MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Kamis, 04 November 2010

SERIAL LUKA 1: KALIAN TAHU RASA LUKA?

 
Mari bicara soal luka, bersikap jujur tentang luka, mari menghayati rasa luka, mengenalnya dan mengingatnya baik-baik, karena pelajaran yang diberikan oleh luka, sekalipun sulit dan menyakitkan, sesungguhnya begitu memperkaya dan menakjubkan...


Rasanya Luka...

Katanya, hidup yang memberikan sedikit saja bekas/parut luka adalah kehidupan yang dangkal, kerdil, rapuh, tidak kaya dan tidak membijaksanakan. Betapa takutnya orang-orang yang hanya punya sedikit luka itu pada sumber-sumber luka lain. Mereka senantiasa hidup dalam kewaspadaan berlebih dan tidak bersedia mencoba pengalaman-pengalaman baru karena pengalaman baru akan membawa luka-luka baru. Dia membiarkan orang-orang yang ‘menyayanginya’ untuk melindunginya terus-menerus dan menyediakan perasaan aman yang menjamin. Mungkin sulit bagi mereka untuk memahami luka-luka yang asing baginya yang dialami oleh orang-orang lain. Mereka akan mengambil jarak cukup aman, menjadi penonton, memberi komentar atau memalingkan muka pura-pura tidak melihat, atau berbohong dengan mengatakan bahwa dia bisa memahami luka-luka itu. Terkadang mereka memang tulus ingin membantu, tapi ketidaktahuan dan kenaifan mereka jadi seperti kisah monyet yang ingin menolong ikan yang dilihatnya megap-megap di air lalu si monyet mengangkat ikan itu dari air untuk menyelamatkannya. Ketika ikan mati, monyet bertanya-tanya dan menuduh ikan tidak tahu berterimakasih dan tidak mau berjuang untuk hidup.

Namun bukan hanya mereka dengan ketiadaan atau sedikit parut luka, bahkan mereka yang sudah pernah terluka parah walau hanya sekali saja, bisa berubah lumpuh dan pucat pasi melihat wujud luka yang datang menghampirinya. Luka semata-mata dihayatinya sebagai musuh besar yang menakutkan, tamu tak diundang dan tak diharap, teror malaikat maut. Istilah yang cukup populer untuk ini adalah trauma.

‘Aku sudah pernah ada di situ, mengalami itu. Aku tahu rasa lukanya. Tidak mau, aku tidak mau lagi.’ Pernah hidup miskin dan menderita, lalu bekerja keras keluar dari kemiskinan dan penderitaan itu, lalu berhasil mengatur dan mempertahankan kehidupan yang nyaman (bahkan mewah kalau mampu). Ketika dia melihat orang-orang lain yang miskin dan menderita, maka dia merasakan keraguan dan keengganan yang luar biasa untuk melepaskan lagi kenyamanannya dan berbagi rasa dengan orang-orang lain tersebut. Pernah bertemu ‘pensiunan kere’ seperti ini? ‘Hahaha, luka itu sakit, teman. Ngapain kau cari-cari? Jangan-jangan kau masochist, senang disakiti dan dilukai, dan senang mencari dan merasakan sakit/luka.’


‘Mengalihkan’ Luka

‘Kalau sedang ada masalah, aku pergi ke tempat lain dan melakukan hal-hal yang ringan dan menyenangkan untuk sejenak melupakannya. Walaupun pada akhirnya aku harus kembali menghadapi rasa itu, kekosongan itu, kegalauan itu. Masalahnya pun masih tetap ada.’ Lari ke tempat lain untuk menghindari tempat bercokolnya sumber masalah katanya namanya pemulihan geografis. Sedangkan aktivitas pengalih perhatian dari sumber masalah/luka itu namanya distraksi. ‘Rasa/perasaan’ mungkin saja bisa diredakan dengan pengalihan-pengalihan. Bila ‘rasa/perasaan’ itu adalah sumber masalahnya, maka selesai perkara. Namun, bila masalah yang sebenarnya bukan terletak pada ‘rasa/perasaan’, bagaimana? Bisa saja kita, misalnya, memutuskan untuk keluar dari tempat kerja kita karena kita merasa sangat tidak nyaman di situ. Banyak orang yang saling melukai dalam berkomunikasi, saling menyerang dan membela diri, saling tikam dari belakang, dll. Tanpa mengusahakan perubahan apa pun selain merubah pilihan tempat bekerja, kita merasa bahwa persoalan sudah terpecahkan. Benarkah? Bagaimana kalau di tempat kerja yang baru ternyata situasinya lama-kelamaan berkembang seperti itu juga? Mau pindah kerja ke mana lagi?

Apa maksudnya dengan ‘rasa/perasaan’ sebagai sumber masalah (bila masih dikaitkan dengan persoalan di atas tadi)? Misalnya saja kita sebenarnya cocok bekerja di tempat itu. Orang-orangnya cukup adil dan terbuka, bayarannya juga gak jelek-jelek amat. Jenjang karirnya bisa kita pahami dan kita juga tidak bermasalah dengan nilai-nilai dalam tempat itu. Tapi dalam durasi waktu tertentu, kita lalu merasa sangat bosan, jenuh, atau mengalami kelelahan kerja. Nah, itulah gunanya liburan dan cuti, supaya kita bisa ‘lari’ sejenak dari perasaan bosan dan lelah itu. Melakukan hal-hal yang benar-benar menimbulkan gairah dan kekuatan baru selama liburan dan cuti, kemudian kembali lagi masuk kerja dalam keadaan sudah di-recharge. Kalau cuma itu persoalannya, cuma soal perasaan, jalan keluarnya jadi relatif jauh lebih mudah, bukan?

Saya teringat mendengar satu cerita yang sempat membuat saya merasa geli sekaligus tertarik. Kalau misalnya lututmu terbentur sesuatu, biasanya kita akan secara refleks mencurahkan perhatian pada lutut yang terbentur itu. Ya iyalah, sakit gitu loh. Mau supaya lutut itu tidak terasa terlalu sakit? Jangan perhatikan lutut yang terbentur itu, tapi curahkan perhatian dan usap-usaplah lutut yang satunya lagi. Makanya rasa sakitnya akan berkurang. Serupa halnya bila kita sedang merasa terluka. Maka hentikan berpikir tentang kejadian yang menyakitkan itu. Fokus pada saat ini dan perhatikan sekeliling kita sambil memikirkan sebanyak mungkin hal-hal di sekeliling kita: ini mobil berwarna merah, di depan sana ada pohon yang warnanya hijau dan berdaun lebat, di sebelah kiri sana ada anak kecil berlari-lari, di situ ada anjing yang sedang menyeberang jalan, dst, dst, sampai rasa luka itu tidak terasa menyakitkan lagi.   

Terkadang, jika sumber permasalahannya jauh melampaui kekuatan kita, maka pilihan yang ada tinggal pemulihan geografis dan distraksi. Apalagi kalau masalah tersebut mengancam keselamatan dan nyawa kita, maka ‘lari’ adalah pilihan yang mungkin lebih bijak daripada memasang badan untuk menantang sumber bahaya. Pernah mendengar ‘selective autism’ atau autisme disengaja? Karena suasana di sekitar kita begitu tidak menyenangkannya, begitu menyakitkannya, maka kita di tempat itu juga, memilih untuk bersikap masa bodoh atau sibuk dalam ‘dunia’ kita sendiri. Cara ini dipilih karena lari ke tempat lain tidak memungkinkan. Misalnya saja, sebuah rumah yang kedua orang tuanya sibuk bertikai sepanjang waktu, maka seorang anak mungkin memilih untuk memasuki dunianya sendiri dan bermain-main di dunianya sendiri walau kedua orang tuanya bertengkar tepat di sebelahnya. Bahkan ada yang sampai ‘mampu’ memiliki ‘out of body experience’ (pengalaman keluar dari tubuh sendiri) ketika berdiam di dalam tubuh sendiri terasa demikian menyakitkan dan mengerikan. Beberapa anak dan perempuan korban perkosaan dan penyiksaan ada yang mengalaminya, di mana ketika peristiwa perkosaan atau penyiksaan sedang terjadi, dia bisa ‘keluar’ dari tubuhnya sendiri sehingga dia tidak merasakan sakitnya tubuh aslinya ketika diperkosa dan disiksa. Penjelasan untuk fenomena ini cukup rumit. Jika tertarik, bisa mencari penjelasan lebih jauh di novel-novel Torey Hayden, seorang guru khusus bagi anak-anak dengan gangguan-gangguan kepribadian yang cukup parah. Namun, dalam kebanyakan peristiwa, walaupun mereka sudah tidak lagi hidup dan tinggal dalam lingkungan yang menyakitkan itu, perilaku-perilaku autisme disengaja dan pengalaman keluar dari tubuh sendiri tidak dengan serta-merta hilang. Malahan berkembang menjadi gangguan-gangguan kepribadian jenis lain lagi. Ini, adalah luka-luka super berat. Butuh orang-orang khusus untuk membantu pemulihannya, kerjasama total dari orang-orang terdekat, perubahan-perubahan tertentu di dalam lingkungan, dan biasanya memakan waktu relatif lama.   

Tapi ada juga lho, orang-orang yang seberani itu, maksudku, memasang badan menantang bahaya. Aku teringat kisah nyata Otto Schindler dalam film/novel The Schindler’s List. Sebagai pengusaha yang flamboyan dan kaya raya, karena tergerak hatinya, dia menyelamatkan nyawa ribuan orang Yahudi di masa kekuasaan Hitler di Jerman. Tiap nama orang Yahudi yang masuk ke daftar Schindler (Schindler’s List) untuk dia pekerjakan di pabriknya, berarti adalah masuk ke dalam daftar hidup, terhindar dari kematian. Schindler terus-menerus mengeluarkan uangnya untuk membeli orang-orang Yahudi dan menjamin kelangsungan hidup mereka sampai dia sendiri jatuh bangkrut. Gairah kehidupan Schindler yang menantang bahaya tak berkesudahan membuat saya merasa sangat lelah membaca kisah novelnya karena saya didera perasaan khawatir terhadap aksi-aksi penyelamatannya yang spekulatif dan penuh resiko maut. Padahal saya sudah menonton filmnya sebelum membaca novelnya. Setelah berakhirnya kekuasaan Hitler, para orang Yahudi yang diselamatkan Schindler menamakan diri mereka sendiri orang Yahudi Schindler. Justru di masa damai, Schindler hidup luntang-lantung kehilangan arah dan tujuan hidup walaupun para Yahudi Schindler terus berusaha menolongnya. Setelah dia meninggal, orang-orang Yahudi Schindler tiap tahun berziarah ke kuburannya dan menaruh batu penghormatan di sekeliling pusaranya. Film ini sempat jadi film terlarang di masa orde baru dulu dan adalah satu dari sedikit film yang dengan suksesnya membuat saya menangis.



Berbagi dan Mencari Pertolongan






 

Banyak juga dari kita yang perlu berbagi permasalahan kita dengan menceritakannya kepada orang-orang yang kita percayai seperti kekasih, teman, orang tua, rekan kerja yang dekat, dll. Mungkin tanpa mereka harus memberikan solusi pun, kita cukup merasa ringan dan lega karena ada orang yang ‘menemani’ dan mendengarkan kita, dan solusi cukup kita cari sendiri. Kadang kita mengharapkan solusi juga dari mereka. Nah, mulai dari sini perjalanan pemulihan luka jadi lebih rumit, karena kadang mereka bisa benar-benar paham dan membantu mencari solusi bersama kita. Kadang mereka, atas nama sayang atau peduli, merasa bahwa mereka harus mengambil-alih permasalahan kita dan menyelesaikannya untuk kita. Ooouuhhh, mengharukan sekali. So sweet.

Tapi apakah perlu sampai sejauh itu? Apa memang kita tidak mampu menyelesaikan sendiri masalah kita? Nanti kalau perlindungan semacam itu menjadikan kita orang yang terlalu tergantung dan tidak mandiri, bagaimana? Kalau ‘solusi’-nya keliru, siapa yang mau disalahkan atau siapa yang harus memikul tanggung jawabnya? Ini soal bermain-main di sepanjang titian antara menjadi pahlawan dan menelantarkan. Makanya Yesus, setelah menciptakan mukjizat roti dan ikan yang tersohor itu, menolak ketika diminta menjadi raja atas orang-orang tersebut. Dia tahu benar, orang-orang itu pingin menjadikan Dia pahlawan sekaligus budak mesin pencetak mukjizat. Banyak pekerja kemanusiaan yang jatuh terpeleset karena gagal menjaga keseimbangan ketika meniti jembatan yang merentang di antara pahlawan dan penelantar itu. Banyak orang tua yang gagal memupuk kemandirian anak-anaknya akibat sikap yang over-protektif. Banyak pemimpin berkharisma yang gagal mengkaderisasi kepemimpinan gara-gara semua orang berlindung di belakang kharisma dia. Ketika dia keluar, berhenti atau meninggal dunia, pekerjaan itu mandeg. Gampang-gampang susah-susah-susah. Lebih banyak susahnya.

Bagi mereka yang mampu mengaksesnya, mencari pertolongan dari para profesional. Ah, cara ini belum populer di negeri ini. Mungkin ya, di kota-kota besar, tapi permasalahan di negara ini membuat tenaga profesional pemulih psikologis jadi tidak mudah diakses. Atau kalaupun diakses, harus secara sembuyi-sembunyi karena konon katanya hanya yang mengalami gangguan jiwa parah (atau sering disebut ‘gila’) yang sampai harus mencari pertolongan psikolog atau psikiater. Ck, ck, ck,... 



Ibaratnya Luka Fisik





Sementara orang mengumpamakan luka jiwa itu ibaratnya luka fisik. Bercerita tentang luka kita kepada orang lain, atau mengenangnya kembali, atau berhadapan muka dengan perwujudan luka, adalah seperti membuka kembali “perban atau plester” itu, membuat luka terpapar pada udara terbuka. Seorang teman bertanya ‘etis-kah membuka-buka luka lama seseorang? Bagaimana kalau dia mengalami perasaan sakit itu lagi? Apa istilahnya? Re-traumatisasi?’ Well, jelas tidak etis kalau sewaktu membuka luka itu kembali, udara di sekitar penuh dengan kuman penyakit, kalau alat-alat yang dipakai untuk membuka luka atau tangan kita yang memegang luka itu penuh bakteri dan virus. Atau kita tahu bahwa ada orang lain di dekat situ yang punya niat menoreh luka baru di atas luka lama tersebut. Pastikan dulu bahwa wadah, alat dan lingkungan diatur seaman dan senyaman mungkin bagi si penyandang luka. Setelah itu beres, pastikan bahwa “cara” kita membuka luka dan memberikan perawatan juga seberes dan sejeli seorang penyembuh yang paham benar cara memperlakukan luka lama. Kita tentu akan marah sekali kalau si perawat menyentuh luka kita dengan kasar dan tidak manusiawi. Setelah luka itu bersih dari kotoran dan nanah, kita pun perlu hati-hati sewaktu ‘menutup’ kembali luka itu dan menyarankan tindak lanjut perawatannya kepada si penyandang. Yang juga penting adalah memberikannya informasi mengenai keadaan lukanya dan seberapa parah serta seberapa baik potensi penyembuhannya. Berkomunikasi, untuk kesadaran bahwa si penyandang juga bertanggung jawab dalam pemulihan lukanya, bahwa pekerjaan terbesar dan terpenting justru ada di tangan si penyandang itu sendiri dan di tangan orang-orang terdekatnya serta kebersihan dan kesehatan lingkungannya. ‘Saya suka dengan dokter anu, dia baik dan sabar sekali. Saya belum ditangani penyakit saya saja, rasanya sudah setengahnya sembuh...’ Bisa dipahami, kan?  

Kalau lukanya masih basah dan bernanah, jangan ditutup dulu. Nanti dia membusuk dan menyebar di dalam. Sebaiknya dibersihkan dulu. Bagusnya secara teratur dibuka lagi perbannya untuk membersihkan luka itu lagi, baru ditutup lagi agar tidak terkena debu dan kuman. Kalau lukanya masih kecil dan ringan saja, cukup dibasuh air hangat yang bersih, tidak usah pakai antibiotik karena nanti daya tahan tubuh jadi manja karena ketergantungan obat luar yang namanya antibiotik itu. Kalau luka itu cukup besar, mungkin perlu dibedah atau dijahit. Tentunya, dibersihkan dulu sebelum bedah-jahit. Kalau luka itu terlalu parah sehingga membuat bagian tubuh yang terkena luka itu jadi lumpuh, bahkan beresiko membuat busuk bagian tubuh lain di dekatnya, maka sebaiknya cepat-cepat diamputasi bagian tubuh itu. Kalau luka di bagian tubuh A sebenarnya asalnya adalah bagian tubuh B, maka akan lebih bijaksana kalau penanganan dipusatkan ke bagian tubuh B, dan bagian tubuh A ditangani dengan tindakan medis tambahan/sekunder. Biasanya untuk bagian tubuh B perlu obat dalam dan bagian tubuh A obat luar. Untuk melatih daya tahan alami tubuhmu terhadap luka, minimkan obat-obatan, cukup makan makanan yang sehat dan bergizi dan menjaga kebersihan tubuh. Olahraga teratur juga perlu. Sekali lagi, kalau lukanya masih ringan, cobalah mengandalkan daya pemulihan alami tubuhmu dulu. Biarkan tubuhmu belajar berjuang secara mandiri. Jangan sedikit-sedikit obat, sedikit-sedikit obat lagi. Halo-halo, ini kita masih mengibaratkan luka psikologis dengan luka fisik, lho.

Saya ingat sejak tahun 2000 dulu pertama kali saya terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) waktu jaman banjir di mana-mana. Demam tingginya terasa seperti tifus, membuat saya tergeletak tidak bisa apa-apa. Saya kira saya tifus sampai kemudian dokter bilang saya kena ISPA. Dia kasih antibiotik, vitamin dan saya disuruh istirahat dan minum air putih yang banyak. Saya tidak suka obat-obatan, tapi waktu itu saya makan saja. Sembuh dalam beberapa hari. Ternyata setelah itu saya langganan kena ISPA hampir tiap tahun di musim pancaroba. Kalau tahun pertama saya mau minum semua obat dari dokter, maka tahun kedua antibiotiknya saya eliminasi. Saya minum vitamin C, minum air hangat banyak-banyak, dan banyak tidur dan sementara saya berhenti merokok. Riak saya sempat ada darahnya. Tahun ketiga vitamin C saya eliminasi, tinggal minum air putih hangat banyak-banyak dan tidur banyak, masih sementara berhenti merokok. Tahun keempat kena ISPA lagi. Karena saya pikir air putih dan tidur sudah alami sifatnya, saya tidak eliminir. Kali ini saya tetap merokok. Walau riak masih berdarah dan masih demam (tidak terlalu parah), saya tidak peduli. Hajar, bleh! Tahun kelima kena ISPA lagi, masih air putih, tidur dan tetap merokok, kali ini riak hanya berdarah sedikit dan demam cuma singgah sebentar. Tahun keenam pancaroba tidak terlalu mengganggu tubuh saya lagi, dan sampai tahun-tahun berikutnya juga. Intinya, latihan dan penempaan untuk meningkatkan kekuatan alami.  

Ada sebuah cerita menarik dari sebuah negeri yang terkenal dengan metode penyembuhannya. Cina, tentunya. Seorang Kaisar memutuskan bahwa dia harus meningkatkan daya tahannya terhadap racun agar bila ada pemberontak yang meracunnya, sang Kaisar akan terhindar dari maut. Tabib yang dipercayainya meramu racun dalam dosis yang sangat rendah dan aman untuk dikonsumsi secara teratur oleh Kaisar. Ketika dinilai Kaisar sudah cukup kebal dengan dosis tersebut, dosis ditambah lagi. Dosis terus ditambah secara berkala sampai ambang batas maksimal pertahanan tubuh Kaisar. Sepertinya ceritanya sampai di situ. Saya tidak ingat apakah diceritakan bahwa Kaisar akhirnya benar-benar diracun atau tidak. Tapi mengerti kan pesan moral di balik cerita ini? Bahwa sang Kaisar dengan sengaja mengkonsumsi ‘luka’ dan berlatih menggelutinya sampai tingkatan yang paling bisa dia tolerir.

Kita seringkali memilih pertemanan dengan orang-orang yang ‘mudah’ ditemani. Biasanya mereka adalah orang-orang yang ramah, hangat dan pengertian. Bersamanya kita merasa aman dan dilindungi. Tapi begitu kita bertemu dengan orang yang berkarakter sulit dan rumit, kita serta-merta ciut dan memutuskan tidak akan mau bertemu apalagi berteman lagi dengannya. Well, yaaah, sah-sah aja sih. Tapi kalau kita mau melatih kekuatan karakter diri dan mengembangkannya, cobalah pilih berteman dengan orang-orang yang sulit. Kalau kita bisa membuat sampai dia percaya pada kita, maka itu berarti kita sudah mengalami ‘lompatan’ perkembangan karakter diri. Saya tidak memaksudkannya bahwa kita menjadi penjilat atau ‘yes-man’. Tidak. Melakukan judo psikologis atau pergulatan mental dengan orang-orang berkarakter sulit bukan berarti kita langsung telentang menyerah, melainkan mengatur kekuatan dan kelenturan, menarik dan mendorong. Saya ingat, mentor-mentor saya yang berkualitas adalah orang-orang yang berkarakter sulit, mereka yang membuat saya bisa melakukan lompatan-lompatan karakter diri saya. Mentor-mentor yang ‘menyenangkan’ membuat saya mudah memahami isi ilmu yang diajarkannya, tapi tidak membuat perubahan karakter yang berarti dalam diri saya. Kadangkala kita perlu juga mengamati kelemahan dalam diri mentor kita supaya kita tidak perlu mengulang dan memiliki kelemahan yang sama.

Jadi, bagaimana kita pulih dari ‘luka’ kita seringkali ditentukan dari latihan dan penempaan sebelum peristiwa, juga bagaimana kita ‘merawat’ dan memperlakukan luka dan diri kita pada saat kita benar-benar terluka. Luka dan diri, bukan cuma luka. Eits, ada lagi: orang-orang terdekat kita dan lingkungan sekitar kita.


Terima dan Berserah Saja

Terima saja luka-lukamu. Serahkan pada waktu untuk menyembuhkannya. Banyak, cukup banyak orang yang mengandalkan sepenuhnya pada waktu untuk pemulihan dari rasa luka. Mereka bilang, waktu menyembuhkan luka, melupakan luka, meringankan luka. Begitukah? Hmmm, kalau kita kembali lagi pada pengibaratan luka jiwa dengan luka fisik, banyak yang tidak akan cocok dengan menyerahkan pada waktu untuk memulihkan luka. Iya kalau lukanya tidak punya potensi menyebar dan membahayakan bagian-bagian yang lain. Kalau dia menyebar dan membahayakan? Bisa-bisa melemahkan dan melumpuhkan. Menerima dan berserah cocok untuk luka-luka yang memang cukup aman untuk dibiarkan begitu saja. Pandai-pandailah membedakannya.  

Adakah di antara kita yang punya luka yang setelah sekian lama tetap terasa menyakitkan? Yang pasti, saya punya. Mungkin beberapa luka memang dimaksudkan untuk bertahan seumur hidup orang yang menanggungnya. Tandanya untuk mengetahui bahwa luka itu belum sembuh benar adalah: 1) Apa yang kita rasakan ketika harus menceritakan kembali luka masa lalu itu? Masih terasa sakit dan mengganggukah? 2) Apa reaksi kita kalau kita dihadapkan pada situasi yang mirip dengan peristiwa di masa lalu yang menimbulkan luka itu? Masih takut dan gentarkah? 3) Pilihan seperti apa yang kita ambil ketika kita tiba di persimpangan jalan: ambil jalan ini maka kau akan mengalami luka itu lagi tapi kau mungkin akan bertambah dewasa dan bijaksana walau belum tentu kau akan berhasil mengatasi masalah; atau kau ambil saja jalan lain karena itu nampaknya lebih aman tapi kau tidak akan belajar mengatasi luka itu; atau kau mundur saja karena jalan di belakang sana terlihat lebih akrab dan masih dalam sepengetahuanmu.      


Bersambung....

Margonda, 4 November 2010
Sondang Sidabutar (Pekerja Kemanusiaan)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar