MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Minggu, 09 Januari 2011

RAMPAI MENTAWAI: ANAK-ANAKNYA...


Kulihat mereka, bocah-bocah itu, telanjang bermain dengan gembira dan lepas di tepi sungai di siang bolong. “Kakak! Kakak!” Mereka menyeru padaku, memberi tanda agar menyaksikan pameran atraksi mereka. Kunikmati pemandangan itu, suara teriakan mereka, yang menari-nari dulu sebelum menjatuhkan diri, lalu bergantian meluncurkan diri mereka di atas tanah miring yang licin dan basah, lagi dan lagi.
Tubuh-tubuh kurus mereka, beberapa berperut buncit dan berambut merah, coklat berkilau dibalur lumpur dari tanah tempat mereka meluncur. Mereka sengaja berguling-guling sampai tubuh telanjang mereka hampir seluruhnya berlumur tanah lumpur. Lalu mereka berlari ke sungai dan terjun ke dalamnya, berenang, meloncat, menepis air. Tertawa dengan begitu gembira dan lepasnya, walau setelahnya mereka harus kembali ke tenda mereka yang dingin dan lembab, lagi-lagi makan mie instan karena tak ada makanan lain. Tapi saat itu, mereka tidak peduli. Yang penting sekarang adalah bermain sepuasnya, mumpung orang tua mereka tidak melihat badan mereka kotor oleh lumpur. Adakah kebahagiaan yang lebih murni dari kebahagiaan yang kekanak-kanakan itu? Dan saat ini, aku menangis mengenang mereka...


****************************

Tim kami berjumlah dua belas orang, terbagi atas kelompok-kelompok lebih kecil berdasarkan pekerjaan yang kami lakukan: dapur umum, air dan kebersihan, medis, dan psikososial. Aku di dalam unit tim psikososial untuk anak-anak. Aku tidak memasang target muluk-muluk untuk keberadaan kami yang hanya dua belas hari di lokasi pengungsian itu. Yang penting, anak-anak punya kesempatan dan lebih banyak alternatif untuk belajar, bermain dan berkesenian bersama-sama dengan peralatan yang kami bawakan untuk mereka, berdialog sambil kami mencoba untuk lebih memahami kondisi mereka. Namun begitu, kami bertiga dalam tim psikososial sempat kelimpungan juga karena jumlah mereka begitu banyaknya dan banyak yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Ada anak-anak pengungsi dari dusun Asahan, dari dusun Purourogat, beberapa anak dari dusun-dusun lain yang ikut bergabung mengungsi ke kilometer 37 dan juga anak-anak dari warga lokal Kilometer 37. Kalau mereka semua sedang berkumpul, jumlahnya lebih dari seratus orang, dari berbagai kelompok umur.

Kilometer 37 (Km 37), salah satu titik pengungsian para penyintas tsunami di sepanjang poros jalan tanah yang membelah Pagai Selatan, dulunya adalah basis operasi perusahaan kayu. Setelah ditinggalkan oleh perusahaan kayu, bangunan-bangunannya dipakai oleh penduduk lokal. Sekarang ditambah oleh ratusan pengungsi dari dusun Asahan, Purourogat dan beberapa dusun lainnya.

Karena himbauan Presiden agar para penduduk yang bertempat tinggal dekat dengan garis pantai pindah ke lokasi lain yang lebih tinggi demi keamanan mereka, terlebih lagi kemudian Presiden dikabarkan akan berkunjung ke Mentawai dengan helikopter, maka para penyintas mulai diangkut dengan truk-truk, dikumpulkan dan diangkut ke beberapa titik pengungsian dan ditempatkan di dalam tenda-tenda. Sayangnya, mereka dipindah terlalu jauh untuk bisa mengurus ladang-ladang mereka. Km 37 terletak kira-kira 8-9 kilometer (kira-kira 10 jam ditempuh dengan berjalan kaki) dari pantai tempat pengungsi asal dusun Purourogat (dan Asahan) berasal. Dusun Purourogat memang rata dengan tanah setelah diterjang tsunami, namun dusun Asahan bisa dibilang tidak mengalami kerusakan berarti karena posisinya yang lebih tinggi. Mereka diangkut juga. Dan di sinilah mereka. Jauh dari sumber penghidupan, tanpa akses transportasi ke ladang-ladang mereka dan peralatan untuk meramu dan berladang, hidup di tenda berbahan kain yang tidak tahan hujan, di tanah orang lain.    

Tapi anak-anak menemukan keasyikan mereka sendiri di tempat baru mereka. Ya, begitulah yang terlihat. Mereka asyik menjelajah tempat baru mereka. Di tengah pepohonan dan semak, di sungai, di jalan-jalan becek, di sekitar tenda-tenda mereka, di halaman tempat orang tua mereka beribadah di hari Minggu, di sekitar tempat beraktivitas para lembaga bantuan kemanusiaan. Ketika mereka ditawarkan kegiatan menggambar dan mewarnai, semua antusias mengerjakannya dan mampu bertahan dengan kegiatan itu satu sampai dua jam tiap harinya, sampai lima hari berturut-turut. Mereka juga menikmati menyanyikan lagu-lagu. Beberapa gitar kecil pengamen yang kami bawa laku diantri-pinjam oleh anak-anak dan orang-orang dewasa. Belum lagi bola untuk bermain sepak bola dan volly. Bahkan mereka sudah puas bila bisa pergi membawa sejumput karet gelang dan sebutir kelereng dari kami. Nampaknya mereka sudah terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan keterbatasan. Bila sempat terjadi ribut kecil gara-gara berebut peralatan kegiatan, kami masih dengan mudah melerai mereka dan meminta mereka berbagi atau bergantian memakai alat-alat itu. Hanya sedikit alat kegiatan dengan anak-anak yang hilang atau tidak dikembalikan. Hampir semuanya tertib mengikuti aturan-aturan yang kami berlakukan berkaitan dengan penggunaan alat.   

Selebihnya, aku masih belum tahu berapa banyak anak yang tidak terlihat dan apa yang mereka lakukan tiap hari. Aku sempat bertanya pada beberapa orang tua apakah anak-anak mereka mengalami perubahan setelah bencana; mereka merasa tidak melihat perubahan. Mungkin memang tidak ada perubahan, atau mungkin mereka belum bisa melihatnya. Memang masih ada anak-anak yang malu jika didekati, bahkan ada yang menangis jika didekati dan terus menempel pada orang tuanya. Tidak, jika melihat sehari-hari, secara umum nampaknya sebagian besar dari mereka relatif mampu menjalani hari-hari mereka di tempat baru ini, menurutku.   

Aku akan tahu bila, misalnya, sedang berhadapan dengan anak-anak yang sedang merasa tertekan atau biasa hidup di bawah tekanan orang dewasa. Tidak berani menatap dan memulai pembicaraan, menunduk bila berpapasan dengan orang dewasa, seakan-akan takut dengan tuduhan bersalah atau kurang ajar bila berinisiatif melakukan sesuatu yang sedikit lebih berani. Tapi anak-anak ini, mereka begitu lepas dan ceria, menikmati kegiatan demi kegiatan yang kami tawarkan ke mereka. Dan walau tahu kami belum mampu berbahasa Mentawai, beberapa dari mereka tetap mencoba berbicara dalam bahasa Mentawai kepada kami ditambah dengan isyarat-isyarat tubuh, tetap tertawa walaupun kami lagi-lagi belum berhasil memahami mereka.    

Aku pikir juga terlalu tergesa-gesa jika sekarang ini orang-orang bilang mereka (anak-anak) mengalami trauma, PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), gangguan psikotik, dan lain-lain istilah yang dipakai oleh para ‘pakar’ kesehatan mental. Aku merasa terganggu ketika membaca salah satu laporan statistik sebuah lembaga kemanusiaan yang di dalamnya menghitung berapa banyak dan seberapa terganggunya orang/anak-anak penyintas tsunami Mentawai dengan gangguan jiwa, memakai jargon-jargon klinis-psikiatrik.

Sudah lama aku berhenti memakai istilah-istilah itu dalam kerja-kerja pendampingan dan pemulihan. Bahkan jika sedang berbicang dengan sesama rekan psikolog atau psikiater yang mereka mulai memakai istilah-istilah klinis, aku bilang saja bahwa aku sudah lupa arti dari istilah-istilah tersebut dan meminta mereka mendeskripsikan dengan bahasa yang lebih membumi. Ah, gimana ya? Kalau aku jadi mereka (yang diukur tingkat kewarasannya), aku tidak ingin dicap menderita gangguan psikotik, dibilang masih trauma atau mengidap PTSD. Kalau aku kehilangan harta benda dan keluargaku, masakan aku dibilang tidak waras bila aku masih berduka, melamun, membayangkan kejadian buruk itu, mengalami perubahan pola makan dan pola tidur sampai berbulan-bulan sesudahnya? Atau mungkin ‘orang-orang pintar’ itu tahu lebih banyak karena mata sinar-X mereka dengan cepat bisa melihat sampai jauh ke dalam untuk bisa kemudian menyimpulkan, “Hai, halo, kamu gak beres di sana, di sini. Kesimpulannya: kamu tidak waras, lho.” Waduh! Betapa aku tidak akan lebih baik jika diperlakukan demikian.

Dengan mata kepalaku sendiri yang melongo dan mulut yang menganga, aku pernah menyaksikan seorang petugas puskesmas memberikan obat penenang kepada satu orang tua anak. Jadi ceritanya, waktu itu aku kebetulan ikut-ikutan kunjungan lapangan pasca gempa di Padang tahun 2009 lalu, bersama orang-orang kesehatan dari pihak pemerintah, masuk ke sebuah kampung. Kami mengunjungi sebuah gubuk yang di dalamnya ada seorang anggota keluarga yang dipasung karena sering mengamuk. Dia sudah dipasung lama sebelum bencana terjadi. Setelah si pasien tersebut diberi suntikan dan keluarganya dititipkan obat-obatan untuk dikonsumsi oleh si pasien, kami bergerak kembali menuju kendaraan kami.

Kemudian ada seorang ibu menghampiri kami dan mengatakan bahwa anak perempuannya (masih kecil, kemungkinan masih SD), sambil menunjuk anak perempuannya yang sedang bermain bersama teman-temannya di dekat situ, jadi susah tidur setelah kejadian gempa. Ibu itu minta obat untuk anaknya. Lalu si dokter dengan ringannya memberikan tablet-tablet yang kuketahui adalah obat-obat yang memiliki efek penenang. Hah? Anak sekecil itu sudah mau dicekoki obat seperti itu? Anak itu nampak malu karena ibunya mengeluhkan dia di depan teman-temannya dan banyak orang asing lain. Jangan sampai dia nanti diejek teman-temannya ‘anak gila’ karena mendapatkan obat yang sama dengan yang diberikan ke pasien yang dipasung itu.

Aku tidak mau, dan jangan sampai, hal serupa terjadi pada anak-anak Mentawai yang sudah keburu diukur kewarasannya lalu dinyatakan terganggu jiwanya. Karena aku melihat sendiri betapa mudahnya dokter-dokter yang bertugas di daerah konflik dan bencana memberikan resep obat pada tiap orang yang datang untuk memeriksakan diri, seberapa pun ringannya keluhan yang diceritakan para pasien. Lebih parah adalah dokter-dokter yang bertekad “menghabiskan” stok obat mereka sebelum pulang dari daerah bencana dan melaporkan betapa mereka telah bekerja sangat keras dengan melayani begitu banyak korban bencana dan mendermakan banyak sekali obat. Seolah-olah begitulah takdir mereka: memberikan obat. Dan orang-orang datang ke dokter dengan sebuah keyakinan bahwa mereka pasti sakit dan pasti butuh obat. Harus dapat obat.    

Kembali lagi ke Km 37. Ada masalah baru. Para orang tua yang beragama Katolik melarang anak mereka bermain dengan para pendamping yang tergabung dalam tim dari institusi gereja Kristen Protestan. Mayoritas pengungsi dari Purourogat beragama Katolik, yang dari Asahan Kristen Protestan. Ah, kenapa jadi begini? Lama setelah pengetahuan itu datang, aku menemukan lebih banyak pertanda bahwa ada kompetisi, atau jarak, atau kecurigaan tertentu yang mewarnai hubungan antara dua golongan pemeluk agama itu. Dan ini bukan hanya terjadi di Km 37, dan bukan hanya setelah bencana. Akankah mereka mewariskan ini ke anak-anak mereka? Akankah ini menjadi bom waktu? Karena yang kutahu, di negara ini, persoalan seperti ini mudah sekali disetir menjadi masalah-masalah lebih besar dan serius lainnya. Dan tanda-tanda awal perselisihan hampir selalu diabaikan sampai akhirnya pecah konflik yang demikian merusak dan menghancurkan kehidupan. Sebuah bencana dengan rupa yang lain.

Aku mendengar orang-orang mengeluhkan sulitnya melakukan perubahan di Mentawai. Sejauh yang kupahami, masyarakat Mentawai bukanlah masyarakat perantau. Aku menemukan di banyak kasus, bahwa masyarakat perantau cenderung mengalami kemajuan lebih progresif dibanding mereka yang tidak merantau. Karena dorongan untuk berjuang di tempat baru dengan tantangan berbeda memunculkan daya juang untuk bertahan hidup dan membuat perubahan. Bertemu dengan keragaman, tuntutan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian diri, berpacu dalam ketersediaan fasilitas yang minim, mampu membangun karakter seseorang sampai batas tertentu, bila dibandingkan dengan masyarakat yang hidup dalam suasana yang homogen, yang tidak perlu melakukan penyesuaian diri yang berarti dan merasa cukup dengan fasilitas dan sumber daya yang sudah ada. Di luar Mentawai, coba tengok ke sekelilingmu. Adakah kau menemukan orang Mentawai sebagai tetanggamu?   

Meskipun pendidikan tinggi tidak tersedia di Mentawai, hanya sedikit warga yang keluar dari Mentawai untuk mengakses pendidikan tinggi. Bahkan institusi agama Katolik yang telah puluhan tahun berada di Mentawai dan menyediakan layanan keagamaan, kesehatan dan pendidikan, mengaku hanya mampu menghasilkan lulusan tenaga pelayanan agama, pendidikan dan kesehatan dari warga Mentawai dalam jumlah yang bisa dihitung dengan jari. Kata mereka, sulit sekali dan waktunya relatif lama untuk menghasilkan perubahan pola pikir, pola hidup dan perilaku pada masyarakat Mentawai. Kalau pun ada yang ditawarkan untuk kesempatan pendidikan dan berpencaharian di luar Mentawai (di Padang, misalnya), kebanyakan mereka tidak bertahan lama dan kembali pulang ke Mentawai, tidak melakukan perubahan berarti apa-apa di kampungnya. Tak terkecuali anak-anak yang dididik dalam lingkungan sekolah-asrama. Mereka yang berasal dari kampung, yang putus sekolah maupun lulus sekolah kebanyakan lalu menikah dan bermata pencaharian seperti yang dilakukan orang tua mereka.  

Kadang-kadang di waktu senggang aku mencoba menambah perbendaharaan bahasa Mentawai dengan bertanya ke orang-orang di sekitarku yang (mampu) berbahasa Mentawai. Aku benar-benar penasaran ketika bertanya pada beberapa orang, mereka tidak tahu terjemahan bahasa Mentawai untuk kata cita-cita. Pertanyaan tentang cita-cita harus dirumuskan dalam “kalau sudah selesai sekolah atau kalau sudah besar, kamu mau bikin apa, mau melakukan apa?” Beberapa anak menjawab menjadi ukkui (bapak) atau ina (ibu). Yang lainnya bengong-bengong saja dihadapkan pada pertanyaan itu. Salah satu anak asrama di Sikakap, yang sempat menjadi guru kilat bahasa Mentawai untukku, sulit memahami perubahan apa yang mau dia buat di kampungnya bila nanti dia lulus sekolah.  

Setelah selesai dengan misi di Mentawai yang lalu, aku masih sering merenungkan Mentawai. Satu teman pernah bertanya padaku, “Gimana Mentawai?” Aku menjawabnya, “Ngangenin”. Ya, aku kangen Mentawai. Kangen anak-anaknya. Adegan anak-anak bermandi lumpur di tepi sungai itu berkali-kali tertampil dalam benakku. Lalu pertanyaan-pertanyaan termuncul dalam diriku. Akan jadi apa anak-anak itu nanti? Apa yang harus dilakukan untuk perubahan mereka? Apa dayaku untuk membantu mereka? Ke manakah bencana ini akan membawa mereka? Bagaimana mereka akan bertahan dan berjuang di tengah keadaan serba berkekurangan? Siapa yang peduli pada mereka? Apa rencana MU, Tuhan?...  


*************************************

Mentawai Musara Simaeru

Eru, eru, eru                                        (bagus, bagus, bagus)
Lainge, lainge, lainge                           (indah, indah, indah)
Lagai ka Mentawai (2x)                      (kampung/desa Mentawai)
Musara simaeru (2x)                           (bersatu dengan baik)

Angkat-angkat baga                            (gembira-gembira)
Aku silo kai                                         (kami sudah menerima)
Kapunen rura sibau (2x)                      (perayaan tahun yang baru)
Kalagai mai ne’ne’ (2x)                       (di kampung kami ini)

Baugi patuatnu                                   (perbaiki hatimu)
Oi ekeu, togat lagai ku                       (hai kamu anak-anak kampung ini)
Silo salamku pa abanan                      (terimalah salam perdamaianku)
Singin nake onin lagai mai ne’ne’         (buatlah nama kampung ini jadi harum)

Lagai ka Mentawai (2x)                      (kampung Mentawai)
Musara simaeru (2x)                           (bersatu dengan baik)

----------------------------------------

Margonda, 9 Januari 2011
Sondang Sidabutar (Pekerja kemanusiaan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar