MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Minggu, 29 April 2012

AKU PEDULI. TAPI AKU LELAH.



Ya. Cengengkah bila ada orang yang datang berkeluh-kesah padamu bercerita tentang kelelahannya peduli pada orang lain?
Mengurus anggota keluarga yang sakit berkepanjangan, mencoba mengeluarkan teman atau saudara dari permasalahan-permasalahannya yang terus mengulang siklus tak berkesudahan, menjadi pendamai para pihak yang senantiasa bertikai, membantu para korban, entah itu korban konflik, bencana, kemiskinan atau kekerasan, menjadi pemimpin bagi suatu kelompok atau suatu komunitas yang menghadapi hantaman arus masa, berdiri menantang kekalnya ketidakadilan dan kezaliman, dan seterusnya.

Mungkin kau akan berkata, wajar saja orang mengalami kelelahan kepedulian. Manusia ada batas kemampuannya sendiri-sendiri. Tapi tunggu dulu, apa yang akan kau lakukan padanya? Kau bilang, “Lihatlah orang-orang lain yang tidak seberuntung kamu. Beruntunglah kamu masih punya ini-itu dan masih bisa melakukan itu-ini.” Atau, “Beristirahatlah dulu barang satu-dua minggu, lalu kalau kamu siap kamu bisa mulai bekerja lagi.” Kau juga mungkin akan menambahkan, “Orang-orang yang peduli sepertimu jarang. Janganlah berhenti peduli, karena banyak yang membutuhkanmu.” Salahkah berkata begitu? Ini bukan soal salah atau benar.

Dulu pada awalnya, kau mungkin bersemangat berkekuatan penuh untuk peduli. Apalagi kalau kau sudah melihat hasil-hasil dari garapan kepedulianmu dan orang mulai menunjukkan penghargaan atas kerja-kerjamu. Mereka percaya pada kemurnianmu, ketulusanmu. Kemudian, mereka mulai datang dengan lebih banyak masalah, meletakkannya di depanmu dan minta dengan hormat dan takzim agar kau menyelesaikannya. Karena kau adalah pahlawan mereka. Kau orang hebat, orang yang langka di jaman yang tidak peduli ini. Mereka menganggap mereka bisa mengandalkanmu.

Lalu kau mulai merasa kewalahan dengan masalah-masalah yang disodorkan padamu. Bebanmu terlalu sarat-berlebih. Kau mulai merasa dua puluh empat jam dalam sehari tidak cukup, kau merasa semestinya kau di-kloning saja biar ada lebih banyak orang seperti kau untuk mengurus timbunan masalah yang tidak juga berkurang malahan terus bertambah. Yang satu ini belum selesai, sudah datang yang lain lagi. Mengurus masalah satu orang saja bisa-bisa enerjimu tersedot habis, apalagi mengurus perkara umat. Dan kau menjerit dalam hati, “Tuhaaaannn, mengapa Kau ciptakan begitu banyak masalah di dalam dunia ini?” Menjeritlah keras-keras! Karena sama saja, Tuhan juga sudah tahu walau kau bungkam jerit hatimu itu. Ya memang, Tuhan yang Maha Pemurah itu begitu royalnya melimpahkan begitu banyak masalah di dunia ini. Entah apa pula maksudNya.  

Kau geram melihat orang-orang yang hidup enak-enak saja. Ingin rasanya kau ludahi dan injak-injak muka mereka yang tersenyum penuh kepuasan dan kenikmatan itu. Dengan ketidakpercayaan yang takjub engkau menyaksikan bagaimana orang bisa hidup tenang-tenang di atas penderitaan orang lain dan kepalsuan. Dan kau pun bertanya-tanya, bertanya-tanya, tanya-tanya tak terjawab. Lalu kau mulai meneriakkan tanya-tanyamu, tapi dianggap sepi. Kau mencoba mengganggu kesadaran orang-orang tapi mereka gusar kau ganggu, menyuruhmu tutup mulut. Mereka tetap kembali menjadi mereka. Tak berubah.

Kau sangka, kalau manusia masih punya hati nurani, mereka seharusnya resah, gelisah, tergerak, bertanya-tanya seperti kau bertanya-tanya, berjuang seperti kau berjuang, membenci seperti engkau membenci, berteriak seperti kau berteriak. Tapi nyanyimu bisu dan jeritmu sunyi… Di sana mereka berpesta, bersenang-senang, tak peduli. Engkau menggeleng pelan dan menghela napas melihat generasi tua yang sedang membuat surga mereka sendiri di dunia dan generasi muda yang sedang menggali kuburan mereka sendiri.   

Lalu engkau pun mulai merasa muak. Muak dengan segalanya. Tidak percaya pada apa pun. Bila bertemu dengan orang-orang, sinismu tak tertahan. Mereka menjauhimu, kau memusuhi mereka. Lalu kau mulai memilih menyendiri. Engkau merasa asing. Dunia di luar sana terlalu mengecewakan dan menyakitkan bagimu. Kau merasa hampa. Lemas tak berdaya digerogoti kemarahanmu sendiri. Terbakar habis oleh baramu sendiri. Tak ada kedamaian. Tidak ada kebahagiaan. Mau lari ke mana kau?    

Engkau mau jalan keluar yang mudah dan cepat? Banyak orang yang menginginkan solusi mudah dan cepat, barangkali kau salah satu di antaranya. Jalan keluar paling gampang adalah: berhentilah peduli. Keluar saja dari pengatasnamaan kepedulian itu. Kalau kau lakukan itu, kau bukan orang pertama dan kau tidak sendirian. Sudah banyak, bahkan jauh lebih banyak yang memilih berhenti peduli daripada terus bertahan. Mudah. Remeh. Aku jamin, jauh lebih mudah mengurus perkara-perkara kecil dan langkahmu akan jauh lebih enteng. Daripada…

Lihatlah, bukankah mereka hidup baik-baik saja? Mereka terlihat bahagia dan mengejar prestasi, luwes dan toleran, bersih-berkilau dan harum, menawan, makmur dan terkenal. Hidup hanya sekali, nikmatilah, kata mereka. Daripada terus bertahan dengan pedulimu, kau nampak seperti orang pahit yang hidup di jaman yang salah, bersikap keras pada siapa pun termasuk pada dirimu sendiri, kau mudah tersinggung dan meledak, gosip buruk dan ejekan tentangmu beredar di seputaran handai-taulanmu. Kau jadi bahan tertawaan. Kalau kau datang mendekat, mereka buang muka dan menutup telinga mereka karena sudah mengira-ngira kau mau khotbah apa. Ah, betapa seringkali kau merasa sendirian dan kesepian.


********************

Kira-kira sudah dua belas tahun aku menjadi penggiat kemanusiaan. Aku tidak tahu apakah itu sudah terbilang lama atau belum. Awalnya dari keresahan dan kemarahan yang bibitnya sudah ada sejak aku masih kecil. Siapa yang menaruh bibit itu di situ, aku tidak tahu. Mungkin darah turunan orang tuaku karena mereka berkutat di pelayanan umat dan rakyat kecil. Sejak umur muda aku sudah senang menyendiri, resah dan gusar. Waktu puber, bergaul di lingkaran orang-orang gaul karena kelihatannya keren dan asyik. Aku orang berbeda di rumah dan di luar rumah. Di rumah aku adalah anak yang suka memberontak yang berbeda dengan saudara-saudaraku yang lain, di luar rumah aku menjadi teman yang menyenangkan dan ‘rada unik’ (kata teman-temanku). Aku kayak laki-laki, kata mereka. Mereka senang-senang saja punya teman tomboy sepertiku. Dan aku senang mereka senang aku. Tapi di rumah aku tidak cukup peduli untuk mencoba menyenangkan orang-orang rumah. Sampai sekarang.

Tapi sudah lama aku berhenti mencoba menyenangkan hati teman-temanku, begitu kudapati jalan hidupku menjadi berbeda dengan jalan hidup mereka. Bukan aku sengaja ingin membuat mereka jauh, namun aku seringkali merasa tidak nyaman dengan ketidak-nyambungan gaya dan pilihan hidup kami. Jadi, aku pun masuk ke lingkungan pergaulan para pekerja kemanusiaan yang lebih nyambung. Dengan mereka aku merasa bisa berbagi keresahanku, kegusaranku dan mimpiku.

Bergaul dengan mereka, aku mulai menangkap warna-warni mereka. Ada manusia-manusia setengah dewa yang begitu hebatnya hingga membuatku segan dan ciut, ada yang dengan jiwa liar meledak-ledak – bara mereka membuatku merasa gerah kepanasan berada dekat mereka, mereka yang sangat antusias dan positif yang membuatku jadi terlihat terlalu pahit dan pesimis, ada yang dingin dan membatu yang membuatku merasa seperti menghadapi tembok tebal tinggi, ada yang penuh kehangatan dan kasih sayang yang malah membuatku jadi merasa tidak enak sendiri karena aku merasa terlalu dilimpahi oleh mereka, ada yang alam pikiran dan perasaannya terlalu njlimet dan tak bisa diduga – aku tidak mampu memahami mereka, ada yang merasa dirinya paling benar paling tahu dan paling berjasa – membuatku bertanya-tanya apakah mereka pikir diri mereka tuhan, ada yang di dalam diri mereka aku tidak mampu menemukan makna sejati kepedulian sehingga di mataku mereka seperti manusia mesin yang sekedar bekerja daripada tidak ada kerjaan, ada yang memperlihatkan kepedulian sebagai cara untuk mendapatkan kembali imbalan kepedulian dari orang-orang lain yang membuatku tertawa melihat tingkah mereka, ada para pencari muka-pengemis air mata yang oportunis dan manipulatif – mereka membuatku muak lalu merasa hambar berada dekat mereka. Cukuplah dulu. Terlalu banyak untuk aku telusuri macamnya satu persatu.

Dari mereka semua, ada yang masih mencoba bertahan dengan kepedulian mereka, walaupun ada pasang-surutnya juga. Tunggu, mungkin yang manusia setengah dewa hampir tidak ada lagi surutnya. Dulu mereka mungkin pernah ada pasang-surut, lalu entah bagaimana, mereka sekarang jauh lebih tenang, stabil, yakin dan tak tergoyahkan. Mungkin mereka memang titisan Nabi. Sedangkan yang lain-lainnya, ada masa-masa di mana mereka mengalami kelelahan kepedulian.

Jika kelelahan kepedulian semata terjadi karena enerji mental yang terserap habis, maka pengalihan atau istirahat mental mungkin adalah jawabannya. Pergi berlibur, rekreasi dan olah raga, bercinta, sejenak menyendiri untuk meditasi dan refleksi, mencari lingkungan pergaulan yang lain untuk mencari kesegaran baru, melanglang buana untuk menghidupkan lagi gairah petualangan adalah beberapa pilihan yang bisa diambil supaya ada enerji baru yang segar untuk nantinya bisa melanjutkan lagi kerja kepedulian. Mereka yang sadar terlalu mencurahkan enerji berlebih untuk peduli, memilih untuk mengatur dan membatasi arus enerjinya. Mereka ini yang teratur dengan waktu-waktu unttuk kerja dan untuk istirahat, mencoba menambah ragam kegiatan lain selain kerja kepedulian, mencari lingkungan sosial lain di luar lingkungan peduli berjenis tunggal. Kadarnya juga bisa beragam. Ada yang mengatur lebih besar porsi kerja kepeduliannya dibanding kerja/kegiatan lain, ada yang mengatur keseimbangan yang setara di antara keduanya, ada juga yang memilih peduli sekedarnya saja, yaitu memakai sisa-sisa sumber daya mereka. Tapi bagaimana kalau kelelahan kepedulian sejatinya adalah kehambaran kepedulian?    

Menurutku, untuk bisa mengetahui apakah kita sekedar lelah peduli atau hambar peduli, adalah dengan mencoba dulu cara-cara atau jalan keluar untuk masalah yang diduga kelelahan kepedulian. Jika setelah itu kau berhasil mendapatkan enerji baru yang segar untuk peduli lagi, atau kau bisa mengatur dengan stabil kepedulian dengan mengatur kadar enerji untuk peduli dan enerji untuk lain-lain, maka perkiraanku, kau mengalami kelelahan kepedulian. Tapi jika dengan cara-cara itu kau masih merasakan ada yang salah, tetap merasa hampa dan datar dengan kepedulianmu, atau kau merasa muak dengan kerja-kerja kepedulian yang tadinya membuat hidupmu bergairah dan bermakna, maka mungkin kau mengalami kehambaran kepedulian. Ini adalah permasalahan yang eksistensial, mungkin juga spiritual. Dan masyaallaaah,… yang ini lebih rumit. Dan inilah yang kualami. Berkali-kali.


*********************

Bertanya, adalah inti hidupku. Dengan bertanya, aku mencari jawaban. Dengan menemukan jawaban, aku menjalaninya. Dengan menjalaninya, muncullah pertanyaan-pertanyaan baru lagi. Kalau aku mau hidupku damai dan tenang, semestinya dari awal aku berhenti bertanya. Tapi tidak bisa. Aku digugat terus oleh pertanyaan-pertanyaanku sendiri. Entah setan ataukah malaikat yang menghembuskan hasutan berbentuk pertanyaan-pertanyaan itu.   

Dulu, aku pernah beberapa kali bekerja di LSM internasional, sampai kemudian bentuk-bentuk perlakuan yang tidak setara antara pekerja bule, pekerja nasional dan pekerja lokal membuat aku bertanya-tanya. Lingkungan yang dicoba ditata serba teratur di situ juga membuatku menggeliat gelisah, sesak dan kepanasan. Lalu aku bergabung dengan LSM nasional. Tentunya perlakuannya lebih setara dibanding LSM internasional, tapi aku tetap didera oleh perasaan ingin bisa menentukan langkah dan tujuanku sendiri. Lalu aku memilih menjadi pekerja kemanusiaan yang independen, tidak terikat oleh lembaga apa pun. Tujuh tahun sudah aku bebas dan independen. Dan belakangan ini aku mulai merasa gelisah lagi. Kupikir, bebas dan independen adalah pilihan final yang terbaik dari semua pilihan yang ada. Tapi kok, mengapa aku masih merasa terganggu? Mengapa aku merasa hambar di sini? Mengapa aku mulai merasa… apa yah,… mati rasa dengan pekerjaan-pekerjaan ini? Akhir-akhir ini, aku butuh enerji yang begitu besar dan waktu yang lebih lama untuk pemanasan dan melakukan satu persatu kerja-kerja kepedulian. Ada apa ini? Sialan! Tidak pernah selesai.

Kira-kira satu tahun belakangan ini aku merasa mulai menikmati menjadi invisible, tidak terlihat, tidak terdeteksi, tidak bisa didekati. Terus terang aku kadang merasa terganggu kalau ada teman-teman atau keluargaku yang bertanya-tanya tentang kabar dan keberadaanku. Kadang aku memaksakan diriku menjawab pertanyaan mereka. Kadang, kalau suasana hatiku sedang lebih baik, aku akan dengan senang hati menjawab pertanyaan mereka tentang kabarku. Aku lebih suka mereka tidak tahu aku lagi ngapain dan sedang berada di mana. Karena tokh, yang sedang aku lakukan ini bukan sesuatu yang mungkin bermakna bagi mereka atau yang bisa segera mereka mengerti. Aku cuma ingin menyendiri dan merenungi pertanyaan-pertanyaanku dan menjadi jujur bagi diriku sendiri. Aku merasa sekarang ini aku seperti sedang berada di persimpangan jalan, dan jalan ke depan penglihatannya masih buram, belum jelas teraba bentuk dan rupanya. Ada apa di depan situ? Aku belum tahu. Tapi rasanya itu pilihan yang baru, yang belum kualami sebelumnya, yang belum kukenal dalam hidupku.    

Setahun yang lalu, aku memulai invisibilitasku yang sempat bertahan selama delapan bulan, lalu terputus karena sebuah hutang lama. Aku masih punya satu-dua hutang lagi. Sepertinya setelah itu aku akan menyelam lagi, menghilang dari permukaan, tidak terlihat. Lalu kuharap aku akan muncul lagi untuk menemukan daratan baru yang kucari-cari.

******************

Baru-baru ini aku mendapati beberapa temanku mengaku sedang mengalami kelelahan kepedulian. Engkau merasa lelah, atau kau merasa hambar dan hampa? Sebelum kau mengambil kesimpulan bahwa kau merasa hambar, kalau boleh kusarankan, cobalah dulu obati kepenatanmu. Mungkin kau sudah terlalu jauh berjalan dan berlari nyaris tanpa henti. Lalu bertanyalah pada dirimu sendiri, masih bersediakah kau melakukan kepedulian yang sama? Bagiku, untuk menyadari bahwa aku bukan sekedar penat dan lelah, butuh waktu yang tidak sebentar untuk menemukan jawabannya. Apakah kau masih ingin berada di jalan yang sama, ataukah kau ingin mengambil simpang perjalanan yang lain? Atau kau mau balik arah dan mengambil jalan yang sudah ramai orang berada di situ? Atau kau lebih tertantang dan tertarik dengan jalan-jalan yang kurang disukai kebanyakan orang? Hidupmu adalah pilihanmu. Klise, memang. Tapi kurasa engkau menyadari apa jadinya dunia ini bila semua orang memilih jalan-jalan yang ramai itu. Mungkin mulailah dulu dengan pertanyaan: Untuk apa kau dilahirkan di dunia ini? Jika kau percaya pada Tuhan, cobalah menjawab untuk apa Tuhan menciptakan keberadaanmu di atas muka bumi ini?


AM-HU, 29 April 2012.
Still re-searching…     

2 komentar:

  1. heeem, kadang ada rasa lelah itu,,,, kadang perduli kepada orang lain, namun ternyata seringkali orang lain itu kemudian tidak memperduliakan apa yang telah kita usahakan untuknya. bukannya ingin mendapat penghargaan,,,, namun bila ini terjadi berulang kali,,, kita pun akan berpikir ... apakah yang kita lakukan itu berguna dan bermanfaat... ku belajar untuk stop memperdulikan orang tersebut.. lelah hati... kita juga mempunyai kehidupan sendiri, yang mungkin ternyata telah kita abaikan... mengurus diri sendiri... jangan sampai pula kita menzolimi diri sendiri...

    BalasHapus
  2. Halo, anonim. Dari perilaku anak kecil aku seringkali menegur diriku sendiri bahwa bila seseorang bisa bertanggung jawab pada dirinya sendiri, maka sebaiknya aku memberikan haknya untuk berjuang, yaitu untuk bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Seringkali kita tergoda untuk mengambil alih tanggung jawab mereka pada dirinya sendiri.

    BalasHapus