MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Rabu, 16 Maret 2011

SERIAL LUKA 3: LUKA DENDAM

...Karena siapakah manusia yang hidup tanpa pernah berpengharapan, lalu kecewa?...


Adalah Sebuah Pembelajaran yang Pahit dan Mahal

Hidup tidak selalu berlaku seperti yang kita inginkan, yang kita impikan, bahkan seringkali meleset begitu jauh dari duga dan harapan. Hitung kecewa yang sempat menghampiri hidup kita.
Jika kecewa tidak terlalu berdampak merusak, maka bolehlah kita memaafkan dan biarkan berlalu. Namun sebagian kekecewaan begitu merusak diri kita atau orang-orang yang kita peduli dan sayangi, sedemikian sehingga luka lebar yang ditinggalkannya selalu segar menganga dalam rasa dan ingatan, mampu membangun hasrat untuk tetap mengingat dan menagih pembayarannya. Menanam benih dendam.

Pemaafan, saudara-saudara, adalah kata benda yang amat rumit dan melalui proses yang sakit. Yang tidak mengalami luka disakiti dengan entengnya menyarankan orang lain untuk memaafkan, menerima dan melupakan. Yang mengalaminya langsung, pun belum tentu berarti dia paham apa yang terjadi dalam dirinya. Mengapa tidak mudah baginya mengatur perasaannya sendiri; mengapa dan bagaimana kekecewaan dan kemarahan seringkali berbuah dendam alih-alih pemaafan; dan dendam... lebih pada pemenuhan yang membangun atau merusakkah? Merusak atau membangun apa dan siapa?

Ketakutan dan kemarahan, keduanya adalah respons alami terhadap ancaman atau tindakan menyerang dan menyakiti. Kemurkaan, adalah gunung atau waduk kemarahan yang tidak pernah mampu diungkapkan dalam takaran yang aman. Pilihan kita menarik diri untuk tidak terlibat dalam hubungan dengan orang-orang tertentu hadir demi menghindari situasi-situasi yang kita pikir akan menjadi sumber lain kekecewaan. Mengasingkan diri, ada yang memilihnya, akibat terlalu banyak perjumpaan dengan kekecewaan. Tentu kita kehilangan kepercayaan pada orang-orang tertentu, pada keadaan-keadaan tertentu, bahkan terhadap dunia dan Tuhan sekalipun. Hanya mereka yang begitu naif, atau tolol, atau mungkin sejenis orang suci, yang mampu mengalami kekecewaan demi kekecewaan tanpa kehilangan rasa percaya.

Entah mengapa, aku bukan orang yang suka memaafkan. Aku tidak suka bila orang yang merasa bersalah padaku datang meminta maaf. Jika ada orang yang melakukan sesuatu yang menyakiti hatiku, aku akan menakar sendiri luka yang ditimbulkannya. Bila aku merasa luka itu tidak cukup pantas untuk diperhatikan dan disimpan, dengan sendirinya aku lepaskan saja kejadian itu tanpa orang itu harus minta maaf padaku. Tapi, kalau luka yang ditimbulkan begitu menyakitkannya, biar orang itu menyembah minta maaf pun, aku sendirilah yang memutuskan pada waktuku sendiri apakah aku: memaafkannya atau tidak, melepaskan lewat pengalaman itu atau menyimpannya baik-baik dalam ingatanku, memberikannya pelajaran segera atau nanti menunggu waktu yang tepat. Bila orang-orang tertentu tidak cukup pantas ada dalam lingkaran kehidupanku, lebih baik dia tidak memunculkan batang hidungnya ke hadapanku, karena aku tidak sudi berpura-pura semuanya baik-baik saja seakan tidak pernah terjadi apa-apa.

Bagiku akan lebih bermakna jika orang itu merubah perilakunya daripada dia minta maaf, sebab cukuplah aku melihat maaf dihambur-hambur percuma tanpa hal-hal pernah berubah jadi lebih baik. Dan lebih berharga lagi bagiku adalah bila dia merubah perilakunya ke orang-orang lain yang juga dia sakiti, apalagi bagi orang-orang yang begitu mengharapkan maaf dan perubahan darinya, orang-orang yang lebih remuk lukanya akibat perbuatannya. Mungkin pengalaman sering disakiti oleh orang-orang tak berperasaan membuatku lebih mengandalkan kekuatan sendiri, karena aku tak punya siapa-siapa, untuk membasuh luka-lukaku lalu bangun melangkah lagi, tanpa perlu menunggu permintaan maaf dan perubahan dari orang tertentu. Tapi itu bukan berarti aku tidak mendendam. Oh ya, aku menyimpan baik-baik dendam-dendam tertentu dan mengasuhnya diam-diam. Lalu menunggu...


Jika Mata Dibayar Mata, Maka Butalah Seisi Dunia

...konon Gandhi berkata. Ck, ck, ck,... Bisa-bisanya dia meringkas semua ini dalam sepenggalan kalimat. Aduh, kalau Guru yang satu ini, ampun deh, tekuk lutut aku di depannya. Dia Bapak Spiritualku, dan Bunda Theresa Ibu Spiritualku. Tuhan membuatku yatim piatu.

Masa kecil kita diisi dengan ingatan tentang dongeng-dongeng berkisah pembalasan dendam. Tokoh si baik selalu harus membalas perlakuan si jahat, dan dengan berhasil membalaslah klimaks cerita membangun figur si baik sebagai pahlawan. Kini, sinetron-sinetron yang menjijikkan itu mempertontonkan pada pemirsa budiman perang antara si baik yang naif dan si jahat yang terus-menerus membuat celaka. Lalu penontonnya akan dengan gemas meneriakkan layar televisi agar si baik yang naif itu menyadari ketololannya dan membalas dendam. Kalau si jahat jatuh dari tangga sampai cacat atau ketabrak mobil sampai masuk rumah sakit dan koma, penonton tertawa puas, karena Tuhan dalam tivi sudah membayar luka-luka si pemirsa. Murahan...

Tapi pemirsa, Tuhan di tivi rupanya tidak sama dengan Tuhan yang kita amini dalam hidup kita. Kita menunggu-nunggu Tuhan membalaskan sakit hati kita, tapi kok si jahat itu malah tambah berprestasi? Dia menambah teman-temannya, tapi kita malah tersisih? Dia mengalami kenaikan jabatan dan penghargaan, sementara kita harus berdoa tiap hari agar kontrak kerja kita diperpanjang? Kalau Tuhan diam saja, apa boleh buat, kita yang harus bertindak. Atas nama keadilan. Iya, nggak?

Ada yang bilang: “Mereka yang mampu memaafkan dan melupakan adalah orang-orang dengan talenta istimewa, karena bagi kebanyakan kita sulit melakukan salah satu di antaranya. Adalah kecenderungan kita untuk memaafkan diri sendiri, namun tidak melepaskan mereka yang telah berbuat salah. Kita mengharapkan mereka untuk menjadi sempurna dan bahwa kesalahan tidak dapat ditoleransi. Saya seringkali sulit memaafkan orang, dan terkadang saya tidak dapat melupakan walau telah memaafkan. Pada akhirnya saya benar-benar memaafkan dan melupakan, tapi tidak sebelum mengajarkan orang itu pelajaran yang bagus untuknya. Saya percaya pada prinsip ‘Crime and Punishment’ (Kejahatan dan Penghukuman). Jika engkau secara sengaja menyakiti saya, kau harus menderita dulu sebelum saya memaafkanmu.”

Sebuah argumen: “Orang-orang ini, yang mencederai kita, jika kita tidak membalas, mereka akan mencederai orang lain lagi. Orang-orang baik akan berespon demi keadilan, karena mereka ingin memastikan bahwa tak seorang pun nantinya harus memikul luka yang sama karena perbuatan orang tersebut.”

Argumen berikutnya: “Intinya adalah keadilan... Sampai sekarang pun saya masih percaya begitu, dan pemikiran ini membantu saya percaya bahwa dalam kasus-kasus tertentu, saya tidak bersalah, atau saya tidak bersalah pada derajat tertentu; yaitu sewaktu saya melihat kembali catatan kehidupan saya yang keliru dan salah di masa lampau. Saya menyadari bahwa perlu membuat orang lain sadar bahwa dia bersalah karena jika begitu mudah orang tersebut melupakan kejahatannya, dia akan melakukannya lagi dan lagi.”

Seseorang lain mengatakan, “Dulunya saya termasuk orang yang memaafkan dan melupakan, sampai suatu hari saya mendapat pengalaman buruk dan tak dapat memaafkan. Orang jaman sekarang memperlakukan yang lainnya tanpa perasaan. Manusia menjadi orang-orang egois yang ingin mendapatkan banyak tapi memberi sedikit. Manusia sudah berubah. Semakin banyak orang yang perasaannya terluka tiap harinya. Saya ada dalam satu titik yang bukan lagi membahas tentang memaafkan dan melupakan. Ini tentang penerimaan. Saya tidak terima bila diperlakukan buruk dan jika seseorang terus memperlakukan saya dengan buruk, saya akan hapus dia dari hidup saya. Saya berkata ini bukan dengan rasa benci. Sederhana saja, saya hanya ingin hidup saya dikelilingi orang-orang yang memberikan nutrisi untuk jiwa saya, bukan yang menghisapnya sampai kering.”

Seseorang yang lain memiliki pandangannya sendiri: “Ketika engkau mengharapkan sesuatu dari orang-orang lain, seringkali mereka tidak memenuhi harapanmu, maka engkau kecewa. Jadi, janganlah berharap. Jika kau perlakukan orang lain seperti kau ingin diperlakukan, maka hampir selalu kau akan memiliki hubungan yang kau inginkan dengan orang-orang yang penting bagimu. Ketika engkau bertemu dengan seseorang yang jalan hidup, pengetahuan dan persepsinya tentang dunia tidak cocok denganmu sehingga terjadi konflik-konflik dalam hubungan kalian, maka saya percaya bahwa jalan yang lebih baik adalah menempuh jalan sendiri-sendiri. Mungkin untuk kehidupan yang sekarang ini memang kalian tidak berjodoh. Atau mungkin kau bertemu orang seperti ini untuk sesaat yang singkat saja, sebagai pengingat bagimu bahwa hidup yang sedang kau jalani sudah baik adanya, dan kau akan menemukan cinta dan kebahagiaan jika kau meneruskan jalan kebenaran pilihanmu sendiri.”

Oh, pernahkah kau menonton video musik Sinead O’Connor untuk lagu “War”? Perempuan botak paling cantik yang pernah aku lihat ini, menyanyi live, tanpa iringan musik. Syairnya adalah tentang pesan melawan segala bentuk kejahatan, ketidakadilan dan penindasan. Dia sendiri pernah mengalami kekerasan seksual oleh institusi pendidikan Katolik sewaktu kecil. Kemudian setelah dewasa dia mengungkapkannya di muka dunia dan disangkal. Di akhir pertunjukan lagu itu, dia mengangkat gambar Paus (pemimpin Katolik di dunia) dan merobek-robeknya dan mencampakkannya di muka pemirsa lalu berkata, “Fight the real enemy!” Sunyi. Penonton terpana. Aku terpana. Bayangkan dan rasakan lukanya...

Konon, kekerasan hati untuk tidak memaafkan adalah manusiawi, namun merugikan dan merusak tidak hanya kehidupan spiritualitas, juga kesehatan fisik kita. Sebuah penelitian, yang pernah menjadi penelitian dengan jumlah responden terbesar mengenai pemaafan dalam hubungan pernikahan dan cinta, mengungkapkan temuan ini. Adukan kepahitan, kemarahan, permusuhan, kebencian, dendam dan ketakutan (akan dilukai atau dihinakan lagi) berdampak pada meningkatnya tekanan darah dan perubahan hormonal yang berhubungan dengan penyakit peredaran jantung, tekanan pada daya tahan tubuh, dan mungkin, kerusakan daya ingat dan fungsi syaraf sehingga menimbulkan masalah-masalah kesehatan. Dr. Dean Ornish mengatakan, “Maafkanlah orang lain demi, setidaknya, dirimu sendiri, demi kesehatanmu sendiri. Inilah hal paling mementingkan diri sendiri (selfish) yang bisa kau lakukan.” Dilanjutkan dengan, “Ketika kita memaafkan, pertama-tama kita sebenarnya sedang melakukan kebaikan untuk diri kita sendiri: kemarahan bukanlah teman perjalanan yang baik. Dia membunuh kita dari dalam, tiap hari. Kalau kita tidak ingin memaafkan demi Tuhan, demi cinta kasih atau demi nilai mulia apa pun itu, setidaknya lakukan saja demi kepentinganmu sendiri!” Adalah sebuah pepatah: jika kau mengabdikan hidupmu untuk mencari pembalasan akan dendam, maka pertama kali, galilah dua lubang kubur.”

Lebih jauh penelitian ini membedakan dua macam pemaafan. “Decisional forgiveness” (pemaafan karena sebuah keputusan) di mana ada komitmen untuk rekonsiliasi dengan si pelaku. Ada yang namanya “emotional forgiveness” (pemaafan yang bersifat emosional atau psikologis), yaitu sebuah penerimaan yang sifatnya internal. Pemaafan macam ini tidak selalu berarti mensyaratkan adanya pengadilan atau keadilan, ataupun berdamai dengan orang yang kita benci. Yang dimaksud di sini adalah memaafkan dengan melepaskan, merelakan; bukannya memaafkan perilaku orang lain atau menerima perlakuan tidak pantas dari seseorang. Lepaskan saja dirimu dari penderitaanmu. Bebaskan dirimu sendiri. Selain itu, keuntungan lain dari memaafkan adalah bahwa orang yang memaafkan memiliki jaringan sosial dengan teman, tetangga dan keluarga yang lebih sehat daripada mereka yang penyendiri. Sedangkan orang yang menyimpan dendam, dengki dan penyesalan, dia sendiri lah yang akan menggugurkan hubungannya dengan orang-orang lain.


Memaafkan, Menerima, Sabotase Diri

Banyak orang seringkali menempuh berbagai cara atau mekanisme untuk menumpulkan dirinya sendiri ketika muncul perasaan-perasaan yang terlalu kuat, tak terkecuali perasaan terluka dan dendam. Ada yang mempertahankan gaya hidup gila kerja agar terhindar dari atau mengira dirinya bisa melupakan perasaan-perasaan yang kuat ini. Ada yang makan terus-menerus untuk memampatkan dan mengisi perasaannya, atau membius diri sendiri agar tak sadarkan diri dengan minum-minum atau mengkonsumsi obat-obatan. Yang lainnya menurunkan kesadaran dirinya, karena keadaan sadar begitu menyiksa, dengan menambah jam tidurnya sampai lebih dari batas normal. Begitu kuatnya perasaan marah dan murka, sehingga perasaan-perasaan lain tenggelamlah.

Sabotase diri (self-sabotage), atau merusak atau menggagalkan diri, adalah semacam perilaku disadari atau tak disadari yang menggerogoti kesempatan untuk keberhasilan dan keberhasilan seseorang di dalam hidupnya. Khususnya orang dengan sabotase diri ini punya pola demikian yang berhubungan dengan sejarah pribadi dan keluarganya. Mereka yang bertumbuh kembang dari keluarga yang memiliki ketergantungan zat, kemungkinan akan melakukan sabotase diri dengan mabuk sambil menyetir kendaraan, atau tertangkap karena membawa obat-obatan terlarang. Mereka yang diasuh dalam keluarga yang berkekerasan cenderung akan mudah jatuh menjadi korban kekerasan pada saat dewasa. Mereka yang tumbuh dalam keluarga yang kaya raya tapi tidak bahagia seringkali kehilangan uang, ditipu atau bangkrut karena investasi yang gagal. Sabotase diri terkait dengan insting penyintas untuk menjadi korban lagi (re-viktimasasi) dalam cara meneruskan atau mengulang kekerasan atau salah perlakuan di masa lalu.

Kadang sabotase diri tidak secara langsung ditujukan kepada diri si penyintas tersebut melainkan ke orang yang dicintainya, yang dekat dengannya. Misalnya, penyintas yang sudah dewasa yang dulunya pernah sendirinya mengalami kekerasan seksual dalam keluarganya, akan terkejut ketika mengetahui bahwa anaknya sendiri juga menjadi korban kekerasan seksual dari si ayah (suami si penyintas) atau seorang teman dari keluarga. Dalam kasus ini, perilaku sabotase diri adalah ketidakmampuan si ibu untuk menerima apa yang sedang terjadi dan tidak melindungi anaknya. Ini kemungkinan karena di masa lalunya dia tidak pernah mampu, tidak berhasil, tidak berani mencoba berjuang untuk memperoleh keadilan bagi dirinya, sehingga di masa depannya pun tidak mampu, tidak berhasil, tidak berani mencoba berjuang untuk keadilan bagi dirinya dan diri orang-orang di dekatnya.

Seseorang membagikan pengalamannya: “Di satu sisi, saya terkesan seperti orang yang tenang, selalu lembut, selalu menjaga keseimbangan dalam situasi apa pun (ideal yang pasif). Tapi seringkali, cangkang yang tenang ini akan meledak tak terkendali. Segala rasa luka dan kemarahan yang telah diperhalus akan muncul ke permukaan dalam ledakan kemurkaan. Biasanya akan ditujukan pada sesuatu yang semestinya bisa saya pahami dan terima. Ledakan ini benar-benar acak sifatnya, nampaknya dipancing oleh sesuatu yang remeh, ditujukan pada sesuatu atau seseorang yang sebenarnya tidak layak mendapatkannya. Saya tidak tahu darimana datangnya ledakan ini. Ini adalah sisi agresif saya. Sehingga saya kemudian dicap Bi-Polar (Pasif-Agresif): di satu sisi bisa benar-benar pasif, tapi terkadang agresif tidak tentu dan tidak jelas apa. Bagaimanapun saya tetap berpandangan, sebagaimana saya dibentuk oleh sekitar saya, bahwa sisi pasifku adalah sisi yang baik, dan sisi agresifku adalah semata-mata jahat. Jadi, kapanpun saya akan meledak, biasanya kemudian di dalam diri saya akan terus-menerus diberondong dakwaan yang keras dan kasar. Dengan perkataan lain, saya mendera mental saya, merasa sangat bersalah karena gagal mengendalikan diri. Akibatnya, saya akan merasa sangat tertekan, gagal dan sama sekali tak berharga. Sehingga saya ini entah orang yang sangat tenang atau periang, atau depresif. Tidak di tengah-tengah, tidak imbang, dan tidak mampu mengendalikan situasi.”

Kita mungkin pernah bertanya-tanya, ke manakah gerangan perginya orang-orang yang baik hati? Apa yang sedang terjadi sekarang adalah kita menuai dan menuai apa yang kita pernah tabur. Kita menjadi seperti orang yang kita benci, menjadi mirip dengan orang yang kita takuti. Kita benci pada orang-orang pemarah, dan kita berakhir menjadi orang yang pemarah. Benci pada orang yang membenci dan kita pun menjadi pembenci. Kita benci pada orang yang tidak punya perasaan, dan sekarang kita pun tidak lagi menangis dan tersentuh melihat malapetaka yang menimpa orang-orang. Kita membenci orang-orang munafik, dan kita, dari hari ke hari melakoni peran yang tidak kita sukai. Dan kita pun lupa diri kita yang dulu, diri yang kita inginkan. Kebencian dan kemarahan menjadi sahabat kental kita, menjadi teman seperjalanan. Kita pun membangun tembok tinggi, dan dunia kita pun menciut.

Aku mendapati lirik dari lagu seorang penyanyi perempuan, Paula Cole dalam lagunya “Hard to be Soft”: Di luar sana aku sendirian, dan aku berhasil. Memang, kuat dan keraslah aku harus menjadi. Namun waktu aku pulang ke rumah, bandul pendulumku bergerak di luar kendaliku: aku pasif atau kubiarkan apiku berkobar. Oh, di dunia laki-laki ini, begitu sulit menjadi lembut.

Ya, kita hidup di dunia laki-laki, bukan? Di mana kekerasan adalah jalan dan penyelesaian. Jika seseorang atau suatu kelompok diserang dan disakiti oleh orang atau kelompok lain, maka niat untuk membalas dendam sangat kuat. Jika tidak membalas, diri kita atau orang-orang lain akan menuduh kita terlalu lembek, tidak tegas, pengecut, tidak jantan, tidak mampu membela diri atau keluarga atau kelompok sendiri. (Ingatlah bahwa sifat lembut identik dengan sifat feminin.) Sementara kelompok lawan di seberang sana menjulurkan lidahnya, melambai-lambaikan pantatnya menantang dan menunggu serangan balik kita. Kalau tidak ada serangan balik, maka musuh akan menyerang lagi dengan taktik lebih kejam untuk lebih menggores luka yang lebih parah dan memancing pembalasan kita. Tidak cukup dengan membunuh, kalau perlu mayat yang sudah dikubur pun dibongkar lagi kuburannya dan mayat yang rusak ditinggal begitu saja sebagai puncak simbol penghinaan. Dengan membalas memakai cara yang sama yang dipakai oleh musuh, maka jadilah kita sama dengan musuh kita. Perangkap berhasil. Berikutnya, musuh akan terus memancing setan-setan dalam diri kita supaya pada akhirnya mereka bisa membuktikan bahwa kita memang setan dan oleh sebab itu kita harus diadili dan dihukum sebagai setan oleh orang-orang yang menganggap dirinya tuhan. Dan setan harus dikurung dan diikat di tempat gelap, atau diusir dari surga.

Ssssshhhh, berhati-hatilah... berhati-hatilah... Aku hanya mau bilang: menerima dan memaafkan, atau membalaskan dendam bisa-bisa berujung kehancuranmu sendiri. Berhati-hati dengan setan di luar sana dan terlebih lagi, berhati-hati dengan setan di dalam dirimu.

Memaafkan ataupun tidak memaafkan, dendam maupun tidak, jika aku diperkenankan memberikan saran, pertama kali kau pastikan: engkau tidak sedang menjadi seperti orang yang telah menyakiti hatimu, engkau tidak berbuat seperti perbuatan yang telah menyakiti hatimu.

Lalu bertanyalah pada dirimu sendiri: Apakah kau sedang menggali kuburan untuk dirimu sendiri? Apakah kau secara tak sadar juga sebenarnya sedang menggali kuburan untuk orang-orang yang kau pedulikan? Atau kau sedang membangun tempat perlindungan yang memulihkan untuk dirimu sendiri dan juga untuk orang-orang lain yang juga terluka? Api dendam yang berkobar di dalammu, kau pakai untuk apakah? Untuk bahan bakar kendaraanmu dalam perjalananmu? Apakah api itu juga sebenarnya sedang membakar kendaraan itu sendiri beserta penumpang yang ada di dalamnya, bahkan kendaraan-kendaraan lain di dekatnya beserta penumpang-penumpang di dalamnya?

Karena ada yang bilang begini: “Orang-orang yang tidak punya perasaan telah mengajarkan aku nilai-nilai kebaikan. Orang-orang yang curang telah mengajarkan aku nilai kejujuran. Para diplomat dan politikus telah mengajarkan aku nilai kemurnian.” Ya, kan? Semestinya begitu, kan?


Pemaafan Bukanlah Amnesia (Forgiveness is not Amnesia), Juga Bukan Berarti Berdamai

Si bodoh tidak memaafkan dan tidak melupakan;
Si naif memaafkan dan melupakan;
Si bijak memaafkan tapi tidak melupakan.
~Thomas Szasz~

Dalam film “Imagining Argentina” ada seorang pemeran utama perempuan yang diculik oleh pemerintah yang diktator karena perempuan itu menulis dengan beraninya mengkritk kebijakan pemerintah yang tidak adil. Di dalam tahanan, disuguhkan adegan-adegan penyiksaan yang membuatku merasa jika aku ada di tempat dia, rasanya lebih baik aku langsung mati saja di tempat. Lalu anak perempuannya pun diculik dan ditaruh di tahanan yang sama dengan si ibu. Lalu dibangun rangkaian adegan yang menghancurkan hati ketika si ibu disuruh memilih di antara para tentara, mana yang akan memperkosa anaknya. Di dalam sel, si ibu hanya bisa menganga meneriakkan tangis yang tak bersuara ketika harus mendengar jeritan anak perempuannya yang tengah diperkosa. Dan apa yang dilakukan si ibu? Tiap saat dia bertekad mengingat. Di dalam sel saat dia sedang sendiri, dia memutar lagi adegan per adegan di dalam kepala dan hati ingatannya. Dia ingin merekam dalam ingatannya tiap adegan penyiksaan yang terjadi. Karena dia tidak sudi melupakan. Tidak akan lupa. Lawan lupa. Lupa akan menghentikan perjuangannya. Berhenti berjuang berarti membiarkan kejahatan dan ketidakadilan terus berlaku sebebas-bebasnya di bumi ini. Ketika hari pengadilan datang, ingatan akan menjadi dasar tuntutan, menjadi kesaksian dan pembelajaran bagi segenap umat manusia.

Memaafkan, dalam bahasa Jerman lama ‘forgeban’, artinya: memberi ampunan pada sebuah kejahatan atau perbuatan yang menyebabkan sakit hati; menghentikan pembalasan dendam atau menghentikan tuntutan untuk mengganjar sebuah hutang. Dalam tradisi masyarakat Yahudi, selama 10 hari suci antara Roshashanah (tahun baru) dan Yom Kippur, seseorang harus merenungkan pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukannya dan mencoba berdamai dengan hutang-hutangnya dalam hidup. Bahwa orang yang telah berbuat kesalahan tidak boleh ditolak permohonan maafnya asalkan dia sudah membayar hutang-hutangnya dan sudah memohon maaf sebanyak tiga kali. Sehingga, pemaafan tidak dengan sendirinya datang tanpa disertai: pembayaran hutang, dan pernyataan yang tulus akan permohonan maaf. Jika momen ini datang, katanya, ambillah kesempatan ini karena adalah kesempatan langka untuk pemulihan.

Memaafkan, ada yang berpendapat, tidaklah penting. Memaafkan ada di dalam diri sendiri untuk menemukannya. Memaafkan tidak berarti bahwa kita musti berdamai dengan orang yang telah melukai kita. Orang itu mungkin tidak merasa menyesal, tidak berniat minta maaf, atau tidak akan pernah. Dan kita bisa memilih untuk tidak membiarkan dia masuk ke dalam kehidupan kita lagi. Yang menjadi kuncinya adalah penerimaan apa yang telah terjadi terjadilah, dan membebaskan kemarahan dan perasaan terluka kita, mencapai suatu pemahaman bahwa hal itu sudah berlalu dan tidak dapat dirubah, kita melepaskan agar peristiwa itu tidak memiliki dampak permanen pada keseharian kita, pada ke-kini-an kita. Memaafkan memang tidak merubah masa lalu, tapi melapangkan jalan ke masa depan.

Ada yang menyarankan begini: “Seseorang mungkin takut memaafkan seorang yang lain karena ini berarti memaafkan harus juga bahwa dua orang ini berbaikan lagi, ngobrol lagi dan menjadi teman lagi. Jika ini yang membuatmu khawatir sehingga kau segan mengambil langkah pendahulu dalam proses memaafkan, maka kau boleh-boleh saja memaafkan orang ini tanpa sepengetahuan dia. Kau bisa diam-diam maafkan dia dan orang-orang lain tidak perlu tahu. Simpan saja untuk dirimu sendiri dan kau mungkin akan merasa lebih ringan dan lega setelahnya.”

Memaafkan. Apakah artinya kata itu? Sejujurnya aku tidak tahu. Apakah memaafkan berarti menerima permohonan maaf dari orang yang memintanya? Apakah itu berarti menerima dia kembali ke dalam lingkaran hidup kita? Kalau menerima permohonan maafnya saja tapi aku tetap berhati-hati padanya karena tidak bisa mempercayainya 100%, apakah itu berarti aku sudah memaafkan atau belum? Kalau aku dalam hati sudah memaafkan dan melupakan orang itu, walaupun dia tidak pernah minta maaf, apakah itu berarti aku sudah memaafkannya? Kalau aku sudah pernah memaafkan seseorang dan menerima dia lagi ke dalam hidupku, tapi ternyata orang itu tidak berubah dan aku memilih untuk menghapus dia dari hidupku, apakah itu berarti aku sudah memaafkannya? Kalau aku sudah memaafkan seseorang tapi di dalam diriku masih ada ketidakrelaan dan aku jadinya tidak memaafkan diriku sendiri, apakah itu memaafkan? Apakah memaafkan adalah satu paket total yang berisi memberikan maaf, menerima, melupakan kesalahan di masa lalu, dan berdamai dengan pelaku?

Ini bukanlah tulisan perenungan yang mudah bagiku. Menulis ini membuatku sakit kepala selama berhari-hari. Aku sendiri masih dalam perjalananku mengasuh dendam dan amarah yang aku pilih. Berhari-hari ini aku merasa ada daya tarik-menarik di dalam diriku menjalani proses menulis tema ini, ketika ingin berdialog dengan alamku sendiri. Seakan-akan ada bagian di dalam diriku yang bersembunyi tidak ingin ditemukan. Ada bagian yang dengan keras kepalanya menyatakan dirinya dan tidak ingin berubah. Ada bagian yang menyeringai taringnya dan mau terus mencari pembalasan. Ada bagian yang merasa lemah tak berdaya. Ada bagian yang berbisik, “Bebaskan saja...” Bagaimanapun, mereka adalah benih-benih yang ada di dalamku yang sedang bertumbuh dan harus kuperlakukan dengan hati-hati.

Berkali-kali aku merasa tidak tahu harus mulai dari mana; dan ketika sudah memulai, aku meragukan apakah sudah memulainya dengan benar; dan ketika memulai, mau melanjutkan ke mana. Ini melelahkan. Benar, tentang dendam, tidaklah sesederhana yang sering digaungkan dalam khotbah-khotbah agama. Pengalaman orang satu tidak sama dengan pengalaman orang lain. Pendapat satu tidak bersetuju dengan pendapat lain. Aku tidak ingin berkhotbah atau menggurui. Aku pun akan sebal kalau dikhotbahi dan digurui. Aku belum paham ke mana renungan ini akan membawaku dan berujung di mana. Mungkin suatu saat nanti aku kabari lagi bagaimana dan sudah sampai mana perjalananku ini. Atau mungkin, kau ingin mengabari aku? Lakukanlah.

Inilah, para penyandang dendam, yang kurenungkan untuk diriku sendiri. Engkau renung sendirilah. Karena bagaimanapun, ini adalah hidupmu sendiri, benih-benihmu sendiri...

Dengarkan syair lagu Alanis Morissette dalam cuplikan beberapa baris “Eight Easy Steps”:
Mari kuajarkan langkah-langkah mudah untuk bagaimana caranya...
Mengendalikan seseorang untuk jadi fotokopimu;
Tidak mempercayai orang-orang yang semestinya kau paling cintai;
Membenci perempuan padahal engkau seorang feminis;
Bertindak-tanduk alim padahal kau munafik;
Membenci tuhan padahal kau seorang pendoa dan spiritualis;
Mensabotase fantasi-fantasimu dengan ketakutanmu akan keberhasilan;
Tetap tersenyum di saat kau berpikiran untuk bunuh diri;
Tetap bermurung dengan menyalahkan segala hal di luar dirimu.



Margonda, 16 Maret 2011
Sondang Sidabutar, dalam perjalanan....


Bersambung…


Catatan:
Banyak dari pandangan dan perspektif dalam tulisan ini disarikan dari para penggemar Paulo Coelho yang ikut urun pendapat dalam blog Paulo Coelho yang bertajuk “To Forgive dan Forget”. Lagu-lagu dan film adalah dari lagu dan film itu sendiri. Tentang Sabotase diri (Self Sabotage) dicuplik dari buku “Manual and Workbook for Adult survivors of child Abuse Who want to move-on with life” produksi The Morris Center (1995).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar