MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Minggu, 24 April 2011

SURAT UNTUK KARTINI: SERIKAT PERSAUDARIAN SEKARAT

Bunda, bagaimana bisa kunyatakan padamu keluh kesahku? Aku malu di hadapmu. Aku ini kecil saja, sarat dengan kecewa dan beban kegagalan. Bagaimana engkau bisa sudi bertahan mendengarku yang remeh ini? Pertanyaan-pertanyaanku mungkin akan kau anggap gangguan yang merajuk bagai kanak-kanak yang frustrasi oleh ketidakpahaman. Bunda, engkau maukah mendengarkan aku? Menanggap tanyaku?

Bunda, pertama kali aku ingin bertanya: apakah zat-zat penyusunmu sehingga engkau bisa seperti demikian itu? Engkau lahir, besar, diasuh, dididik sebagaimana ribuan perempuan lainnya, tapi engkau unik sekaligus unggul pula jadinya dibanding perempuan-perempuan lain yang tetap bertahan mati suri di balik lapis-lapis ‘tembok-tembok’ mereka. Uang dan massa tak ada padamu, karena bagaimanapun biru darahmu, engkau tetaplah seorang perempuan hamba. Di jamanmu juga tiada kau jumpai semua fasilitas dan teknologi yang membabi-buta yang kami nikmati sekarang ini. Praktis, engkau hidup dalam penjara, sedangkan kami ini para perempuan yang jauh lebih bebas dengan ketersediaan pilihan yang berlimpah-limpah. Pilihan-pilihan yang kami sia-siakan, yang aku yakin, jika pilihan-pilihan itu ada padamu, engkau akan serta-merta menguasai dan mempergunakannya untuk mengangkat derajat Rakyat, sebagaimana yang senantiasa menjadi tujuan hidupmu.

Engkau boleh jadi menyadari dirimu aneh dan lain daripada yang lain. Engkau telah begitu sering mencoba untuk berpikir lain seperti orang-orang lain itu. Tapi, sesuatu di dalammu, zat-zat misteriusmu itu, melonjak terbangun dan menyesali bahwa dirimu telah dicederai oleh usaha-usaha menyamakan diri seperti orang-orang biasa lain. Lalu kau makin lekatlah dengan pikiran-pikiranmu yang kembali bangun itu. Apa itu, Bunda? Bisa jadikah itu ruh-mu di kehidupan terdahulumu, sebelum engkau terlahir menjadi Kartini? Siapakah engkau sebenarnya, Bunda? Ruh siapakah gerangan yang ada merasukimu, Bunda? Ruh itu jugakah yang membuatmu memiliki suatu keistimewaan anugerah Magi? Karena dengan logika, engkau pun tak menemukan penjelasan mengenai keanehanmu itu, sehingga engkau menamainya saja: Takdir.

Di usia sekolah dasar engkau sudah memiliki dan mengarahkan mimpimu menjadi seperti Pandita Ramabai yang mendirikan sekolah-sekolah untuk ribuan janda kanak-kanak di India, dan merawat orang-orang sakit dan cacat. Sedangkan kami, apa yang kami impikan di masa kanak-kanak kami? Di usia 21 tahun engkau sudah paham benar bahwa tugas Manusia ialah menjadi Manusia. Dan kami di usia 21 tahun, apa saja yang kami pahami? Di usia itu sudah tinggilah pendidikan kami, Bunda, sedangkan engkau sudah tidak bersekolah lagi karena hanya diijinkan sejauh tingkat sekolah rendah. Sungguh malu aku, Bunda, bila menilik perjalanan hidupmu dan membandingkannya dengan perjalanan hidup kami sendiri. Sungguh manja dan cengeng kami ini.

Bunda, betapa marah dan terluka hatiku mengetahui bagaimana orang tuamu memperlakukan engkau. Namun, lukamu dan lukaku berbeda. Engkau terluka melihat bagaimana mimpi dan keinginanmu tidak bersesuaian dengan kehendak Ayahmu dan membuatnya berduka; dan demi cinta kalian, engkau memilih menunda mimpi dan keinginanmu, berencana menunggu hingga Ayahmu tiada. Lukaku adalah luka karena perasaan dikhianati oleh sesuatu yang dinamai cinta orang tua. Engkau begitu rela berkorban untuk Ayahmu, aku begitu tidak rela melihat mimpimu untuk Rakyat dikalahkan oleh cintamu untuk Ayahmu. Jika itu aku, aku rasa aku tidak akan memaafkan orang tuaku karena mempermainkan hidupku dengan cinta dan ijin-ijin mereka yang sebentar boleh, sebentar nanti tidak boleh. Namun memang, jaman kita berbeda, dan kemuliaanmu sebagai anak dari orang tuamu jelas lebih tinggi daripadaku.

Tapi Bunda, betapa aku lebih terluka lagi mengetahui begitu singkatnya hidupmu sehingga masa ‘penungguanmu’ itu diakhiri oleh kematianmu. Aku berkhayal, andaikan, andaikan kau hidup dua kali lebih panjang saja usiamu, dan Ayahmu boleh cepat saja berpulang pada Tuhan, betapa sejarah perempuan dan bangsa ini akan berubah. Andaikan Ayahmu semulia ayahnya Pandita Ramabai… Kubayangkan engkau akan berkata betapa jahatnya aku berkata-kata begitu rupa tentang Ayahmu. Aku tidak peduli, Bunda, inilah lukaku. Di mataku, Ayahmu-lah tembok penghalang paling besar untuk perjuanganmu demi Rakyat. Sehingga di surat-suratmu yang kubaca, aku selalu khawatir bahwa selalu, pasti, Ayahmu-lah yang akan berdiri menghalangi jalanmu menuju pilihan-pilihanmu yang mulia. Sehingga pedang dan tombakmu harus terkulai ke tanah; ketika engkau ingin memerangi poligami dan permaduan, Ayahmu-lah yang pelaku poligami dan permaduan itu yang berdiri sebagai musuh di depanmu; ketika engkau mau menggempur feodalisme, sang Ayah juga-lah yang ada di depanmu sebagai pelaksana feodalisme itu sendiri.

Andai aku diberi satu saja kesempatan untuk satu permintaan yang boleh dikabulkan Tuhan untukmu, Bunda, aku hanya akan meminta Tuhan merubah kerasnya kepala dan hati Ayahmu; sehingga beliau, alih-alih menjadi penghalang, akan menjadi pendukung penuh perjuanganmu, menjadi seperti seorang Bunda yang dikisahkan dalam buku Maxim Gorky; seperti seorang ibu Aceh yang menimang bayinya dengan lagu DoDoDaidi-nya, yang menyanyikan restu perjuangan anaknya kelak, rela, bila perlu darah tertumpah; seperti orang tua yang diampu yang agung Khalil Gibran. Sayang, sungguh sayang, kesempatan itu aku tidak punyai. Memang tiada guna menyesali yang sudah lalu, tapi Bunda, apakah yang demikian itu akan dibiarkan saja berlarut-larut ketika kejadiannya di masa kini dan masa mendatang?

Bunda, engkau adalah yatim-piatu jaman modern yang aneh, gila dan terlalu berani. Dengan tanpa dahulunya mempelajari sesuatu pun, tak tahu sesuatu pun, berani-beraninya engkau ceburkan dirimu di gelanggang sastra. Lalu kau bilang, “Memang ini pekerjaan rumit; tapi barangsiapa tidak berani, dia tidak bakal menang! Semua harus dilakukan dan dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!” Kau mau goncangkan bangunan raksasa itu, sekalipun dengan seluruh kekuatanmu hanya sebuah batu saja yang runtuh, kau tidak akan menganggap hidupmu sia-sia. Engkau tidak bisa percaya, bahwa hidupmu akan berakhir begitu lumrah dan tawar sebagaimana halnya dengan ribuan orang sebelum dan sesudahmu.

Padamu hanya ada buku-buku dan pena, o, cukuplah itu bagimu untuk memulai perjuanganmu. Dan engkau pun mulai membaca, membaca, menulis, menulis. Apakah Bunda, yang kami punyai yang engkau tidak punyai? Aduh, Bunda, aku sungguh sedih dan malu. Hampir segalanya, bukan, Bunda? Kami punya segala kesempatan dan materi yang engkau tidak punya. Boleh kubilang, berlimpah malah. Namun, dengan semua kelimpahan ini, kami malah kehilangan apa-apa yang ada di dalam dirimu, Bunda. Kebajikanmu. Semangatmu. Kebesaran jiwamu. Kerendahan hatimu. Kelembutan hatimu. Ketajaman nuranimu. Baktimu bagi Rakyat. Pengorbananmu. Cintamu. Keberanianmu. Keseimbanganmu. Menjadi Manusia-mu.

Engkau menulis bahwa engkau belum memandang tulisan-tulisanmu sebagai karya yang bernilai sastra karena kau belum lagi bebas. Bahwa hanya di dalam hidup berkebebasanlah engkau baru boleh menulis karya sastra yang sebenarnya. Sedangkan kebebasan yang kau maksud tidak pernah datang dalam hidupmu yang sesingkat kilat itu. Bagiku, sungguh mengagumkan engkau, Bunda, bagaimana bahkan di dalam penjaramu pun engkau mampu berkarya menggaungkan kemuliaanmu, yang kau sebut-sebut belum layak sebagai karya sastra itu. Bagaimana engkau tersenyum diam-diam dan mentertawakan mereka yang memuja-mujimu, karena engkau sendiri sebenarnya tidak ambil peduli terhadap puja-puji mereka dan keinginan mereka melambungkan namamu. Maumu, hendaknya tulisan-tulisanmu meninggalkan kesan menetap di dalam diri orang-orang yang membacanya. Hingga engkau menggali kedalaman jiwamu, membongkarnya sampai berdarah-darah.

Karena kau paham yang engkau lakukan semata-mata adalah kerja untuk Rakyat semata, tugas menjadi seorang Manusia karena engkau adalah Manusia. Bahwa engkau, Bunda, bukan sedang melarikan diri dari penjaramu semata, dari serba ketiadaan yang kau harus derita, namun engkau digerakkan, didorong oleh kebutuhan untuk dan menuju perjuangan bagi Rakyat, untuk dan menuju menjadi Manusia. Sekaligus aku harus malu sekali lagi, Bunda, karena kami ini begitu haus akan puja-puji dan dilambungkan nama kami untuk ‘kerja’ yang kami lakukan, yang sungguh timpang nilainya bila dibandingkan dengan seluruh perjuanganmu. Kami ini entah sedang melarikan diri dari apa dan sedang berlari menuju ke mana, dan entah nilai-nilai apa yang nyatanya kami anut dalam perjalanan pekerjaan kami.

Aku tidak mengerti Bunda, ke arah mana perjuangan kami perempuan ke depan. Kulihat, kami ini sekarang sekedar bekerja layaknya tukang dalam sebuah urusan bangunan, bekerja dan bekerja untuk sekedar menyambung hidup, dan menyambar setiap kesempatan kemewahan yang melintas di depan kami. Pekerjaan ini sekarang menjadi nafkah kami, bukan lagi sebagai mimpi sejati. Bagaimana bangunan itu jadinya nanti, baik atau tidakkah kualitasnya, tidak kami pusingkan. Yang terpenting adalah pada jadwalnya kami memperoleh upah atas jerih payah pekerjaan kami. Kalau pun kami bekerja setekun mungkin, adalah karena kami khawatir kami tidak akan lagi diikutsertakan dalam kerja sehingga kami tidak beroleh upah untuk menyambung hidup kami dan keluarga kami. Apalah bedanya kerja ini dengan kerja-kerja lain di mana manusia sekedar menjadi pelengkap dan mesin, Bunda?

Pernahkah engkau mendengar kisah ini, Bunda? Ada seorang tua yang tinggal di rumahnya yang tenang dan damai. Suatu kala, ketenangan dan kedamaiannya itu diganggu oleh sekelompok anak berandalan yang sepanjang jalan memukul-mukul pagar rumah-rumah orang dengan tongkat kayu dan besi mereka, lalu mereka berlarian dan tertawa-tawa jika ada orang yang memarahi kegaduhan mereka. Ini mereka lalukan setiap hari. Suatu hari orang tua itu menunggu anak-anak berandal itu di muka rumahnya. Ketika mereka datang, orang tua itu berkata, “Ah, syukurlah kalian datang. Ini, ambillah masing-masing untuk kalian uang ini. Karena kalian, hidupku yang sunyi dan membosankan itu menjadi lebih meriah dan menghibur. Lakukanlah itu tiap hari.” Demikianlah, tiap harinya selama seminggu dia memberikan masing-masing anak-anak yang giat itu sejumlah uang karena kebaikan hati mereka untuk si orang tua.

Lalu minggu depannya, ia muncul di muka rumahnya dan memberitahu anak-anak itu bahwa dia hanya bisa memberikan setengah saja dari jumlah uang yang diberikannya minggu lalu, karena adanya kebutuhannya yang lain yang mengharuskan dia lebih menghemat uangnya. Anak-anak itu pun kecewa. Mulai hari itu dan hari-hari selanjutnya, mereka dengan setengah-setengah hati saja memukul pagar-pagar rumah di jalan yang ditinggali orang tua itu. Demikian terjadi setiap harinya selama seminggu.

Lalu satu minggu kemudian, orang tua itu muncul di muka rumahnya dan dengan muka sedih ia berkata, “Ah, anak-anakku, maafkan aku, hari ini ini aku hanya bisa memberi imbalan sedikit saja daripada yang kuberikan minggu lalu. Makin menipis persediaan uangku akhir-akhir ini.” Anak-anak berandal itu pun semakin kecewa. Satu minggu itu mereka hanya sesekali bertingkah memukul pagar-pagar rumah di situ.

Minggu depannya lagi, orang tua itu muncul di muka rumahnya dan dengan muka lesu ia berkata, “Maafkan, anak-anakku. Mulai hari ini aku tidak bisa lagi memberikan uang walau sedikit saja untuk kalian. Tidak ada lagi tersisa uang padaku.” Orang tua itu pun masuk ke dalam rumahnya tanpa memberi sepeser pun pada anak-anak itu. Betapa kecewanya anak-anak itu karena mereka merasa melakukan kesia-siaan tanpa bayaran untuk orang tua itu. Mereka pun sejak itu tidak sudi lagi memukul-mukul pagar rumah di sepanjang jalan itu. Dan orang tua yang cerdik itu pun kembali hidup dalam ketenangan dan kedamaiannya. Engkau mengerti makna di balik cerita itu, Bunda? Seseorang pernah menasihati aku untuk berhati-hati dengan segala upah dan imbalan atas perjuangan, berhati-hati untuk tidak malahan dipadamkan oleh upah dan imbalan tersebut.

Mengapakah bila kami sudah sempat ada dalam keadaan nyaman terjamin, lalu kami lebur tenggelam di dalamnya dan lupa pada mimpi dan tujuan kami semula? Mengapa kami begitu silau pada kemewahan, sedangkan engkau, Bunda, di hadapan riuh pesta-pora gala kala itu, begitu saja melayang pikiranmu pada pantai Afrika Selatan yang berdarah, kesengsaraan, duka derita, yang mati, yang luka, para janda, piatu dan korban ketamakan penjajah yang tak kenal batas? Mengapa begitu kecil keinginanmu untuk menonjolkan diri, sedangkan kami menggunakan segala capaian kami untuk pamer-pamer diri? Semua-semua yang kau lakukan adalah kerja, kerja, kerja untuk Rakyat, walau tiada upah dan imbalan untukmu. Mengapa begitu takut-takutnya, tidak sabarnya dan goyahnya kesetiaan kami, Bunda?

Engkau begitu tajam dan positif menangkap ruh-ruh dari setiap kebaikan yang ada di dalam segala hal. Sebagai anak-Buddha, engkau sejak usia sangat muda memilih untuk tidak makan daging? Karena engkau tidak ingin menyakiti. Bagaimana bisa, bahkan engkau pun menguasai isi Injil agama Nasrani. Engkau pun tidak mengejek kepercayaan Rakyat bocahmu yang percaya benar kehadiranmu-lah yang membuat doa minta hujan mereka jadi manjur. Engkau menolak syariah agamamu bila itu tidak dapat dipelajari dan dijelaskan kepadamu. Engkau menolak perintah-perintah agama yang hanya menyuruh logika dan pemikiranmu tidur menganggur. Dan aku yakin, pemikiranmu selalu dijaga dan diawasi oleh nuranimu sendiri, dibentuk oleh sesuatu yang kau namakan Kebajikan. Engkau mencintai semua agama dan marah benar ketika mengetahui bagaimana agama-agama diputarbalikkan oleh manusia sehingga menimbulkan kebencian dan perpecahan di antara mereka. Engkau dapat memahami dan menguasai serta mempergunakan nilai-nilai baik yang ada di sifat pandangan Timur dan Barat sekaligus.

Bunda, aku tidak lagi merasakan kekentalan ruh di dalam perjuangan para perempuan di sekitarku. Kami ini tidak segan-segan bertikai di antara kami. Dalam perbedaan-perbedaan kami, kami memandang yang tidak sama dengan kami adalah pesaing atau musuh saja. Kami saling menyakiti, merendahkan dan melemahkan di antara kami. Katamu, oh, memang orang bisa saja menjadi abang dan adik, bersama sepanjang hari, tapi kalau jiwa mereka tidak bersesuaian, mereka tetap menjadi orang asing satu daripada yang lain. Mengapakah kami tidak bisa dengan tajam menangkap nilai-nilai kebaikan dari segala yang berbeda itu lalu menambahi kebaikan di dalam hidup dan perjuangan kami? Demikianlah, sehingga sekaratlah ikatan persaudarian kami, Bunda.

Bisalah aku pahami bila persaudarian tidak ada di sekitarmu, karena mereka-mereka yang di sekitarmu pada jamanmu belumlah lagi paham makna solidaritas, perjuangan dan kemerdekaan. Dengan begitu engkau lalu melancarkan tawaran-tawaran ikatan persaudarian dengan para perempuan di tempat-tempat jauh menyeberangi samudera, bahkan dengan mereka yang engkau belum pernah jumpai sekalipun. Namun, aku tak paham yang di sini ini, Bunda. Kami semua sudah jauh meninggalkan jaman penjajahan seperti yang kau dulu alami. Sehingga kami berada di tengah-tengah para saudari yang sudah merdeka dari penjajahan, yang sudah menikmati pendidikan setinggi yang kau pernah impikan, yang sudah menikmati segala kemewahan yang semestinya tidak menjadi alasan kami untuk tidak mengasuh diri sebagai saudari dan yang kutahu, tidak akan pernah kau gunakan sebagai alasan untuk tidak mempersatukan para perempuan. Karena begitu bijaknya engkau menjaga keseimbangan dalam pengertian-pengertian.

Bagaimana mungkin kami bisa memajukan perempuan, dan terlebih lagi, rakyat, jika tidak ada persatuan di antara kami? Pertikaian di antara kami sudah begitu menghabiskan tenaga kami untuk bisa sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat. Mengapakah kemenangan dan kemajuan saudari-saudari kami di tempat lain hanya kami sambut dengan sinis, perasaan iri dan dikalahkan, dan bukannya oleh sorak-girang dan antusiasme yang sama? Bunda, mengapa di dalam penjaramu, engkau bisa saja bergembira ria dan menggeletar hatimu dalam sukacita ketika mendengar kabar tentang kemajuan Rakyat Pribumi di tempat-tempat lain? Mengapa kami mengisi hubungan kami dalam suasana yang saling menyakiti? Memberikan ciuman Judas kepada saudari dekat kami? Mempermainkan dan mengolok-olok mereka yang kami anggap lebih rendah dan bodoh daripada kami?

Kami terkurung dan sakit di tengah-tengah persaudarian yang kerdil dan dangkal ini. Bukan musuh dari luar yang melumpuhkan kami, tapi yang dari sini dari dalam sini yang menggerogoti dan menciutkan di dalam jiwa, hati dan otak kami. Hubungan persaudarian kami sekarat, Bunda. Satu karat saja, jauh benar dari kemuliaan. Mana mungkin ikatan seperti ini akan berumur panjang? Berkepanjangan dia sekarat menuju kematiannya.

Kami ini seperti layaknya segerombolan penumpang dalam sebuah kereta yang sedang melaju kencang mengantar kami ke tempat tujuan kami. Lalu tiba-tiba kereta itu berhenti karena seseorang yang begitu malang hidupnya memutuskan untuk berdiri di tengah rel kereta untuk mengakhiri hidupnya. Tanpa peduli pada kematian si orang malang ini, tanpa keingin-tahuan sama sekali mengenai apa yang membuat hidupnya demikian sengsara sehingga mengantarnya pada kematian, kami resah-gelisah dan tidak sabar menunggu kereta berjalan kembali, atau kami akan terlambat sampai tujuan kami masing-masing. Ya, Bunda, kereta kami menggilas dan membunuh persaudarian kami yang malang dan sekarat itu. Dan kami tetap tak mau tahu. Tetap tidak peduli. Kami hanya ingin tetap melaju sekencang-kencangnya.

Kadangkala aku berpikir, Bunda, biarlah persaudarian yang sekarat ini mati saja sekalian. Jika ia begitu tidak mulianya dan sedemikian lemahnya, mungkin biarkan saja hancur sekalian. Mungkin memang dasarnya dan pancang-pancangnya tidak pernah kuat, sehingga percuma mengadakan perombakan di sana-sini, karena akan rubuh juga nantinya, hanya dengan goncangan-goncangan kecil saja. Bangun apakah yang bisa kami harapkan bila didasarkan dan ditegakkan daripada egoisme, ketamakan, kepalsuan, kekerdilan, ketakutan, kemanjaan dan kelemahan-kelemahan karakter lainnya? Mungkin sudah tiba saatnya bagi kami untuk menilik baik-baik zat-zat dan bahan-bahan apa yang membangun dan membentuk hubungan persaudarian di antara kami. Lalu memutuskan mau kami apakan bangunan ini. Dan kalau dirubuhkan, apakah kami bersedia untuk membangun lagi yang baru dari zat-zat dan bahan-bahan yang tepat dan lebih berhati-hati dengannya. Apapun namanya itu nanti.


Margonda, 24 April, 2011
Sondang Sidabutar

Catatan: Tulisan ini direnungi dari buku “Panggil Aku Kartini Saja” (Pramoedya Ananta Toer) saja.

1 komentar:

  1. ka Sondang....
    ini lia yg kmrn di caring for care givers.
    hmmm tulisannya asik di baca.
    btw, notulensinya mungkin baru minggu dpn ya dikirim via email.soalnya blm sempet dirapihin.
    terima kasih banyak ya kemarin :)

    BalasHapus