dari ke empat pengulas itu akhirnya masuk mengerucut pada satu tema yaitu kekuasaan.

    o5 yang dari tadi hanya berdiam mulai terusik, dia jengah dengan pembicaraan yang bernada seakan-akan itu. dia mulai berpikir dan akhirnya dia bersuara. o5: dia mulai mengulas bagaimana hantu2 dirumahnya bukan hal yang menakutkan tetapi menjadi teman yang baik karena sering membantu menyalakan lampu, membersihkan lantai, mencuci alat makan di dapur dan menemaninya saat sepi begadang.

    selesai mengulas hantu, dia mengulas tentang perjalanan dia dari sebuah daerah pedesaan menuju ibukota hanya bermodal celana 3/4, kemeja lusuh, dan sandal jepit tetapi akhirnya bisa masuk ke instansi2 pemerintah yang sangat formal seperti mabes polri, kompolnas, ombudsmen, komnas ham, komnas perempuan, KLH, dll meski di mabes polri sempat tidak boleh masuk karena bercelana pendek dan bersendal jepit tetapi akhirnya bisa juga masuk.

    pengulasan belum selesai, o5 mulai membahas tentang beberapa penguasa formal lokal yang hormat tunduk pada seorang istri raja mesti kunjungan dia disitu adalah kunjungan politis sebagai anggota dewan tingkat nasional.

    pada waktu itu penguasa lokal menyelidik asal muasal o5 dan kenapa bisa sampai sana. o5 hanya bilang kalau dia tukang foto. wajah kumal o5 memang layak dipertanyakan di tempat terhormat itu. cara pandang yang sebelah mata itu membuat o5 tidak nyaman. dia pingin pergi tetapi merasa belum tepat waktunya. akhirnya istri raja itu keluar dan mendatangi penguasa lokal itu. perempuan itu memberikan pengarahan tentang pembangunan daerah. tanpa berpikir panjang penguasa daerah itu mengiyakan apa kata perempuan itu. "iya ibu ratu, sendiko dawuh... (laksanakan perintah)!" o5 yang melihat kejadian itu berusaha menahan tertawa dan istri raja itu melirik menahan senyum. tidak begitu lama istri raja itu pamitan kepada penguasa daerah itu dan penguasa itu benar2 sangat hormat dan patuh. tidak begitu lama kemudian istri raja itu pamitan dengan o5 "o5 saya mau pulang ke kraton dulu, saya duluan ya..." sambil senyum. "oh ya bu, nanti sebentar lagi saya juga pulang, ini masih menunggu teman di parkiran."

    dan istri raja itu pergi. tidak begitu lama teman yang dimaksud datang, o5 berpamitan dengan penguasa daerah itu yang beberapa saat hanya diam2an tertunduk. "pak saya pamit mau pulang dulu, teman saya sudah datang." "oh ya silahkan-silahkan mas, kalau pas ke sini mampir!" katanya penuh sopan santun dan halus.

    dan di kursi masing2 o1, o2, o3, o4 terdiam mendengarkan dan entah apa yang ada dalam pikiran mereka. beberapa saat kemudian o5 pamitan pulang sambil tersenyum, o1, o2, o3, o4 dengan agak kaget menjawab. "o..o..oh... ya..., nanti siang jumpa lagi!"

    salam! byuurrr....

    BalasHapus