MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Minggu, 05 September 2010

TANDA USIK

Aku percaya, kita manusia dikaruniai ‘alat’ untuk membaca tanda-tanda usik. Adalah pilihan kita untuk memakai atau men-shut down-nya. Dia adalah semacam radar yang bisa-bisa berkarat dan mati daya pemindainya jika tidak pernah digunakan atau sudah terlalu lama disimpan saja. Namun jika dia dipakai terus, ketajamannya terasah.
Namun ada radar yang salah menangkap dan memaknai tanda-tanda usik. Tidak tahu, mungkin spare part-nya palsu atau bajakan, atau sudah terlalu usang, atau rusak karena pernah kecelakaan, atau salah desain. Kita perlu sekali-sekali mengecek dan men-service radar kita untuk memastikan daya tangkapnya akurat dan tidak mengirimkan pesan yang salah. Kalau sudah terlalu rusak, mestinya turun mesin sekalian.

Radar itu mampu juga berfungsi sebagai pemancar yang meneruskan pesan-pesan dan tanda-tanda ke radar-radar penangkap lainnya. Bila radar asal tidak akurat, maka pesan yang dikirim juga dengan sendirinya salah. Hanya radar penerima yang canggih yang tahu kesalahan pengiriman pesan dari radar lain. Hanya radar canggih terlatih yang mampu membedakan, memilah dan menelusuri tanda usik sejati dan tanda usik palsu, yang bermakna dan yang remeh. Aku di sini mengirim tanda-tanda usik. Pesan-pesan dari radarku yang mengusung tanda-tanda usik. Bacalah.


Tanda Usik #1: Ibu Pejuang yang Kelelahan

“Saya sudah lelah. Saya ingin berhenti saja,” ujar lembut seorang perempuan, seorang ibu, yang juga adalah seorang pengusung tanda usik. “Saya membayangkan diri saya sakit, terus dirawat di rumah sakit. Tapi kok saya nggak sakit-sakit, ya?” Dia tersenyum sedih, memperjelas garis-garis keriput di kedua ujung luar matanya. Anaknya telah meninggal sebagai korban kekerasan oleh negara. Sekian lama perjuangannya menuntut keadilan dari negara, tidak jua ada harapan bahwa negara akan pernah mengakui kekejamannya menindas dan memberikan keadilan pada rakyat yang telah menjadi korbannya. Dia menelan racun kekecewaan demi kekecewaan tidak hanya dari perlakuan negara, tapi juga bahkan dari lembaga-lembaga kemanusiaan dan mitranya para keluarga korban pelanggaran HAM (Hak Azazi Manusia).

Aku menatap lekat di matanya. “Saya dulu juga pernah berpikiran seperti itu, Bu.”
“Oh ya? Pernah juga?” tanyanya seakan tak percaya aku pernah berada di titik nadir sepertinya.
“Iya. Saya pernah merasa begitu lelahnya sehingga saya berpikir sepertinya enak kalau saya jatuh sakit saja sekalian, biar saya bisa istirahat. Tapi kemudian saya bisa melihat bahwa jatuh sakit ternyata bukan yang saya butuhkan. Sekarang saya paham bahwa yang harus saya lakukan adalah tahu kapan saya harus beristirahat. Karena jatuh sakit itu tidak enak, Bu. Tapi bisa beristirahat itu rasanya enak, dan setelah itu kita bertambah kuat untuk bekerja lagi.” Dia diam saja dan asyik merenung sendiri.

Hari itu kami berdua barusan rampung mengunjungi beberapa keluarga korban, bercakap-cakap untuk mengetahui perkembangan kondisi mereka. Hari yang melelahkan, karena aku baru saja “adu taring” dengan salah satu keluarga yang si suaminya lebih dahulu memperlihatkan taringnya padaku. Beruntung, aku tidak bulat-bulat menelan racun dari taring dia, dan aku bisa menampilkan taringku tanpa melukai bapak itu, tanpa aku perlu menyemburkan racunku sendiri.

Hari itu radarku memindai tanda usik yang datang padaku, sebuah pertanda tentang kelemahanku yang cenderung reaktif mengkonfrontasi figur otoritas secara agresif. Pada akhirnya, hari itu kumaknai sebagai suatu kemenangan kecil bagiku, ketika aku mampu menahan kata-kata menyakitkan yang mungkin akan aku keluarkan seandainya kejadian itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Ibu itu adalah saksi pamer taring kami. Di akhir hari yang melelahkan itulah si ibu mengeluarkan pengakuannya tentang kelelahan dihadang tantangan-tantangan dalam perjuangannya, dan keinginannya untuk berhenti.

Aku mencoba mengirim tanda usik untuknya. Tanda usik bahwa dia sebenarnya tidak perlu memutuskan berhenti, bahwa yang dibutuhkannya mungkin sekedar beristirahat melepas penat dan menepis debu-debu dan lumpur dari perjalanan panjangnya. Kami berdua sama-sama orang keras kepala, tapi bahkan orang-orang keras kepala pun bisa suatu saat merasa lelah dan ingin berhenti saja. Dan sebagai orang keras kepala kami pun sering bersikap terlalu keras pada diri sendiri dengan tidak mengijinkan diri beristirahat, seakan-akan istirahat adalah suatu pengkhianatan terhadap perjuangan, suatu isyarat menyerah. Namun tidak benar demikian adanya, karena bahkan Tuhan pun konon beristirahat di hari ketujuh.

Sebelum aku meninggalkan dia, aku berusaha menyimpan di rumahnya beberapa tanda usik lainnya untuk nanti dia tandai selama atau setelah masa istirahatnya. Semoga dia tidak serius ingin benar-benar berhenti. Karena dia lah, aku merasakan pacu semangat ini, menemukan sosok seorang ibu dan perempuan yang kucari. Staminanya diam-diam sempat beberapa kali membuat aku merasa malu karena seperti anak yang pemalas saja di dekatnya. Dia adalah jenis manusia yang adanya hanya satu di antara beberapa juta. Bangsa ini, generasi ini dan generasi yang nanti akan kehilangan sebuah wujud sejarah yang penting jika dia tenggelam begitu saja. Beristirahatlah dulu, Bu. Engkau pantas mendapatkannya.


Tanda Usik #2: Teman Muda Mantan Petualang

“Sialan loh. Lu bikin gue jadi nangis-nangis gini,” seorang kawan merajuk padaku setelah dia ikut serta sebuah acara pemulihan psikologis tentang pemulihan atas kenangan yang membuka luka-luka lama yang belum sembuh untuk dipulihkan. Di acara itu aku menjadi fasilitatornya.

“Kenapa? Lu merasa kayak dipaksa keluar dari cangkang aman lu, ya?” aku menggodanya dengan santai. Dia mengafirmasi. Di acara itu dia mendengar kisah para ibu yang anaknya meninggal atau hilang di tragedi Mei’98. Dia termuati suatu beban baru yang entah bagaimana dia memaknai kisah-kisah itu, karena sampai sekarang dia tidak secara jelas bercerita padaku tentang pengalamannya. Dia nampaknya tidak pernah menyangka bahwa akan begitu jadinya dia bila dihadapkan lagi pada ibu-ibu yang dulu pernah juga dia dampingi.

Tapi aku tidak meninggalkannya sampai di situ saja. Aku masih melancarkan serangan tanda usik untuknya. Aku yakin dia cukup kuat untuk itu. Dia tidak butuh belas kasihan. Aku kemudian mencoba menemuinya lagi selama beberapa hari, sekedar mampir untuk menyapa atau bercakap-cakap ditemani kopi dan asap. Lalu satu hari aku ikut dia pulang menginap ke rumahnya dan perjalanan kami dipenuhi oleh percakapan kami berdua. Kami bicara tentang masa lalu, kami bicara tentang kekinian, tentang masa depan, tentang perubahan, tentang kekasih, tentang teman-teman, tentang orang-orang, tentang pilihan hidup, tentang bagaimana karakter kami berbeda.

Di kala aku menyebar tulisan “Owner of A Lonely Heart”, sebagai salah seorang di antara sekian banyak alamat penerima, rasa radarnya lebih terusik lagi. Dulu memang dia pernah menjadi semacam petualang, yang kapan saja dia mau pergi dia bisa pergi. Sampai kemudian suatu saat dia merasa dikhianati dan ditikam telak oleh apa itu yang namanya perjuangan. Dan mereka yang dia sangka sebagai teman-teman pun menjadi pengkhianat perjuangan. Suatu pil pahit bernama kekecewaan besar, major disappointment! Lalu sekarang dia sedang bersiap-siap menetap dan menganyam rasa nyaman dengan harapan bahwa yang demikian itu bisa menjadi obatnya. Dan dia mulai mengambil ancang-ancang untuk mengubur mimpinya satu persatu.

Pagi-pagi sekali kami bangun lalu berangkat ke tempat kerjanya bersama ratusan bahkan ribuan para pengejar upah lain di jalan-jalan yang masih gelap. Sebagai manusia malam yang senang bekerja di larut malam, berat bagiku untuk bangun sebegitu dini. Aku bertanya pada temanku apa yang terjadi dengan proses kreatif dia. Dia mengakui bahwa setelah bekerja menetap, jumlah karya seni yang dia hasilkan sangat minim, karena dia pun sebenarnya manusia malam. Pekerjaan itu telah menyisakan sedikit sekali ruang baginya untuk berproses kreatif.

“Gue punya target. Dalam waktu tiga bulan ke depan gue akan bikin karya yang bisa dimuat di koran-koran,” katanya sambil menatapku lurus-lurus. Itu masih pagi yang sama di hari perjalanan dini kami barusan setelah jeda sejenak dari percakapan. Aku diam saja dan balik menatapnya. Lakukanlah, kataku dalam hati. Aku akan terus mengusikmu, mengirim tanda-tanda usik padamu, biar kamu tidak hibernasi saja dalam cangkang amanmu. Tidak sulit mengusikmu, karena kau pun dulu adalah pengusung tanda usik. Aku tahu bahwa tanda-tanda usik untukmu bertebaran di mana-mana di sekitarmu, sekalipun itu bukan aku yang mengirimnya. Tak lain dari kehidupan itu sendiri yang akan melakukannya padamu. In the end, you’ve got to go, sebagaimana yang telah kau baca dalam lirik Owner of A Lonely Heart. Jauh lebih baik merasa kesepian daripada merasa hancur berkeping-keping. Walaupun teman adalah sangat penting bagimu, di saat situasinya tak tertolong lagi, mungkin kau perlu tinggalkan pertalian harapmu pada mereka agar kau tidak dihancurkan oleh kecewamu pada mereka. Lalu, teruslah berperjalanan...


Tanda Usik #3: Lelaki dalam Gerbong Kereta

“Hidup saya sudah terperangkap sedemikian rupa oleh tujuan-tujuan yang dibuat oleh agenda yang dibentuk oleh situasi, oleh orang-orang lain,” begitu kira-kira kalimat yang diucapkan oleh seorang kawan lama, seorang pria berkeluarga dengan posisi dan “arah hidup” yang sudah dapat diduga dan diatur. Sebuah jenjang karir dalam kemapanan sebagaimana yang dijalani oleh para koleganya. Dia adalah salah satu orang yang menikmati menjadi penonton tentang bagaimana aku menjalani pilihan-pilihanku sendiri, karena dia merasa tidak punya kemewahan yang sama. Mungkin seperti dia mengagumi kisah petualangan heroik karya Karl May, pengembaraan jiwa Paulo Coelho, atau pemaknaan spiritual-nya Herman Hesse. Dia berkeinginan untuk memiliki kebebasan yang sama tapi baginya tidak mungkin lagi karena rancang-bangunan masa depannya sudah demikian jelas dan linier.

“Bagaimana mungkin orang dalam posisi seperti saya bisa punya lagi pilihan-pilihan saya sendiri dalam keadaan terperangkap seperti ini? Bagaimana dengan pekerjaan saya sekarang? Bagaimana dengan keluarga saya? Saya merasa seperti berada dalam sebuah gerbong kereta api di mana saya sebagai penumpangnya. Tiap kali kereta api itu berhenti di suatu stasiun, saya bertanya-tanya, inikah tempat yang ingin saya tuju? Bagaimana kalau bukan? Bagaimana kalau saya keburu lompat keluar dari kereta api dan ternyata stasiun itu bukan tujuan seperti yang saya kira? Maka saya pikir lebih baik saya tetap saja tinggal saja dalam kereta api yang terus berjalan di rel yang sudah pasti ini, walaupun saya sebenarnya tidak tahu ke mana tujuan akhir kereta ini.”

Aku melihat bagaimana dia menikmati percakapan denganku seakan-akan dia membiarkan satu sisi dalam dirinya yang selama ini dikekang untuk lepas dan mengembara begitu saja. Dia mengaku setelah bercakap-cakap denganku dia merasa lega, lebih ringan. Setelahnya dia akan harus mengikat kembali sisi dirinya itu dan kembali menjalani hidup dalam jerat. Seperti penonton bioskop baru keluar gedung bioskop yang masih merasakan euphoria-nya, lalu langkah-langkah menuju rumahnya, penjaranya, hidupnya yang pasti dan biasa, mengembalikan kesadarannya bahwa fantasi yang indah itu sudah harus diakhiri.

Di masa mudanya, dia pernah mengembara sampai ke pedalaman Papua, masuk hutan-hutannya dan membawa obat-obatan untuk penyakit-penyakit penduduk asli yang menyebar dengan cepat. Pernah juga dia menghilang beberapa bulan, lalu ditemukan oleh orang tuanya setelah mengumpulkan petunjuk keberadaan dirinya. Aku dan kisahku adalah salah satu kehadiran tanda usik yang mengingatkannya pada tahun-tahun yang hidup di masa lalunya. Tahun-tahun di mana dia adalah masinis kereta api tanpa rel yang boleh mengendarai sendiri keretanya ke tempat yang dikehendakinya. Lalu di suatu masa keretanya masuk rel dan posisi pengendali kereta diambil alih oleh semua hal-hal yang ada di luar dirinya. Dia pikir bahwa untuk punya tujuan sendiri dia harus melompat keluar karena kereta itu tak akan keluar dari rel. Namun kecemasannya bahwa dirinya akan jatuh di stasiun yang salah selalu mengurungkan niatnya melompat.

Kenapa tidak kau rebut saja posisi masinis itu, teman? Dengan begitu, kau tidak perlu melompat keluar dan jatuh di stasiun yang ‘salah’. Itu keretamu sendiri. Atau kalau pun kau harus jatuh di stasiun yang salah, bangun saja rumah di situ dan mulailah menggarap apapun yang pernah jadi mimpimu. Kalau pun kau tidak mungkin melompat sekarang, penuhi saja dulu janji-janjimu pada keluargamu, janji-janji pada pekerjaanmu, sejauh cukup sampai titik di mana kau pastikan diri untuk melompat. Kau bisa persiapkan banyak sekali hal dari sekarang sampai nantinya kau mampu membuat lompatan yang tidak mencederaimu. Aku percaya kau bisa melakukannya, karena sisi pengembaraan di dalammu itu masih ada, masih hidup dan masih bereaksi ketika bertemu tanda-tanda usik. Pernah katamu kau ingin aku mengajarimu berenang? Tidak perlu. Kau pernah jadi perenang handal. Kau hanya butuh menceburkan diri ke air, lalu berenanglah...


Tanda Usik #4: ‘Anak’ yang Kehilangan Masa

“Anjrit. Gua dulu pernah dibilangin kayak gini kira-kira delapan tahun yang lalu sama pembimbing gua. Ternyata, sekarang gua masih gini-gini aja. Gua udah kehilangan delapan tahun hidup gua. Sinting...” Dia memalingkan mukanya. Dari samping aku bisa melihat matanya berkaca-kaca walau di sekitar kami hampir gelap.

“Dari yang gue liat, elu gak cuma kehilangan delapan tahun, elu udah kehilangan sepanjang hidup lu,” kataku menambah tanda usik untuknya. Waktu itu kami sedang bicara tentang kehidupannya dalam keluarganya dan hubungannya dengan mantan pacarnya.

Diasuh dalam keluarga bersuku penganut patriarki, seperti hampir semua suku di negara ini, keberadaannya sebagai perempuan dikalahkan oleh abangnya sekaligus anak tertua dalam keluarga. Kakaknya yang perempuan pun merasa mereka harus berkompetisi demi merebut perhatian dan kasih sayang orang tua mereka. Orang tua mereka menyangkal bahwa mereka selama ini pilih kasih antara anak perempuan dan anak laki-laki mereka, namun rasa keadilan anak-anak perempuan itu tidak bisa dibohongi. Sepanjang hidupnya, temanku ini memimpikan andai saja dia terlahir sebagai lelaki dan bukannya perempuan, maka orang tuanya akan lebih memperhatikan dan menyayanginya. Dia mengagumi abangnya yang di matanya menjadi seorang yang sempurna, tidak bercacat. Dia menjadi bayang-bayang abangnya dan kehilangan dirinya sendiri sepanjang hidupnya.

“Kami tidak melahirkan anak yang pecundang,” ujarnya mengenang perkataan ayahnya suatu saat di masa lalunya. Selanjutnya dia mengisi hidupnya berusaha untuk tidak mengecewakan orang tuanya, untuk tampil sesempurna abangnya dan menyembunyikan semua masalahnya karena takut dihujat sebagai pecundang. Lalu temanku ini menjalin hubungan dengan laki-laki yang sekarang jadi mantan pacarnya. Laki-laki ini belakangan mencoba mendominasi dan memanipulasinya sedemikian rupa sehingga temanku jadi gerah dan lelah menghadapi terornya yang masih berlanjut sampai sekarang. Dia mengaku sudah jadi seperti orang paranoid. Ke mana pun dia pergi dia harus selalu mewaspadai sekelilingnya, merasa was-was bahwa mantannya menguntitnya dan akan mencecarnya dengan teror, seperti yang memang sudah terjadi berkali-kali. Masalah dia yang ini tidak berani dia ungkapkan ke orang tuanya maupun ke abangnya karena ya itu, takut dianggap anak pecundang.

Sebelumnya dia pernah bercerita bagaimana kegemarannya menulis mati begitu saja setelah ayahnya dengan entengnya melecehkan hasil tulisannya dan menyuruhnya fokus pada sekolahnya saja. Begitu mudahnya, semudah menjentikkan jari, semangat hidup temanku dimusnahkan oleh satu kalimat yang terlontar dari mulut sang ayah. Pembimbingnya, yang dia sebut-sebut tadi, kira-kira delapan tahun yang lalu pernah menegurnya agar berhenti mencoba memuaskan ego orang tuanya dan mulai mencari pilihan hidupnya sendiri. Namun delapan tahun lebih lewat sudah. Belum ada perubahan yang berarti. Sampai kapan, teman?

“Apa yang hilang dari hidup lu?” Dia jawab dia tidak tahu. “Apa yang elu cari dalam hidup lu?” Dia jawab dia tidak tahu. “Elu mau apakan hidup lu?” Lagi-lagi dia tidak tahu. Dia memalingkan mukanya lagi dan air matanya jatuh menetes. “Carilah,” usikku, “Lu udah kehilangan bukan saja delapan tahun, tapi seluruh masa dalam hidup lu.”

Dia harus mencari sendiri masa-masa yang telah hilang dalam hidupnya, menebus hutang kehidupannya, mengisi kehampaan di dalamnya. Ya, perjalanan miliknya sendiri, bukan perjalanan orang tuanya, bukan pula perjalanan abangnya. Suatu perjalanan yang dia belum pernah mengalaminya. Mungkin akan sulit karena perjalanan itu adalah sesuatu yang asing untuknya. Dia harus mencari tanda-tanda usiknya sendiri bila memang benar dia mau merebut kembali hidupnya, pilihannya. Cari terus, teman. Ini hidup milikmu sendiri!


Tanda Usik #5: Aku, Menelusuri dan Mengusung Tanda Usik

Tanda usik yang sarat makna membentuk mimpiku, meneguhkan aku memilih ketika berada di persimpangan. Tanda-tanda usik yang bermakna akan membuat radarku bergetar resah karena dari saat hadirnya dirasa, sudah memicu sensasi kesejatian muatan pesannya. Tanda usik hadir dalam wujud simbol dan kata-kata, benda-benda hidup dan mati, kisah dan peristiwa, atau sensasi suatu aura kehadiran. Jika tanda usik datang terlalu banyak sekaligus, aku perlu menyediakan waktu untuk memprosesnya. Mulai dari kerja memindainya, memilah, sampai memberi pemaknaan, bisa melelahkan bila beban berlebih.

Masih ada bagian-bagian dari radarku yang perlu reparasi, karena pernah ada bagian yang ‘salah desain’ dan ada bagian yang pernah mengalami ‘kecelakaan’ sehingga error ketika membaca dan memaknai tanda-tanda usik. Salah satu contohnya yang aku sudah ceritakan tadi dalam pertemuan adu taringku itu. Aku mengkategorikannya error karena salah desain, yaitu karena salah asuhan dan didikan, di mana orang-orang dewasa di sekitarku dari sejak aku kecil sampai besar sering menampilkan sifat-sifat sok tahu, sok bijaksana. Ketika aku berjumpa dengan orang-orang seperti itu, maka radarku yang error itu membangunkan singa yang tidur di dalam diriku. Selain itu, pemindaiku lama-kelamaan membangun sifat meremehkan tanda-tanda usik yang nampaknya dangkal, yang hanya punya tampilan tapi tak punya kedalaman isi. Error yang satu ini aku curigai membuatku melewatkan beberapa tanda usik yang sebenarnya bermakna tapi berwajah ‘remeh’. Ah ya, aku masih perlu cari cara untuk memperbaikinya.

Mengusung tanda usik seringkali adalah pengalaman yang tidak menyenangkan karena yang diusik akan merasa terancam kehilangan cangkang amannya, lalu dia menyerang balik. Aku pernah berkali-kali diusir oleh para tuan rumah ketika mereka gusar dengan usik-ku. Lebih dari sekali aku difitnah sebagai pembawa pesan sesat oleh orang-orang pengecut yang tidak cukup berani berhadapan langsung denganku. Itu membuatku surut? Tidak. Itu membuatku punya alasan untuk menabung dendam, menunggu dengan sabar, menunggu masa dan cara yang lebih tepat untuk aku datang lagi dan kembali menggugat dengan tanda-tanda usik.

Memancarkan tanda-tanda usik ke ‘orang-orang yang tepat di moment yang tepat’ membuatku merasa bahwa semua ini sepadan dan pantas. Orang-orang itu adalah orang-orang resah yang terus mencari dan ingin terus setia pada mimpinya. Mereka yang merasa cangkang amannya menipu kehendak bebas dan mimpi mereka sendiri. Radar mereka rindu tanda usik yang bermakna. Karena itulah mereka tidak menolak berdialog dengan radarku atau pemancar-pemancar tanda usik lain.

Untuk bisa bertemu dengan orang-orang perindu tanda usik itu, aku perlu menemukan sebanyak mungkin kesempatan baik untuk menyebar tanda usik. Para perindu biasanya akan menyambut dan membuka komunikasi denganku. Sayangnya, sebagian besar peristiwa dialog tersebut kutinggalkan saat belum matang. Biasa lah, apalagi penyebabnya selain bahwa aku harus berperjalanan lagi. Aku ditantang untuk membangun cara agar tanda-tanda usik bisa cepat menarik perhatian tanpa terkesan murahan, sok tahu, dogmatis, narsis dan eksibisionis. Aku masih perlu banyak belajar.

Hal yang aku rasakan istimewa adalah, ketika mengusung tanda usik untuk orang-orang lain, ternyata kemudian aku sendiri pun terusik tanpa aku memaksudkannya. Sebuah jalur dua arah. Sewaktu aku rampung menulis “Owner of A Lonely Heart”, sebuah tulisan yang sebenarnya memakan proses perenungan yang cukup lama dan proses penulisan selama berhari-hari (lebih lama dibanding tulisan-tulisan lainnya) sesuatu di dalam diriku terusik. Apa yang terjadi? Aku kemudian membuat keputusan untuk berpindah lagi. Aku memutuskan pindah dari tempat singgahku yang selalu kuhampiri di jeda-jeda antara pekerjaanku. Aku sampai pada suatu perasaan bahwa aku sudah cukup dengan tempat itu. Aku akan berpindah menuju timur, makin mendekati destinasiku. Sekarang, di kota transit ini, aku mau menunggu tanda usik lain yang akan memberiku tanda tentang nama suatu tempat, tempat berikutnya.

Teman, ketika agama-agama yang pernah ada memerintahkan kita untuk membaca tanda-tanda (usik) dalam kehidupan, kita yang sudah terlanjur diwarisi agama orang tua kita dan leluhur kita, atau kita yang menemukan dan menentukan agama kita sendiri, bagaimana mungkin kita tidak menelusuri tanda-tanda usik itu lalu mengusungnya? Bacalah! Sedangkan hewan dan tumbuhan sekalipun punya naluri untuk bisa bereaksi terhadap tanda-tanda usik dari alam. Karena jikalau lalai, alam akan menghajar yang alpa dan tertidur. Alam raya ini dipenuhi oleh tanda-tanda usik. Tugas kita sebagai manusia: Baca!



Margonda, 17 Agustus 2010
Sondang Sidabutar (Pekerja kemanusiaan, mengusung tanda usik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar