MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Senin, 06 September 2010

Aceh: Betah & Tidak Betah

Suatu saat, dulu, ada seorang teman yang bilang bahwa seorang temannya sedang bikin penelitian untuk para pekerja kemanusiaan yang sedang bekerja di Aceh (Pasca Tsunami). Pertanyaannya untuk para responden adalah: Apa yang membuat anda betah di Aceh? Atau kalau tidak betah: Apa yang membuat anda tidak betah di Aceh.

Lalu begini saya menulis jawabannya:





Yang bikin gue betah di Aceh:
1. Ada beberapa orang Aceh dan non Aceh di sini yang adalah teman-teman gue, baik yang gue berteman dengan mereka dari sebelum Tsunami maupun yang setelah Tsunami, yang punya hospitality yang baik terhadap gue dan tidak membedakan perlakuan pada gue meski gue beda agama dengan mereka. Dan orang-orang ini pula yang membuat gue merasa welcome dan berguna di Aceh. Bahkan beberapa orang berupaya supaya gue memperpanjang tinggal gue di Aceh.
2. Banyak banget yang sebenarnya bisa dilakukan di Aceh, terlebih lagi bila orang welcome pada kehadiran, pemikiran, dan pekerjaan lu.
3. Ada tantangan-tantangan yang gue suka di Aceh, walaupun berarti ada juga tantangan lain yang gue gak mau pilih untuk gue hadapi.
4. Sebenarnya banyak dari generasi muda di Aceh yang “geram” untuk melakukan perubahan, rebel against the older generations, dan yang ingin membuka diri pada hal-hal lain di luar apa yang sejak lama di-indoktrinasi-kan pada mereka. Namun banyak juga yang tidak berdaya untuk melakukan perlawanan. My heart goes for them…
5. Dulu-dulu gue bekerja di bawah naungan organisasi dan gue telah beberapa kali gabung dan cabut dari beberapa organisasi. Gue tidak bisa terlalu bebas mempraktekkan idealisme dan pemikiran-pemikiran gue di bawah sebuah lembaga. Lalu selama 1 ½ tahun belakangan ini gue tidak berpayung di organisasi manapun. Gue masuk lagi ke Aceh setelah sempat 4 bulan keluar dan bekerja dengan apa yang ada saja di diri gue untuk membantu beberapa teman lama di Aceh yang meminta asistensi teknis gue. Jadinya gue lebih bebas sekarang dan itu membuat gue merasa lebih betah kerja.


Yang bikin gue gak betah di Aceh:
1. Perbedaan agama gue selalu dijadikan faktor diskriminasi. Banyak sekali dari apa yang gue pikirkan, lakukan dan ajukan sebagai wacana, selalu dipermasalahkan karena gue non-muslim. Gue sering dituduh melakukan kristenisasi, penganut sekulerisme, atau melakukan pendangkalan akidah, dll. Oleh orang-orang tertentu yang diskriminatif tersebut, apa pun yang gue lakukan pokoknya gak ada yang bener. Tanpa menyaksikan sendiri apa yang gue lakukan, tanpa kesediaan untuk berdialog, gue sudah di-vonis demikian. Anak-anak yang ikut kegiatan bersama gue dikucilkan, nama gue dijelek-jelekkan di berbagai kesempatan, dll. Gue merasa bahwa gue akan lebih produktif bila di luar Aceh dibanding di Aceh, di mana waktu, tenaga dan pemikiran lebih banyak habis untuk menghadapi diskriminasi SARA ini daripada melakukan yang lain-lainnya yang gue (dan teman-teman gue) maksudkan untuk gue (dan teman-teman gue) lakukan.
2. Banyak banget orang yang gue lihat hipokrit di Aceh ini. Dan gue gak tahan berlama-lama berada di tengah-tengah lingkungan hipokrit. Gue juga gak tahan dengan pemaksaan untuk patuh pada uniformitas, pemaksaan perluasan ranah publik ke ranah-ranah prifat, sanksi-sanksi sosial yang represif dan tidak adil. Ekspresi jujur gue banyak yang harus gue tekan karena gue menghadapi ancaman serangan balik. Gue gak akan terlalu peduli bila serangan balik itu hanya ditujukan ke gue. Masalahnya adalah, serangan balik juga ditujukan ke orang-orang terdekat dengan gue dan ke kelompok yang gue layani. Mereka diragukan ke-Islam-annya.
3. Karena Aceh sudah menjadi daerah industri kemanusiaan, dan banyak sekali tangan yang sudah bekerja (bahkan sampai berebutan dan keroyokan) di sini, nampaknya bagi gue akan lebih sesuai dengan diri gue bila gue memilih tempat-tempat lain yang tidak memiliki perhatian sebanyak di Aceh. So, I might sign out soon.
4. Ada juga faktor murni personal gue yang memang tidak betah berlama-lama di satu tempat. Namun bila gue bandingkan, lapangan gue yang terlama durasinya adalah di Aceh, jadi gue rasa gue sudah mencoba cukup keras untuk bertahan di Aceh.

Untuk sementara, itu dulu ya yang gue bisa refleksikan dari pengalaman gue di Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar