MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Minggu, 05 September 2010

TUTUR RUANG PRIBADI

“Untuk kalian yang telah dirampas ruang-ruang pribadinya dan yang masih terus berjuang mempertahankan ruang-ruang pribadinya. Bersediakah kalian menilik tuturku dari ruang-ruang pribadi yang masih kumiliki? Biar dibangunkan ruang-ruang pribadi yang masih tertidur dan belum dikenali rupanya...”




Aku tidak rela. Dadaku terasa disesaki perasaan dikhianati oleh harapan dan dorongan untuk memaki dan merutuk. Seharusnya malam ini aku berada dengan diriku sendiri saja, melucuti satu-persatu beban peran sosial yang sudah saatnya diistirahatkan sejenak. Setelah satu setengah hari sarat beban melayani orang-orang pemberi layanan untuk perempuan korban kekerasan, a care for caregivers, seharusnya ini giliran untuk time-out ku, saat-saat untuk autis, untuk tidak peduli pada dunia di luar sana.

Sekarang sudah malam. Aku belum tahu ingin ke mana. Di pinggir jalan raya malam itu aku berdiri terpaku. Kemarin, sejak sore sampai malam adalah sesi kelompok bersama 15 perempuan, lalu sampai jam satu malam aku melayani konseling pribadi untuk dua orang perempuan dari 15 orang tersebut. Sebuah kebutuhan lanjutan di luar pertemuan kelompok. Hari ini, sesi kelompok penuh dari pagi sampai sore. Setelahnya, tiga orang sudah menggunakan hak antrinya untuk layanan konseling individual. Sekali lagi, aku menjadi fasilitator sekaligus konselor tunggal.

Kami semua sudah diminta menyerahkan kunci kamar hotel sejak siang tadi, sementara acara masih berlangsung sampai sore. Menginap tidak boleh diperpanjang. Setelah melayani konseling untuk tiga orang barusan, aku berkemas dan menghubungi penunggu tempat yang ingin sekali kudatangi malam ini. Ternyata dia tidak ada di situ malam ini. Rumah itu terkunci, aku tidak punya kuncinya. Di Jakarta ini, aku belum punya tempat lain di mana aku boleh mengunci diri dari orang-orang lain dan basa-basi sosial. Di sinilah aku, berdiri di pinggir jalan raya, dengan dua tas berat berisi perlengkapan menginap beberapa hari, buku-buku dan laptop. Bahuku sudah terasa kaku dan lelah, mataku sudah perih minta ditutup, kakiku pegal minta giliran istirahat.

Tapi otak dan perasaanku perintahkan aku untuk tidak beranjak pergi ke mana-mana dulu, mereka suruh aku untuk mengingat. ‘Ingat baik-baik saat ini. Ingat baik-baik. Hayati bagaimana perasaanmu kecewa dan otakmu macet. Ketika kau pikir kau punya ruang pribadi, ternyata hilang darimu. Ingatlah, karena mungkin ini yang dirasakan dan melintas di pikiran orang-orang yang telah dirampas ruang-ruang pribadinya.’ Iya, aku patuh. Aku tercenung untuk memahami dan mematri rasa kehilangan ini. Pengalaman ini tidak boleh menjadi sia-sia, karena baru saja aku bersinggungan dengan para perempuan yang terampas ruang-ruang pribadinya. Biar aku tetap mampu merasakan apa yang mereka rasakan, maka kuhayati ketiadaan satu ruang pribadiku untuk malam ini, ruang untuk berada dengan diriku sendiri saja.


****************

“Saya sudah buntu, gak tau mau ngapain lagi. Sekian lama kami pacaran lalu menikah. Saya sekarang sudah tidak jadi diri saya seperti dulu sebelum menikah. Saya seperti sudah kehilangan diri saya sendiri. Seperti sudah kehilangan hidup saya sendiri. Sekarang yang saya jalani adalah hidup dengan cara-cara suami saya, kemauan-kemauan dia. Saya bingung. Kayaknya semua jalan sudah tertutup untuk saya,” tutur seorang perempuan padaku, satu dari sekian banyak yang datang untuk konseling.

“Orang-orang kalau melihat suami saya, mereka pikir dia orang yang lemah, orang yang baik. Tapi mereka tidak tahu, suami saya sama sekali tidak lemah, dan dia mau saya hidup dalam dunia yang dibangunnya. Saya tidak butuh barang-barang dan ‘kebaikan-kebaikan’ yang dia berikan ke saya. Semuanya dia berikan tanpa menanyakan ke saya dulu apakah saya suka atau tidak. Tapi dia bilang saya tidak tahu berterima kasih. Sedangkan barang-barang, pakaian yang saya pilih sendiri, dia sering tidak menyetujuinya”.

Ruang-ruang pribadinya mulai dilucuti darinya satu persatu, beberapa kali percobaan di masa pacaran, lalu mulai secara sistematis setelah mereka menikah. Dari cara berpakaian, pilihan berteman, pilihan karir, pilihan penggunaan uang, pilihan penggunaan waktu luang, dan lain-lain, dibentuk sesuai yang ditentukan dan diijinkan oleh si suami. Memang si suami tidak memukul secara fisik, tapi ya secara psikologis, pukulan dingin, diam yang mengadili, diam yang kejam dan menyiksa si istri.

Ini taktik perang dingin, yang dipakai tiap kali si istri memperlihatkan perlawanan. Sebuah negara adikuasa mendiamkan sebuah negara lainnya, memutus hubungan diplomasi, dan si adikuasa menutup segala akses si negara kecil ke dunia luar sehingga tidak dapat menggalang kekuatannya. Negara adikuasa juga menebar pesonanya dan memamerkan kuasanya agar negara-negara lain menjadi aliansinya. Blokir semua akses, curi apa yang bisa dicuri, sampai negara yang lebih kecil itu melemah dan kalau bisa rakyatnya mulai berontak melawan pemerintahnya sendiri. Nanti juga negara kecil itu akan takluk tanpa syarat, kehilangan kemerdekannya, bahkan rakyatnya.

Tidak dibiarkannya istrinya memegang kendali atas uang. Sebagai alat tukar dagang di ruang publik, uang pun jadi alat untuk melumpuhkan kendali di ruang pribadi. Nampaknya si suami paham sekali bahwa kepemilikan uang bisa membuat istrinya “membeli” akses, sehingga tidak hanya si suami tidak pernah berniat memberikan uangnya langsung pada istri, bahkan tabungan dan simpanan lain milik istrinya berusaha dikuras dengan tipu daya pemancing belas kasihan istri. Tak diijinkannya pula istri bekerja. Diintainya apa yang menjadi milik istrinya yang bisa direbutnya satu persatu, sampai istrinya merasa hilang daya. Si suami adalah dalang, istrinya boneka wayangnya. Satu-persatu “alat gerak” si perempuan ditangkap, diikat dan dipasang tongkat kecil untuk kapanpun digerakkan semau hati si dalang laki-laki itu.

Aku minta perempuan itu untuk mengingat-ingat mana saja ruang pribadinya yang sudah diberangus dan dirampas suaminya. Merebut kembali apa yang dulu pernah menjadi miliknya yang masih bisa direbutnya, mengingat kekuatan-kekuatan yang masih disimpannya untuk dipakai merebut. Mewaspadai kekuatan yang masih dimilikinya yang masih bisa diintai dan akan bisa dirampas suami. Aku mengingatkan beberapa ruang pribadi yang masih dia miliki tapi dia belum menyadarinya. Beberapa jalan untuk “membangun hubungan diplomasi dengan negara-negara lain” juga kami diskusikan bersama untuk dia membangun kekuatan dirinya sendiri dan kembali menjadi dirinya sendiri lagi, identitas yang diinginkannya, yang dia pilih sendiri, bukan lakon dan identitas yang diinginkan si dalang.

********************

Seorang perempuan lain bercerita kisahnya padaku. Matanya berkaca-kaca ketika dia bercerita bagaimana perasaannya terluka karena perlakuan orang tuanya yang semena-mena, memperlakukannya seperti anak kecil padahal dirinya adalah perempuan dewasa. Seperti banyak orang tua serupa mereka, orang tuanya pun gemar memaksakan kehendak mereka pada anak mereka, pada diri perempuan ini. Ah, tidak itu saja, lelaki yang dicintainya sebagai pacar sekaligus tunangannya pun berlaku kasar padanya. Dia memperlihatkan padaku beberapa memar di tubuhnya. Orang tuanya tidak tahu ulah kasar si pacar ini. Lalu dia bercerita beberapa beban lainnya yang dia sedang tanggung saat ini.

Ketika dia berusaha menyampaikan pendapatnya pada orang tuanya, mereka hanya bilang bahwa dia adalah seorang anak, dan seorang anak sampai dia menikah, harus patuh pada orang tua. Lalu dia berusaha untuk mempertahankan pendapatnya, dan orang tuanya mengatakan dia anak pembangkang. Ketika dia memilih untuk bekerja, pilihannya tidak disetujui orang tuanya sehingga dia memilih untuk berbohong bahwa dia sudah tidak bekerja lagi di situ.

Dia telah kehabisan energi untuk berkonflik dengan orang tuanya. Energi yang masih sedikit tertinggal masih harus diatur untuk beberapa beban tugas lain. Selain itu, secara finansial dia masih sebagian tergantung pada orang tuanya, relasi kuasa mereka masih timpang. Dia masih punya pilihan bermain dengan aturan permainan yang ditentukan orang tuanya di arena permainan milik orang tuanya. Mungkin dengan berpura-pura tidak menjadi dirinya, berpenampakan sebagaimana yang ingin dilihat kedua orang tuanya, yaitu sebagai anak baik yang patuh, dia bisa menghemat energinya, mengumpulkan dayanya. Walau dengan demikian berarti dia harus menciutkan ruang-ruang pribadinya, ruang-ruang di mana dia bisa menjadi dirinya sendiri.

“Peran” itu harus dia akhiri segera setelah dia keluar dari arena permainan milik orang tuanya, keluar dari rumahnya, memiliki penghasilan sendiri untuk hidup lebih mandiri dan menguatkan relasi kuasa antara dia dan orang tuanya sampai seimbang. Suatu hari nanti dia bisa datang ke hadapan orang tuanya, sebagai manusia yang setara, menyatakan dengan jelas batas antara ruang pribadinya dan ruang sosial yang dipaksakan orang tuanya kepadanya.

Aku mengingatkannya agar berhati-hati bahwa ada area permainan lain yang sedang menunggu dia jatuh ke dalamnya, yaitu area permainan tunangannya, pelaku kekerasan lainnya. Nampak dari ketertegunan dia, dia baru menyadari hal tersebut. Ya, jangan kamu jatuh dari lubang satu, bangkit keluar hanya untuk jatuh ke lubang lainnya. Aku minta dia memikirkan baik-baik apakah laki-laki yang kerap melukainya itu yang ingin dia jadikan pasangan hidupnya. Sebab dari pengalamanku, jarang perilaku seseorang terhadap pasangannya menjadi lebih baik ketika mereka sudah menikah dibanding ketika mereka masih berpacaran, apalagi dalam hubungan yang diwarnai dengan kekerasan. Yang ada adalah sebaliknya: bulan promosi atau bulan madunya ada di masa pacaran, dan di masa pernikahan bulan promosi habis, demikian pula bulan madu. Pasangan yang sudah mulai mengekang dan melakukan kekerasan fisik sebelum pernikahan biasanya perilaku kekerasannya hanya akan menjadi bertambah buruk setelah pernikahan.


********************

Begini yang dilakukan banyak janda di Aceh Tengah, para janda yang selamat dari kekejaman kekerasan dalam rumah tangga, para perempuan pekerja perkebunan kopi: begitu mereka mengetahui bahwa mereka menikahi pria yang bermasalah, diam-diam mereka mulai menabung sedikit demi sedikit, tetap bekerja untuk mencari penghasilan, tetap dekat dengan anak-anaknya. Bila suami mereka begitu parah perilaku kekerasannya, maka demi keselamatan hidupnya dan anaknya, para perempuan itu harus berperilaku “jinak” di muka suami. Sebab untuk berkonflik langsung, mereka tahu mereka hanya akan buang energi, energi yang berharga untuk mereka pakai bekerja di rumah maupun di luar rumah. Berkonflik langsung juga hanya membuat mereka beresiko kehilangan anak mereka karena suami seperti itu seringkali memakai anak-anak sebagai tameng atau alat penakluk agar si istri berhenti membangkang.

Perempuan-perempuan ini sedang menghemat pemakaian ruang pribadi mereka, menciutkannya, menyembunyikannya dari hadapan pelaku kekerasan agar tidak dirampas. Ruang-ruang pribadi ini akan mereka pakai di masa depan, di masa di mana mereka bisa mandiri dan merdeka dari ancaman suami pelaku kekerasan. Dengan uang yang dikumpulkan dan dengan etos kerja sebagai pekerja keras yang sudah mereka pelajari, mereka berani ambil keputusan mengakhiri aturan main suami mereka, keluar dari arena permainan yang dibangun oleh para suami mereka. Para perempuan yang masih terus terperangkap dalam arena permainan pelaku kekerasan dan harus ikut aturan main si empunya arena tanpa boleh ikut bersama-sama menyepakati aturan main bersama, biasanya adalah para perempuan yang sudah hilang aksesnya ke banyak sumber-sumber daya, termasuk kemandirian finansial. Mudah sekali melihat bagaimana uang dipakai sebagai salah satu alat untuk menaklukkan korban, menghilangkan daya tawarnya, bargaining position-nya.

Namun sayangnya, ketika para janda mengira mereka bisa merayakan kemenangan atas perebutan kembali ruang pribadi mereka, ternyata masyarakat sekitar menggempur mereka dengan mengintai ruang-ruang pribadi para janda ini, karena masyarakat percaya bahwa para janda adalah perempuan liar yang akan menggunakan daya pikatnya untuk menggoda suami-suami orang lain, karena sebagai janda, mereka tidak “dijaga” oleh suami mereka lagi. Satu tuduhan di antara tuduhan-tuduhan lainnya. Sehingga sekali lagi, para perempuan janda harus menciutkan ruang pribadi mereka karena ternyata mereka jatuh ke arena permainan lain milik sosial, milik komunal. Kita hidup dalam masyarakat yang menganut ikatan komunal yang telah jatuh ke dalam makna-makna yang superficial, hipokrit dan terdistorsi dalam campur tangannya ke dalam ruang-ruang pribadi anggota masyarakatnya.

Beberapa janda itu kini berpikiran untuk mencoba menikah kembali sebab intervensi sosial atas ruang pribadi mereka sudah tak tertanggungkan lagi. Anak-anak mereka dipaksa ikut menanggung sanksi sosial karena mereka adalah anak-anak para janda, anak-anak tak ber-ayah, anak-anak yang dipandang tidak lengkap dan cacat secara sosial. Aku tidak ingin membayangkan, karena rasanya menyakitkan bagiku, bila para janda itu jatuh kembali ke dalam lubang permainan yang arena permainannya dikuasai oleh pelaku kekerasan lainnya. Aku tidak tahu mana yang lebih tak tertanggungkan oleh para janda itu, arena permainan suami atau arena permainan komunal-sosial.

Mungkin seperti ibaratnya kalau kita mandi atau buang hajat di WC milik umum, maka kita tidak boleh berlama-lama menggunakannya karena orang-orang lain akan mulai menggedor-gedor pintu, dan mungkin sekali-dua kali akan ada orang-orang yang usil mengintip ke dalam. Jangan harap boleh menyanyi bebas-lantang di kamar mandi (milik sendiri ataupun kamar mandi umum), bisa-bisa nanti dituduh bersalah karena memprovokasi nafsu para “pendengarnya”. Mungkin kamar mandi di rumah begitu tak nyamannya maka kita memilih kamar mandi umum. Ternyata kamar mandi umum pun lebih tidak nyaman sehingga kita balik menggunakan kamar mandi di rumah yang sebenarnya juga tidak nyaman dan tidak menjamin ruang pribadi kita. Sebuah contoh yang kasar tapi sangat dekat dengan keseharian kita.


********************

Selain dua kasus personal di atas tadi, sebenarnya aku ingin mencuplik sebuah kasus seseorang lainnya tentang invansi semena-mena ruang pribadinya. Namun, setelah aku meminta ijinnya, temanku tersebut terlihat masih ragu. Aku sangat tidak ingin menjadi perampas ruang pribadinya sehingga akhirnya untuk saat ini aku memutuskan untuk tidak “mengganggunya”. Padahal aku bisa melihat bahwa pengalamannya sangat kaya dan banyak yang aku bisa pelajari di dalamnya. Tapi aku menyadari, seringkali semangat berbagi sesuatu untuk diketahui khalayak luas potensial merusak ruang-ruang pribadi orang-orang yang kisahnya dijadikan konsumsi publik. Sudah cukup sering kita melihat di media-media publik bahwa kisah-kisah orang yang disorot pada akhirnya mengeliminasi ruang-ruang pribadi yang tadinya tidak diduga akan demikian jadinya. Kita lupa meminta ijin mereka untuk memilah mana ruang pribadi yang boleh diekspos dan mana ruang pribadi lainnya yang tidak ingin tercederai.



-- Cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri. Seperti engkau mencintai ruang pribadimu sendiri, biarkanlah orang lain mencintai ruang-ruang pribadi mereka sendiri juga... –


Menteng, 4 Agustus 2010
Sondang Sidabutar (Pekerja kemanusiaan, dari tutur kecintaanku pada ruang pribadiku)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar