MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Minggu, 05 September 2010

KISAH KUTU: OLD & NEW VERSION

KISAH KUTU (OLD VERSION)


Ini kisah tentang seorang temanku. Aku beri dia nama Kutu. Julukan yang datang dari julukannya ke diri sendiri, sebenarnya. Bugs, bahasa Inggrisnya, kutu bahasa Indonesianya. Kutu yang malas, minta ampun malasnya. Kemalasan yang irasional, yang sering menjadi bulan-bulanan ejekan dan objek provokasiku. Yang setiap kali hanya disambut dengan senyum cengengesan Kutu, “Gue males, Oooon...”


Coba saja, sejak aku pindah ngekos sekamar dengan si Kutu, dia mengaku bahwa palingan hanya setahun sekali dia mengepel lantai kamarnya. Kutu pernah SMS minta dibelikan makanan sewaktu perjalananku dari Blok M ke Depok karena dia sedang kelaparan dan malas beli makanan yang warung terdekat adalah di muka pagar kostnya, meskipun dia beralasan malam itu hujan lebat. “Tapi kan bisa pakai payung?” protesku. “Tapi kan males, Ooon,” kilahnya. Bagiku tidak masuk akal sama sekali, untuk seorang pecinta alam seperti dia yang hobinya naik gunung bahkan pernah berlari dalam badai hujan di gunung Rinjani, dia malas berjalan di jalan datar sepanjang dua puluh meter saja?!!

Dia beruntung kostnya menyediakan fasilitas cuci baju sehingga tidak perlu merana harus mencuci sendiri bajunya. Palingan baju dalamnya yang dia tumpuk dalam ember di kamar mandi yang harus dicucinya sendiri. Saking malasnya mencuci baju dalamnya, suatu kali dia memilih membeli celana dalam baru daripada harus mencuci celana dalam kotornya. Ampuuun... Kamar mandi kost jarang sekali dibersihkan sampai aku yang akhirnya membersihkan karena tidak tahan. Waktu dia melihat, dia tersenyum lebar gembira dan berkata, “Ternyata kamar mandi ini sebenernya bersih juga, ya.” Aku membatin mau bertanya sebenarnya dia memuji kamar mandi itu atau memuji pekerjaanku.

Air di dalam bak mandi seringkali terdapat binatang-binatang kecil seperti cacing kecil warna hitam yang akan meliuk cepat berenang lari ke dasar bak setiap kali air beriak. Di dasar bak mandi juga sudah terlihat kerak-kerak lumut hitam limpahan dari bak tandon kost yang dialirkan ke keran-keran kamar mandi. Aku yang bersihkan juga bak mandi itu dan mengganti saringan keran yang sudah robek dengan mengakali membuat saringan dari kaos kaki tebal si Kutu yang kulipat tiga kali untuk memperkuat daya saringnya. Waktu dia melihat itu, dia bertanya, “Ini kan kaos kaki gue, On? Udah gak pernah gue pake lagi, sih. Tapi kan kotor.” Aku menjawab bahwa aku sudah lebih dahulu merendam kaos kakinya dalam rinso sehingga dia tidak perlu khawatir akan kebersihannya. Sejak saat itu tidak pernah ada lagi binatang-binatang kecil meliuk-liuk di dalam bak mandi maupun lumut hitam di dasarnya.

Udara yang seringkali panas dan lembab di awal musim hujan membuat kami tidur dan bangun berkeringat. Sewaktu Kutu pergi kerja dan kuliah, aku kadang menjemur kasur-kasur kami di sinar matahari terik dan kucuci sepraiku, sedangkan Kutu tidak pernah memakai seprai, dia lebih senang tidur langsung di atas kasur busanya. Kalau Kutu harus bekerja di komputernya untuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya atau kantornya, dia akan bermain games spider dulu (sapider, sebutan dari Kutu) sampai satu-dua jam lamanya dan baru kemudian mulai bekerja. Ketika aku bertanya kenapa dia tidak tidur saja dulu barang satu-dua jam untuk memulihkan tenaganya, dia menjawab, “tapi sapider kan hiburan bagi gue, Ooon.” Alhasil dia begadang di malam-malam itu dan bangun tidur dalam keadaan masih mengantuk dan pulang ke kost mengeluh bahwa dia mengantuk seharian. Dia tetap saja bermain sapider berjam-jam sebelum mulai bekerja.

Kalau baru gajian, biasanya yang dipegang Kutu adalah uang pecahan 50ribuan. Kerapkali dalam transaksi kecil dia membeli juga barang-barang lain yang sebenarnya kurang diperlukannya karena Kutu segan minta kembalian atau malas berdebat dengan pedagang yang protes dengan pecahan uang besarnya itu. Aku menawarkan untuk menukar uang besarnya dengan recehan yang bisa kuminta dari ibuku yang mengelola bisnis angkutan umum. Kalau solusi yang ini dia setuju karena dia tidak merugi upaya apapun, apalagi dia bisa menghindari protes para pedagang.

Tidak terhitung kali aku menyarankan dia untuk mulai berhemat dan menabung. Makin gencar ajakan berhematku sejak BBM naik, sedangkan gajinya tidak naik. Misalnya saja, dia harus memakai bis dari Depok ke Ampera, lalu menyambung dengan naik ojek ke kantor, padahal tepat di tempat dia turun dari bis pertama dia bisa ambil bis lagi sampai Kemang. Akan menghemat sampai tiga-empat ribu setiap hari, hitung-hitung satu bulan dia bisa menambah tabungannya sampai seratus ribu. Malas, katanya. Atau kusarankan mengurangi membeli buku, bisa menghemat empat puluh-delapan puluh ribu lagi. Dia tidak setuju, buku adalah hiburan baginya, walaupun buku-buku yang menumpuk di kamarnya banyak yang dia belum baca. “Tapi kan bisa pinjam di perpustakaan?” kataku. “Gue nggak punya kartu anggotanya, Oooon,” kilahnya. Aku juga sarankan membeli buku di sebuah toko buku di Pasar Senen yang memberikan potongan harga 15% dari harga buku di Gramedia, atau untuk buku-buku lama membeli buku-buku bekas saja yang bisa tawar-menawar sehingga bisa jauh lebih hemat lagi. Belum juga dilakukannya.

Pulsa handphone-nya bisa membengkak sampai 700ribu dalam sebulan, aku sarankan membatasi sampai 300ribu pemakaian saja sehingga dia bisa menambah lagi tabungannya sampai 400ribu. Males SMS, katanya, tidak tahan untuk tidak langsung menelpon saja. Sampai aku membuat tulisan tentang bagaimana menghemat pulsa dan aku e-mail ke dia. Tidak tahu apakah dia sudah tergerak untuk mulai menghemat pulsa. Aku juga sarankan untuk menggunakan rice cooker yang sudah ada milik bekas teman sekamarnya. Ibu kita masing-masing bisa memasak makanan tahan lama sebagai lauk, dan beli makanan seperlunya saja. Tidak juga dicarinya rice cooker yang katanya ada itu dan teri kacang kering yang kubawa dari rumah hasil masakan ibuku kadang-kadang saja dimakannya kalau selera. Perkiraan kasarku, kalau Kutu mau menjalankan saran-saranku, dia bisa berhemat sampai satu juta, dari nol rupiah yang ditabungnya setiap bulan saat ini.

Dalam satu percakapan membahas kemalasan irasionalnya, aku bertanya-tanya bagaimana kalau dia hidup berumah tangga nanti. Kutu bilang sepertinya pasangannya harus lebih malas lagi daripada dia. Jadi kalau alarm weker berbunyi, akan ada pertanyaan giliran siapa mematikan alarm. Atau kalau bercinta, cari gaya di mana mereka tidak perlu bergerak. Kalau punya bayi, harus dulu terjadi perdebatan giliran siapa kali itu menjenguk untuk cari tahu mengapa si bayi menangis. Atau mereka bisa sering-sering bermain “playing dead”, siapa yang bisa bertahan lama berpura-pura mati. Kami berdua tertawa terpingkal-pingkal membayangkan kehidupan rumah tangga si Kutu.

Aku pernah bertanya padanya bagaimana dia akan mengusahakan uang untuk pergi berlibur bulan Desember nanti, yang saat ini tinggal dua bulan lagi dan belum juga Kutu punya uang di tabungannya. Kita berdua membuat perencanaan untuk pergi berlibur ke Pulau Samosir di liburan Natal – Tahun Baru. Padahal aku tahu dan dia juga tahu bahwa harga tiket pesawat akan naik di akhir tahun. Sedangkan untuk naik bis, akan buang waktu di jalan. Kutu berkilah bahwa gajinya di bulan Desember itu yang akan digunakannya untuk biaya berlibur. Bagaimana bisa? Bulan Januarinya kan dia harus membayar uang semesterannya. Tapi Kutu terlihat cukup yakin. Aku hanya mendesah mengeluh.

Di samping kemalasan irasionalnya itu, si Kutu sebenarnya memiliki banyak sekali sifat baik. Dengan beban kuliah di ekstension UI, dia juga bekerja di sebuah kantor LSM, merangkap dua posisi. Dari teman-teman kerjanya yang kebetulan aku juga kenal, hampir tidak pernah kudengar mereka mengeluhkan kualitas performa kerjanya. Dari gaji yang dia peroleh, dia membiayai sendiri kuliahnya, uang kost, biaya hidup, membantu biaya operasional di rumahnya (karena orang tuanya sudah tidak bekerja lagi dan mereka berdua pun tidak punya tabungan) dan membantu biaya kuliah adiknya. Sampai si Kutu sendiri akhirnya tidak punya tabungan, palingan hanya sejumlah uang yang mampir sebentar di bank beberapa hari setelah gajian dan sudah habis lagi bahkan sebelum gajian berikutnya didapat.

Dia paling rajin membeli buku-buku, dalam hal ini aku yang ketiban untungnya karena hobi membacaku bisa terpuaskan dengan sangat baiknya dari pinjaman buku-bukunya itu. Kebetulan dalam beberapa hal kami satu selera. Pengarang favoritnya adalah Seno Gumira Ajidarma, Pramoedya Ananta Toer, Umberto Eco dan yang terbaru adalah Puthut EA. Tema-tema favoritnya adalah agama, filsafat, kemanusiaan, gender, buku-buku puisi, tak ketinggalan komik-komik Tintin. Buku-buku kuliah hanya menjadi bagian wajib dari koleksinya. Setiap menerima gajian, pasti dia akan membeli sedikitnya dua buku baru.

Dengan alasan kemanusiaan, dia meninggalkan pekerjaan lamanya yang bisa memberinya penghasilan sedikitnya dua kali lipat dari pekerjaannya yang sekarang. Kantor lamanya mengurus lahan periklanan yang pasti berorientasi laba. Kadang dia menyambi dengan mengerjakan penerjemahan buku. Kantor barunya bergerak di bidang kemanusiaan dengan daerah operasional Jakarta, Ambon dan Aceh, serta program-program singkat di daerah-daerah lainnya. Panggilan, katanya, yang menyebabkan dia mau mengorbankan sedikit kemewahan di pekerjaan lamanya. Meskipun pekerjaan barunya ini akhirnya juga tidak memuaskan panggilan jiwa kemanusiaannya, si Kutu masih segan meninggalkan LSM tempat dia bekerja untuk pekerjaan lain yang lebih menghasilkan.

Kutu juga mudah tergerak hatinya jika melihat orang-orang susah. Dia pernah mengutuk dirinya sendiri atas kenikmatan dan kemudahan yang dipunyainya ketika suatu hari dia berjalan di Pasar Minggu, Kutu melihat paras-paras lesu pedagang kaki lima dan tukang-tukang ojek pasca kenaikan BBM. Aku sebenarnya ingin bertanya apa yang mau dia lakukan berikutnya. Namun aku akhirnya memilih diam saja melihat dirinya yang tenggelam dalam renungannya.

Satu hal yang membuat si Kutu bisa perform dengan baik di pekerjaannya adalah adanya deadline. Dalam situasi terdesak, timbullah kreativitas, begitu Kutu mengumpamakan polanya bekerja. “Oh, jadi lu kayaknya butuh banyak tantangan pada saat bersamaan, jadi lu selalu punya deadline yang ngejar lu,” kataku. Kutu setuju.

Aku tidak tahu (aku rasa Kutu pun juga tidak tahu) apa akar penyebab kemalasan irasional Kutu. Setidaknya untuk saat ini aku berpegang pada teori kuno psikologi tipologi kepribadian manusia menurut jenis darahnya sejak dia lahir. Mungkin temanku yang satu ini memiliki tipe darah orang yang lama panasnya. Ya, nampaknya itu yang bisa menjelaskan kepribadian dan perilaku si Kutu.

Satu lagi yang aku simpulkan dari sepak terjang Kutu adalah dia lebih sering memilih jadi penonton dan penikmat daripada menjadi pelaku dalam hal-hal yang digandrunginya. Kutu suka tulisan dan buku-buku, Kutu pun sebenarnya memiliki kemampuan menulis yang baik dan pernah menulis beberapa cerpen yang disimpannya sendiri. Tapi Kutu tidak lagi menulis, malu dan malas katanya. Aku juga pernah menegurnya karena dia memilih diam ketika melihat hal-hal yang tidak berkenan di hatinya tengah terjadi di kantor LSM tempat kerjanya. Dia malas berkonflik, tapi dia kagum pada orang-orang yang jago negosiasi dan mediasi, pada orang-orang yang berani berdiri di garis depan untuk membela hak orang lain. Kagum pada orang-orang yang mampu berhemat untuk wujudkan impian-impian mereka, tapi Kutu sendiri... ah sudah tahulah bagaimana praktek dia dalam berhemat.

Kutu gemar sekali minum kopi tubruk dan merokok. Di saat-saat dia lagi “penuh dan penat”, dia suka duduk selonjor dalam kamar yang gelap sambil merokok, ngopi dan mendengarkan CD-CD kesayangannya, kegiatan yang bisa mere-charge baterainya, katanya. Kadangkala aku merasa bersalah karena nampaknya kehadiranku di kamar kostnya agak menghambat hobinya yang satu ini. Kebiasaan tidur dalam gelapnya juga sering harus dikorbankan karena aku sering terjaga untuk membaca dan menulis sampai pagi hari. Tapi dari mulutnya sendiri aku tidak pernah mendengar sekali pun ia mengeluhkan hal-hal tersebut. Mungkinkah Kutu malas berkonflik dengan aku?

Sebenarnya bagiku banyak hal yang bisa dinegosiasikan supaya kedua belah pihak sama-sama memperoleh keuntungan. Sebenarnya Kutu sangat paham bahwa aku orang yang tidak takut pada konflik sekalipun itu konflik terbuka. Tapi yah, lain aku lain Kutu. Kalau sudah begini urusannya, maka yang kulakukan adalah mengobservasi Kutu sebisanya (tidak mudah karena Kutu terlahir dengan tampang datar) dan beradaptasi sebisanya. Aku mulai belajar untuk mengetik dalam gelap dan sesunyi mungkin bergerak ketika dia tidur. Seperti saat ini. Atau aku kadang berusaha sebisaku mengikuti ritmenya dengan mencoba tidur pada saat Kutu juga tidur. Tidak mudah juga, karena aku suka menulis dalam kesunyian malam.

Bagaimanapun, aku sangat peduli pada Kutu. Aku percaya dia orang yang berhati baik yang jarang sekali mempunyai niat-niat jahat atau usil pada orang lain dalam hatinya. Dia juga orang yang sangat tidak mau merepotkan orang lain, mandiri dalam bekerja dan memiliki komitmen yang baik dalam pekerjaannya. Aku juga peduli pada mimpi-mimpinya dan ingin mendorong dia untuk berusaha meraihnya. Karena kepedulian itulah aku sering mencereweti dia. Bukankah atas nama peduli kecerewetan diamini?

Sebenarnya Kutu memahami logika-logika dalam kritik-kritikku yang kutujukan ke dirinya. Dia berkata, “Iya sih, On...” dan terdiam. Aku juga bukan tipe orang yang mudah menyerah. Pernyataannya yang afirmatif bagiku belum cukup karena belum juga nampak perubahan nyata. Tapi setidaknya pengetahuan sudah sempat nangkring di otaknya. Mungkin di masa depan informasi bisa berguna untuk Kutu. Ditambah di sekelilingnya sudah banyak orang-orang yang pantas menjadi teladan.

Menurutku, untuk orang-orang seperti Kutu, butuh berjumpa dengan cermin-cerminnya. Dia perlu melihat orang-orang lain yang serupa dengannya yang memecahkan masalah dan mengambil keputusan mirip dengan cara dia. Sampai Kutu merasa gemas sendiri pada orang-orang yang menjadi cerminnya ini, merefleksikan ke dirinya sendiri betapa miripnya mereka dengan dirinya, dan harus menjadi motivator untuk orang-orang itu berubah. Adalah sebuah klise yang sederhana bahwa perubahan hendaknya dimulai dari diri sendiri, barulah akan mengena pada Kutu ketika menjumpai cerminnya nanti. Nasihat saja tidak cukup, baik nasihat yang ditujukan ke Kutu maupun nasihat Kutu yang ditujukan pada cermin-cerminnya. Dia harus dulu berubah dan merasakan perubahan hidupnya barulah dia punya daya perubah bagi orang lain. Karena seringkali manusia yang enggan berubah menggunakan alasan bahwa dirinya tidak perlu berubah, dan mereka baru berubah ketika itu perlu dilakukan demi kebaikan orang-orang lain yang mereka cintai.

Ada cara lain tapi aku berharap supaya Kutu tidak perlu sampai menjalaninya. Trauma kehidupan dari ketidakberuntungan yang telak dalam kehidupan manusia seringkali menjadi titik awal yang ekspres untuk perubahan seseorang. Jangan sampai, deh. Cukup pembelajaran sosial saja untuk Kutu-ku ini. Aku tidak ingin melihat Kutu yang baik ini merana lebih jauh lagi. Sudah banyak pengorbanan yang dilakukannya untuk orang lain. Dia tidak pernah dan tidak mau merugikan orang lain. Aku ingin berada di dekat Kutu untuk melihat perubahannya dan mendukungnya sekuatku. Tapi mana tahu, tahun depan hidup akan membawaku ke mana lagi. Semoga Tuhan cukup bermurah hati untuk hidup Kutu dan menggerakkannya dengan teguran yang lembut yang tak sampai melukainya.


Untuk Kutu,
Depok, 27 Oktober 2005


*****************************

KISAH KUTU (NEW VERSION)

Hampir lima tahun telah lewat sejak aku menulis Kisah Kutu. Kami kemudian harus menempuh perjalanan masing-masing, kami berpisah. Memang kami sempat bertemu beberapa kali, tapi masih tergolong jarang. Kami berdua adalah orang yang tidak suka basa-basi, jadi kami jarang berkirim kabar. Atau jangan-jangan Kutu lega aku pergi sehingga tidak ada lagi orang yang mengusiknya tiap hari? Hehehe... Gimana dong? Udah bawaan orok, Tu.

Kutu sudah tidak nge-kos lagi, dia balik tinggal di rumah orang tuanya. Ibunya meninggal dunia belum lama ini. Sebuah kehilangan yang sangat besar bagi Kutu dan seisi keluarganya. Pukulan ini begitu tidak tertanggungkan untuk beberapa anggota keluarganya sehingga Kutu memilih tinggal di rumah untuk mengurus mereka. Ini tugas yang tidak mudah, tapi Kutu mencoba untuk tetap tangguh. Kutu juga sering memasak di rumah untuk anggota keluarganya. Tapi Kutu masih merindukan saat-saat bisa sendirian dan melepas penat di kamar kost-nya ditemani buku-buku favorit, asap, kopi dan CD-CD kesayangannya.

Kutu sudah keluar dari LSM tempat dulu dia bekerja dan kembali menekuni kerja sebagai tenaga lepas di dunia bisnis. Dia lebih terdesak lagi untuk membantu keuangan keluarganya. Selain itu, dia butuh fleksibilitas waktu untuk mengurus keluarganya di rumah, selain untuk menunjukkan pada adiknya bahwa kerja kantoran bukan segalanya.

Terakhir bertemu Kutu, dia bilang beberapa bulan belakangan dia berhasil menekan pulsa handphone-nya sampai hanya 150ribu dengan memakai bonus-bonus layanan provider. Baguuus. Dia masih sering travel ke alam-alam terbuka yang eksotis. Untuk hal ini aku mengiri si Kutu. Kutu sudah punya pacar dan mereka sudah bertahan bertahun-tahun. Satu hal yang tidak sanggup aku lakukan. Oya, ngomong-ngomong kami berdua memang tidak jadi berlibur bersama ke Pulau Samosir di liburan Natal-Tahun Baru 2005-2006 itu. Dia tidak ada uang. Nampaknya tampang Kutu sudah tidak terlalu datar lagi, dia sudah lebih sering cengengesan sekarang.

Sampai sekarang Kutu masih malu memperlihatkan tulisannya ke orang lain. Ketika membaca tulisanku akhir-akhir ini, dia bilang tulisanku sudah lebih baik daripada yang dulu itu. Aku meminta lagi pada Kutu untuk berani membagi tulisannya ke orang-orang lain. Dia masih belum cukup berani. Kemarin aku minta ijin Kutu untuk menyebarkan juga tulisan Kisah Kutu ini. Begini isi percakapan kami via SMS:

Aku: Tu,lu kberatan gak kalo kisah si kutu gw sebar juga?
Kutu: Buseth...penting ya dibaca orang laen? Terserah la, itukan tulisan elu on. :D
Aku: Kalau pun gak penting buat lu,pasti penting paling nggak utk seseorang.

Teman-teman, aku ingin mengajukan suatu permintaan dari teman-teman untuk sahabatku si Kutu. Teman-teman ingat sebuah trend “Coin for Prita” yang disebar melalui Facebook dan Twitter? Well, mirip-mirip, tapi bukan koin yang Kutu butuhkan. Aku meminta teman-teman meluangkan waktu sejenak untuk menuliskan kata-kata dukungan untuk Kutu. Bukan belas kasihan, karena aku yakin Kutu tidak suka dikasihani. Bukan pula nasehat, penilaian, apalagi kata-kata yang memojokkan atau hukuman. Itu tidak manusiawi. Kutu membutuhkan kata-kata dukungan, kata-kata yang bisa membuat dia merasa didukung dan dikuatkan. Mampukah kalian? Kirim saja ke e-mail saya, nanti saya forward ke Kutu. Tentu saja aku akan menyaringnya dulu, karena pengalamanku mengajarkan aku bahwa ketika orang-orang diminta untuk memberikan kata dukungan, yang keluar lagi-lagi nasehat, memojokkan, penilaian dan hukuman. Aku rasa tidak ada orang yang akan merugi dengan permintaan ini. Dan aku mau mengucapkan terima kasih untuk teman-teman yang selain menjadi penikmat tulisanku, juga bersedia menjadi pelaku aktif, orang yang juga ikut menciptakan sesuatu, memproduksi sesuatu yang bermakna bagi orang lain. Terima Kasih.


Margonda, 17 Agustus 2010
Sondang Sidabutar (Pekerja Kemanusiaan, temannya Si Kutu)

1 komentar: