MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Selasa, 07 September 2010

JURNAL WAKATOBI

Mengherankan bagaimana sebuah sapa malam ini memiliki kekuatan membawa kembali kenangan dan janji dari masa lalu, tepatnya di tahun lalu. Kusulut linting tembakau terakhirku untuk mengenang seorang Udin Guteres, dengan konstelasi surga-nya di Wakatobi. Ini tembakau favorit terakhirku, Din, karena kabarnya stoknya sudah tidak ada lagi di mana-mana. Dan kau bilang kau rindu lintingan rokok tembakau-ku yang rasanya enak itu. Hehehe... sorry, teman.


Aku memang pernah berniat menulis jurnal jelajah Wakatobi, tapi kemudian aku sempat lupa. Kusapa Udin barusan via SMS untuk bertukar kabar. Sapa itu membuahkan lagi dorongan untuk memenuhi janji menulis jurnal, dengan kuatnya. Kali ini, janjiku pada diri sendiri harus kupenuhi. Kalau tidak sekarang juga, maka besok niat itu sudah akan surut lagi dan aku akan dengan mudahnya melupakannya. Beruntung aku menulis ringkas perjalananku di buku agenda 2009 untuk membantu ingatan akan nama, tempat dan peristiwa. Asal tahu saja, memori ini kapasitasnya terbatas sekali sehingga kedua orang tuaku pun sempat terheran betapa aku mudah lupa.

Sampai tahun lalu, aku belum menyadari keberadaan Wakatobi yang tersohor itu sampai beberapa teman berkomentar tentangnya sebelum aku pergi untuk memandu pelatihan di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Lalu aku niatkan menjelajah Wakatobi setelah pelatihan rampung, ada maupun tidak ada teman perjalanan. Rencanaku rupanya menarik dua teman dari LSM lokal di Muna untuk menemani, karena mereka pun ternyata belum pernah ke Wakatobi. Pfffuuhhh... So, the journey begins...


Kamis, 2 April 2009
Pelatihan sudah selesai empat hari yang lalu. Hari ini adalah hari kami berencana memulai jelajah kami. Aku, Ujun dan Ayu (nama kedua teman perjalananku) paginya sarapan dulu di pelelangan ikan di Raha, masih di Pulau Muna. Aku lupa harganya, tapi pokoknya murrraaahh... Ikan segar yang baru ditangkap nelayan dijual di pelabuhan kecil itu untuk sarapan penduduk setempat. Tumpukan berbagai jenis penghuni laut dipilih dan ditawar. Wow, ada juga gurita. Ikan pilihan dibakar di tempat, dimakan dengan singkong yang sudah diparut dan dikukus dalam bungkusan daun, ditambah sambal resep setempat yang cabe-nya boleh kita minta sendiri jumlahnya. Aduh, nikmat sekali, makan pagi-pagi sambil duduk di pelabuhan menonton para nelayan yang baru pulang dari menangkap ikan semalam. Air laut di bawah situ jernih dan tenang. Sambil makan, kedua temanku menertawakan kuliner seafood di Jakarta yang katanya ikannya sudah mati berkali-kali dengan harga juga berkali-kali lipat. Mungkin setiap kematian ada harganya sendiri.

Siangnya kami bertiga mulai jalan darat dari Raha ke Wamengkoli, menyambung dengan speedboat penumpang ke Bau-Bau, Pulau Buton. Hey, dulu di pulau itu aku sempat bekerja di tahun 2001. Tapi kali ini aku bukan mau jalan-jalan nostalgia di Pulau Buton. Di situlah kami menemui Udin yang berkawan dengan Ujun dan Ayu. Mereka berdua membujuk Udin untuk menemani kami ke Wakatobi, secara dia tokoh terkenal, tahu dan punya banyak akses ke mana-mana. Jadilah kami berempat, menyeberang dari Bau-Bau ke Wanci di malam harinya.


Jumat, 3 April 2009
Wanci adalah salah satu pulau/resort utama dari gugus kepulauan/resort Wakatobi (Wanci, Kaledupa, Tomia dan Binongko). Sewaktu bermalam di kapal, kami berkenalan dengan seorang bapak yang mau pulang ke rumahnya di Wanci. Nama beliau Pak Jambutu. Dia menawarkan kami singgah ke rumahnya. Usut punya usut, ternyata beliau masih punya hubungan saudara dengan Udin. Tidak percuma kami bawa kau, Udin!

Pagi hari kapal merapat di pelabuhan Wanci. Kami dijamu sarapan dan istirahat di rumah Pak Jambutu di pelabuhan Jabal-Kendari (banyak rumah di pinggir pantai punya pelabuhan kecilnya sendiri) yang masih dekat sekali dengan garis pantai. Pelabuhan kecil itu milik Pak Jabal asal Kendari. Sorenya kami diajak berkeliling oleh Pak Jambutu ke lapangan terbang yang masih dibangun. Foto-foto narsis seperti biasa di landasan terbangnya pakai kamera digital Pak Jambutu. Dari situ kami dipandu jalan-jalan mengelilingi Wanci dan mampir sebentar di Pantai Hagua. Malamnya kami makan sama-sama dengan Pak Jambutu, istri dan satu anaknya. Kami mengobrol di beranda rumahnya menikmati angin laut malam hari. Sungguh keberuntungan yang tak terduga bertemu Pak Jambutu.


Sabtu, 4 April 2009
Paginya ketika matahari hampir tinggi, kami diantar Pak Jambutu ke pelabuhan untuk ambil kapal menyeberang ke Kaledupa. Pak Jambutu bilang, nanti di Kaledupa menumpang saja di rumah mertuanya di Burangga, namanya Wa Rahima. Tanya saja sama orang-orang di sana, pasti semua kenal. Wuih, rejeki nomplok lagi, coy! Sebagai penjelajah minim modal dan perencanaan, tentunya kami menyambut baik undangan ini. Perjalanan menyeberang memakan waktu hampir dua jam. Kami berempat memilih duduk-duduk di atap kapal, rela dipanggang matahari demi panorama.

Sesampai di rumah mertuanya Pak Jambutu, kami sama-sama menyiapkan makan siang. Ah, tidak kami berempat. Udin sudah kabur entah ke mana. Sebagai seorang community organizer yang populer, dia punya kenalan dan saudara di mana-mana. Selesai makan siang, kami bertiga (tanpa Udin) mandi-mandi (alias berenang) di pelabuhan dengan beberapa anak-anak laki-laki penduduk di situ. Angin laut sore itu agak kencang. Kami pulang dari pelabuhan dalam keadaan basah dan kedinginan. Mandi di rumah Wa Rahima adalah mandi hemat. Penduduk di situ harus menunggu air hujan dan menyimpannya di wadah-wadah yang mereka punya. Memang ada beberapa sumur, tapi tidak banyak. Ingatkan aku untuk selalu menghemat air bersih, Wakatobi.

Udin sampai di rumah ketika hari mulai gelap, dengan gaya cueknya. Lalu kami menyiapkan makan malam: ikan, nasi singkong, sambal lokal, indomie. Kami duduk-duduk mendiskusikan rencana besok. Ada seorang penduduk di situ, namanya Pak La Teu yang bisa menyewakan dan mengemudikan speedboat rumput lautnya untuk mengantar kami berempat ke pulau Hoga. Kabarnya pulau itu “dikuasai” oleh Wallacea, sebuah organisasi yang selain melakukan konservasi alam, nampaknya juga melakukan penelitian dan mengorganisir beberapa situs wisata. Pulau Hoga sudah disewa Wallacea (disewa atau dibeli? Aku lupa) dan memberlakukan aturannya sendiri bagi siapa pun yang berkunjung ke situ. Waktu itu aku belum tahu bahwa Pulau Hoga sebenarnya bukan pilihan wisata domestik bagi penduduk Wakatobi. Bahkan Udin pun belum pernah ke Pulau Hoga. Seorang temannya pernah menasihati Udin untuk tidak usah pergi ke sana. Tapi di pulau itulah para wisatawan mancanegara berwisata diving karena keberadaan surga bawah laut pulau Hoga yang mashyur itu. Habis, gimana dong? Kami penasaran. Seperti apa sih surga bawah laut itu?


Minggu, 5 April 2009
Pagi hari kami jadi menyeberang dengan speedboat-nya Pak La Teu. Perahu itu tidak besar, kecepatannya pun santai saja. Kami mulai jalan jam 10 pagi dan sampai di Hoga jam 15.30. Jadi begini ceritanya:
Sesampainya di Hoga, memang pasir putih dan air jernih, tapi kami tidak melihat ada karang yang indah atau ikan-ikan warna-warni berenang. Di mana mereka semua? Di mana surga? Dan Udin pun tertawa. “Hahaha, yang namanya surga bawah laut ya adanya di bawah laut! Ko harus sewa alat selam dan kapal, lalu menyelam ke bawah sana untuk lihat surga, mi!”

Aaaah, damn! Bodohnya! Kami ini turis kere. Pasti pinjam alat diving dan menyewa kapal di sini harganya tidak main-main. Rate-nya pasti dollar, kawan! Pantas saja tidak ada orang lokal yang mau berkunjung ke sini. Begitu pula informasi pemilik penginapan yang satu kamarnya akan kami sewa untuk bermalam. Iya, yang datang ke sini biasanya turis asing, jarang sekali orang Indonesia. Dan oh, di sini (maksudnya di penginapannya) tidak ada listrik. Listrik hanya ada di sekitar mess-nya Wallacea. Mereka punya generator. Ya, jalan saja masuk ke arah lebih dalam ke pulau. Lalu, tidak boleh menyalakan api unggun di sini. Tidak boleh menjaring ikan juga di sini. Kalau mau makan, harus ke mess-nya Wallacea. Mereka menyediakan restoran yang hanya akan buka di jam-jam makan. Harganya? Tidak tahu. Mungkin pakai dollar juga. Tidak, tidak ada warung makan di sini. Hanya ada jual makanan di mess. Anjrit...

Kami berempat berpandang-pandangan. Oke, jadi Udin si pahlawan lokal kita menawarkan diri akan menangkap ikan diam-diam bersama Pak La Teu, pasang jaring sebentar saja. Mudah-mudahan ada ikan nyangkut. Hihihi... Lalu Udin membuat sushi karena tidak boleh bikin api. Aku lupa akhirnya kami mendapatkan jeruk nipis, garam dan cabe di mana. Tapi asli, sushi-nya Udin enak, euy! Bapak tuan rumah membawakan kami beberapa butir kelapa dan meminjamkan goloknya untuk membuka kelapa. Yeah! Kami membuat surga kami sendiri di atas tanah yang disewa orang bule di Wakatobi.

Oya, seorang teman perjalanan tiba-tiba memutuskan untuk balik ke Kaledupa bersama sampan Pak La Teu sore itu. Dia tidak akan ikut menginap. Aku tidak mengerti apa alasan sebenarnya. Jadi, malam itu hanya akan ada kami bertiga menginap di sebuah kamar yang di sekitarnya semua kosong karena saat itu belum musim liburan. Dan tidak ada listrik serta persediaan makanan dan air tawar. Ya, harus ke mess.

Udin bilang, cukup sekali itu saja dia ke Hoga. Benar juga kata teman-temannya agar tidak usah ke Hoga. Aku teringat bahkan Pak Jambutu pun terlihat ragu sewaktu kami bercerita rencana kami ke Hoga. Dia bilang kalau ke Hoga tidak perlu pakai bermalam, langsung pulang saja setelah bermain sebentar. Lagipula, katanya, jarang orang kita yang pergi ke Hoga.

Setelah makan siang yang telat dan membereskan kamar penginapan, kami ngobrol. Bagaimana kalo nanti malam tiba-tiba kami kelaparan? Lalu, jam berapa kami harus sarapan besok pagi? Apa kita beli makan malam saja di mess, minta dibungkus, lalu dimakan pas sarapan? Memangnya boleh dibungkus? Nggak tau. Harus ke mess dan tanya.

Jadilah malam itu, di jam makan malam, kami bertiga jalan dalam kegelapan masuk lebih dalam ke pulau, ke mess-nya Wallacea. Betul, hampir semuanya orang bule. Hanya ada beberapa orang Indonesia, mereka terlihat mahir bicara bahasa Inggris, bahkan sampai meniru logat British segala. Tidak ada orang lokal di situ yang cukup peduli pada kami untuk menyapa. Sapaan sepertinya hanya untuk bule-bule. Begitu banyak bule makan dan ngobrol di dalam ruang makan. Kami ragu. Menunggu, entah menunggu apa. Kami bertiga di luar saja diam-diam, enggan masuk ke dalam. Mungkin kami mulai merasa terintimidasi dan inferior. Ini sepertinya bukan di Indonesia.

Akhirnya kami menyelinap ke dapur dan minta dibungkuskan makanan oleh orang yang nampaknya pengurus dapur. Dia ragu, katanya makanan di sini tidak untuk dibungkus. Dia harus tanya pimpinan Wallacea di sini dulu untuk minta ijin apakah boleh makanan dibeli untuk dibungkus. Dia tidak berani ambil keputusan sendiri. Come on, gituan aja musti nanya boss lu? Lagipula semua bule itu sudah makan dan yang kami mau beli adalah makanan sisa. Aku mulai geram. Aku akan tanpa ragu membayar berapa pun untuk makanan sisa yang akan kami beli.

Lalu seorang ibu juru masak mulai bertanya kami dari mana. Ketika giliran Udin menjawab, ibu itu terperanjat mengetahui bahwa ternyata Udin adalah kawan baik anaknya. Langsung ibu itu mencari wadah untuk membungkus makanan buat kami. Dikasih harga murah pula. Ya ampun, Diiin... Apa jadinya kami kalau tidak ada kamu?


Senin, 6 April 2009
Paginya kami sarapan makan malam. Lalu kami bertiga jalan-jalan di pinggir pantai ke sisi lain pulau Hoga. Masuk ke air, mencoba menikmati langit fajar sambil mengapung di air. Udin mencoba menangkap ikan sebelah tapi tak berhasil. Beberapa bule baru kembali dari laut dalam perlengkapan diving mereka, jalan mundur menuju daratan. Di dekat situ belasan bule laki-laki main voli pantai bersama beberapa pemuda lokal yang berbicara bahasa Inggris dengan logat British. Kami tak pernah digubris. Bajingan kalian, kutukku dalam hati. Ya, cukup sekali ini saja aku ke Hoga.

Pak La Teu menjemput kami bertiga jam 10 pagi itu untuk mengantar kami kembali ke Kaledupa. Kami pamit pada Wa Rahima, berterima kasih pada kemurahan hatinya menampung kami. Di siang bolong kami ambil kapal penumpang lagi. Kali ini kami bertiga mau ke kampung halamannya Udin di pulau Lentea, masih di area Wakatobi. Perjalanan menyeberang satu jam saja. Sesampai di pelabuhan Lentea, Udin langsung disambut ramai oleh anak-anak kecil yang segera mengenalinya. Si pendekar hitam gondrong berewok bertampang seram, La Udin. Jalan sama Udin rasanya seperti jalan sama selebritis. Aku dan Ujun tertawa-tawa dan menggelengkan kepala saja melihat bagaimana populernya Udin di kampung halamannya.

Tidak tahu apakah Udin bergurau atau serius. Udin bilang bahwa dia adalah ahli waris dan calon pemilik pulau Lentea. Lentea adalah sebuah pulau kecil dari batu karang. Sudah tentu air bersih pun di sini sulit. Dulu di jaman orde baru, desa ini masuk dalam kawasan daerah tertinggal. Pernah ada Puskesmas, tapi sekarang sudah tutup karena tidak ada dokter lagi. Jadi, bila ada warga yang sakit parah, harus menyeberang dengan kapal penumpang ke Kaledupa, atau ke Bau-Bau sekalian.

Kali itu kami ditampung di rumah sepupu Udin, Ma Enang. Mereka sudah kangen pada Udin karena sudah bertahun-tahun dia tidak pulang kampung. Seperti biasa, Udin lalu ngeloyor kabur, meninggalkan kami berdua di rumah sepupunya. Aku dan Ujun kemudian memilih berjalan keliling setengah pulau kecil itu, baru kembali lagi ke rumah dan membantu menyiapkan makan. Malamnya aku duduk di belakang rumah, menghadap ke laut dan bulan, memainkan flute-ku dalam gelap.


Selasa, 7 April 2009
Udin gagal menjaring ikan. Pagi tadi dia mengayuh sampan sendirian ke laut. Aku dan Ujun dari ketinggian di pulau Lentea melihat ke bawah, Udin sedang berpayah-payah mendayung sampan kembali ke rumah tanpa membawa ikan bersamanya. Aku dan Ujun terus berjalan dan menemui beberapa perempuan yang baru membeli ikan tangkapan nelayan. Mereka langsung membersihkan ikan dan kami memperhatikan sambil mengobrol dengan mereka. Salah satu ibu, Mamanya Asri, mengundang kami berdua makan siang di rumahnya. Dia tahu kami kawannya Udin.

Setelah makan siang, kami berdua membantu Mamanya Asri memarut singkong untuk dibuat kasuami (salah satu makanan pokok di Sulawesi Tenggara dari singkong parut yang lalu dikukus dengan bentuk seperti tumpeng kecil). Aku menyukai menu makanan harian mereka. Selalu ikan laut segar, dengan sayur yang ragamnya terbatas, kasuami dan sambal lokal yang rasanya kecut dan segar. Sepertinya aku tak akan pernah bosan.


Rabu, 8 April 2009
Jam 3 siang, kami bertiga diantar oleh suaminya Ma Ena ke sebuah pulau kecil tak berpenghuni yang dinamai Montanga. Pulau itu menjadi tempat suku Bajo (suku asli pelaut tangguh yang kerjanya nelayan) singgah dan menunggu jaring yang mereka tebar sampai penuh dengan ikan tangkapan. Kami harus berangkat waktu air pasang, karena ketika surut, perahu bisa karam. Kita bahkan bisa berjalan kaki sampai jauh ke tengah laut. Di tempat-tempat tertentu yang dangkal, mesin perahu harus dimatikan dan para lelaki harus mendayung agar perahu bisa melaju. Sampan kecil diikat di bagian belakang perahu untuk kami gunakan nanti di Montanga. Tiga jerigen air tawar dibawa serta untuk air minum kami nanti. Tak ketinggalan minyak tanah, beberapa bungkah kasuami, beras, persediaan cabe rawit, garam, cemilan, gula, kopi dan teh. Juga beberapa peralatan masak dan peralatan makan seadanya. Air lautnya jerniiiihhh sekali. Di sekitar kami suasana sangat tenang dan damai. Banyak ikan warna-warni dan karang yang bisa langsung terlihat. Aku menutup mata dan tersenyum. Surga di sini tidak jauh di dalam.

Aku dan Ujun dilabuhkan di Montanga, sementara Udin dan suami Ma Ena berperahu lagi ke dekat batas perairan dalam untuk menebar jaring. Tidak lama mereka sudah kembali karena langsung dapat banyak ikan. Aku takjub saja melihat ikan-ikan cantik itu menggelepar dalam perahu. Suami Ma Ena membawa sebagian besar ikan pulang dan meninggalkan secukupnya untuk kami di Montanga. Toh, besok kami bisa menangkap ikan sendiri pakai sampan kecil kami. Kami menyalakan api unggun untuk memasak makan malam memakai kayu-kayu kering, daun kering, dan sampah kering di sekitar gubug tempat kami bermalam. Gubug yang dibangun oleh orang Bajo.

Malam itu bulan hampir penuh. Langit cerah, bintang luar biasa banyaknya. Aku bisa tahan berjam-jam duduk sendirian menatap kecantikan ini. Sayang sekali kami tidak punya kamera untuk mengabadikan semua ini. Setelah puas duduk di luar, aku masuk ke dalam gubuk. Ujun dan Udin masih terjaga dalam posisi berbaring sambil mengobrol. Aku mengeluarkan flute dan mulai memainkannya. Ujun dan Udin tak lama kemudian terlelap. Mereka seperti dua bayi saja. Bayi yang satunya ngorok.


Kamis, 9 April 2009
Kalian ingat ini hari apa? Ini hari PEMILU, maaann!!! Dan kami bertiga adalah warga golput yang sedang berbahagia di pulau tak berpenghuni ini. Pagi pertama di pulau Golput. Subuh tadi Udin sudah bangun untuk menebar jaring di batas perairan dalam. Beberapa jam kemudian, Ujun menemani Udin mengambil ikan-ikan yang terjerat di jaring. Sampan kecil itu hanya bisa ditempati dua orang. Jadi, kali ini aku yang tinggal jadi penunggu pulau. Aku menatap mereka sampai mereka jadi seperti dua boneka kecil di kejauhan sana. Rupanya, walau sudah jauh di sana pun mereka masih bisa memijak tanah dan air hanya sampai di batas pinggang. Tapi kata Udin, pakai sepatu. Mungkin ada binatang bulu babi yang durinya bisa menancap, atau ikan pari yang ekornya bisa mengibas dan melukai, atau bia/kima (sejenis kerang berukuran besar) yang bisa-bisa menjepit jari-jarimu dengan refleksnya.

Aku membaca buku sambil sekali-sekali melihat mereka bersibuk di kejauhan. Di dekatku ada kopi dan rokok linting, biar berapa jam menunggu pun jadilah. Aku sama sekali tak keberatan bersantai menikmati hidup seperti ini terus sampai berhari-hari ke depan. Aku melihat air di sekitar pulau sudah tinggi. Aku nyebur ke air yang segar dan berenang mengelilingi pulau mungil itu. Gak perlu repot-repot mandi. Lagipula, air tawar hanya ada tiga jerigen. Ujun dan Udin sudah sampai ke pulau mungil kami. Kami membuat api untuk memanggang ikan segar. Sementara aku dan Ujun mengolah makanan, Udin pergi lagi dengan sampan ke pulau seberang untuk mencari kayu bakar dan buah kelapa.

Lalu penuhlah bulan di malam itu. Surga bisa lebih indah hari ini daripada hari kemarin. Kami duduk-duduk mengobrol berjam-jam dan tertawa bersama di luar gubuk di bawah siraman sinar purnama. Kadang-kadang Udin menyalakan handphone-nya untuk menerima dan mengirim berita. Hanya nomornya yang bisa menangkap signal di pulau ini. Rupanya teman kami Ayu punya petualangannya sendiri, masih di Wakatobi juga. Nampaknya bagaimana pun kami berempat bisa punya kebahagiaan kami sendiri-sendiri. Lalu handphone dimatikan lagi untuk menghemat batere. Memangnya mau nge-charge di mana? Handphone Udin ada kamera, pernah digunakan untuk mengambil beberapa gambar kami di pulau ini.

Malam itu sekali lagi aku sendiri duduk di luar gubug. Ujun dan Udin sudah mengambil posisi uenak di dalam gubug. Lalu aku mencium bau harum seperti bau bunga. Heran, di sini tidak ada tanaman apa pun yang bisa mengeluarkan bau harum. Rumput pun enggan tumbuh di sebungkah pulau karang ini. Atau mungkin, ada penghuni lain di surga ini? Ah, tapi rasanya dia baik. Buktinya malam kemarin kami tidak ada gangguan. Malam ini pun tidak. Aku masuk gubug. Malam ini angin mulai bertiup lebih kencang dari malam kemarin. Ujun dan Udin sudah tidur nampaknya. Aku menyusul mereka ke alam mimpi masing-masing.


Jumat, 10 April 2009
Pagi kedua di pulau survival. Hari ini hari Paskah. Kemarin tugas warga negara kami abaikan, hari ini tugas agamaku yang kuanggap sepi. Kali ini giliranku menemani Udin mengumpulkan ikan hasil jaringannya di batas perairan dalam. Ujun jadi penunggu pulau. Aku sudah menyiapkan kaca mata renangku. Jadi, walau air cuma sepinggang, aku berenang dan melihat-lihat di dalam air untuk mengumpulkan bia (nama lainnya kima, sejenis kerang raksasa). Udin membuka satu bia, mengambil daging putihnya yan lembut dan langsung mengunyahnya. Sushi-kima.

Kadang-kadang kima bisa tinggal dipungut saja, kadang harus mencabutnya dengan menggunakan kekuatan, kadang harus menggali tanah di sekitarnya agar bia yang sudah lama tertanam itu bisa diangkat. Aku girang seperti layaknya anak kecil ketemu mainan baru yang menghipnotis. Pengalaman ini terasa lebih bermakna spiritual daripada ikut kebaktian di gereja. Hahaha, bisa aja ngarang-ngarang. Walau air jernih, kita harus mencari dan melihat baik-baik karena cangkang mereka berwarna pasir. Aku asik mencari dan mencari. Udin sampai harus menghentikan keasikanku dan mengajakku kembali ke pulau sekuler. Aku menghitung bia hasil tangkapan kami. Masih cukup untuk kami bertiga dan untuk dibawa pulang untuk keluarga Udin di Lentea, asalkan mereka (kima) tetap dalam keadaan hidup. Jadi, setelah sampai di pulau sekuler, bia-bia itu aku bariskan di air di sekitar pulau kami. Mereka tidak akan ke mana-mana.

Kata Udin, dulu bia masih ada banyak sekali. Tidak perlu berlayar ke dekat batas perairan dalam untuk mencari bia. Di sekitar pulau Montanga pun bia-bia berserakan. Tapi beberapa tahun belakangan ini bia sudah jauh berkurang. Memang dagingnya lembut dan enak. Tak heran bia diburu secara massal sampai keberadaannya mulai terancam.

Siang itu gubuk kami kedatangan tamu. Sebenarnya bukan tamu, karena sepasang suami istri lanjut usia yang orang Bajo itu lah yang pertama kali membangun gubuk itu. Kami lah yang tamu. Mereka bercakap-cakap sebentar dalam bahasa Bajo dengan Udin. Lalu mereka berdua pergi dengan sampan mereka. Udin pun lalu pamit pada kami berdua, dia akan naik sampan ke Lentea untuk membawa pulang sebagian barang-barang kami dan ikan-ikan hasil tangkapannya. Aku dan Ujun melakukan kegiatan bersih-bersih sampah dan membereskan sisa peralatan kami.

Sepeninggal Udin, ada satu orang Bajo lagi yang mampir ke pulau Montanga yang baru selesai menangkap ikan. Namanya Pak Thamrin, tinggalnya di kawasan Peropa-Kaledupa. Kami diberinya ikan tuna dan seekor cumi-cumi dengan ukuran yang membuat kami berdua bisa makan dengan kenyang tanpa nasi atau kasuami. Tak hanya memberi, Pak Thamrin pun membakar ikan dan cumi-cumi untuk kami. Ujun dengan nikmatnya menyeruput tinta cumi-cumi itu. Aku tidak pernah tahu bahwa tinta cumi-cumi rasanya enak. Pak Thamrin pergi dan aku nyemplung lagi ke air. Aaahhh....nikmatnya...

Menjelang sore, Udin kembali bersama suami Ma Ena dan anak laki-laki Ma Ena yang masih kecil. Kali ini dengan perahu saja, sampan ditinggal di Lentea. Kima yang masih patuh berbaris di air aku masukkan ke perahu. Sebelum maghrib datang, kami sudah harus menyelesaikan beberapa pekerjaan: memuat barang ke perahu, memuat ikan yang terjaring di batas perairan dalam ke perahu, melipat dan merapikan jaring, dan bergerak pulang ke Lentea. Selagi suami Ma Ena dan Udin mencabut ikan-ikan dari jaring dan melipat jaring, aku mulai asik lagi mencari bia dengan kaca mata renangku. Suami Ma Ena mengomel karena menurutnya Udin lambat bekerja. Kalau kami terlambat bergerak pulang, air akan mulai surut dan kami bisa kandas di tengah perjalanan.

Dan ya, memang kami kandas berkali-kali dalam perjalanan pulang di hari yang sudah gelap. Sampai Udin harus turun dari perahu, menolak perahu sementara suami Ma Ena mendorong perahu dengan kayuh. Mesin kapal belum bisa dinyalakan di air sedangkal ini, bisa-bisa rusak karena mengais-ngais pasir dan bebatuan laut, atau macet karena dikusuti rumput laut. Aku? Apa sih yang bisa kulakukan? Sekali-sekali aku mengarahkan senter ke perairan yang dangkal itu. Aduh, Udin menginjak karang-karang yang masih hidup dan indah itu. Perahu juga berkali-kali kandas melindas karang-karang yang masih hidup. Ampuni kami, Tuhan dan ibu pertiwi. Kami tidak punya pilihan lain.

Setelah berjam-jam bergumul dalam pelayaran di air dangkal, akhirnya perahu kami mulai masuk ke air yang lebih dalam sehingga mesin perahu dinyalakan. Kami mendekati pulau Lentea dan kami pun berlabuh. Keluarga dan para tetangga merubungi hasil tangkapan perahu kami. Hari sudah malam. Kami mandi dan mulai mengepak barang, karena besok, jam 3 subuh, kami bertiga sudah harus berada di kapal penumpang untuk menyeberang kembali ke Wanci.


Sabtu, 11 April 2009
Benar saja, Ma Ena tidak membiarkan kami menggeliat lebih lama dari tidur singkat kami. Kami disuruhnya cepat-cepat, takut ditinggal kapal. Masih mengantuk, kami berjalan kaki dalam kegelapan menuju ke pelabuhan. Oya, di pulau ini tidak ada kendaraan darat bermotor. Mau ke mana-mana ya jalan kaki, naik sampan atau perahu sekalian. Walau kami bisa duduk di dalam kapal penyeberangan, kami lebih memilih duduk di atas atap. Apalagi alasannya kalau bukan karena kecintaan pada udara laut yang bersih dan pemandangan yang elok.

Jam 3 subuh kapal berangkat. Ketika hari mulai terang, aku mencoba melongokkan kepala untuk mendapat pandangan ke dalam air. Ya Tuhan, indah sekali pemandangan di bawah sana. Terlihat jelas bahkan dari atas atap kapal. Tiba-tiba, duukkk!!!! Kapal karam! Menghantam sekumpulan karang hidup yang tumbuh menjulang sampai hampir ke permukaan air. Udin dan beberapa laki-laki lain cepat-cepat mengambil beberapa galah bambu sepanjang tiang bendera dan menolak kapal, melukai beberapa bagian lagi dari karang hidup itu. Hatiku rasanya ngilu. Harus menunggu ratusan tahun lagi untuk memulihkan kembali karang yang mati dan terluka itu. Semua itu hanya karena si supir kapal asyik ngobrol dengan seorang penumpang perempuan yang katanya cantik. Hiihhhhh, lengah sesaat karena terpana pada kecantikan manusiawi, kemudian menghancurkan kecantikan alami yang menuntut masa berabad-abad lamanya untuk mengoperasinya seperti sediakala. Sial.

Dalam perjalanan, Udin menunjuk letak beberapa perkampungan orang Bajo dan bercerita tentang masyarakat suku Bajo. Mereka adalah pelaut tangguh. Dalam event-event olahraga internasional, Indonesia mengirim tim atlet dayung wanita ke luar negeri yang kebanyakan anggotanya adalah orang-orang Bajo. Bahkan para perempuan Bajo adalah pelaut tangguh. Kesulitannya adalah mengakomodir tradisi orang Bajo yang hanya mau makan ikan laut yang benar-benar segar. Sebab, jika mereka tidak makan ikan laut yang segar, mereka akan merasa lemas dan tidak mau mendayung. Belum lagi kalau misalnya mereka tidak mau makan makanan pokok lain selain kasuami. Nah looh.... Heheheheh...

Hari masih pagi ketika kami tiba di pelabuhan di Wanci. Ahaaa, Pak Jambutu sudah siap menunggu kami di pelabuhan. Diajaknya kami jalan-jalan lagi, lalu belanja di pasar tradisional Wanci. Dia menunjuk sejenis hewan bulu babi yang bisa dimakan dengan menyeruput dagingnya. Hih, manusia, ada-ada saja yang dilakukannya atas nama lidah dan perut (dan gengsi juga, mungkin).

Malam harinya kami diantar Pak Jambutu ke pelabuhan besar untuk mengambil kapal penyeberangan kembali ke Bau-Bau. Terima kasih, Pak Jambutu dan keluarga. Kalian adalah malaikat-malaikat surga Wakatobi. Kapal berlayar jam 21.30. Malam itu laut tenang. Aku mendengarkan MP3 ku sambil memandang laut, sampai subuh. Ujun dan Udin tidur cepat seperti biasa, seperti anak-anak yang baik. Aku menyusul mereka tidur jam 2.30 pagi.


Minggu, 12 April 2009
Pagi. Kapal merapat di pelabuhan Bau-Bau. Di situ teman kami Ayu sudah menunggu. Udin, si pendekar selebritis mulai sibuk menyapa dan disapa orang-orang pelabuhan. Udin kembali ke kerajaannya. Aku, Ujun dan Ayu harus kembali ke Raha, langsung menumpang kapal cepat pagi itu juga. Kami berpisah dengan Udin. Besok pagi aku sudah harus menyeberang dengan kapal laut super jet dari Raha ke Kendari lalu terbang ke Jakarta. Selesai sudah jelajah Wakatobi. Tapi, aku sudah menulisnya. Kenangan yang akan terus bertahan bahkan sampai penulisnya sudah tak ada lagi, walaupun aku belum berkesempatan melihat surga bawah laut jauh di kedalaman sana...



Kapan bisa kembali lagi ke sana, ya? Ujun, Udin dan Ayu mengajak aku menjelajah lagi wilayah-wilayah lain di Wakatobi dan kisaran Sulawesi Tenggara. Hmmm.....



Margonda, 7 September 2010
Sondang Sidabutar (pekerja kemanusiaan, yang juga kepingin jadi pecinta alam, bukan sekedar penikmat alam)




Foto-Foto:


1. Gambar ini diambil dari website tentang Wakatobi. Nampaknya ini pulau Hoga.



2. Si ikan badut, salah satu penghuni perairan Wakatobi. Ambil dari website juga.



3. Ini aku dan Ujun di pulau Montanga. Gambar diambil pakai kamera handphone-nya Udin.



4. Aku dan Ujun mencoba membuat api, di pulau Montanga.



5. Masih di pulau Montanga. Yang sedang berdiri itu bukan penampakan makhluk halus. Itu Udin. Udin sedang berdiri melihat batas perairan dalam, tempat kami menebar jaring ikan. Yang di sebelah kanan itu sepotong gambar gubug tempat kami berlindung.



6. Ini anak laki-lakinya Ma Ena yang ikut menjemput kami di hari terakhir kami di pulau Montanga. Dia menghadap sisi laut menuju jalan pulang ke Lentea. Saat gambar diambil, laut masih pasang.

7 komentar:

  1. Welcome to Blogspot kak sondang :)
    Enjoy Share And Write:))
    Tulisannya Bagus :))
    Aq uda Follow iia :)
    Salam Reza

    BalasHapus
  2. Oke, Za. Aku masih belajar terus dengan blog spot nih, jadi masih suka error. Aku juga tunggu tulisan2mu, ya. Trims.

    BalasHapus
  3. ah kau ni. kalau pas entri baru diatas ada tombol kecil2. nah pilih yang insert image, pilih fotomu, upload (otomatis). setelah itu nanti ada edit bwt pengaturan letak.
    kalau dah pas tinggal klik terbitkan entri.
    selamat upload son....

    BalasHapus
  4. Hiiiii, kucoba dulu sendiri deh, Bot. Tapi kalo gak bisa juga, aku minta tolong orang lain aja. Trims!

    BalasHapus
  5. "Di dekat situ belasan bule laki-laki main voli pantai bersama beberapa pemuda lokal yang berbicara bahasa Inggris dengan logat British. Kami tak pernah digubris. Bajingan kalian, kutukku dalam hati."

    Auuww, Sondang marah nih yee. Hihihi. Jangan gitu dong Sondang. Siapa tahu mereka memang tidak suka kehadiran perempuan di sana. Bisa jadi, itu sebenarnya lokasi geografis surga para laki-laki... yang suka laki-laki.

    Kan bisa aja loh kehadiran Sondang (yang perempuan ini) mengganggu dunia atraksi macho mereka :)

    BalasHapus
  6. Yeeee, kan temen jalan gue juga ada yang laki-laki. Atau mungkin bule rasanya lebih crunchy, ya?

    BalasHapus
  7. sip. siap membantu jika diperlukan. ciao son!

    BalasHapus