MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Rabu, 09 November 2011

COMPROMISE ATAU COMPLIANCE?

Compromise: kompromi,hidup bertenggang rasa, persepakatan, persetujuan.
Compliance: pelaksanaan, sesuai dengan, memenuhi, pemenuhan, memenuhi permohonan, kerelaan, memenuhi sesuai.
(Sumber: Sederet.com, online Indonesian English Dictionary)


Pendulum Compromise-Compliance

What I would get bothered is if that boyfriend of yours demands you to comply to him, but he wouldn't to you. It's not compromise, it's compliance. Compromise-compliance. Swing your pendulum, which direction?... Itu menurut lu compromise atau compliance? Kalau dia yang mengajukan syarat tentang hubungan yang dia mau dan lu setuju? Lu bilang bahwa lu compromise? Bukannya lu compliance? Hati-hati membedakan kedua hal itu. Kalo lu compliance, ya bilang aja lu melakukan compliance, jangan bilang bahwa lu compromise.”


Percakapan di atas terjadi ketika aku dan seorang temanku tengah membicarakan tentang relationship, khususnya intimate relationship. Dia sedang terlibat dalam hubungan non-definitif, tanpa komitmen, open relationship. Well, aku sama sekali tidak keberatan dengan itu. Tidak. Kalau memang orang-orang tidak bersedia berkomitmen dalam suatu hubungan dan mengkomunikasikannya dengan jelas sejak awal, that’s fine with me. Jika hanya dia yang mengajukan syarat, lalu aku menyetujuinya, itu belum kompromi, karena aku belum menyatakan syarat-syaratku sendiri. Setelah kedua belah pihak mengajukan syarat-syarat dan kedua belah pihak bersepakat akan sesuatu, menurutku barulah terjadi kompromi.

Terkadang, atau seringkali, ketika sebuah hubungan antara, setidaknya, dua orang, akan memasuki tahap baru, tidak semua pihak mengerti tentang dirinya sendiri, tentang apa yang diinginkannya dalam hidup, tentang apa yang diinginkannya dalam sebuah hubungan. Belum lagi membedakan antara keinginannya dan kebutuhannya sendiri. Lalu, satu orang mengajukan syarat dan batasan untuk hubungan yang akan dia/mereka jalani. Entah dia paham atau tidak mengenai dirinya sendiri, mengenai keinginannya/kebutuhannya dalam hidupnya, mengenai keinginannya/kebutuhannya dalam sebuah relasi (intim) dengan orang lain. Lalu si pihak lain mendengarkan, lalu mungkin serta-merta menyanggupinya, atau dia mungkin juga mengajukan syarat dan batasannya sendiri. Entah dia paham atau tidak mengenai dirinya sendiri, mengenai keinginannya/kebutuhannya dalam hidupnya, mengenai keinginannya/ kebutuhannya dalam sebuah relasi (intim) dengan orang lain. Dan dimulailah hubungan di tahap baru tersebut. Kira-kira kau bisa menduga apa saja kemungkinan yang akan terjadi dalam hubungan mereka?

Menurutku, kemungkinannya nyaris tak terbatas. Begitu banyak buku sudah ditulis, lirik lagu digubah, film diproduksi, kisah cinta di-curhat-kan, kisah asmara kandas, pernikahan mengalami pasang-surutnya lalu hancur. Masing-masing orang datang dengan membawa latar belakang kehidupannya sendiri-sendiri sebelum mereka akan terlibat dalam suatu hubungan tahap baru. Ditambah, hidup ke depan akan membawa kesialan dan keberuntungannya, tak yakin kita bisa menduganya atau tidak. Belum lagi akan ada pihak-pihak lain yang turut campur dalam relasi itu. Tambahlah lagi satu permasalahan: apakah orang-orang yang akan memasuki tahap baru tersebut bersikap jujur, ataukah mereka menyembunyikan fakta-fakta tentang dirinya/ hidupnya dan apakah ada niat baik atau tidak.

Kataku, sebuah hubungan intim jarang sekali semudah dan sesederhana seperti yang sebagian orang inginkan. Jika pun sepertinya ada, mungkin begitu dipaksakannya, atau pihak yang satu berusaha keras untuk melakukan compliance, memenuhi kehendak pihak lainnya dengan ‘kerelaan’. Bisa jadi hubungan yang mudah itu bertahan sebentar, bisa jadi lama, tergantung apakah si pihak yang patuh itu bahagia di situ dan seberapa besar lagi cadangan enerjinya untuk toleransi. Kemungkinan lainnya untuk sebuah hubungan yang mudah bisa bertahan adalah: kedua belah pihak tahu benar apa yang mereka inginkan/butuhkan, kesepakatannya adil, mereka berdua begitu mirip, begitu cocoknya, atau begitu luwesnya berzig-zag dalam dinamika yang terjadi, selihai para pembalap moto-cross. Atau mereka menyangkal/membohongi diri sendiri atau tidak menyadari bahwa sebenarnya hubungan mereka yang mudah itu tidak baik-baik saja. Atau jangan-jangan Tuhan begitu bermurah hatinya pada mereka, sehingga tanpa berusaha, semua yang mereka butuhkan untuk hubungan yang sederhana dan berbahagia selalu tersedia. (Some guys have all the luck…)

Manusia adalah makhluk yang begitu kompleks, makhluk paling rumit. Menuntut bahwa suatu hubungan harus mudah dan sederhana adalah seperti menyangkal kemanusiaannya manusia, menolak sisi yang lebih mendalam dari manusia. Jika kita tidak mau tahu bahwa diri kita sendiri memiliki kerumitannya sendiri, keunikannya sendiri, perbedaannya sendiri dibanding orang lain, maka kita beresiko kehilangan eksistensi diri ketika memaksakan diri melebur ke dalam ‘hubungan-hubungan’ yang sederhana. Betapa banyak contoh di sekitar kita, orang-orang yang kehilangan dirinya sendiri dalam suatu hubungan.

“Aku sudah tahu dia orangnya seperti apa. Dia dulu sudah pernah bilang bahwa dia tidak bisa bersikap hangat dan mesra, kasih perhatian-perhatian khusus sama saya. Dan dia memang orangnya begitu, nggak romantis, nggak banyak bicara, kalau bicara yang perlu-perlu aja. Tapi sekarang, meskipun sudah beberapa tahun kami menikah dan sudah punya anak, saya masih merasa bahwa saya pingin diperlakukan dengan lembut dan mesra, dikasih perhatian khusus. Waktu saya minta begitu sama dia, dia marah. Dia bilang, seperti saya nggak ngerti dia aja. Dia nggak bisa begitu, itu bukan dirinya. Tapi kalau sama anak-anak dia kok bisa mesra, ya? Kalau sama saya kenapa nggak bisa? Gimana ya, Kak? Apa saya yang salah, ya? Apa saya harus terima saja keadaan ini? Tapi, gimana ya? Saya kok nggak merasa bahagia, Kak?”

Perempuan yang kukenal ini, memang orangnya lembut, hangat dan penuh perhatian pada orang lain. Dulu, ketika masih berpacaran, dia pikir dia bisa menerima calon suaminya apa adanya, bahwa dia bisa hidup bahagia dengan sifat-sifat bawaan yang ada pada calon suaminya, termasuk sifatnya yang keras dan kaku. Dia percaya bahwa cinta mereka akan mampu menjadi wadah yang menyatukan perbedaan mereka. Namun, waktu dulu calon suaminya mengkomunikasikan kenyataan yang ada pada dirinya lalu menetapkan batasan-batasan, nampaknya si perempuan lupa untuk juga melakukan hal yang sama untuk lalu menyepakati relasi yang adil. Dia menyanggupi dan rela menerima keterbatasan suaminya. Hingga datang waktunya dia merasakan ada yang hilang, ada suatu kekosongan dalam dirinya yang mengganggunya. Dia melihat dirinya tidak bahagia, merasa bersalah karena tidak bisa membahagiakan dirinya sendiri. (Apa yang akan kau lakukan bila engkau berada di posisinya?)

Banyak pasangan (tidak, belum, maupun sudah menikah) yang salah satu orang di dalamnya sekedar menjadi embel-embel pelengkap, bayangan, perhiasan, pengikut yang menguntit bagi seorang yang lainnya. Dia tanpa pasangannya bukanlah siapa-siapa, bukan orang yang cukup penting untuk kita kenal. Mungkin sejarah hidupnya hanya kita ketahui sejauh ketika dia sudah menjadi pacar/pasangan si anu, sejauh menyangkut si pacar/pasangan (informasi lainnya mengenai dia tidaklah terlalu penting). Di banyak kesempatan, aku pernah melihat orang-orang seperti ini. Banyak di antaranya adalah perempuan korban kekerasan yang bertemu denganku di perjalanan hidupku, beberapa yang lain bukan. Mereka yang tidak punya daya untuk melakukan kompromi yang adil dan setara dengan pasangannya, mereka yang dituntut untuk patuh karena budaya dan nilai-nilai dalam masyarakat sudah begitu adanya. Pokoknya: setia, patuh, jadi istri yang baik, tabah, sabar dan pasrah pada yang Maha Kuasa kalau ada masalah di dalam kehidupan pernikahan, blaa…blaa…blaa...

Bila engkau menemukan dirimu menyetujui paparanku dalam tulisan ini, apakah kau akan setuju bila aku menyatakan bahwa hal pertama yang terpenting bagi diri sendiri dalam memasuki sebuah relasi adalah: memahami diri sendiri, memahami apa yang dibutuhkan dan diinginkan dalam hidup sendiri, dan memahami apa yang dibutuhkan dan diinginkan dalam sebuah relasi yang intim? Sehingga dengan begitu, mudah-mudahan kau bisa memiliki sebuah relasi intim yang membahagiakan bagi kedua pihak. Hal-hal berikutnya dapat dikomunikasikan oleh kedua belah pihak kemudian disepakati. Tentunya, setidaknya, kesepakatan yang adil, yang jujur dan berlandaskan di atas niatan yang baik.

Ehem, aku bisa membayangkan beberapa orang akan bilang bahwa kita bisa bertumbuh bersama dalam cinta. Syukurlah kalau bisa begitu, aku ikut merasa berbahagia untuk pasangan-pasangan yang bisa seperti itu. Tapi cobalah kau katakan begitu pada mereka yang telah menjadi korban kekerasan, pada mereka yang sudah kehilangan dirinya sendiri dalam sebuah relasi intim, pada mereka yang sudah babak-belur paling banyak berkorban dalam hubungan yang tak berbahagia. Andaikan aku yang jadi mereka, aku akan bilang padamu: “Coba saja kalau kamu yang ada di posisiku sekarang. Mau kamu bertukar tempat denganku?”


Anak Anjing, Burung Kenari, Kucing dan Ikan Mas

Aku pernah baca satu buku menarik (Haduh, lupa judulnya! Memori melemah. Kalau tidak salah, “Sang Pembuat Keajaiban”, karangan Andy Andrews.) tentang empat tipe orang dalam konteks relasinya dengan orang lain, termasuk dalam relasi intim/cinta. Tipe anak anjing, tipe burung kenari, tipe kucing dan tipe ikan mas. Kalau nantinya kamu merasa bahwa dalam diri kamu ada lebih dari satu tipe, coba temukan mana yang paling dominan.

Orang dengan tipe anak anjing adalah orang yang menikmati relasi di mana dia menerima perlakuan seperti anak anjing, yaitu persetujuan/afirmasi. Orang seperti ini senang bila apa yang dia lakukan atau raih diberi penghargaan, afirmasi dan justifikasi. Lihatlah seekor anak anjing yang membawa tongkat yang kita lempar, ekornya bergoyang senang ketika kita menepuk kepalanya dan berkata,”Anjing pintar!” Orang-orang yang senang bukan kepalang dengan jumlah jempol di komentar-komentar yang dilemparnya di akun fesbuknya dan makin rajin melakukannya, misalnya, bisa tergolong dalam tipe ini.

Orang dengan tipe burung kenari tidak membutuhkan afirmasi maupun sentuhan, dia membutuhkan kehadiran orang di dekatnya, butuh didengarkan kicaunya. Kalau kau memelihara burung kenari dalam sangkar, perhatikan perilakunya bila kita selalu berada di dekatnya, dan bandingkan bila dia senantiasa dibiarkan sendiri, tidak ada siapa-siapa di dekatnya. Pasangan yang hampir selalu ke mana-mana berdua, nyaman diam-diaman berdua, atau sibuk sendiri-sendiri tapi selalu berada berdekatan, walaupun tidak terlihat berkomunikasi dengan intim, mungkin saja bisa menggambarkan tipe ini.

Orang dengan tipe kucing adalah orang yang menikmati relasi yang berisi banyak sentuhan, kemesraan yang intim. Kucing senang sekali menggosokkan badannya di tubuh orang yang berada di dekatnya. Dengar suaranya, ‘puurrrr’, ketika kita menggaruk-garuk kepalanya dengan lembut. Dia suka sekali bila diperlakukan dengan romantis. Orang-orang yang tidak mampu menjalani hubungan jarak jauh karena sangat butuh (lebih dari sekedar kehadiran) sentuhan dan kehangatan pasangannya, bisa masuk dalam tipe ini.

Orang dengan tipe ikan mas adalah orang yang membutuhkan orang lain untuk berbagi kerja dengan dirinya, membutuhkan orang untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan bagi dirinya. Ikan mas tidak butuh sentuhan, afirmasi maupun kita ada dekat-dekat dengannya. Dia butuh kita memberinya makan dan membersihkan akuarium secara teratur. Orang-orang yang berorientasi tugas, efektif-efisien, pekerja keras yang lebih banyak aksi daripada bicara, paling mendekati untuk menggambarkan tipe ini.

Nampaknya buku ini secara tidak langsung menyimpulkan bahwa orang-orang dengan tipe tertentu selain menikmati relasi atau perlakuan dari orang-orang lain yang sesuai dengan tipe dia, juga cenderung akan memperlakukan orang-orang lain sesuai dengan tipe dia. Maksudnya, orang dengan tipe anjing cenderung akan memperlakukan orang lain dengan afirmasi, walaupun orang lain tersebut bertipe ikan mas, misalnya. Dan di sinilah relasi seringkali mulai bermasalah, yaitu ketika seseorang memperlakukan orang lain yang punya kebutuhan berbeda memakai cara-cara yang sama seperti yang dia harapkan orang lain memperlakukan dia.

Jadi ceritanya, Sang Pembuat Keajaiban bertemu dengan pasangan suami-istri yang berada di ambang perceraian. Si suami (yang bertipe anak anjing) memperlakukan istrinya (yang bertipe ikan mas) dengan perlakuan seperti ke anak anjing, yaitu memberikan afirmasi, sesuai sifatnya sendiri. Demikian sebaliknya. Namun si suami tidak memperlakukan istrinya seperti perlakuan ke ikan mas, dan si istri demikian juga, tidak memperlakukan suaminya seperti perlakuan ke anak anjing. Lalu mulailah si suami dan si istri sama-sama merasa tidak dihargai dan tidak dicintai. Sang Pembuat Keajaiban kemudian menceritakan kepada mereka tentang empat tipe ini. Dia berkata bahwa kebutuhan mereka berdua berbeda, maka cinta akan menghargai perbedaan ini, cinta akan menuntut bahwa kedua belah pihak perlu belajar untuk mencintai dan menghargai sebagaimana kebutuhan pihak yang lain selain juga mempertahankan kebutuhannya sendiri.

Jadi, kalau engkau bertipe ikan mas yang suka bekerja keras untuk pasanganmu dan senang bila pasanganmu bekerja keras untukmu, maka janganlah lupa bahwa pasanganmu yang bertipe kucing juga punya kebutuhan akan sentuhan dan kehangatan yang mesra. Belajarlah untuk itu. Belajarlah dari bagaimana dia memberikan perhatian ke orang-orang. Bukan berarti engkau mengubah tipe dirimu sendiri, namun sambil engkau mempertahankan kealamian-mu, engkau juga belajar untuk memperhatikan kebutuhan pasanganmu dalam kealamian dia sendiri. Dan engkau pun berhak meminta pasanganmu menghargai engkau sebagaimana tipemu sendiri. Bila dia adalah orang istimewa bagimu, mengapakah engkau tidak bersedia untuk itu? Dan mengapakah pasanganmu tidak bersedia pula untuk itu? Mengapa takut untuk berkompromi? Tidak harus itu dilakukan tiap saat. Bisa-bisa engkau kehilangan kealamianmu. Cukuplah di kesempatan-kesempatan di mana itu dibutuhkan dan disepakati, dalam kadar yang sewajarnya. Yang paling mudah adalah jika kamu berjodoh dengan orang lain yang setipe denganmu, bukan?

Beberapa teman yang membaca buku ini selalu berkata bahwa ilustrasi empat tipe ini menarik. Seorang teman lain menambahkan satu tipe lagi dari buku lain yang dibacanya: tipe material, yaitu mereka yang menikmati perhatian dalam bentuk pemberian benda-benda. Ya, bisa juga. Mengingat bagaimana materialisme dan konsumerisme sudah merasuk ke dalam kepribadian banyak orang. Tapi kalau aku boleh jujur, dari semua tipe yang ada, aku akan memilih orang bertipe material sebagai orang terakhir yang kujadikan teman atau pasangan. No hard feelings, please.

Buku “Sang Pembuat Keajaiban” ini tidak menjelaskan asal-usul atau penyebab empat tipe tersebut bisa terbentuk. Dikatakan bahwa keempat tipe ini tidak hanya bisa diterapkan di relasi intim, namun juga bisa di relasi lain, seperti relasi antar rekan kerja, atasan-bawahan, antara orang tua dengan anaknya, antara teman, dll. Menurutku, buku ini memberikan ilustrasi yang sederhana, aplikatif dan menarik. Tapi aku juga berpendapat bahwa pendekatan yang disarankan dalam buku ini masih mungkin diterapkan dalam situasi-situasi yang jauh lebih sederhana dibanding situasi-situasi rumit lain, misalnya beberapa contoh: dengan individu-individu yang mengalami trauma yang mendalam dan bertubi-tubi, masalah kejiwaan yang kompleks-psikiatris, hubungan yang sarat dengan tipu-daya, hubungan-hubungan yang bernuansa politis-struktural. Contoh-contoh lainnya pasti masih ada, tapi baru segitu yang aku bisa ingat.


Bersediakah Engkau dan Pasanganmu Bertumbuh Dalam Kompromi?

Sebagaimana yang kubahas sebelumnya, untuk bisa membuat kesepakatan-kesepakatan dan berlaku kompromi yang adil, seseorang dan pasangannya sebaiknya memahami dulu hidupnya, dirinya sendiri dan hubungan seperti apa yang dibutuhkannya. Jadi, ada kemungkinan sebuah kompromi dilakukan sebelum seseorang paham hidupnya, dirinya dan kebutuhannya. Kalau sudah begitu, maka sebaiknya setelah dia mengenal hidupnya, dirinya sendiri, kebutuhannya, hidup pasangannya, diri pasangannya dan kebutuhan pasangannya, kompromi di masa lalu dapat saja ditinjau kembali dan disepakati ulang, bila mereka masih berkehendak melanjutkan relasi mereka.

Bila memang mereka tidak ingin melanjutkan relasi yang intim ini, maka kesepakatan adalah tentang bentuk baru relasi yang akan mereka jalani ke depan. Hmmm, yang ini pun tidak mudah, karena terkadang kita ingin mengakhiri hubungan itu sama sekali dan melupakannya saja, karena sebuah bentuk hubungan baru pun mungkin menuntut usaha dan pengorbanannya sendiri dan resiko jatuh lagi ke dalam pola hubungan yang lama. Sepertinya aku perlu merenungkan hal ini lebih mendalam dan membahasnya lain kali dalam tulisan yang berbeda.


****************

Beberapa kali di beberapa kesempatan aku mendengar kabar tentang pernikahan beberapa teman di tempat-tempat berbeda. Mereka masih sangat muda. Aku bertanya-tanya dalam hati: Sudah bertumbuh dewasakah mereka? Tahukah mereka benar-benar apa yang mereka inginkan dan butuhkan dalam hidup mereka? Apa yang ada dalam kepala mereka tentang pernikahan yang (akan) mereka jalani? Bersediakah dan siapkah mereka dan pasangannya berkompromi dan sama-sama bertumbuh dalam relasi mereka? Bagaimana jika badai menghantam mereka? Semoga, setelah segala kerja keras mereka, mudah-mudahan Tuhan tetap mau berbaik hati pada mereka.



DSK, 9 November 2011
Sondang Sidabutar (lajang, open dan masih belajar untuk berkompromi)

2 komentar: