MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Rabu, 20 Maret 2013

AKU LUPA


Aku lupa rasanya mandi hujan.
Jari dan mataku sibuk dengan gadget. Maaf saja, aku ogah bajuku yang bagus dan alat-alat elektronikku basah. Lebih baik cari tempat berlindung, lalu update status. Mandi hujan itu cuma buat anak-anak kampung yang nggak ada hiburan lain.


Aku lupa rasanya sejuknya deru angin.
Daripada masuk angin dan kotor kena debu terus kelilipan, mendingan cari tepat duduk di sudut, lalu nggosipin orang-orang aneh itu. Kan, lebih seru. Ya, nggak?

Aku lupa rasanya rebah di empuknya rumput, juga aromanya.
Ah, lagian ngapain bersentuhan dengan tanah dan serangga-serangga di situ? Hiih, jijik. Jauh lebih nyaman duduk di dalam mobil lalu nyalakan AC.

Aku lupa merenungi teduhnya langit senja.
Terus, memangnya kenapa? Senja ada tiap hari. Begitu-begitu aja. Lebih keren minum bir dingin di cafe.

Aku lupa rupanya pemandangan di bawah dari atas pohon.
Hihi, memangnya aku monyet, manjat-manjat pohon? Kayak nggak ada kerjaan aja. Enakan duduk manis di depan TV nonton sinetron. 

Aku lupa seperti apa pemandangan sekelilingku semasa aku kecil, berapa banyak pohon, jalan setapak, sawah dan sungai yang kami tandangi.
Sekarang, langsung di depan rumah sudah ada jalan raya. Kan lebih gampang begini, bisa pergi ke mana-mana kalau mau bersenang-senang.

Aku lupa permainan-permainan yang kumainkan bersama teman-teman sewaktu kecil.
Arrrgh, sudahlah, itu semua sudah ketinggalan jaman. Anak-anakku sudah pintar dan mahir bermain sendiri dengan komputernya.

Aku lupa meresapi syahdunya keheningan.
Kok mau sih berdiam-diam nggak ngapa-ngapain? Aku nggak tahan dengan kesunyian. Rasanya aneh aja. Kosong. Nggak nyaman. Jadi harus selalu diisi bunyi-bunyian, gitu.

Aku lupa nyerinya mendambakan makanan seadanya dalam keadaan lapar yang hebat.
Kalau aku bisa membeli dan memilih makanan yang rasanya enak, variatif dan mahal, kenapa tidak? Jangan kayak orang susah, deh.

Aku lupa rasanya bersyukur bisa rebah dan jatuh tertidur pulas beralaskan tanah dan beratap langit berbintang.
Jangankan di lantai, di tempat tidurku yang empuk dan besar itu saja aku bisa berjam-jam melek. Harus mabuk dulu atau minum obat tidur dulu, barulah tidurku bisa enak.

Aku lupa debar jantungku menunggu kiriman surat yang diantar Pak Pos.
Waduh, enggak deh. Sudah tahu teknologi infokom sekarang bisa kirim-mengirim kabar dalam hitungan waktu kurang dari sedetik. Ngapain juga kirim surat pakai pos. Kuno.

Aku lupa hidup dengan barang-barang yang bisa muat di satu lemari mungil saja.
Ah, itu kan dulu, waktu jamannya aku masih kere. Sekarang, boro-boro! Kalau bepergian, aku seperti harus membawa seisi rumah. Kalau tidak, rasanya seperti ada yang kurang, begitu.   

Aku lupa rasanya bisa bertahan tanpa obat-obatan sewaktu kurang enak badan.
Ngapain sih mau berlama-lama sakit? Obat ada di mana-mana, kok. Tinggal ambil dan tenggak! Selesai!

Aku lupa getar dan panas-dingin tubuhku saat disentuh pertama kali.
Yaaa, lupa aja. Kejadiannya kan sudah lama sekali. Sekarang semua sentuhan rasanya begitu-begitu saja. Aku bersentuhan dengan orang lain hampir setiap saat. Rasanya biasa saja.

Aku lupa rasanya mencintai dan dicintai apa adanya.
Memangnya masih ada cinta seperti begitu? Cih, jangan mimpi.     

Aku lupa bagaimana bisa menolong orang yang sama sekali tak kukenal.
Hati-hati. Jaman sekarang banyak orang yang suka menipu. Jangankan yang tak dikenal, yang dikenal baik saja juga bisa lebih jahat.

Aku lupa melakukan dan mengatakan apa saja yang muncul pertama kali dalam pikiranku.
Hush, yang begitu itu tuh tidak sopan, tidak dewasa dan tidak beradab. Kayak orang tidak berpendidikan saja. Segala sesuatu itu harus dipikirkan matang-matang dan direncanakan baik-baik dulu.

Aku lupa apa mimpiku sewaktu masih muda dulu.
Aku akhirnya paham, ideaslisme dan dunia yang utopis itu hanya sejauh imajinasi. Tidak ada gunanya. Sekarang ini hidup harus realistis, nggak usah terlalu imajinasi, nanti cuma bikin frustrasi. Bermimpi itu basi!

Aku lupa bagaimana rasanya hidup dalam kebebasan.
Bebas? Maksudnya seperti orang liar, gitu? Ooh, kalau mau bebas, hidup di hutan aja sama binatang-binatang liar, sana! Jadi orang utan!

Aku lupa rasanya menerima dan menikmati kekalahan dan kesalahan tanpa penyesalan.
Pernah dengar istilah survival of the fittest? Hidup ini adalah kompetisi dan dunia ini pakai hukum rimba, bung! Untuk selamat, kamu harus jadi pemenang.  

Aku lupa bagaimana berdoa tanpa jadi pengemis dan penjilat.
Huh, untuk apa ada surga dan neraka kalau bukan untuk berdoa supaya masuk surga dan jangan masuk neraka?

Aku lupa bagaimana membaca hal-hal yang tak tercetak dan tak tertulis.
Aku membayar mahal biaya sekolah dan pendidikan untuk bisa membaca buku-buku dan apa pun yang bisa diraba.

Aku lupa memberontak melawan sesuatu atau seseorang yang tak sesuai kata hatiku.
Pemberontakan itu cari mati. Apalagi kalau melawan mayoritas yang lebih kuat. Jauh lebih baik nurut saja, cari selamat. Gak usah cari masalah, deh.

Aku lupa pernah punya keinginan membakar semua jembatan di belakangku.
Aku butuh status, aku butuh identitas, dan segala sesuatu dan semua orang yang ada di sekelilingku. Tanpa semua itu, aku bukan apa-apa. Tanpa semua itu, aku tak tahu apa yang ada di depan sana.

Aku lupa mengapa aku jadi pelupa.
Sederhana saja. Aku memang memilih untuk lupa. Karena mengingat itu menyakitkan, tauk!



RTTb, 24 Februari, 2013. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar