Aku lupa rasanya mandi hujan.
Jari dan mataku sibuk dengan gadget.
Maaf saja, aku ogah bajuku yang bagus dan alat-alat elektronikku basah. Lebih
baik cari tempat berlindung, lalu update
status. Mandi hujan itu cuma buat anak-anak kampung yang nggak ada hiburan
lain.
Aku lupa rasanya sejuknya
deru angin.
Daripada masuk angin dan kotor kena debu terus kelilipan, mendingan
cari tepat duduk di sudut, lalu nggosipin orang-orang aneh itu. Kan, lebih
seru. Ya, nggak?
Aku lupa rasanya rebah di
empuknya rumput, juga aromanya.
Ah, lagian ngapain bersentuhan dengan tanah dan serangga-serangga di
situ? Hiih, jijik. Jauh lebih nyaman duduk di dalam mobil lalu nyalakan AC.
Aku lupa merenungi
teduhnya langit senja.
Terus, memangnya kenapa? Senja ada tiap hari. Begitu-begitu aja. Lebih
keren minum bir dingin di cafe.
Aku lupa rupanya
pemandangan di bawah dari atas pohon.
Hihi, memangnya aku monyet, manjat-manjat pohon? Kayak nggak ada
kerjaan aja. Enakan duduk manis di depan TV nonton sinetron.
Aku lupa seperti apa
pemandangan sekelilingku semasa aku kecil, berapa banyak pohon, jalan setapak,
sawah dan sungai yang kami tandangi.
Sekarang, langsung di depan rumah sudah ada jalan raya. Kan lebih
gampang begini, bisa pergi ke mana-mana kalau mau bersenang-senang.
Aku lupa
permainan-permainan yang kumainkan bersama teman-teman sewaktu kecil.
Arrrgh, sudahlah, itu semua sudah ketinggalan jaman. Anak-anakku sudah
pintar dan mahir bermain sendiri dengan komputernya.
Aku lupa meresapi syahdunya
keheningan.
Kok mau sih berdiam-diam nggak ngapa-ngapain? Aku nggak tahan dengan
kesunyian. Rasanya aneh aja. Kosong. Nggak nyaman. Jadi harus selalu diisi
bunyi-bunyian, gitu.
Aku lupa nyerinya
mendambakan makanan seadanya dalam keadaan lapar yang hebat.
Kalau aku bisa membeli dan memilih makanan yang rasanya enak, variatif
dan mahal, kenapa tidak? Jangan kayak orang susah, deh.
Aku lupa rasanya
bersyukur bisa rebah dan jatuh tertidur pulas beralaskan tanah dan beratap
langit berbintang.
Jangankan di lantai, di tempat tidurku yang empuk dan besar itu saja aku
bisa berjam-jam melek. Harus mabuk dulu atau minum obat tidur dulu, barulah tidurku
bisa enak.
Aku lupa debar jantungku
menunggu kiriman surat yang diantar Pak Pos.
Waduh, enggak deh. Sudah tahu teknologi infokom sekarang bisa
kirim-mengirim kabar dalam hitungan waktu kurang dari sedetik. Ngapain juga
kirim surat pakai pos. Kuno.
Aku lupa hidup dengan
barang-barang yang bisa muat di satu lemari mungil saja.
Ah, itu kan dulu, waktu jamannya aku masih kere. Sekarang, boro-boro!
Kalau bepergian, aku seperti harus membawa seisi rumah. Kalau tidak, rasanya
seperti ada yang kurang, begitu.
Aku lupa rasanya bisa
bertahan tanpa obat-obatan sewaktu kurang enak badan.
Ngapain sih mau berlama-lama sakit? Obat ada di mana-mana, kok.
Tinggal ambil dan tenggak! Selesai!
Aku lupa getar dan
panas-dingin tubuhku saat disentuh pertama kali.
Yaaa, lupa aja. Kejadiannya kan sudah lama sekali. Sekarang semua
sentuhan rasanya begitu-begitu saja. Aku bersentuhan dengan orang lain hampir
setiap saat. Rasanya biasa saja.
Aku lupa rasanya
mencintai dan dicintai apa adanya.
Memangnya masih ada cinta seperti begitu? Cih, jangan mimpi.
Aku lupa bagaimana bisa
menolong orang yang sama sekali tak kukenal.
Hati-hati. Jaman sekarang banyak orang yang suka menipu. Jangankan
yang tak dikenal, yang dikenal baik saja juga bisa lebih jahat.
Aku lupa melakukan dan
mengatakan apa saja yang muncul pertama kali dalam pikiranku.
Hush, yang begitu itu tuh tidak sopan, tidak dewasa dan tidak beradab.
Kayak orang tidak berpendidikan saja. Segala sesuatu itu harus dipikirkan
matang-matang dan direncanakan baik-baik dulu.
Aku lupa apa mimpiku
sewaktu masih muda dulu.
Aku akhirnya paham, ideaslisme dan dunia yang utopis itu hanya sejauh
imajinasi. Tidak ada gunanya. Sekarang ini hidup harus realistis, nggak usah
terlalu imajinasi, nanti cuma bikin frustrasi. Bermimpi itu basi!
Aku lupa bagaimana
rasanya hidup dalam kebebasan.
Bebas? Maksudnya seperti orang liar, gitu? Ooh, kalau mau bebas, hidup
di hutan aja sama binatang-binatang liar, sana! Jadi orang utan!
Aku lupa rasanya menerima
dan menikmati kekalahan dan kesalahan tanpa penyesalan.
Pernah dengar istilah survival
of the fittest? Hidup ini adalah kompetisi dan dunia ini pakai hukum rimba,
bung! Untuk selamat, kamu harus jadi pemenang.
Aku lupa bagaimana berdoa
tanpa jadi pengemis dan penjilat.
Huh, untuk apa ada surga dan neraka kalau bukan untuk berdoa supaya
masuk surga dan jangan masuk neraka?
Aku lupa bagaimana membaca
hal-hal yang tak tercetak dan tak tertulis.
Aku membayar mahal biaya sekolah dan pendidikan untuk bisa membaca
buku-buku dan apa pun yang bisa diraba.
Aku lupa memberontak
melawan sesuatu atau seseorang yang tak sesuai kata hatiku.
Pemberontakan itu cari mati. Apalagi kalau melawan mayoritas yang
lebih kuat. Jauh lebih baik nurut saja, cari selamat. Gak usah cari masalah,
deh.
Aku lupa pernah punya
keinginan membakar semua jembatan di belakangku.
Aku butuh status, aku butuh identitas, dan segala sesuatu dan semua
orang yang ada di sekelilingku. Tanpa semua itu, aku bukan apa-apa. Tanpa semua
itu, aku tak tahu apa yang ada di depan sana.
Aku lupa mengapa aku jadi
pelupa.
Sederhana saja. Aku memang memilih untuk lupa. Karena mengingat itu
menyakitkan, tauk!
RTTb, 24 Februari, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar