MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Minggu, 05 September 2010

PEROKOK YANG BAIK (REVISI)

“Saya ini perokok yang baik.”
“Masak, sih? Mana ada perokok yang baik?”
“Iya. Nih, denger yah.”


Pertama: Saya perokok yang tahu dan mengakui bahwa merokok adalah kebiasaan yang buruk. Saya gak mau bilang bahwa merokok itu bagus untuk mencari ilham, menghilangkan pusing-mumet, membuka pikiran yang buntu, membuat kita merasa tenang dan rileks. Ketergantungan pada kebiasaan merokok termasuk dalam penyalahgunaan NAPZA (Narkotik, Psikotropika dan Zat Adiktif lain). Kalo adiktif, ya adiktif. Penyalahgunaan NAPZA dalam ilmu psikologi dimasukkan ke dalam salah satu gangguan mental yang dinamakan “substance abuse disorder”. Digolongkan ke dalam gangguan mental karena sudah merusak fungsi rasio/logika dan kognisinya. Perokok banyak yang membuat-buat dan mempercayai alasan-alasan kenapa dia harus terus merokok, alasan-alasan yang baginya terdengar rasional dan logis. Lihat saja, kalau dihadapkan pada fakta, data statistik atau kasus-kasus penyakit dan kematian akibat kebiasaan merokok, dia akan mencari-cari segelintir kasus para perokok berat yang sehat walafiat dan panjang umur. Sakauw (nagih) rokok membuat kerja otaknya terganggu sehingga untuk menghilangkan efek sakauw dia harus merokok. Kayak orang-orang yang sudah ketagihan narkoba, perilakunya resah-gelisah dan jalan pikirnya amburadul kalau darahnya sudah nuntut dan akan tenang kembali kalau sudah mengkonsumsi. Begitu pula dengan ketagihan rokok.

Kedua: Saya mengakui bahwa saya lemah karena belum berhasil berhenti merokok. Saya sudah memulai kebiasaan ini kira-kira 16 tahun yang lalu. Saya sudah coba berkali-kali berhenti merokok, tapi kambuh lagi, kambuh lagi. Terlalu mudah cari rokok di negeri ini, harganya relatif murah dibanding negara-negara lain, terlalu banyak teman yang bisa dijadikan kawan ngobrol akrab sambil merokok, terlalu familiar merokok itu di ruang-ruang pribadi dan kreatif saya. Saya belum cukup kuat melawan semua godaan dan kemudahan itu.

Ketiga: Saya akan minta ijin dulu sama orang-orang di sebelah saya apakah mereka keberatan atau tidak saya merokok. Kalau mereka keberatan, saya akan menahan keinginan merokok atau cari tempat lain jauh dari orang-orang anti asap rokok. Kalau mereka tidak keberatan pun, saya akan mengepulkan asap jauh-jauh ke atas supaya tidak langsung dihirup teman bicara saya. Bahkan kalau merokok di antara para perokok pun saya tetap kepulkan asap jauh-jauh dari mereka. Saya tetap berusaha menghormati hak orang lain akan udara bersih.

Keempat: Saya tidak mau merokok di dekat ibu hamil, orang lanjut usia, bayi/anak kecil, orang sakit. Tega banget deh, orang-orang yang bisa-bisanya merokok dengan cueknya di dekat kelompok orang-orang yang sangat butuh udara bersih ini. Saya gak ngerti apa sih yang ada di pikiran perokok ini. Kok, bisa error gitu, ya?

Kelima: Meskipun saya perokok, saya sebenarnya benci asap rokok. Kok bisa? Jangan salah, saya pun mencintai udara bersih. Udara dengan asap rokok jelas gak bersih, gak enak dan bikin sesak. Makanya saya tidak mau merokok di ruangan tertutup (kecuali sudah kepepet) karena dengan cepat mengotori udara di tempat tertutup itu dan asap rokok bertahan untuk waktu lama. Saya juga sebel banget sama orang-orang yang bisa-bisanya merokok di dalam bis AC, misalnya, atau orang yang merokok dekat saya dan asapnya dikebulkan langsung kena muka saya. Jijay, deh. Lalu kenapa saya merokok? Untuk ritualnya, untuk sebuah perasaan ditemani oleh sesuatu yang familiar dan dekat. Ritual dan pertemanan ini juga bikin ketagihan. Tapi tidak untuk bau asapnya. Saya selalu hembuskan asap rokok jauh ke atas atau ke depan (yang tidak ada orang lain di situ).

Keenam: Saya bersedia menanggung konsekuensi-konsekuensi kebiasaan merokok. Saya membeli rokok pakai uang sendiri, bukan uang orang tua saya (perhatikan yah, anak-anak, yang masih merokok pakai uang ortunya) atau uang orang lain. Uang sendiri dari nafkah halal. Kalau saya terkena penyakit gara-gara rokok, maka biaya rumah sakit dan obat harus saya tanggung sendiri, tidak boleh membebani biayanya ke siapa pun selain ke diri saya sendiri. Kalau pun saya mati gara-gara merokok, maka saya sudah menyiapkan asuransi jiwa untuk kematian saya sendiri. Saya tidak mau mati meninggalkan hutang, apalagi hutang gara-gara merokok.

Ketujuh: Saya tidak mau beli rokok yang harganya mahal. Saya gak mau menjadikan kebiasaan buruk ini menghabiskan banyak uang saya. Saya memilih melinting tembakau. Kalau dihitung-hitung biayanya 1/4 - 1/5 rokok biasa yang merk-nya sering diiklankan. Kebiasaan buruk kalau bisa jangan dibikin terlalu mudah juga. Kan, jauh lebih mudah cabut rokok dari kotak, slep, masuk bibir, nyalakan api, hssshhhh….. Ritual si ahli hisap. Kalau pakai tembakau, ritualnya jadi lebih panjang dan lebih lama. Belum lagi kalau harus merespon komentar dan pertanyaan orang kenapa melinting tembakau. Kadang-kadang ada yang minta diajarin melinting atau diminta melinting buat dia.

Kedelapan: Saya sadar dan mengakui bahwa asap rokok dan racun-racunnya menyumbang pada pencemaran udara dan global warming. Walaupun kata para perokok kadarnya masih lebih rendah daripada peternakan, rumah kaca, eksploitasi lingkungan, penambangan, penggundulan hutan, tapi tetap asap rokok masuk dalam daftar penyebab polusi lingkungan dan pemanasan global. Karena saya penikmat dan pecinta alam, maka saya berencana suatu saat akan membuat hutan kecil untuk mengganti udara yang sudah saya cemari dan bikin panas selama ini.
Kesembilan: Sampai saat ini, saya masih tetap berkeinginan mengurangi merokok dan dampak rokok, kalau bisa menghentikannya. Kalau pun saya belum bisa benar-benar berhenti merokok, maka saya sudah merencanakan mau mencoba rokok elektrik yang baru nge-trend itu, rokok yang gak punya asap dan tidak mengotori lingkungan. Mungkin karena masih giat-giatnya baru promosi maka yang keliatan baru baik-baiknya saja, belum ada hasil penelitian yang kontradiktif dengan janji-janji rokok elektrik. Tapi saat ini, pilihan itu masih lebih baik daripada merokok rokok biasa, dalam keadaan saya yang belum mampu berhenti merokok. Mudah-mudahan dengan merokok rokok elektrik, kebiasaan saya minum kopi (pakai gula) bisa berkurang juga. Mudah-mudahan juga “teman baru” ini nanti tetap mampu mengawal dan mengimbangi proses kreatif dan ruang-ruang perenungan saya. Saya mau tunggu stok tembakau saya habis dulu, syukur-syukur kalau pada saat itu harga rokok elektrik sudah makin murah .

Kesepuluh: Saya bukan tipe perokok yang suka mengejek, menggoda dan menghasut orang lain yang tidak merokok untuk mulai jadi perokok, yang sedang berusaha berhenti merokok untuk mengurungkan niatnya, dan yang sedang berusaha mengurangi rokoknya agar tambah lagi merokoknya. Untuk orang-orang yang demikian, maksudnya yang tidak merokok, sedang/sudah berhenti merokok atau sedang mengurangi rokok, saya biasanya bilang saya salut dan ikut merasa senang dengan pilihan mereka dan mengakui bahwa saya lemah dan mereka lebih kuat. Bila ada orang bukan perokok yang memandang dengan syahdu dan ikut merasakan nikmat karena menonton gerakan-gerakan kenikmatan saya saat merokok, lalu dia bilang mau mencoba merokok, maka saya bilang, “Kamu yakin? Tidak merokok itu baik sekali. Jangan sampai kamu mulai jadi perokok. Kalau kamu mulai merokok, hati-hati nanti ketagihan. Hati-hati dengan segala dampak buruknya. Saya saja mau berhenti merokok sampai sekarang masih susah.” Kalau dia tetap memaksa saya dan meyakinkan saya bahwa dia akan baik-baik saja, maka saya mengangkat bahu dan dengan santai menyodorkan rokok atau melinting tembakau untuk dia. Yang penting, dia sudah saya peringatkan akan pilihannya dan dia tahu konsekuensinya.

Kesebelas: Kalau saya sedang mengunjungi daerah-daerah di mana di situ masih tabu bagi seorang perempuan untuk merokok di tempat umum, maka saya bertanya pada si tuan rumah (demi stabilitas status sosialnya alias menyelamatkan mukanya) apakah bermasalah kalau saya yang perempuan ini merokok di tempat publik? Kalau dia jawab, “Ah, santai aja. Gak apa-apa, kok.” Maka saya akan merokok. Tapi kalau dia menyarankan jangan, maka saya menundanya dan merokok kalau sudah sampai di tempat yang lebih privat. Tapi saya akan tetap bertanya demikian ke teman-teman saya ini di tempat-tempat publik yang berbeda, karena terkadang ada tempat publik yang oke saja, ada yang tidak oke dengan pemandangan perempuan merokok di tempat umum.

Keduabelas: Bila saya sedang berkumpul dengan para perokok dan ada di antara mereka yang merasa dirinya paling bijak dan menasihati tentang hidup sehat dengan tidak mengkonsumsi vetsin, memilih menu makan yang sehat, tentang olahraga, dan lain-lainnya, maka saya langsung mengkonfrontasinya dengan kebiasannya untuk tetap merokok itu. Saya bilang, “Alaah, lu berhenti merokok aja dulu deh. Yang itu aja juga udah gak sehat sama sekali.” Yah, ada yang langsung malu dan mengakui, ada yang mulai cari-cari alasan pembelaan diri. Apa pun, tetap tidak merubah pandangan saya bahwa merokok itu kebiasaan buruk dan kelemahan pengendalian diri.

Ketigabelas: Saya memperlakukan puntung rokok dengan mematikan api rokok semati-matinya, dan berusaha mencari tempat sampah yang semestinya untuk membuang puntung rokok. Point ini kutambahkan setelah seorang teman saya yang juga perokok mengirim pesan pada saya tentang hal krusial yang belum dimuat, yaitu mematikan api rokok semati-matinya. Katanya, “Biasanya aku menilai apakah seseorang tersebut perokok yang baik atau tidak, adalah melihat caranya mematikan api. Orang yang hanya melempar dan membiarkan api tetap menyala, fuck them.” Lalu saya jawab bahwa saya memang lupa dengan point ini, dan aku setuju dengannya. Saya pun kalau mematikan rokok biasanya di air ludah yang saya jatuhkan ke tanah lalu kutanam puntung ke situ, atau ke air, atau ke tanah yang lembab. Puntung rokok yang masih menyala apinya lalu dilempar begitu saja oleh pemiliknya adalah salah satu dari penyebab kebakaran. Selain itu puntung rokok yang masih menyala berarti masih terus mengeluarkan asap yang menimbulkan polusi dan panas. Saya pernah mendengar bahwa puntung rokok termasuk satu dari beberapa limbah terbanyak yang ditemukan di laut di Indonesia (selain limbah plastik).

Jadi, masih belum setuju kalau saya ini perokok yang baik? Tidak apa-apa juga kalau kamu tidak setuju. Tokh, saya memang manusia lemah dan tidak sempurna tapi masih tetap berusaha untuk jadi lebih baik.


*****************

Setelah saya menulis versi awal (tanggal 13 Agustus), ada yang bertanya pada saya pada awalnya mengapa saya merokok? Saya jawab: motivasi pertama kali merokok, itu saya mulai duluuuu banget (16 tahun yang lalu), waktu tahun-tahun awal kuliah. Saya dulu sukanya gaul sama cowok-cowok senior di kampus yang notabene mereka suka nongkrong, ngopi dan merokok. Aku menikmati waktu-waktu nongkrong sama mereka dan jadinya ikut-ikutan ngopi dan merokok juga. Lalu lama kelamaan ngopi dan merokok jadi candu, jadi ketergantungan dan kelemahan yang sampai sekarang aku belum mampu hentikan.

Lalu ada teman yang menanyakan: “yang saya belum bisa pahami, kenapa seorang perokok kembali merokok padahal dia sudah bertekad: SAYA BERHENTI MEROKOK. Biasanya dengan alasan kambuh lagi, kambuh lagi. Memang sih bisa dijawab dengan alasan: rokok kan zat adiktif, jadi wajar kalo susah untuk nggak kembali merokok. Menurut saya sih, itu tergantung sama si perokok itu, bener-bener niat gak ninggalin rokoknya.” Saya tidak mau menjawab ini. Nanti akan terkesan saya membela diri. Gagal berhenti merokok mungkin bisa dicarikan kemiripannya dengan gagal memperbaiki pola makan, gagal mengurangi perilaku gila belanja, gagal berhemat, gagal menepati janji, gagal mengurangi perilaku menggigit kuku, dan gagal-gagal lainnya yang sebenarnya pelakunya tahu kebiasannya merusak, tapi lagi-lagi yang namanya “niat” semata seringkali belum cukup...


Menteng, 13 Agustus 2010. (revisi: Depok, 17 Agustus 2010)
Sondang Sidabutar (pekerja kemanusiaan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar