MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Kamis, 22 Desember 2011

SIAPA ITU DI JENDELA? (JOHARRY’S WINDOW)

Debat gencar berlangsung di antara para murid mengenai mana tugas yang paling berat melebihi segala: Menulis apa yang diwahyukan oleh Tuhan sebagai Kitab, mengerti apa yang diwahyukan oleh Tuhan di dalam Kitab, atau menerangkan Kitab kepada orang lain setelah sendiri mengerti.
Sang Guru menjawab, ketika ditanya pendapatnya.
“Aku tahu akan tugas berat melebih salah satu dari tiga itu.”
“Dan itu apa?”
“Mencoba membuat kepala-batumu itu melihat realita seperti apa adanya.”

(Sejenak Bijak, Anthony de Mello SJ)


******************************


Bilik Terbuka-Pribadi-Buta-Gelap

Waktu dulu mengenal cara ini secara sambil lalu, sebagai salah satu pengisi jadwal belajar kuliah, yaaah cuma sambil lalu. Gitu, deh. Seperti pelajaran-pelajaran lain. Sesuatu yang tidak pernah kukira akan berguna dan bagaimana caranya supaya bisa jadi berguna. Karena si dosen kayaknya nggak memberi tanda-tanda bagaimana cara menggunakannya. Dan karena sepertinya topik ini tidak menjanjikan pendongkrak nilai akhir semester, dia sekedar menjadi salah satu aksesoris mungil penghuni gudang di bilik-bilik pikiran para penghafal buku. Lalu aku mulai iseng-iseng menggunakannya di sesi-sesi pemulihan dan penguatan para pekerja kemanusiaan dan melakukan modifikasi di sana-sini agar mudah dipahami dan dipraktekkan oleh siapa pun. Ketika aku bercerita pada seorang teman, seorang psikolog juga, bahwa aku menggunakan cara ini untuk memfasilitasi sesi-sesi pemulihan, aku ditertawakannya. Betapa jadulnya metode ini. Bah, jadul tapi berguna, mengapa tidak?

Ada sebuah jendela, dengan empat ruangnya, masing-masing ruang bisa dilihat dari bagaimana dan apa yang bisa dikenal dan diketahui oleh pemilik jendela maupun orang-orang lain yang menilik jendela. Adalah sebuah cara sederhana untuk mengenal diri sendiri dan orang lain, yan dilakukan oleh diri si pemilik sendiri, dibantu orang-orang lain yang (merasa) mengenalnya. Yang mengembangkannya adalah dua orang bernama Joseph Luft dan Harry Ingham. Makanya kemudian dinamakan  Joharry’s Window. Jendelanya Joseph dan Harry.  

Jadi begini: ada empat ruang di jendela Johari. Jika hubungan antar manusia dapat diumpamakan sebagai jendela, jendela itu terbagi menjadi empat bagian, yang dalam situasi berbeda dapat berubah pula luas masing-masing bagiannya. Ada daerah terbuka di kotak pertama, daerah pribadi di kotak kedua, daerah buta di kotak ketiga, dan daerah gelap di kotak keempat. Jendelanya ada di bawah ini.



Diketahui diri sendiri
Tidak diketahui diri sendiri
Diketahui orang lain
I. Terbuka
III. Buta
Tidak diketahui orang lain
II. Pribadi
IV. Gelap



Daerah terbuka adalah daerah yang diketahui oleh diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita, daerah publik. Kita tahu apa yang kita lakukan dan orang lain dengan jelas dapat mengamati perilaku kita. Daerah terbuka tidak mesti cuma menyangkut hal-hal yang terlihat, misal keadaan fisik, tetapi juga bisa mengenai kepribadian kita. Misalnya, aku dan banyak temanku sama-sama tahu dan mengakui bahwa aku ini orang yang keras kepala dan mudah bete. Contoh lain adalah semua orang tahu, termasuk diriku sendiri tahu, bahwa aku ini gila belanja, nggak bisa lihat ada uang di tangan dan di tabungan, langsung saja dibelanjakan sampai suatu saat kamarku terlalu penuh untuk bisa dimasuki barang-barang baru belanjaanku.  

Kalau cuma aku saja yang tahu tentang sesuatu tentang diriku, sedangkan orang lain tidak tahu, seperti rahasia-rahasia pribadiku, dll maka kita sudah memasuki daerah pribadi. Nah, itu, di kotak nomor dua. Misalnya: aku tahu bahwa aku punya masa kecil yang buruk yang membuat aku jadi orang yang keras kepala dan mudah bete, dan bahwa aku tidak menceritakannya kepada orang-orang lain melainkan hanya menyimpannya untuk diriku sendiri. Contoh lain, masih nyambung dengan contoh di atas tadi, aku tahu bahwa aku tumbuh dari keluarga yang miskin sekali dan harus digerus sakit hati setiap kali teman-temanku memamerkan barang-barang baru mereka. Aku dendam dengan kemiskinanku. Ketika sudah dewasa dan bisa punya uang sendiri, yang kulakukan adalah membalaskan dendam kemiskinan masa laluku dengan belanja. Shop till you drop!

Daerah buta ada bila kita banyak menyangkal pendapat orang-orang lain tentang kita yang nampaknya tidak benar. Si pemilik jendela buta, tapi orang-orang lain bisa melihat. Misalnya: teman-temanku bilang ke aku, bahwa sifat keras kepala dan bete-ku membuat orang-orang tertentu menjauhiku, lalu mereka memilih tidak berhubungan lagi denganku. Karena aku tidak menyadarinya, aku menyangkalnya dan kemudian aku tidak berusaha untuk merenungkannya dan mencari tahu kebenarannya. Atau daerah buta adalah: suatu rahasia bersama, rahasia publik yang kita tidak tahu mengenai diri kita tapi sudah menjadi bisik-bisik dan topik gosip orang-orang di sekitar kita.

Di tengah-tengah gosip mereka mengenai kita, mereka akan tiba-tiba diam atau salah tingkah atau bertingkah ramah berlebihan kalau mereka melihat kita muncul melintas dan menghampiri mereka. ‘Ada apa? Seru banget nih gosipnya?’ ‘Nggaaaak, nggak ada apa-apa. Wuih, baju baru, tuh. Beli di mana?’ Mereka dan aku tahu bahwa aku gila belanja. Tapi yang aku tidak sadari, dan mereka tahu, adalah bahwa banyak orang yang mendekatiku dan memanfaatkan kelemahanku ini. Mereka adalah orang-orang yang menawarkan barang dagangannya padaku dan tahu benar kalau aku dibilang cantik memakai baju dagangan mereka, aku akan membeli baju itu. ‘Udah, tawarin aja ke si anu. Pasti dibeli. Bilang aja tuh barang lagi nge-trend banget dan si anu kelihatan sexy kalau pake tuh barang.’ Lalu tiba-tiba seorang teman dekat yang jujur dan blak-blakan berkata, “Lu buta, ya? Lu tuh suka dibohongin sama orang lain biar elu beli dagangan mereka, tau? Baju itu nggak cocok banget buat elu. Jelek. Bikin elu keliatan kayak ondel-ondel.”

Sedangkan daerah gelap adalah daerah yang baik kita maupun orang lain tidak tahu, daerah yang gelap buat siapa pun. Daerah gelap ini dibilang yang paling bahaya dan muasal atau pemicu masalah-masalah yang kita tidak tahu menahu darimana datangnya dan bagaimana memperlakukannya. Seperti tamu tak diundang dengan tabiat bermasalah dan tak bisa dipahami. Ini sering terjadi kalau kita tidak suka memikirkan masalah-masalah (biasanya masalah berat, atau yang dianggap masalah remeh padahal bukan) dan berusaha ngelupain, hingga akhirnya masalah tersebut jadi terpendam dan terus terpendam. Bila di daerah buta kita bisa memperkecil areanya dengan menerima dan merenungkan masukan-masukan yang tepat (atau, catat: masukan yang kita renungkan dengan mendalam dan tepat, meskipun mungkin masukannya tidak begitu mendalam dan tidak begitu tepat bidikannya) dari orang-orang di dekat kita, maka daerah ini bisa diperkecil dengan usaha-usaha khusus atau kejadian-kejadian istimewa dan unik.

Yuk, kita bahas daerah gelap lebih jauh. Pendekatan psikoanalisa terkait erat dengan usaha-usaha membuka daerah-daerah gelap para pasiennya, atau biasanya disebut alam bawah sadar. Masa sejak kecil akan diteliti sampai detil, pengalaman-pengalaman traumatis yang membuat kita memiliki masalah-masalah kepribadian yang kita (dan orang-orang lain di sekitar kita) tidak pahami asal-usulnya. Misalnya, aku sudah tahu bahwa keras kepala dan bete-ku itu sudah mengganggu hubunganku dengan orang-orang tertentu dan aku mau merubah diriku menjadi lebih baik. Aku sudah tahu bahwa sejak kecil aku hidup dalam keluarga yang bermasalah. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah: ada orang-orang lain yang juga sedari kecil hidup di keluarga bermasalah, lalu mengapa setelah dewasa masalah mereka berbeda dengan masalahku? Kenapa aku jadi begini dan dia begitu? Ada orang-orang yang sedari kecil hidup miskin tapi kenapa sewaktu dewasa ketika sudah punya uang sendiri dia tidak lalu jadi si gila belanja? Pendekatan psikoanalisa akan mencoba menggali pengalaman-pengalaman traumatis tertentu dengan analisa mimpi, interpretasi simbol-simbol, keseleo lidah, dll. Dan biasanya ujung-ujungnya nggak jauh-jauh dari konflik-konflik hasrat seksual dan agresivitas. Beuh…  

Sebagian orang mendapat pengalaman pencerahannya sendiri dari pengalaman spiritualitas atau pengalaman bernuansa mistis, atau wahyu dari mimpi sebagai kejadian tak terduga yang menjelaskan beberapa titik buta di bilik gelap jendela mereka. Sebagian orang mendapatkannya dengan kunjungan-kunjungan ke ahli jiwa, penasihat yang pintar, pertemuan dengan orang-orang asing yang aneh, pembicaraan dengan guru-guru spiritual. Beberapa orang lainnya memperolehnya dari perjalanan jauh dengan orang-orang lain dan menemukan sisi-sisi baru dalam dirinya yang sebelumnya tak pernah disadari kehadirannya. Dan ketika mereka membagikan kisah mereka pada orang-orang lain, mungkin sebagian orang lain itu akan mengalami pencerahan mereka sendiri, tapi mungkin tak sedahsyat penghayatan pengalaman tangan pertama si empunya cerita.


Memperbesar-Memperkecil  Ruang-Ruang Jendela   

Untuk orang-orang yang selalu ingin menempuh jalan menuju perbaikan dirinya (dan bukan untuk orang-orang yang berkeras kepala dengan kekiniannya semata), mungkin sekali cara ini bisa dicoba. Jendela Johari mensyaratkan kita berproses dengan orang-orang lain yang juga berniat dan bersedia memperbesar-memperkecil bilik-bilik jendela mereka dan melakukannya bersama orang-orang lain. Dalam sesi-sesi Jendela Johari, aku mengamati bahwa orang-orang yang datang tidak dengan kesediaan membuka diri atau tidak merasa nyaman dengan orang-orang tertentu dalam kelompok biasanya akan banyak membela diri atau menyerang orang lain, terlepas dari apakah masukan yang dilemparkan isinya benar atau tidak. Besar kemungkinan di akhir proses kelompok tersebut, dia tetap memiliki jendela diri yang tidak berubah ukuran bilik-biliknya.

Oke, untuk visualisasi beberapa kondisi dalam proses Jendela Johari, di bawah ini adalah gambar perubahan ruang jendela. Bila di dalam kelompok ada atmosfir saling percaya, saling menerima dan bersahabat, maka daerah pribadi dan daerah buta akan mengecil dan daerah terbuka akan bertambah luas. Dalam suasana demikian, akan ada peristiwa saling membuka rahasia diri (yang tadinya daerah pribadi) dan rahasia umum (yang tadinya daerah buta) menjadi daerah terbuka, daerah pengetahuan dan pemahaman bersama. Inilah proses interaksi yang sehat. Cuma ya, sekali lagi harus diingat bahwa tidak semua masukan dari orang lain tepat. Harus dinalar dan direnungkan lagi. Gambarnya ada di bawah ini.



Diketahui diri sendiri
Tidak diketahui diri sendiri
Diketahui orang lain
I. Terbuka
III. Buta
Tidak diketahui orang lain
II. Pribadi
IV. Gelap



Bila: situasi yang ada mengancam si pemilik jendela, terdapat rasa saling tidak percaya dan bermusuhan. Lihat bagaimana ruang jendela pribadi membesar atau tetap besar.



Diketahui diri sendiri
Tidak diketahui diri sendiri
Diketahui orang lain
I. Terbuka
III. Buta
Tidak diketahui orang lain
II. Pribadi
IV. Gelap



Bila situasi di atas memburuk, terjadi saling menyerang dan saling membela diri dan berakhir dengan bertambah besarnya rasa tidak percaya dan bermusuhan, maka orang-orang lain mungkin akan semakin menjauh dan diri kita semakin tertutup. Daerah buta bisa membesar karena orang-orang lain akan semakin ramai membicarakan kita di belakang kita.



Diketahui diri sendiri
Tidak diketahui diri sendiri
Diketahui orang lain
I. Terbuka
III. Buta
Tidak diketahui orang lain
II. Pribadi
IV. Gelap



Di kejadian-kejadian unik sesi Jendela Johari, selalu ada kemungkinan sebagian daerah gelap akan mengecil, entah itu sekedar memperbesar daerah pribadi, buta atau terbuka. Misalnya: sebuah keluarga mempunyai ide untuk mengadakan sesi Jendela Johari. Dalam keluarga itu orang yang paling tertutup adalah si ibu. Karena begitu tertutupnya, anggota keluarga yang lain tidak mampu memberikan masukan selain yang sudah lama diketahui si ibu tentang dirinya sendiri. Dan mulailah giliran sang ibu membuka sejarah masa lalunya dan semua orang lain di ruangan itu pun terperangah dengan kisah si ibu. Masing-masing orang di dalam pikirannya sendiri-sendiri sibuk menghubungkan titik-titik membentuk figur maya tentang kedirian si ibu.

Lalu satu orang anggota keluarga mulai memberanikan dirinya mengutarakan pikirannya untuk mengklarifikasi gambarannya tentang si ibu karena baru saja dilengkapi pengetahuan baru tersebut. Si ibu sesekali mengiyakan, sesekali mengkoreksinya. Lalu ada lagi orang lain yang menanyakan isi pikirannya sendiri tentang si ibu kepada si ibu. Beberapa orang lain tetap memilih menyimpan pengetahuannya sendiri tentang ibu ‘baru’ mereka. Mungkin nantinya dua atau tiga orang ini akan melanjutkan percakapan tentang si ibu tanpa kehadiran ibu, dan tetap menjadikan ini sebagai rahasia bersama, bukan sebagai pengetahuan si ibu.

Dari bagaimana orang-orang itu merespon, si ibu memperoleh pengetahuannya sendiri tentang mengapa orang-orang tertentu selama ini memperlakukan dirinya dengan cara tertentu. Dan tiba-tiba, sebuah pengetahuan baru datang ke dalam kesadaran si ibu, kesadaran yang tidak pernah punya kesempatan untuk muncul karena selama ini tidak diperkenankan muncul dari alam bawah sadar si ibu. Dan malam itu si ibu membuat suatu keputusan penting dalam hidupnya yang akan membuat perubahan besar bagi dirinya maupun bagi keluarganya.


Bila Ingin Mencoba

Bila engkau ingin mencoba proses Jendela Johari, aku bisa mengusulkan cara yang sudah biasa kupakai, dan tiap kali dilakukan, aku mengadakan perubahan-perubahan kecil karena setiap sesi dan tiap kelompok memberiku pelajaran tersendiri. Jadi, tidak ada ketetapan yang kaku. Namun, sebelum sebuah sesi Jendela Johari dilakukan, bila memungkinkan, aku melakukan beberapa proses pendahulu untuk menyiapkan mental orang-orang yang akan berproses Johari.

Orang-orang yang mengikuti sesi pemulihan yang kupandu banyak datang dengan kelelahan,  kegalauan dan lukanya sendiri-sendiri. Sebaiknya dan secara etis, kondisi mereka yang seperti ini dibantu dulu pemulihannya. Kemungkinan lainnya adalah ada konflik laten maupun terbuka pada orang-orang tersebut yang hanya akan menjadikan sesi Johari sebagai kesempatan menyerang dan melukai yang lainnya. Maka, mediasi perlu dilakukan dulu sebelum semua orang siap dengan proses Johari.

Bila dalam satu kelompok terdapat orang-orang yang memiliki konflik kepentingan karena hirarki dalam organisasi, ini pun bisa jadi penghambat. Sudah tentu si bawahan akan segan memberikan masukan pada si boss yang terkenal kejam dan bossy. Si bawahan juga akan segan membuka rahasia masa lalunya dalam kelompok yang dia pikir bisa saja orang-orang itu suatu saat memakai rahasianya sendiri untuk mensabotase dirinya. Si boss mungkin juga sudah menyiapkan alasan dan pembelaan diri untuk menangkis masukan-masukan dari bawahannya. Memang paling ideal sesi Johari dilakukan di dalam kelompok di mana orang-orang di dalamnya memiliki posisi kuasa yang setara. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa dalam kelompok yang posisi kuasanya tidak setara tetap bisa terjadi proses yang positif dan progresif bila anggota kelompok bersedia bersepakat dan berproses.

Suatu kali, aku terpaksa membentuk satu kelompok dari orang-orang yang tidak saling mengenal sebelumnya, karena memang sudah demikian keadaannya. Mereka pekerja kemanusiaan yang datang dari berbagai daerah kerja. Untuk mereka, kesempatan kali itu kutawarkan sebagai kesempatan berlatih saja agar mereka bisa kembali pulang dan mencobanya lagi dengan orang-orang yang mereka kenal. Karena aku harus bolak-balik memantau beberapa kelompok lain pada saat bersamaan, aku tidak begitu mengikuti proses kelompok orang saling tidak mengenal ini. Sewaktu kembali ke pleno dan bersama-sama meriviu proses kelompok Johari tadi, kelompok tak saling mengenal ini ternyata saling menikmati proses kelompok mereka dan mendapat masukan-masukan berguna dari orang-orang yang baru saling mengenal itu. Hmmm, menarik juga. Mungkin lain kali aku akan mencoba lagi kelompok seperti ini dan benar-benar mengamati proses yang terjadi.     

Jadi, begini prosesnya. Syarat: Jendela Johari dijalankan setelah beberapa proses pendahuluan untuk menyiapkan diri semua orang untuk menjalani sesi Johari. Perlu diingat: aku sudah menggabungkan proses Johari dengan proses umpan balik, komitmen pribadi dan komitmen kelompok dalam satu kontinum:
·      Pertama, aku minta mereka membentuk kelompok kecil (maksimal 5 atau 6 orang, lebih karena keterbatasan waktu. Bila waktu yang tersedia banyak, bisa lebih banyak orang dalam satu kelompok), lebih baik bila sudah saling mengenal.
·      Ketika semua orang sudah dalam kelompoknya masing-masing, maka satu orang (sebut saja si A) keluar dari kelompok di luar jarak pendengaran. Kelompok “menggosipkan” si A yang tidak bisa mendengar pembicaraan kelompok saat itu, membicarakan kekuatan dan kelemahan si A. Point-point kekuatan dan kelemahan si A ditulis di secarik kertas. Aku biasanya meminta mereka untuk menyeimbangkan jumlah kekuatan dengan jumlah kelemahan untuk tiap orang. Setelah selesai, kertas disimpan dulu dan si A dipanggil kembali masuk kelompok. Sebaiknya kertas untuk tiap orang terpisah karena bisa saja si A nantinya mau membawa pulang kertas itu sebagai pengingat untuk perubahan dirinya ke depan.  
·      Lalu giliran si B yang keluar kelompok dan menjalani proses yang sama dengan si A. Setelah B selesai, lalu giliran si C, dst.
·      Setelah semua orang mendapat kesempatan yang sama untuk digosipkan oleh kelompok, maka kelompok melanjutkan dengan proses umpan balik. 

Proses umpan balik:
·      Lalu semua orang berkumpul di kelompok kecilnya masing-masing. Seorang jubir ditunjuk untuk menyampaikan kekuatan-kelemahan si A (yang tadi sudah ditulis di secarik kertas) pada si A. Selama jubir untuk A bicara, A hanya mendengarkan saja dulu, tidak menyanggah atau pun menyetujui, kecuali kalau ada suatu pernyataan atau satu kata yang tidak dipahami atau kurang ditangkapnya, A boleh meminta klarifikasi.   
·      Setelah jubir untuk A selesai, barulah A menanggap. Dia bisa menyetujui, menyanggah, melengkapi atau merubah isi umpan balik kelompok terhadap dirinya. Di sinilah terjadi proses diskusi dan berbagi.  

Proses komitmen pribadi dan kelompok:  
·      Setelah A selesai dengan proses umpan balik untuk dirinya, A memilih perilaku mana dulu yang siap untuk dia rubah. Dia bisa saja memilih perilaku yang paling mudah dirubah. Atau dia bisa memilih suatu perilaku yang mendasari sebagian besar masalahnya yang lain, sehingga perubahan di perilaku yang satu itu akan menyelesaikan banyak masalah A yang lainnya. Terserah pada si A untuk memutuskan.
·      Setelah A memilih, teman-teman satu kelompoknya boleh mengadakan negosiasi dengan A dan sebaliknya terhadap pilihan perubahan A tersebut.
·      Teman-teman kelompok menawarkan dukungan mereka untuk membantu A dalam usahanya memperbaiki dirinya.
·      Baik A maupun teman-teman sekelompoknya, masing-masing menuliskan janji perubahan dan janji dukungan di kertas mereka sendiri-sendiri. Jadi, dalam kertas A akan ada tulisan mengenai perilaku mana yang akan dirubahnya, juga tulisan mengenai dukungan apa yang dijanjikan oleh si B, si C, si D, dst. Di dalam kertas si B akan ada tulisan mengenai janji apa yang dia berikan pada si A untuk membantu A memperbaiki dirinya.
·      Masing-masing orang sebaiknya memberikan janji (perubahan maupun dukungan) yang kira-kira sanggup dilakoninya.

Setelah proses umpan balik untuk si A, proses komitmen pribadi dan kelompok untuk si A selesai, maka giliran si B mendapatkan haknya atas proses umpan balik dan proses komitmen pribadi dan komitmen kelompok untuk dirinya. Lalu si C, lalu si D, dst. Biasanya proses Johari yang disambung dengan proses umpan balik dan komitmen pribadi-kelompok ini aku sediakan waktu satu hari penuh. Karena setelahnya akan dilanjutkan dengan proses meriviu proses tersebut di dalam pleno. Lalu ditutup dengan sesi-sesi kecil untuk mengangkat semangat dan mempererat kedekatan antar peserta, dan sesi rencana tindak lanjut dan evaluasi. Jangan lupa bahwa sebelum Jendela Johari, ada kegiatan-kegiatan pengantar agar tiap orang siap masuk ke dalam sesi Johari, yang dilakukan di hari-hari sebelumnya.


Sekilas Umpan Balik

Aku pernah mengamati bahwa ternyata remaja mengalami kesulitan untuk menyampaikan dan menerima umpan balik. Dan walaupun umpan balik sudah berusaha disampaikan dengan cara sebaik mungkin, ternyata dampaknya di luar sesi bisa membuat mood mereka jatuh selama berhari-hari. Ya, memang mereka adalah kelompok yang masih labil dan berada di tengah-tengah krisis pilihan antara fase tetap sebagai anak-anak dan fase menjadi dewasa. Jadi, untuk mereka aku juga akan melakukannya dengan perlakuan khusus. Betul, dengan mereka tidak mudah.

Kelompok lain yang tak kalah rentan dan rapuh adalah kelompok para korban. Terus terang, dengan mereka aku belum pernah mengadakan sesi Johari secara khusus, karena pemulihan untuk mereka juga belum selesai. Jadi yang kulakukan bersama mereka adalah kegiatan-kegiatan untuk pemulihan. Bila ada satu korban yang sudah menjadi penyintas dan para korban lainnya masih belum keluar dari permasalahan mereka, maka kecenderungan yang terjadi adalah si penyintas menasihati para korban lainnya agar mencontoh perjuangannya. Dan aku tidak ingin seperti ini terjadi. Menasihati bukan jalan keluar. 

Agar umpan balik berbuah dengan baik, maka sebaiknya dinyatakan dengan kalimat yang jelas, merujuk pada/menggambarkan perilaku yang spesifik, dan diberikan di saat yang tepat. Saat yang tepat adalah segera setelah kejadian. Atau bila segera setelah kejadian suasananya masih panas, maka segera setelah kejadian di saat suasana sudah reda. Namun seringkali, orang-orang tidak melakukan ini. Biasanya harus ada jeda bertahun-tahun dulu, barulah orang yang bersangkutan akan diingatkan tentang perilakunya. Mungkin memberi dan menerima umpan balik belum menjadi kebiasaan dalam hidup dan kebudayaan kita. Namun aku percaya bahwa kebiasaan dan kebudayaan bisa dirubah karena kita manusia juga yang membentuk dan mempertahankannya.

Katanya, sebaiknya beri umpan balik yang positif dulu, baru sampaikan yang negatif. Namun dalam sesi Johari aku menyerahkan keputusan terhadap orang itu, apakah dia memilih disampaikan kelemahannya dulu atau kekuatannya dulu. Akan lebih bijaksana bila umpan balik yang diberikan adalah perilaku yang masih mungkin dirubah. Tidak adil bila kita meminta seseorang memperbaiki caranya berjalan padahal bentuk tulang kakinya sudah dari sananya begitu, bukan dibuat-buat.

Di beberapa kejadian, si pemberi umpan balik memakai nama orang lain atau mengatasnamakan orang lain. “Teman-teman bilang kamu orangnya bla, bla, bla…” Ah, yang seperti itu menurutku pengecut. Kalau memang engkau punya keberatanmu sendiri, sampaikan atas namamu sendiri. Dalam sesi Johari, kita bukan bertindak sebagai mediator. Masing-masing orang akan punya pengalaman sendiri-sendiri dan menyampaikan langsung pengalamannya tersebut. Bila memang kejadiannya di dalam suatu kelompok terjadi ketimpangan relasi kuasa dan belum berhasil menyeimbangkannya, maka pertimbangkanlah memakai seorang mediator yang memang sudah disepakati bersama sebelumnya. Tapi berarti proses tersebut masih disebut proses mediasi. Aku berpendapat, bila kelompok belum menyepakati relasi kuasa yang setara, maka belum bisa dilanjutkan ke dalam proses komitmen pribadi, komitmen kelompok dan kesepatan bersama.

Yang paling manjur adalah bila proses Johari datang karena adanya kebutuhan bersama. Nah, kalau ini yang terjadi, aku rasa aku akan bersemangat memfasilitasi sebuah sesi Johari dengan kelompok tersebut. Atau tidak usah difasilitasi, deh. Kalian bisa kok menjalankannya sendiri. Bukan begitu, saudara?        

**********************


Ehem, dulu sekali, kira-kira tujuh atau delapan tahun yang lalu, aku pernah menjalankan sesi Johari dengan sesama teman-teman yang berprofesi di bidang psikologi. Kami berdelapan mencobanya, atau bertujuh. Aku tidak ingat. Kelompok yang lumayan besar. Apakah waktu itu kami berkumpul itu karena kebutuhan bersama? Aku lupa. Sepertinya waktu itu kami sedang iseng-iseng saja. Aku ingat, aku masih dengan kepala batuku. Aku juga lupa di mana aku menaruh kertas umpan balik kelompok untuk aku. Tapi satu-dua point kelemahanku masih aku ingat. Yaa, tentang kepala batuku itu, dan ketidakpedulianku akan perasaan orang lain ketika aku mengeluarkan reaksi-reaksi tertentu. Yang jelas, aku belum merubah diriku bertahun-tahun setelahnya, walaupun aku tahu aku memang memiliki kelemahan-kelemahan seperti yang diungkapkan teman-temanku.

Bagiku saat ini, sesi Johari-ku saat itu tidak memberikan masukan yang berarti. Dia hanya sekedar menjadi pengingat untukku, menunggu sampai suatu saat aku siap untuk berubah. Memang, kalau kau keras kepala, jangan harap masukan dari orang lain akan mampu merubahmu. Juga jangan berharap bahwa pengetahuan juga akan merubahmu. Jendela Johari hanya untuk orang yang sudah siap, bersedia dan butuh untuk berubah. Jadi, kalau nanti misalnya engkau mencoba Jendela Johari bersama teman-temanmu, jangan berharap terlalu banyak bila kalian memang tidak membutuhkannya, tidak siap dan tidak bersedia untuk merubah diri kalian. Karena aku pun pernah mengalaminya dan tidak berhasil. Bukan karena aku tidak mengerti, bukan karena orang lain tidak bisa menerangkannya padaku. Sederhana saja: karena aku keras kepala. Lihat di jendelamu. Lihat bayang seseorang dengan kepala batu di situ. Selamat bertahan dalam kepala-batumu itu. Begitu engkau siap, berubahlah. Demi dirimu sendiri. Dan mungkin juga, demi orang-orang lain yang kau sayangi.
      


AKB, 22 Desember 2012
Sondang Sidabutar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar