MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Minggu, 05 September 2010

TIME OUT!!!

Dalam lokakarya Living Values Education yang baru lalu, saya mendengar sebuah perumpamaan tentang pentingnya mengambil waktu hening sejenak setelah pikiran kita berlari-lari sekian lama. Seperti sebotol air berisi benda (entah pasir, entah campuran larutan lainnya) yang setelah dikocok-kocok dan menjadi buram, perlu didiamkan sejenak agar benda-benda di dalamnya mengendap dan kita bisa melihat dengan lebih jernih ke dalamnya.



Saya suka dengan perumpamaan itu. Coba saja amati sekitar kita, bagaimana dunia ini telah dibuat sebegitu riuhnya dengan suara, benda, peristiwa, pemandangan, yang kalau dipikir-pikir lagi kebanyakan tidak memiliki kedalaman makna dan keluhuran nilai. Terlalu banyak pasir dan benda-benda tak berharga lain yang berpusing-pusing di sekitar kita tiap hari sehingga pandangan kita kacau dan kita gagal melihat batu-batu berharga di antaranya. Kecuali kalau setelah diam sejenak (atau lama, tergantung seberapa kacaunya pandangan kita) untuk mengendap, mungkin sambil lalu mengorek-ngoreknya dengan hati-hati, kita baru mulai melihat cahaya kerlip yang indah dari batu-batu berharga di antara benda-benda tak berharga itu.

Namun banyak juga orang yang hanya diam tanpa berusaha mengorek tumpukan pasir mereka sehingga tak menemukan batu berharganya. Ada yang mengiri saja melihat batu berharga orang lain tanpa berusaha menemukan batu berharganya sendiri. Atau ada yang sudah berusaha menemukan batu berharga mereka tapi orang-orang lain terus-menerus menimbun debu dan pasir tak berharga sehingga tumpukan itu terlalu tinggi atau tebal. Untuk orang semacam ini, butuh kerja ekstra-ekstra keras atau alat yang tepat untuk menggali sampai ketemu batu berharganya.

Time-out, tanpa memaksudkannya sebagai suatu metode penghukuman yang menyuruh orang duduk atau berdiri di pojok ruangan untuk mendisiplinkan dirinya, bisa dijadikan sebuah mekanisme pemenuhan kebutuhan seseorang untuk hening (sejenak atau lama), lalu memiliki pandangan lebih jernih untuk memilah pengalamannya. Nah, saya orang yang sering melakukan time-out untuk kebutuhan saya sendiri.

Time-out cukup sering saya lakukan karena saya tidak punya kemewahan alat atau cara lain. Kehidupan saya yang sering bergerak-berpindah membuat saya tidak punya teman dekat yang bisa saya cukup percaya untuk dijadikan teman berkeluh kesah. Mungkin saya bisa menelpon seorang teman, tapi saya tidak suka bercakap-cakap dengan menggunakan handphone. Radiasinya membuat kepala saya jadi pusing dan kuping saya panas, selain koneksi yang tidak jelas hanya membuat saya jadi jengkel. Juga terlalu sedikit orang bijak yang bisa saya temui untuk saya berkisah tentang permasalahan hidup saya, orang bijak yang hidupnya sudah ditempa dengan banyak kesulitan dan muncul sebagai pemenang yang lembut hatinya yang tidak akan menasihati atau menilai atau menyudutkan saya.

Dulu, biasanya kalau berolahraga rutin maka secara umum saya merasa lebih nyaman dengan tubuh saya dan perasaan saya lebih bersemangat. Karena saya orang yang solitaire, maka pilihan olahraga saya bukan yang kompetitif. Dulu saya suka renang, jogging atau jalan jarak jauh. Itu dulu, ketika saya belum banyak bepergian. Saya pernah mencoba olahraga di beberapa daerah yang saya kunjungi (renang sulit karena di banyak tempat tidak ada kolam renang atau kolamnya jauh). Saya mencoba jogging atau jalan, dan saya jadi risih dan jengkel karena itu loh, laki-laki usil sering mensejajari langkah saya dan bertanya ini-itu. Pernah ada seorang pengendara sepeda motor yang mencolek pantat saya waktu saya jogging pagi dan dia melarikan diri sambil tertawa-tawa. Ah, susahnya jadi perempuan di negara ini...

Karena mobilitas yang cukup tinggi juga lah yang membuat saya tidak bisa menjaga rutinitas. Kalau saya menetap, saya mungkin akan mengambil kursus yoga dan meditasi. Saya membayangkan rasanya pasti menyenangkan, mengolah raga sambil mengolah spiritualitas. Atau saya bisa bercocok tanam dan beternak kelinci. Tapi kalau saya tinggal terus, kasihan mereka. Bersepeda sudah pernah membuat saya jera karena sekarang pengguna jalan raya lainnya rupanya sudah cukup kejam terhadap pengendara sepeda kayuh.

Jangan dikira time-out pun mudah diakses. Sekali lagi, terlalu banyak laki-laki yang nggak ada kerjaan dan usil! Kalau saya lagi merenung sendiri di tepi pantai atau danau, maka ketenangan itu tidak berumur panjang karena hampir selalu akan ada laki-laki yang penasaran dengan seorang perempuan yang duduk sendirian di tempat sepi. Sekali lagi, susahnya jadi perempuan di negara ini...

Kenapa sih saya butuh sekali time-out? Alasan pertama yang sudah saya tulis tadi adalah karena alaminya saya orang yang solitaire, senang menyendiri. Saya punya kebutuhan privacy yang tinggi, bahkan sejak saya kecil dulu. Saya ingat waktu kecil dulu saya suka sendirian duduk di pohon jambu yang tinggi di pekarangan kecil rumah saya, diam saja mengamati orang-orang yang lewat di bawah sana. Haha, anak bukan kertas putih. Bahkan sedari kecil pun anak-anak sudah punya karakternya sendiri-sendiri. Sampai sekarang ini keramaian dan kegaduhan membuat saya cepat pusing dan energi saya seperti cepat tersedot sehingga saya harus cepat menemukan tempat-tempat sepi di mana saya bisa menyendiri.

Alasan lainnya adalah karena profesi saya (sebagai psikolog dan pekerja kemanusiaan) membuat saya terpapar pada pengalaman-pengalaman orang lain yang traumatis dan memiliki muatan emosional yang sarat dan kompleks. Mendengar kisah kekerasan seksual atau perkosaan, kisah penyiksaan, penculikan, dll, meninggalkan jejak-jejak psikologis tertentu dalam diri saya. Saya kemudian membutuhkan berada sendiri dengan diri saya untuk memproses jejak-jejak psikologis tersebut.

Ketika saya bertugas sebagai fasilitator pelatihan (biasanya pelatihan ketrampilan pendampingan korban kekerasan atau bencana), cukup sering saya menjadi fasilitator tunggal karena biasanya penyelenggaranya hanya punya anggaran untuk membiayai satu orang fasilitator. Walaupun bertugas sendiri, bila peserta menginap, maka saya selalu menawarkan sesi malam untuk pemulihan diri peserta training, sebuah sesi di mana para peserta memproses permasalahan dan kebutuhan psikologis mereka sendiri. Saya selalu tawarkan ini karena dari pengalaman saya menemukan bahwa para pekerja kemanusiaan punya kebutuhan pemulihan psikologis yang sering tidak terpenuhi karena keterbatasan sumber daya. Jadilah saya fasilitator tunggal dari pagi sampai malam. Bahkan kalau saya masih kuat, saya masih menawarkan konseling individual setelah sesi malam untuk mereka yang butuh, dan ini berarti saya harus tetap bekerja sampai tengah malam. Bagaimana mungkin saya tidak butuh time-out?

Biasanya pihak penyelenggara akan menyanggupi permintaan saya untuk menyediakan kamar untuk saya sendiri. Tidak perlu selalu harus kamar hotel, bahkan kamar sendiri yang sederhana dengan menumpang di rumah salah seorang teman pun, saya akan berterima kasih sekali. Biasanya buat saya tidak cukup kamar sendiri selama training, sepulang training pun saya akan mengusahakan bisa sendiri selama berhari-hari. Untungnya kerja sebagai free-lance ya begini ini, punya lebih banyak keleluasaan mengatur waktu sendiri.

Selain itu ada beberapa peristiwa lain yang karakteristiknya adalah yang membuat saya terpapar pada banyak informasi sekaligus dalam suatu waktu yang membuat saya membutuhkan time-out. Entah itu percakapan panjang dan intensif dengan sekumpulan orang tentang suatu topik yang penting menurut saya, entah itu sewaktu saya menjadi peserta sebuah acara yang di dalamnya berkumpul orang-orang yang berbagi pengalaman dan pemikiran, atau sekedar membaca buku yang sangat menarik dan menggelitik untuk diproses lebih jauh secara internal. Pokoknya harus selalu ada kesempatan untuk time-out!!!

Apa sih yang saya lakukan dalam sesi-sesi time-out saya? Yang pasti, teman setia saya dalam keheningan: kopi dan rokok. Heheheee... Hidup yang seimbang antara yang baik dan buruk. Kadangkala time-out saya berlanjut dengan menulis, yang berarti kehadiran teman setia saya yang lain yaitu laptop kecil saya. Kadang saya menulis jurnal, refleksi, atau syair lagu.

Tapi sebelumnya, apa yang saya lakukan ketika saya hanya bersama kopi dan rokok saya? Ya seperti air keruh dalam botol itu, saya biarkan saja percakapan-percakapan yang telah terjadi sebelumnya di hari itu bersliweran dengan liar tanpa sensor di kepala saya. Seringkali malah saya tambah dengan percakapan imajiner saya, kata-kata yang akan saya katakan apabila peristiwa tadi itu bisa diulang kembali. Kata-kata yang seharusnya saya ucapkan tapi tidak saya ucapkan karena tidak terpikir tadinya. Biasanya kata-kata yang ‘seharusnya’ saya ucapkan itu adalah kata-kata yang lebih bijak karena saya sudah punya waktu lebih panjang untuk memikirkannya. Tapi kan, peristiwanya sudah lewat? Ya, nggak apa-apa, yang penting kan saya jadi lebih bijak walaupun cuma dalam imajinasi. Memangnya apa gunanya bijaksana dalam imajinasi? Ya, supaya lain kali kalau ada kejadian serupa saya bisa bersikap lebih bijak. Nggak akan percuma, deh. Kamu yakin? Yakin dong, buktinya saya bisa menulis refleksi, jurnal dan syair lagu. Kan bisa dibagikan ke orang-orang lain. Oke-lah kalau begitu...

Ya itu dia, lihat kan? Dalam time-out saya, saya juga jadi bisa berdialog dengan diri saya sendiri. Saya berpartner dengan diri saya sendiri (kadang muncul sisi diri saya yang skeptis dan sinis, kadang muncul juga sisi diri saya yang semangat dan optimis) untuk berdialog dan mengembangkan percakapan imajiner sampai sejauh mungkin, sejauh yang dimungkinkan oleh waktu, media keheningan dan kapasitas psikologis saya.

Ada misteri alam bawah sadar dalam diri saya yang berproses dengan sendirinya dalam time-out saya. Entah kenapa, karena saya sering mengijinkan diri saya untuk time-out, di kala saya diajukan pertanyaan oleh orang-orang lain, jawaban-jawaban muncul begitu saja. Dan saya sering terkagum-kagum sendiri dengan kenyataan bahwa jawaban-jawaban itu muncul dengan spontan, tanpa pernah saya pikirkan dengan sadar.

Contohnya adalah tentang simpati dan empati. Bagi yang belum baca refleksi saya tentang simpati dan empati, baca dulu deh. Jawaban seperti yang saya tulis dalam refleksi saya itu saya sampaikan di satu pelatihan beberapa saat yang telah lalu, ketika seorang peserta bertanya tentang perbedaan simpati dan empati. Sejujurnya, saya belum pernah secara mendalam memikirkan jawaban panjang lebar tentang perbedaan simpati dan empati seperti tulisan di refleksi. Jawaban muncul begitu saja. Penjelasan panjang lebar dengan menggunakan contoh-contoh peristiwa juga muncul begitu saja waktu itu. Padahal saya belum menulis apa-apa tentang simpati dan empati itu.

Tapi saya juga menyadari satu kesamaan saya dengan Einstein, yaitu bahwa kami berdua sama-sama pelupa. Kata teman saya si Einstein itu (sewaktu dia dikritik karena tidak hafal suatu hukum apa, gitu), apa-apa yang bisa dengan mudah dia cari di buku, dia gak perlu susah payah menghafalkannya. Mungkin karena bahkan sebagai orang jenius pun kapasitas memorinya terbatas, maka dia memilih untuk mengingat hal-hal yang penting saja. Yang tidak perlu diingat karena ada di buku, dia tinggal cari dan baca buku itu saja. Sederhana kan? (Kasihan ya anak-anak sekolah yang disuruh susah payah menghafal materi pelajaran yang bisa dengan mudah dibaca di buku). Makanya kadang-kadang saya berusaha menulis, supaya kalau lupa bisa dibaca lagi. Kalau saya lupa alur penjelasannya, saya kasih saja tulisan saya ke orang-orang yang saya pikir bisa mengambil manfaat dari penjelasan dalam tulisan-tulisan saya.

Saya orang yang resah. Entah kenapa, keresahan sering mampir dalam diri saya, dan di saat itu saya akan butuh time-out. Saya pernah mendengar dari seorang mentor saya bahwa dia mempunyai siklus keresahan tiap tujuh tahun sekali, menurut perhitungannya. Lalu dia bertanya pada saya berapa lama siklus keresahan saya? Mmmm, saya berusaha berpikir dan mengingat. Rasanya kok sangat sering, ya? Bisa muncul dua bulan sekali, bisa saja dua minggu saya sudah tiba-tiba resah, bisa juga saya resah di saat hari-hari besar agama atau tahun baru ketika keresahan saya mempertanyakan makna agama dan tahun baru yang tidak membuat banyak perubahan dan perbaikan di dunia ini. Pokoknya, cukup sering lah.

Kalau sudah resah seperti itu, maka saya lebih baik menyingkir dari keramaian dan dari orang-orang lain, karena biasanya di saat-saat itu saya jadi sensitif dan agak meledak-ledak. Biasanya keresahan yang satu ini berkaitan dengan perasaan marah, kecewa, tidak puas, yang membuat saya ingin mengutuk dan menghujat. Jadi akan lebih baik saya menyingkir dulu, hening, membiarkan ledakan-ledakan itu mereda dengan sendirinya, lalu membangun makna dari pengalaman tersebut.

Hmmm, time-out nya sudah dulu ya? Saya masih ada pekerjaan lain. Sampai jumpa di time-out yang lain...



Maguwoharjo, 7 Juli 2010
Sondang Sidabutar (pekerja kemanusiaan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar