MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Rabu, 09 Maret 2011

RAMPAI MENTAWAI: TRANSAKSI KEMANUSIAAN


Kembali lagi ke Mentawai. Sebelumnya aku sudah merasa bahwa aku akan kembali tidak lama setelah kunjungan yang pertama di akhir tahun lalu. Masih berjodoh, meski bukan jodoh impian. Sebuah tabrak lari lagi dengan sejumlah uang yang harus cepat dihabiskan diikat janji yang...bombastis.
Jika tim dari lembaga-lembaga lainnya membawa serta armada berlimpah, maka kami bertiga saja dengan logistik tim seperlunya. Aku berseloroh dengan anggota timku tentang bagaimana tim kami akan terkesan paling kere dibanding tim dari lembaga-lembaga lainnya. Berminggu-minggu tidur di dalam kantong tidur dalam sebuah bangunan kayu kosong bekas gereja yang suka keluar kelabangnya, masak makanan-minuman instan sambil memimpikan ‘makanan layak’ di kota, mencari sayuran di semak-semak dan pinggir sungai untuk makan kami, berkali-kali bertemu ular di perjalanan, berjalan kaki ketika tidak ada kendaraan dan bensin sedang krisis, menunggu dan mengumpulkan air hujan untuk minum kami, mandi-mencuci-buang air di sungai bersama penduduk, tiada listrik, signal handphone atau internet. Asik-asik ajaaah....

Ah, ini sih belum apa-apa bila dibandingkan dengan kisah-kisah nyata yang pernah kubaca di buku-buku. Baru saja aku selesai membaca Enrique’s Journey, yang memenangkan Pulitzer di tahun 2003, yang menceritakan perjalanan anak-anak Amerika Tengah di atap gerbong kereta api barang demi menemui ibu mereka yang menjadi buruh migran di Amerika Serikat yang bertahun-tahun tidak juga bisa kembali ke negara asal mereka. Kemiskinan dan kerasnya kehidupan memaksa ibu mereka menempuh perjalanan berbahaya diselundupkan ke Amerika untuk mencari pekerjaan yang lebih menghasilkan. Lalu ketika anak-anak mereka tidak dapat lagi menahan kerinduan dan rasa kehilangan, mereka mengambil keputusan menyusul dan mencari ibu mereka.

Sepanjang perjalanan anak-anak itu dihantui oleh ancaman pemerasan, perampokan, pemukulan, perkosaan, bahkan pembunuhan oleh para bandit dan gangster. Banyak orang di beberapa tempat sepanjang perjalanan memperlakukan para imigran gelap ini dengan begitu kejamnya, bahkan menembak mati imigran yang kedapatan keluyuran di tanah peternakan mereka. Berhari-hari mereka tidak makan dan jika kereta berhenti, mereka akan meminum beberapa sesap air dari genangan yang telah tercemar minyak mesin. Jika dalam perjalanan tiba di sebuah kandang ternak, meskipun air dalam palungan ternak tercemar air liur ternak, berlumut dan berbau busuk, air itu tetap diminum karena dahaga yang tak tertahankan. Sang penulis, seorang jurnalis yang bekerja di Amerika melakukan perjalanan lebih dari enam bulan seperti yang dilewati oleh anak-anak Latin itu, menghadapi ancaman bahaya seperti yang mengintai anak-anak itu, untuk mendapatkan rasa dan gambaran pengalaman mereka.

Dideportasi berulang kali, menjadi cacat karena dianiaya para bandit atau karena tergelincir dari kereta, diperkosa atau dipaksa memberikan layanan seks, dimasukkan penjara ketika tertangkap dalam peristiwa penyelundupan, dijebak oleh penyelundup yang sudah mereka bayar, berada terus-menerus dalam bahaya dan tanpa kepastian, beberapa imigran gelap itu menderita gangguan jiwa yang cukup parah. Aku jadi mulai bisa memahami mengapa banyak TKI yang pulang kembali ke Indonesia mengalami juga gangguan jiwa sampai harus mendapatkan penanganan psikiatri. Buku ini juga memberikan gambaran yang cukup mendalam dan menyeluruh mengenai masalah-masalah yang mendorong para perempuan yang menjadi orang tua tunggal harus memilih meninggalkan anak-anak mereka.  

Yang sangat menyentuh adalah bagian tentang individu-individu di beberapa negara di Amerika Tengah dan Meksiko yang memberikan pertolongan tanpa pamrih untuk para imigran gelap ini, dan beberapa kota atau dusun di mana sekelompok warganya berbondong-bondong berdiri sepanjang rel untuk melemparkan makanan, minuman dan pakaian ke orang-orang yang melakukan perjalanan di atas gerbong kereta. “Saya tidak suka merasa bahwa saya sudah makan dan mereka belum.” Yang lain berkata, “Tuhan berkata, ketika Aku melihat kamu telanjang, Aku memberimu pakaian. Ketika Aku melihatmu lapar, Aku memberimu makanan. Itu yang Tuhan ajarkan.” Penolong yang lain, “Saya membayangkan saat saya mati, saya tidak bisa membawa apapun bersama saya. Jadi, mengapa tidak memberi?” Seorang warga yang sebenarnya juga miskin mengatakan, “Setiap hari, saya harus melawan banyak masalah di sini. Tetapi saya merasa damai. Saya selalu ingin melakukan sesuatu dalam hidup saya. Saya merasa puas.” Tindakan-tindakan kemanusiaan murni tanpa bertransaksi.     

Aku mendapatkan pemahaman tentang diriku, tentang bagaimana sebenarnya kondisiku di Mentawai yang sebenarnya tidak ada apa-apanya tantangannya dibanding kisah dalam buku itu, bahwa aku pun jatuh dalam prasangka dan melakukan kegiatan kemanusiaan dengan transaksi.

Aku tergelitik dengan paparan E. S. Ito, penulis muda novel fiksi sejarah Rahasia Meede: Misteri Harta Karun VOC, yang di dalamnya ada kisah mengenai masyarakat asli pedalaman pulau Siberut di Mentawai yang belum mengenal peradaban logam. Tentang kepercayaan mereka, tentang hubungan mereka dengan alam, tentang kesederhanaan hidup mereka yang berada di luar logika kita.

Hidup adalah tentang hukum penawaran dan permintaan. Kita sungguh akrab dengan hukum ini. Dunia modern dan dorongan untuk mengkonsumsi tanpa kemampuan mencipta dan memproduksi adalah lahan basah dan subur untuk hukum ini berlaku. Sementara yang memproduksi akan terus mengejar batas-batas tertinggi untuk memenuhi permintaan, jika perlu menciptakan persepsi bahwa konsumen punya kebutuhan tinggi yang terus-menerus sehingga mereka terus-menerus meminta dan produsen terus-menerus memproduksi di luar batas kewajaran, karena semakin permintaan melebihi kewajaran, semakin berlimpah keuntungan. Jika kita tidak bisa lepas dari hukum penawaran dan permintaan ini, niscaya keserakahan akan selalu memperbudak kita.

Lalu ada hukum lainnya di kehidupan lain, kebutuhan dan ketersediaan. Pada awalnya, alam ini sesungguhnya menyediakan semuanya cukup untuk kebutuhan semua makhluk yang mendiami bumi. Hubungan manusia dengan alam (dulu) masih begitu murni sehingga alam bisa mengkomunikasikan tanda-tandanya dan manusia bisa membaca dan memahaminya. Hubungan ini sungguh harmonis dan masih bisa kita lihat di masyarakat-masyarakat pedalaman yang masih memegang teguh kepercayaannya, kepercayaan sebelum ada modernisasi, sebelum ada agama-agama langit.

Tapi kita yang candu dengan penawaran dan permintaan menganggap begitulah hukumnya manusia yang beradab. Kita akan gusar melihat masyarakat yang masih percaya pada hukum kebutuhan dan ketersediaan. Kita melihat bahwa mereka semestinya menganut agama yang kita anut, memakai baju yang kita pakai, makan makanan yang kita makan, membeli barang-barang yang kita beli. Dan kita berusaha memperkenalkan mereka dengan uang dan memperlihatkan apa yang bisa dibeli dengan uang, lalu kita ajak mereka dan ajar mereka bertransaksi. Ketika manusia mulai mengenal uang, maka kita mulai membangun hubungan sebagaimana pragmatisme yang kita dapatkan dari sifat dagang.

Aku dikhotbahi habis-habisan oleh salah seorang pastur di Sikakap setelah dia mendengar reaksiku terhadap kisahnya tentang seorang tokoh pendatang yang berhasil memenangkan hati masyarakat di pedalaman Riau. Orang itu, pada awalnya masuk sendirian, lalu hidup bersama di tengah-tengah masyarakat itu. Karena perilakunya dan pendekatannya yang simpatik, para tetua masyarakat menghadiahkan dia tanah mereka yang luas untuk orang itu. Kata si pastur, orang itu membawa peradaban dan kemajuan pada masyarakat asli itu, membuat mereka (yang tadinya tidak memakai baju) jadi memakai baju, jadi beragama juga. Hmmm, sampai di sini aku masih diam saja walaupun aku sudah mulai curiga. Kemudian, katanya, orang itu menjadi kaya-raya dari menjual tanah-tanah luas yang diperoleh dari kemurahan hati masyarakat asli kepada orang-orang luar jadi ladang-ladang sawit. Oke, kataku orang ini sebenarnya licik dan serakah. Lalu aku dikhotbahi pastur, dibilangnya aku hanya melihat yang buruk-buruknya saja dan terlalu berprasangka negatif. Tokh, tanah masyarakat asli ini banyak dan luas sekali, mengapa tidak boleh dijual kalau sudah diberikan? Kan, orang pedalaman ini kemudian mulai mengenal peradaban dan hidup mereka lebih maju. Dia mati-matian membela tokoh itu. Selanjutnya, seperti di mana-mana khotbah, pendengarnya tidak diberi kesempatan untuk berbicara pendapatnya sendiri lebih jauh. Pffiuuuh... Bagiku, ini sama saja kami berdua sedang melihat srigala berbulu domba: dia mau melihat dombanya saja, aku mau melihat srigalanya saja.

Mentawai, sebelum dimasuki ‘peradaban’ adalah surga bagi masyarakat aslinya. Kepercayaan mereka pada sesuatu yang tidak dipahami oleh logika menjaga keseimbangan alam liar ini. Tapi sampai kapan mereka akan bisa bertahan? Jauh di seberang sana, manusia-manusia modern telah mematok harga untuk tiap jengkal tanah dan isi pulau ini. Pada akhirnya, mereka semakin kehilangan ruang hidup. Mereka tidak mungkin bisa mengelak dari satu pilihan yang disodorkan. Cepat atau lambat, lembaran uang akan menggantikan lembar daun kepercayaan mereka. Mentawai menuju kepunahannya, demikian dipaparkan oleh E. S. Ito. Sebagian masyarakatnya memilih mengikuti peradaban modern, dari kebutuhan dan ketersediaan menuju penawaran dan permintaan. Bertransaksi dengan orang-orang modern, di mana sisi yang satu menganut hukum penawaran dan permintaan ala manusia modern dan di sisi lain dengan hukum kebutuhan dan ketersediaan ala Mentawai.   

Lalu, orang-orang yang bekerja di bidang sosial-kemanusiaan pasca bencana ini, yang telah lama hidup dalam konteks penawaran dan permintaan, harus bekerja dan berkarya dalam masyarakat yang sebenarnya masih menjalani hukum kebutuhan dan ketersediaan. Gamang. Lembaga/pekerja kemanusiaan dilihat sebagai penyedia dari kebutuhan penyintas di Mentawai. Nampaknya belum ada yang salah. Tapi tunggu dulu, aku pun sempat memiliki prasangka bahwa mereka melihat kami seperti Sinterklas kaya raya yang membagi-bagikan hadiah untuk mereka. Atau seperti alam raya ini yang menyediakan apa yang mereka butuhkan. Dengan prasangka ini, aku kemudian selalu curiga bahwa tidak ada senyum, keramahan dan pendekatan mereka yang tidak akan diikuti oleh permintaan. Lalu persepsiku menjadi selektif untuk hanya menangkap apa-apa yang aku ingin justifikasi dari prasangkaku.

Tim kami berposko di dalam gereja lokal yang sudah dikosongkan di Km 37, titik pemusatan pengungsian, yang terbesar di Mentawai pasca tsunami Oktober lalu. Kami pindah berposko di gereja itu setelah tiga hari sebelumnya kami berposko di rumah salah seorang penduduk lokal yang tiba-tiba di hari ketiga suami pemilik rumah yang baru pulang ke rumah mengumumkan tarif kamar tak masuk akal bagi kami. Padahal di hari pertama si istri sempat mengatakan pada kami untuk tinggal saja di situ, tak perlu membayar. Dalam kemarahan, aku langsung menginstruksikan tim ku mengemas semua barang kami dan pindah ke gereja lama yang kosong.  

Di gereja itu kami menaruh perlengkapan posko, peralatan kegiatan di lapangan dan logistik yang rencananya akan dibagikan di akhir kegiatan program. Siapa pun orang Mentawai, baik itu penduduk lokal di Km 37 maupun warga pengungsi yang diungsikan ke Km 37, yang masuk ke posko kami, selalu yang paling pertama dilakukan adalah melihat-lihat barang-barang apa yang kami taruh dalam posko. Bangunan yang terbuat dari papan-papan kayu ini memiliki banyak celah antara. Anak-anak biasa mengintip ke dalam. Lalu mulailah mereka meminta. “Kak, minta lah buku-bukunya,” atau, “Kakak pintar kali masak, hmmmm, harum... Bagilah kak makanannya.” Atau, “Kak, minta kelerengnya!” Atau seorang ibu masuk begitu saja tiba-tiba ke dalam posko, melihat-lihat sekitar dan berkata, “Nanti kalau kalian mau pulang, kasihlah bawang kalian sama aku, ya.” Atau, “Kasihlah kenang-kenangan sama kita nanti kalau kalian mau pulang.”

Sebenarnya aku tidak keberatan memberi. Tapi coba dengar ini, kalau aku memberi ke satu orang, nantinya orang-orang lain akan berbondong-bondong mendatangi posko kami dan meminta juga. Jika tidak ada untuk mereka, aku akan dibilang tidak adil karena hanya memberi ke si anu saja dan tidak ke mereka semua. Sudah ada dua pengalaman pendahulu untuk justifikasi prasangkaku. Pengalaman pertama, ketika satu perempuan di antara belasan perempuan yang membantu di dapur umum digosipkan menerima uang dari tim kami (Desember tahun lalu), padahal dari awal mereka diberitahu bahwa bantuan mereka sifatnya sukarela, tidak ada imbalan uang. Kebetulan aku yang pertama kali menerima pengaduan dari ibu-ibu dapur umum itu. Si perempuan yang dikabarkan diberi uang itu dikerubuti oleh ibu-ibu dapur umum lainnya dan disuruh mengaku di depanku bahwa benar dia menerima uang. Dia menyangkal. Mereka minta padaku bahwa mereka semua juga harus diberi uang, biar adil. Aku bawa mereka ke koordinator tim kami, kutinggalkan mereka berbicara. Dan memang, tim tidak memberikan imbalan uang untuk para perempuan yang membantu di dapur umum. Mungkin memang ada personel tim yang memberi uang ke dia, entah dengan maksud apa, lalu perempuan itu tidak bisa menahan diri bercerita pada orang lain. Dan kabar pun tersebar.    

Pengalaman kedua, ketika aku sedang berkumpul dengan anak-anak, ada dua anak laki-laki diam-diam mendekatiku dan membisiki aku minta kelereng. Manis sekali bujukan mereka. Aku tergoda. Aku bilang, akan aku berikan, tapi karena aku tidak membawa banyak, mereka berdua harus tutup mulut tidak memberitahu anak-anak lain. Mereka semangat bersetuju. Dua kelereng untuk masing-masing. Mereka berdua bergegas pergi, dan masih di depanku, mereka membisikkan teman-teman mereka yang lain sambil memperlihatkan kelereng yang barusan mereka terima dariku. Spontan anak-anak lain berhamburan ke arahku meminta kelereng juga. Hwaduh! Huahahahaa!!! Aku masih dikejar-kejar sampai berhari-hari setelahnya.

Yang menggangguku adalah bukan pada siasatku menunda memberi ke sedikit orang supaya tidak memprovokasi orang banyak lain meminta. Melainkan pada: bahwa prasangkaku kemudian menghambat aku sendiri untuk membalas keramahan dan sikap bersahabat mereka dengan sikap ramah dan bersahabat yang sama. Aku jadi menahan inisiatif dan dorongan dalam diriku untuk bersikap ramah, menahan diriku sendiri untuk rajin menyapa orang-orang, untuk duduk mengobrol dengan mereka, karena khawatir dari keramahan dan obrolan ujung-ujungnya adalah permintaan. Piciknya aku. Aku jatuh dalam prasangka transaksi. Padahal, yang kulakukan selama di sini bukankah juga transaksi?

Ini bukan kebaikan yang sedang kulakukan, maksudku dengan kerja kemanusiaan ini. Aku dibayar untuk pekerjaan ini. Transaksi antara jasa dan bayarannya. Aku bukanlah penduduk yang berbondong-bondong melemparkan makanan dan pakaian ke atap gerbong kereta untuk para imigran gelap itu. Tidak, aku tidak setulus mereka. Barang-barang yang diberikan untuk para penyintas bencana di Mentawai itu pun bukan dibeli dengan uangku sendiri, melainkan uang dari para donatur yang diperantarai makelarnya, lembaga donor. Dan lembaga donor pun bertransaksi. Lembaga kemanusiaan juga bertransaksi. Nama mereka harus disebut-sebut dalam pendistribusian bantuan dan produk-produk kemanusiaan, bahwa bantuan yang diberikan harus diikuti oleh perubahan dalam masyarakat sesuai yang dijanjikan di proposal mereka, atau setidaknya dilaporkan dan didokumentasi sebagai keberhasilan pemenuhan janji. Ini menyangkut nama baik lembaga. Nama baik nantinya akan dipakai untuk memancing uang lebih banyak lagi dan itu berarti pula dukungan dan fasilitas lebih lengkap dan kesejahteraan (kemewahan) lebih banyak untuk para pekerja kemanusiaan dan lembaganya, jaminan keamanan dan kenyamanan untuk, akhirnya, lebih banyak lagi mengkonsumsi. Well, ini hanya satu penggambaran. Tentu saja (aku berharap) ada lembaga-lembaga kemanusiaan yang mampu mempertahankan dirinya dan orang-orang yang bekerja di dalamnya untuk tidak makin terperosok ke perilaku konsumsi dan konsumsi, yang mampu mempertahankan prinsip kesederhanaan yang mulia dan komitmen keberpihakannya.

Betapa aku sebenarnya tidak lebih mulia seperti yang kusangka daripada mereka yang menjadi sasaran prasangkaku. Aku memaksa diriku untuk melepaskan kacamata selektif itu dan mulai menyisir lagi ingatan tentang tanda-tanda keramahan dan kemanusiaan ala Mentawai yang tidak bertransaksi.

Aku ingat, ketika tas kecilku, yang berisi uang dan benda-benda penting yang selalu kubawa ke mana-mana, tertinggal di sungai suatu pagi dan tidak kutemukan ketika kucari kemudian. Lalu masih di hari yang sama, seorang bapak membawa ke hadapanku seorang sikerei (semacam orang pintar atau dukun). Sikerei memegang ubun-ubunku dan dia menerawang menyusur penglihatannya sendiri. Dia bilang tasku sudah diambil oleh seseorang di sungai. Dia akan mencari tetumbuhan di suatu tempat yang lumayan jauh untuk membuat ramuan supaya nantinya orang yang memegang tasku akan merasa pusing dan hatinya tidak tenang sampai dia mengembalikan tas itu. Aku bilang aku akan mencari bensin dan motor yang kami sewa bisa dia pakai untuk mencari ramuannya.

Tapi hari itu bensin sedang krisis. Aku pergi berkeliling mencari bensin sambil menyebar kabar bahwa bensin itu guna mencari ramuan Sikerei untuk menemukan tasku yang hilang. Tapi bensin yang kubutuhkan tidak ada di mana-mana. Hari masih terik waktu aku akhirnya berjalan sendirian menuju posko tanpa bensin. Wow, rupanya siasat komunikasi massa-ku berhasil. Kabar yang kusebar tentang ramuan itu memperlihatkan hasilnya. Tiba-tiba seorang ibu menarik tanganku dan bilang bahwa dia telah menemukan tasku dan menyimpannya untuk aku. Di mataku dia terlihat cemas atau takut. Aku diajak masuk ke rumah hunian sementaranya. Dia menunggu sampai keadaan sepi lalu menyerahkan tasku. Aku beri dia uang sekedarnya untuk “kebaikan” hatinya. Dia minta lebih. Aku menolak dengan sopan dan bilang bahwa hari-hari pekerjaan kami masih panjang dan aku memerlukan uangku. Lalu aku pergi dari rumahnya dan tidak pernah bertemu ibu itu lagi.

Baru berhari-hari kemudian aku menyempatkan diri mampir ke rumah hunian sementara Sikerei untuk berterima kasih berkat keampuhan namanya sehingga tasku kembali masih di hari yang sama tanpa harus sampai memakai ramuannya. Sikerei hanya tersenyum ramah padaku. Aku pamit. Dia tidak meminta imbalan apapun. Tidak ada transaksi. Satu tanda yang kucari.    

Ada satu anak perempuan usia SMP dari dusun Purourogat yang ikut mengungsi di Km 37. Ibunya meninggal dalam tsunami dan dia melihat dengan mata kepalanya sendiri jasad ibunya tersangkut di pepohonan yang tinggi dalam keadaan telanjang. Ayahnya sudah lama meninggal karena penyakit. Jadilah dia anak yatim piatu, tinggal di pengungsian bersama kakak dan tantenya. Hampir tiap hari dia datang ke posko kami. Aku sudah mengenalnya sejak misiku Desember lalu. Ketika dia tahu aku datang lagi, dia rajin main ke posko.

Bedanya dia dengan anak-anak lain yang mampir atau mengintip ke dalam posko adalah, dia tidak melihat-lihat ke barang-barang kami. Dia cenderung pemalu tapi mau menggelendot manja ke kami. Dan dia tidak pernah minta apa pun, cuma minta ijin untuk boleh main di posko bersama kami. Kami ajak dia membantu kami mengepak barang-barang bantuan di malam hari menjelang akhir program, dia bantu kami. Waktu kami minta dia membawa beberapa barang-barang untuk dia, dia terus-menerus menolak. Barang yang sudah kami bungkus untuknya dia tinggalkan saja di posko. Akhirnya kami berikan dia ukulele yang kami gores dengan tandatangan kami bertiga, aku dan dua teman anggota timku, sebagai kenang-kenangan. Dia hampir menangis. Waktu kami suruh dia membawa beberapa pemberian lagi, dia bilang dia sudah menerima terlalu banyak dari kami. Dia tidak mau apa-apa lagi. Yang dia mau hanya lukisan cat airku, hasil aku mengajar anak-anak di sesi kegiatan. Aku tandatangani lukisan pohon pisang yang dia bilang cantik itu. Dia tertawa senang.

Di malam terakhir kami mengajak dia menginap di posko. Aku mengobrol dengan dia sambil berbaring sampai kami berdua terlelap. Paginya masih sambil berbaring kami berdua ngobrol lagi, sambil menautkan tangan kami. Dia memelukku. Dia bilang dia sedih kami harus pergi. Dia akan kesepian lagi. Aku sarankan dia untuk bermain dengan kakak-kakak dari lembaga lain di situ supaya dia banyak teman dan tidak kesepian lagi. Dia tidak mau, dia bilang mereka sombong-sombong, tidak pernah menyapa. Aku tertawa, kubilang bahwa dia bisa menyapa lebih dulu, tapi dia malu. Temanku kemudian bercerita bahwa anak itu menangis ketika kami bergerak meninggalkan posko. Tapi aku tidak melihatnya. Beberapa hari yang lalu saat aku di Jakarta, dia menelpon ke HP ku dari Sikakap menggunakan HP teman barunya yaitu seorang kakak dari sebuah lembaga yang sedang bekerja di Mentawai saat itu. Dia bilang dia sudah punya kakak lain yang juga baik dan bahwa dia kangen pada kami bertiga.     

Aku memikirkan dia, tentang kebutuhannya mengisi kekosongan akan kehadiran orang dewasa yang peduli padanya. Dan orang-orang dewasa itu datang lalu pergi meninggalkan dia. Bahwa dia datang ke kami karena dia butuh perhatian dan kasih sayang, tidak ada kepentingan lain. Dulu, waktu aku masih berprasangka, aku bilang bahwa dia pun berpamrih. Sekarang aku menganggap dia tulus, tidak bertransaksi. Sebuah tanda lain.

Sekarang ini aku masih melanjutkan mencari tanda-tanda kemanusiaan tanpa transaksi untuk mengikis prasangkaku. Hal ini kuharap akan menjadi energiku untuk lebih banyak dan lebih giat melakukan ‘kemanusiaan tanpa transaksi’. Kalau perlu, aku juga akan mencari tanda di kisah-kisah orang lain, di buku-buku yang kubaca, di film-film yang kutonton. Juga agar aku bisa lebih jeli mengetahui dan membedakan perlakuanku terhadap transaksi kemanusiaan oleh srigala berbulu domba, oleh serigala yang menyangka diri mereka domba, dan oleh domba yang benar-benar domba.  


**************************


Ketika seorang teman menanyakan aku bagaimana kabar Mentawai, aku jawab aku bersedih untuk Mentawai. Aku menyaksikan bahwa mereka yang mengaku sedang melakukan pelayanan dan berbuat baik untuk Mentawai, yang sedang mendidik Mentawai untuk jadi lebih beradab, sebenarnya adalah orang-orang berpamrih dan bertransaksi. Begitu kuatnya prasangka mereka terhadap orang-orang Mentawai, mereka banyak yang mulai percaya bahwa kekerasan adalah jalan untuk mendidik dan mendisiplin, untuk penyelesaian masalah, bahkan bangga melakukan kekerasan yang menunjukkan kekuatan dan kekuasaan mereka. Mudah saja mereka melakukan itu, sebab mereka memang lebih kuat dan kuasa dalam transaksi yang mereka ciptakan sendiri.

Dalam sebuah percakapan via SMS dengan seorang yang pernah bergiat melakukan pelayanan pendidikan dan keagamaan di Mentawai, aku bertanya padanya apakah dia percaya pada kekerasan sebagai jalan penyelesaian masalah, dalam konteks pendidikan anak dan masyarakat. Dia merespons bahwa dia tidak yakin kekerasan adalah cara penyelesaian masalah. Menghukum anak pada taraf tertentu, menurut pemikirannya, perlu, agar anak tahu mana yang baik dan tidak baik. Lalu aku bertanya, ketika seorang pendidik sudah sampai pada taraf menjadikan kekerasan sebagai nilai yang dipercayainya, bahkan bangga melakukannya, bagaimana pandangannya tentang masa depan anak dan masyarakat tersebut. Dia menjawab bahwa secara psikologis anak akan menjadi seorang pengecut, minder, pemberontak dan lebih fatal lagi menjadi seorang pribadi pendendam. Aku meresponnya, kubilang bahwa dalam skala komunal, kepengecutan, ketidakpercayaan diri, dendam dan pemberontakan akan jadi bom waktu yang amat destruktif. Maka tidak ada perubahan positif yang bisa dibanggakan dari kekerasan. Namun tetap saja kesalahan akan terus ditudingkan oleh pendidik pada kelompok masyarakat tersebut, tanpa si pendidik bersedia melakukan refleksi diri. Aku bersedih hati melihat anak-anak dan masyarakat Mentawai. Lalu dia menjawab bahwa butuh keberanian diri untuk terjun masuk dan mengakui masalah psikologis. Itu cara satu-satunya untuk bisa sembuh. Dan untuk itu butuh waktu yang lama untuk menerima kekurangan diri. 18 Februari 2011.

Masalahnya adalah, aku mempertanyakan diriku sendiri, apakah aku berani untuk terjun dan berani bekerja untuk jangka waktu yang lama di Mentawai? Melawan serigala-serigala itu, apakah aku yakin aku mampu melakukan perubahan di Mentawai? Aku tidak yakin aku mampu. Dan aku bersedih hati untuk Mentawai yang sedang menuju kepunahan identitas dirinya...


Margonda, 8 Maret 2011
Sondang Sidabutar, Pekerja kemanusiaan yang masih bertransaksi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar