MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Minggu, 05 September 2010

KEPERGOK TIDAK MEMBACA

Kenapa ya? Kenapa ada orang yang suka membaca, ada yang tidak? Kenapa ada bangsa tertentu yang kebanyakan orangnya suka membaca, dan ada yang tidak? Pertanyaan yang sering muncul dan mengganggu dalam diriku dan mengkristal beberapa hari yang lalu untuk sampai pada moment aku menuliskan refleksi ini. Suatu pagi di ruang tunggu bandara Soekarno-Hatta Terminal 3, terminal eksklusif yang luas, bersih dan tenang.



Aku membuka untuk mulai membaca novel “Three Cups of Tea”, lalu satu kali aku menebar pandang ke sekeliling ruang tunggu Terminal 3. Ada tiga orang bule, mereka semua duduk sambil membaca buku tebal di pangkuan mereka masing-masing, dua laki-laki, satu perempuan. Yang dua lelaki itu kuduga adalah teman bagi sesamanya karena kadang-kadang mereka meletakkan bacaan, ngobrol sebentar saja, lalu asyik membaca lagi. Yang perempuan bule sendirian saja tanpa teman seperjalanan. Lainnya nampaknya orang Indonesia. Bangsaku. Dan hanya satu yang membaca buku. Aku. “Orang Indonesia” lainnya sibuk ketak-ketik handphone atau blackberry (alat yang belakangan muncul ini sering kupergoki membuat orang tenggelam dalam ketak-ketik melebihi handphone), ngelamun sendirian sambil merokok, atau ngobrol dengan orang lain di sebelah mereka. Kenapa ya? Kenapa mereka tidak memilih kegiatan membaca untuk setidaknya membunuh waktu?

Jalan terbaik mencari tahu jawaban untuk pertanyaan yang muncul dari dalam diri adalah memulai mencari dari diri sendiri. Demikian aku meyakininya. Sampai aku selesai kuliah pun, aku bisa memastikan bahwa aku belum mulai senang membaca. Kuduga, sekolah adalah salah satu penyebab yang membuat aku malah menumbuhkan rasa sebal dan terpaksa membaca. Tugas sekolah/kuliah, persiapan menghadapi ulangan/ujian, persiapan untuk tidak dipermalukan oleh para pengajar karena kalau tidak menghafal atau tidak paham makna barisan alfabet dan angka – yang wallahuallam, entah apa maknanya bagi hidup kami – maka kami tidak selamat dari julukan siswa bodoh, bermasalah, kalau tidak bandel.

Kalau ada orang yang sedang mengutip peribahasa “tak kenal maka tak sayang”, maka saya sering dengan usil menambah dengan celetukan “makin kenal makin tak sayang, hihihi...” (Hihihi-nya menyertai di dalam celetukan, bukan di luar celetukan). Lalu biasanya orang lain akan ikut hihihi, sebagian orang mengerutkan dahi tanda tanya. Bukankah ada beberapa bagian, hal, peristiwa dalam kehidupan kita yang makin kita (dipaksa, disuruh) kenal maka makin kita tidak sayang? Membaca, adalah salah satu dari perkenalan itu, bukan? Perkenalan yang dipaksakan, perkenalan yang kalau tidak disambut akan membuat penolakan itu berakibat memalukan dan si penolak direndahkan, langsung maupun tak langsung. Langsung yaitu dalam bentuk komentar langsung terhadap penolakan, tak langsung bisa berbentuk nilai buruk di rapor, laporan negatif anak yang disampaikan guru pada orang tua atau IPK di masa kuliah. Jadi, tak ada pilihan toh? Harus membaca hafalan, atau buat saja pilihan sendiri: membaca contekan (mungkin kebiasaan mencontek alfabet yang audzubillah kecilnya itu yang bikin kita jadi piawai ketak-ketik tuts yang sama kecilnya di HP atau blackberry, ya?).

Penyebab lain, yang mengawini penyebab pertama barusan, kucurigai datangnya dari tidak adanya teladan membaca dari orang-orang di sekitarku, baik itu orang tua, guru-guruku dan orang-orang dewasa lainnya. Di masa lalu, aku belum pernah menyaksikan binar-binar dari mata pecinta buku ketika mereka menceritakan buku-buku bacaannya. Yang ada: “Baca bab 4 sampai 6 untuk kuis minggu depan”, atau “Dari mana aja kau? Kenapa gak belajar? Besok ada ulangan, kan? Hayo, baca buku-buku pelajaranmu!”, atau “Kenapa tidak bisa jawab? Belum baca bab yang disuruh baca minggu lalu, ya? Mau saya kasih berapa nilai kamu kalau sudah begini? Duduk sana! Anak malas...” Tidak menyenangkan bukan, kepergok tidak membaca? Aku benci hal-hal tidak menyenangkan yang dipaksakan ke diriku. Aku benci orang-orang yang menyuruh orang lain ini-itu, padahal dia sendiri tidak melakukan ini-itu. Aku benci buku. Aku benci membaca. Aku benci barisan alfabet, angka dan simbol yang tak bermakna itu.

Mungkin itulah sebabnya, banyak orang (Indonesia) boleh merasa lega setelah selesai sekolah, tidak ada lagi orang-orang yang memaksakan mereka membaca. Seperti keluar dari penjara. Namun di sisi lain mereka tetap memaksakan anak-anak mereka yang sedang bersekolah untuk membaca dan membaca sampai anak-anak mereka juga jadi benci membaca. Menjadi sipir bagi penjara berikutnya. Bukannya membuat perpustakaan mini di rumah untuk mengisi dengan buku-buku yang mungkin boleh disenangi mereka dan anak-anak mereka, mereka malahan membelikan handphone dan blackberry untuk anak-anak mereka (bagi yang mampu), menambah jumlah televisi (bagi yang mampu, kalau perlu di setiap kamar ada televisi), menambah atau memperbaharui keramik di rumah, mengganti cat rumah, beli baju dan perhiasan baru, dll. Lalu bertahun-tahun kemudian mereka akan mengeluhkan prestasi belajar anaknya atau betapa anaknya menjadi materialistis, tidak kreatif dan tidak mandiri.

Bagi mereka, membaca berarti sedang belajar karena masih sekolah, ada tugas sekolah. Terutama ketika aku sedang berperjalanan di kota-kota lain selain Jakarta (ini dalam keadaan aku sudah tidak bersekolah lagi), bila aku sedang asyik membaca, maka akan ada orang-orang yang datang dan bertanya,”Masih sekolah ya, dik?” Kadang-kadang aku akan balik bertanya, “Memangnya kalau membaca berarti masih sekolah ya? Iya, saya sekolah di sekolah kehidupan.” Lalu percakapan bisa berhenti sampai di situ saja, atau berlanjut tentang sekolah kehidupan.

Lalu kapan aku mulai senang membaca? Sebenarnya sedari SD aku ingat beberapa kali meminjam buku cerita di perpustakaan sekolah, tapi tidak bisa sering-sering karena sekolahku (sekolah swasta Katholik yang bergengsi di pusat Nusa) menyibukkanku dengan banyak PR dan tugas. Di SMP dan SMA minat membaca sukarelaku malah menurun lagi karena teman-teman sepermainanku yang gaul-gaul itu tidak suka membaca. Aku juga harus gaul, dong. Jadi kutu buku kan gak gaul, gitu loh. Sama saja, di masa kuliahku yang lumayan panjang itu, teman-teman nongkrongku, para senior yang gaul dan ngetop di kampus, lebih memilih nongkrong di kantin sambil ngobrol, main kartu atau menyanyi dengan iringan gitar. Menurutku, itu masa-masa yang asyik, distraksi yang menyenangkan untuk aku boleh tidak ingat melanjutkan minat membaca sukarela. Selain itu memang perpustakaan di kampusku saat itu isinya buku-buku yang membosankan, yang hanya akan ditengok dan ditelusuri kalau ada tugas mata kuliah dan skripsi.

Usai sudah pendidikan formalku, senangnya bukan main. Orang tuaku juga bangga. Lepas sudah satu lagi beban dari pundak mereka untuk dijadikan satu lagi atribut kebanggaan keluarga. Anakku lulusan UI, sekarang jadi Psikolog. “Iya, Psikolog yang tolol”, rutukku saat aku merasa buntu bekerja di Sampang untuk pengungsi kerusuhan Sampit. Bagaimana aku tidak keki? Buat apa aku susah-susah dicekoki pil pahit berpanjang-panjang sekolah kalau sekarang ini aku gak tau mau ngapain dengan para pengungsi yang stress dan miskin itu? Aih, aku jadi merasa kecil dan tak berguna. Gelarku hanya malu-maluin, tidak pantas disebut-sebut karena tidak bermanfaat saat ini. Jadi aku terpaksa mencari-cari bahan bacaan lagi, dengan harapan aku menemukan jawaban dari banyak pertanyaan yang tak terjawab oleh pendidikan sekolah. Iya, masih dipaksa membaca. Jadi, belum hobi juga, sih.

Kemudian, aku bekerja di Pulau Buton, pulau lain yang terlupakan, di mana mengalir masuk para eksodus hasil konflik Ambon. Tambah keki aku karena belum tambah pintar juga, apalagi ditambah beban psikologis kerja di bawah pengawasan bule dengan tugas melaksanakan ide-ide mereka, seakan memvalidasi perasaan bahwa aku cuma psikolog tolol yang bertugas jadi boneka mereka. Menutup masa tugasku di pulau itu adalah bersamaan dengan periode menutup proyek LSM asing tempatku bekerja itu. Dari sekian banyak barang hibah personal peninggalan para expatriat itu, aku memilih mengambil buku-buku novel berbahasa Inggris. Ternyata, novel-novel menjadi penanda dimulainya lagi masa aku mencintai membaca.

Mulailah dari yang kau sukai dulu, kurasa itu ajaran para tokoh pendidikan alternatif untuk menumbuhkan kecintaan belajar yang hilang direnggut oleh sekolah-sekolah formal. Aku punya novel, ya jadinya aku mulai mencintai belajar dan membaca dari novel. Kemudian ternyata kecintaan itu menular ke hal-hal lain. Aku mulai belajar mencintai. Aku mencari hal-hal baru, mencari pembelajaran baru, mencari buku-buku baru, mencari bahan-bahan bacaan baru di media maya internet, mencari topik-topik yang kusukai. Aku bisa mengurung diri berhari-hari di kamar teman-temanku yang punya buku-buku novel bermutu. Mandi hanya sekali sehari atau dua hari (bukan dua kali sehari), makan kalau benar-benar lapar saja. Aku punya kecenderungan autis untuk hal yang satu ini. Tidak peduli pada dunia luar kalau sudah ada dunia yang menakjubkan termaktub di lembar-lembar di rengkuh kedua telapak tanganku. Aku bisa membaca sampai migrain-ku kambuh. Tinggal tidur sebentar, nanti bangun lanjut baca lagi. Tidak, aku tetap jarang sekali nonton TV. Itu distraksi yang menyihir dan luar biasa kekuatannya. Ups, yang ini kubahas lain kali saja, soal TV.

Kalau ada teman-temanku yang dengan mata berbinar-binar dan mulut monyong bercerita tentang buku yang membuat mereka cinta, aku menuntut mereka bertanggung jawab atas semangat yang menular itu untuk meminjamkan bukunya padaku. Kalau mereka punya dan sedang ada di mereka, biasanya mereka tidak keberatan meminjamkan karena aku cukup disiplin menghargai keawetan buku. Aku sedih aja kalau melihat ada orang membaca buku ditekuk-tekuk, jadi robek atau kotor di tangannya. Tapi kalau resiko itu sepadan dengan tumbuhnya kecintaan dia terhadap buku, aku rasa boleh lah. Masih bisa aku tolerir. Bukan berarti aku tidak berpesan pada mereka untuk menjaga dan memelihara buku-buku pinjaman itu. Sebagian buku malah tidak pernah dikembalikan. Kalau pun rusak, setidaknya mereka sudah membacanya. Kalau pun tidak dikembalikan, kuharap mereka sudah membacanya dan menularkan semangat membaca ke orang-orang lain, tidak hanya disimpan sampai rusak karena cuaca dan dimakan rayap.

Buku-bukuku sekarang aku titipkan di rumah keluarga angkatku yang tadinya diniati jadi perpustakaan komunitas. Soalnya, ngapain aku simpan saja buku-bukuku di rumah orang tuaku (aku belum punya rumah sendiri) kalau tidak ada orang yang mau baca buku di situ? Lalu aku melanjutkan menggeluti pekerjaan yang membuatku banyak jalan. Karena pekerjaanku itu juga-lah aku tidak sempat membereskan dan mengelola perpustakaan tersebut. Sekarang aku kebanyakan meminjam buku saja, dari teman-teman atau dari tempat sewa buku. Laptopku pun adalah sebuah perpustakaan, banyak sekali buku dan bahan bacaan lain yang terus-menerus kukumpul di situ, malahan sebagian besarnya belum sempat aku baca.

Sampai sekarang aku masih berusaha menularkan semangat membaca ke orang-orang lain yang tidak/belum hobi membaca. Tentu saja tidak mudah, apalagi ke orang-orang dewasa yang merasa sudah cukup belajar, yang masih belum mendapat anugerah dari langit untuk bisa mencecap satu pengalaman saja yang bisa membuat mereka mulai mencintai membaca. Aku angkat jempol untuk orang-orang lain yang punya semangat yang sama, semangat untuk menularkan penyakit kutu buku.

Hmmm, ya, itu kisah pribadiku, kutelusuri untuk menjawab pertanyaanku mengapa aku bisa mencintai membaca. Yang belum aku temukan jawabnya: mengapa ada bangsa yang banyak sekali orang di dalamnya mencintai membaca, dan ada bangsa yang tidak? Apakah pendidikan mereka begitu berhasilnya membuat anak-anaknya mencintai belajar dan membaca sehingga mereka tumbuh jadi orang dewasa yang mencintai membaca? Apakah orang tua mereka di rumah dan orang-orang dewasa di sekitar mereka memperlihatkan teladan mencintai membaca sehingga anak-anak pun tertular? Begitu salah-kah pendidikan dan teladan bangsa kita? Mengapa ada teman-temanku, sesama orang Indonesia, yang juga mengalami pendidikan yang mirip denganku, dan orang-orang di sekitarnya juga tidak menularkan kecintaan membaca, tapi tetap teman-temanku itu jadi pecinta buku? Apa yang membuat kami ini jadi berbeda, yang di tempat umum terlihat sedang asyik membaca buku, di tengah-tengah banyak orang lain yang kepergok tidak membaca, alih-alih asyik mengobrol, nonton TV, melamun dan ketak-ketik handphone atau blackberry? Di mana titik pertemuan kami, titik asal muasal kami (orang Indonesia) mulai mencintai membaca? Atau memang pengalaman kami berbeda belaka? Kenapa, teman?



-- Dari yang mencintai membaca, lalu mencintai belajar, lalu mulai mencintai menulis –



Maguwoharjo, 27 Juli 2010
Sondang Sidabutar (pekerja kemanusiaan, psikolog yang masih saja tolol, sebenarnya )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar