Penemuan sisa-sisa Australopithecus
di Afrika Selatan mengungkapkan bahwa kita adalah manusia gua setidaknya satu
juta tahun yang lalu.
Konon, suku Maasai di Afrika terkenal sebagai kaum nomaden. Semenjak gurun Sahara mengering, hewan ternak masuk dari Afrika Utara. Orang Maasai pun menjadi penggembala dan membangun rumah temporer bornas mereka yang terbuat dari lumpur dan kotoran ternak yang setelah berpindah ke lahan penggembalaan lain rumah-rumah tersebut kembali menyatu dengan bumi. Ketika orang Maasai pergi meninggalkan suatu lahan, gajah masuk. Rumput sabana yang telah habis dimamah oleh ternak memungkinkan hutan semak tumbuh dan menjadi makanan untuk gajah. Seusai gajah menyantap semak-pepohonan tersebut, gajah berpindah tempat dan rumput dimungkinkan untuk tumbuh lagi, kelak menjadi makanan untuk ternak suku Maasai yang datang ke situ. Sederhananya: ternak menumbuhkan pohon, gajah menumbuhkan rumput.
Konon, suku Maasai di Afrika terkenal sebagai kaum nomaden. Semenjak gurun Sahara mengering, hewan ternak masuk dari Afrika Utara. Orang Maasai pun menjadi penggembala dan membangun rumah temporer bornas mereka yang terbuat dari lumpur dan kotoran ternak yang setelah berpindah ke lahan penggembalaan lain rumah-rumah tersebut kembali menyatu dengan bumi. Ketika orang Maasai pergi meninggalkan suatu lahan, gajah masuk. Rumput sabana yang telah habis dimamah oleh ternak memungkinkan hutan semak tumbuh dan menjadi makanan untuk gajah. Seusai gajah menyantap semak-pepohonan tersebut, gajah berpindah tempat dan rumput dimungkinkan untuk tumbuh lagi, kelak menjadi makanan untuk ternak suku Maasai yang datang ke situ. Sederhananya: ternak menumbuhkan pohon, gajah menumbuhkan rumput.
Bagaikan sebuah
koreografi tarian antara gajah dan peternakan. Para peternak berpindah tersebut
berfungsi menjadi semacam spesies pengganti binatang liar pemamah rumput bagi
gajah. Dalam setahun, orang Maasai rata-rata berpindah sampai delapan kali.
Perpindahan inilah yang selama beberapa generasi menguntungkan keberlangsungan keberagaman
kehidupan rimba seperti di Kenya dan Tanzania. Ada rumput, ada semak belukar
dan ada hutan. Hewannya pun jadi beragam.
Ketika peternak dari Amerika
terus berdatangan untuk menetap dan mematok tanah di antara mereka, suku Maasai
terpaksa berbuat hal yang sama. Lokasi-lokasi di mana biasanya jadi tujuan mereka
berpindah ternyata sudah dicaplok, dipagar, diakui kepemilikannya oleh para
peternak dari bangsa lain tersebut. Apa boleh buat, orang suku Maasai pun mulai
mencari pengesahan untuk tanah mereka sendiri dan mulai menetap. Kemudian
mereka pun mulai bercocok tanam. Afrika pun berubah.
“Adalah situasi yang
bipolar ketika kita memaksa gajah tinggal dalam sebuah taman suaka, dan di luar
batas taman tersebut ternak memakan rumput, sehingga kita mendapatkan dua
habitat yang sangat berbeda. Di dalam, kita kehilangan semua pohon sehingga
yang tinggal sekedar rumput. Di luar, yang tinggal semak belukar yang lebat,” ujar
seorang berdarah Maasai. Dia berpendapat bahwa pematokan tanah selalu menjadi
musuh bagi kelangsungan hidup alam dan kaum nomaden.
Ketika sudah berlangsung
kehidupan manusia yang terus bermigrasi seperti suku Maasai selama ribuan tahun,
di mana mereka hanya mengambil apa yang mereka butuhkan lalu berpindah,
hasilnya adalah alam yang kaya dan keberlangsungannya. Dulu, manusia di Afrika
tidak pernah menetap sehingga Afrika tidak mengalami kemusnahan margasatwa
dalam skala besar seperti benua-benua lainnya, kecuali Antartika. Namun
sekarang, ketika manusia berhenti bermigrasi untuk terus menetap, bukan hanya
makanan yang harus bermigrasi, namun juga benda-benda mewah dan konsumsi lain
yang sebelumnya tidak pernah ada dalam sejarah hidup manusia, demi memuaskan
rasa penasaran yang narsis.
Keseimbangan yang telah
terjaga selama ribuan tahun rusak sudah. Semua lepas kendali. Ada terlalu
banyak manusia, terlalu banyak sapi, dan ada terlalu banyak gajah yang dipaksa
hidup dalam lahan terbatas-terpusat membuat mereka jadi target empuk pemburu
gading. Gajah-gajah yang dulunya hidup berpindah pun mulai ditemukan tidak lagi
berpindah. Mereka memilih bertahan tinggal dekat sumber-sumber air yang
terbatas jumlahnya selain juga lokasi-lokasi lain sudah sudah minim persediaan
makanan untuk mereka. Batas-batas teritorial itu suatu ketika dilanggar oleh
kedua kelompok penghuni berbeda yang hanya menciptakan lebih banyak konflik dan
kehancuran. Pemburu memburu margasatwa liar, hewan liar masuk ke pemukiman
manusia menghancurkan dan ‘mencuri’ ternak dan hasil pertanian.
******************
Bangsa atau kaum Gipsy merupakan
bangsa yang nomaden. Kaum ini memiliki pandangan hidup yang unik dan tersebar
luas di benua benua Amerika dan Timur Tengah. Dewasa ini jumlah mereka
diperkirakan mencapai lebih dari 5 juta orang yang tinggal tersebar di setiap
penjuru dunia. Gipsi memiliki banyak nama lain, antara lain Gipsy, Gitanos, Tsigani, Cigany, Zigeuner, Sinti, dan Rom.
Menurut
catatan sejarah orang-orang yang lantas dikenal dengan orang Rom ini memasuki
Eropa sebelum tahun 1300 M melalui Persia dan Turki. Pada awal-awal kedatangan
di Eropa hingga jangka waktu yang lama orang Rom cenderung tidak mau
berbaur. Hal ini bisa dimengerti mengingat latar belakang orang Rom yang
dulunya hidup dalam masyarakat India yang terbagi dalam kasta. Cara hidup orang
Rom yang mengisolasi diri dan tidak mau bergaul menimbulkan kecurigaan bagi
warga asli. Tidak hanya sebatas curiga, warga asli cenderung bersikap
antipati. Kecurigaan dan tuduhan-tuduhan negatif terhadap kaum Gipsi terus saja
mengalir. Mereka juga dituduh sebagai kaum pencuri dan kaum penculik anak-anak.
Pada masa tertentu di masa lalu etnis ini juga sering dihadapkan pada hukum
yang mewajibkan mereka memasak di tempat terbuka dengan tujuan agar siapapun
yang ingin tahu bisa mengecek langsung isi belanganya. Mereka dikucilkan dengan
cara dipaksa mendirikan kemah di luar perkampungan warga asli, dilarang menimba
air di perkampungan dan dilarang masuk kampung untuk berbelanja kebutuhan hidup
sehari-hari. Karena jarang diterima, orang Rom tidak pernah menetap.
Prasangka menimbulkan penganiayaan.
Orang Rom diusir dari beberapa bagian di Eropa. Di daerah-daerah lain, orang
Rom diperbudak selama berabad-abad. Setelah perbudakan tersebut berakhir pada
tahun 1860-an, orang Rom semakin tersebar, sebagian besar ke Eropa Barat dan
Benua Amerika. Kaum gipsy pernah memiliki masa kelam penganiayaan sewaktu
kepemimpinan Hitler di eropa dengan dimasukkannya kaum gipsi kedalam salah satu
suku yang dianggap "berbahaya",
selain orang Yahudi, orang Slavia dan kaum homo seksual.
Ke mana pun mereka pergi, mereka
membawa serta bahasa, kebiasaan, dan bakat mereka. Gaya hidup nomaden ini
menghasilkan berbagai keterampilan, seperti kerajinan logam, jual beli dan
hiburan. Perempuan gipsy dengan bola kacanya terkenal sebagai ikon peramal
nasib dan masa depan. Dengan menawarkan jasa-jasa yang dibutuhkan ini, paling
tidak mereka dapat memenuhi kebutuhan keluarga.
*****************
Sebelum didatangi bangsa-bangsa pengembara dari luar, tanah di Nusantara
belum menjadi kepemilikan siapapun. Hal ini berbeda dengan Manusia Indonesia
Purba yang tidak memerlukan tanah sebagai modal untuk hidup karena mereka
berpindah-pindah. Ketika sampai di satu tempat, yang mereka lakukan adalah
mengumpulkan makanan (food gathering). Biasanya tempat yang dituju
adalah lembah-lembah atau wilayah yang terdapat aliran sungai untuk mendapatkan
ikan atau kerang walaupun tidak tertutup kemungkinan ada pula yang memilih
mencari di pedalaman.
Ketika bangsa Melanesoide datang, mereka mulai menetap walaupun semi nomaden.
Mereka akan pindah jika sudah tidak mendapatkan lagi makanan. Maka pilihan atas
tempat-tempat yang akan ditempatinya adalah tanah yang banyak menghasilkan.
Wilayah aliran sungai menjadi salah satu target, padahal wilayah ini adalah
juga wilayah di mana para penduduk asli mengumpulkan makanannya. Benturan tidak
terelakan antara kebudayaan palaeolithikum dengan kebudayaan yang mesolithikum.
Alat-alat sederhana seperti kapak genggam (choppers), alat-alat tulang dan tanduk rusa
berhadapan dengan kapak genggam yang lebih halus (febble), kapak pendek dan sebagainya. Benturan
ini mengakibatkan penduduk asli ditumpas, atau mereka diharuskan masuk dan
bersembunyi di pedalaman untuk menyelamatkan diri, atau mereka yang ditaklukkan
dijadikan hamba, dan kaum perempuannya dijadikan harem-harem untuk melayani kelompok
pemenang.
Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang ke
Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat peradabannya lebih tinggi
dari bangsa yang datang sebelumnya. Dari semua gelombang pendatang dapat
dilihat bahwa mereka adalah bangsa-bangsa yang mulai bahkan telah menetap.
Ketika kehidupan mulai menetap maka yang pertama dan yang paling dibutuhkan
adalah tanah sebagai media untuk tetap hidup.
Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang akhirnya menetap di
Nusantara kedatangan pula bangsa yang kebudayaannya lebih tinggi yang berasal
dari rumpun Melayu Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu
ras mongoloid yang berasal dari daerah
Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina Selatan. Mereka meninggalkan wilayah asalnya
karena desakan suku-suku liar yang datang dari Asia Tengah, peperangan antar
suku dan bencana alam berupa banjir akibat sering meluapnya sungai She Kiang
dan sungai-sungai lainnya di daerah tersebut. Suku-suku dari Asia tengah yakni
Bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu Tua sudah pasti memiliki tingkat
kebudayaan yang lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu Tua yang terdesak meninggalkan
Yunan dan yang tetap tinggal bercampur dengan Bangsa Aria dan Mongol.
Wilayah yang sudah mulai ditempati oleh bangsa melanesoide harus
diperjuangkan untuk dipertahankan dari bangsa Melayu Tua. Dengan modal
kebudayaan yang lebih tinggi, bangsa Melanesoide harus menerima kenyataan bahwa
telah ada bangsa penguasa baru yang menempati wilayah mereka. Dengan
pengorganisiran yang lebih rapi dan peralatan yang lebih bermutu, kaum
pendatang dapat mengalahkan penduduk asli. Kebudayaan yang mereka usung
kemudian menggantikan kebudayaan penduduk asli. Sisa-sisa pengusung kebudayaan yang
lebih kuno kemudian menyingkir ke pedalaman, mencari tanah-tanah di wilayah
lain. Kedatangan bangsa Melayu Tua juga memungkinkan terjadinya percampuran
darah antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang telah terlebih dahulu
datang di Nusantara. Bangsa Melanesia yang tidak bercampur terdesak dan
mengasingkan diri ke pedalaman, sisa keturunannya sekarang dapat didapati
orang-orang Sakai di Siak, Suku Kubu serta Anak Dalam di Jambi dan Sumatera
Selatan, orang Semang di pedalaman Malaya, orang Aeta di pedalaman Philipina,
orang-orang Papua Melanesoide di Papua dan pulau-pulau Melanesia.
Pada gelombang migrasi kedua dari Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah
orang-orang Melayu Tua yang telah bercampur dengan bangsa Aria di daratan
Yunan. Mereka disebut orang Melayu Muda atau Deutero Melayu dengan kebudayaan
perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi lagi dari kebudayaan Batu Muda yang
telah ada karena telah mengenal logam sebagai alat perkakas hidup dan alat
produksi. Kedatangan bangsa Melayu Muda mengakibatkan bangsa Melayu Tua yang
tadinya hidup di sekitar aliran sungai dan pantai terdesak pula ke pedalaman
karena kebudayaannya kalah maju dari bangsa Melayu Muda dan kebudayaannya tidak
banyak berubah. Sisa-sisa keturunan bangsa melayu tua banyak ditemukan di
daerah pedalaman seperti suku Dayak, Toraja, orang Nias, batak pedalaman, Orang
Kubu dan orang Sasak. Dengan menguasai tanah, Bangsa Melayu Muda dapat
berkembang dengan pesat kebudayaannya bahkan menjadi penyumbang terbesar untuk
cikal-bakal bangsa Indonesia sekarang.
Di masa kerajaan-kerajaan kuno Nusantara atau jaman Imperium Nusantara,
perkembangan jalur perdagangan akibat perkembangan teknologi perkapalan juga
berpengaruh pada kebudayaan bangsa-bangsa di Nusantara. Perdagangan mulai
memegang faktor kunci dalam perkembangan peradaban di Nusantara. Jalur
perdagangan ini juga membawa pengaruh perkembangan politik dari daratan Asia (mainland) ke
dalam peradaban penghuni Nusantara. Para pedagang India lebih berpengaruh
ketimbang para pedagang Tiongkok karena mereka memiliki kebiasaan menetap di
tempat tujuan perdagangan, membangun komunitas dan berinteraksi dengan penduduk
setempat, bahkan juga menyebarkan pengaruh agama Hindu. Para raja melihat agama
Hindu sebagai alat yang sangat potensial sebagai basis legitimasi kekuasaan
mereka. Agama Hindu lebih terstruktur daripada kepercayaan animisme-dinamisme
tradisional, memberikan kebulatan ideologi yang lebih ketat terhadap pengakuan
bahwa raja adalah utusan tertinggi para Dewa.
Bahwa alasan ekonomi dan politik merupakan alasan utama bagi penerimaan
sistem nilai baru dari daratan Asia dapat dibuktikan dari pergeseran penggunaan
agama Hindu kepada agama Budha ketika mulai timbul kebutuhan untuk berdagang
dengan Tiongkok yang Budhis. Pada abad ke-7, di mana agama Budha mencapai masa
kejayaannya di Tiongkok, penggunaan agama Budha sebagai agama resmi kerajaan
akan sangat memperlancar perdagangan dan mempermulus hubungan politik dengan
kaum penguasa Tiongkok. Perdagangan dan perluasan imperium ini demikian
berhasil, terbukti dari tidak diharuskannya rakyat Sriwijaya untuk membayar
pajak.
Ketika kepentingan politik dan ekonomi berkembang lebih jauh, diperlukan
satu agama "Siwa-Budha" untuk dapat memperluas pengaruh sampai ke
India yang Hindu. Dengan agama baru ini, imperium Majapahit dapat menggantikan
posisi Sriwijaya dalam memonopoli perdagangan. Agama yang lebih fleksibel ini
memungkinkan Majapahit (yang dibangun sejak Kertanegara dari Singasari)
memperluas jangkauan perdagangannya dan menggulingkan imperium perdagangan dari
Selat Malaka. Trend berganti-ganti agama dan keyakinan Ini menunjukkan bahwa
kaum nobility Nusantara memiliki watak oportunis dalam menyikapi
perkembangan situasi politik internasional.
Mobilitas yang sangat tinggi dan
intervensi dari berbagai peradaban menyebabkan tidak pernah ada kestabilan
politik yang benar-benar kuat di Nusantara. Karena itu, oportunisme menjadi
jalan keluar yang paling mudah untuk menyikapi kondisi yang terus berkembang
dan berubah ini. Oportunisme ini diteruskan dalam arus pergeseran perdagangan
di India yang mulai bergeser ke Gujarat. Gujarat adalah sebuah daerah kekuasaan
yang menganut sistem ekonomi-politik Islam. Islam adalah satu agama yang
menganut garis kepercayaan terhadap satu Tuhan. Kepercayaan semacam ini baru
timbul setelah terjadi revolusi di bidang pertanian, yaitu dengan ditemukannya
sistem irigasi yang memungkinkan penjagaan terhadap kesuburan tanah,
menghilangkan keperluan untuk berjaga terhadap keperluan banjir dan kekeringan.
Dengan demikian, teknologi irigasi ini mengurangi dengan drastis keperluan
untuk bergantung dari kondisi alam. Secara ekonomi-politik, inilah basis untuk
menghilangkan keperluan memuja banyak dewa penguasa kekuatan alam. Kini, cukup
diperlukan satu deity untuk menjaga
superstruktur.
Budaya Islam adalah budaya yang mengandung
teknologi yang lebih tinggi dan, bersama itu, surplus produksi yang lebih
besar. Perdagangan dengan negeri-negeri Islam membawa kemungkinan lebih banyak
keuntungan dan transfer teknologi. Ditambah lagi, Islam lebih mudah diterima
oleh massa karena ia menawarkan konsep bahwa semua orang sama di hadapan Tuhan.
Ini adalah satu tawaran superstruktur yang lebih menarik ketimbang sistem kasta
Hindu dan praktek-praktek kaum bangsawan yang dialami selama ini. Namun rakyat tetap
tidak menyadari bahwa kelas penguasa hanya mempergunakan legitimasi agama tanpa
kehendak untuk mengubah sistem penindasan yang dijalankannya selama ini. Praktek
penindasan tetap saja bertahan sekalipun agama yang dianut berganti-ganti.
Para pedagang Eropa, yang sudah mulai melepaskan paham Merkantilisme dan
memasuki tahap Kolonialisme, telah menjelajahi Afrika dan Amerika Selatan dan
menemukan sumber tambang yang luar biasa di sana. Bangsa Portugis pun juga tahu
Nusantara memiliki sumber daya alam yang luar biasa. Kebudayaan Eropa, yang
telah menemukan teknologi besi cor, memungkinkan Portugis memperlengkapi
kapal-kapal mereka dengan meriam-meriam yang berkualitas tinggi. Dengan
meriam-meriam ini, armada Portugis di bawah Alfonso d'Alburquerque yang hanya
berjumlah 700 orang sanggup menekuk armada Malaka yang berjumlah sekitar 100.000
prajurit. Kedatangan armada Portugis mengubah keseimbangan kekuatan di Selat
Malaka, dan dengan demikian seluruh keseimbangan kekuatan di Nusantara. Kekalahan
armada laut imperium Nusantara semakin mempersempit ruang ekonomi mereka.
Menyempitnya ruang ekonomi ini semakin melemahkan pengaruh imperium-imperium
Nusantara secara politik. Armada-armada laut Nusantara akhirnya menjadi jago
kandang, sekedar menjaga perairan setempat dari bajak-bajak laut.
Para raja Nusantara bukannya tinggal diam menghadapi keadaan ini. Namun,
bahkan setelah mereka membentuk aliansi-aliansi, mereka masih tetap mengalami
kekalahan-kekalahan berhadapan dengan armada Eropa. Kekalahan-kekalahan ini
semakin mendorong raja-raja Nusantara untuk semakin mundur ke pedalaman,
mengubah struktur ekonomi-politiknya dari struktur maritim-ekspansionis menjadi
struktur agraris-konservatif. Berbagai macam nilai yang tadinya diagungkan,
kini mulai diharamkan sebagai pembenaran atas tindakan mundur ke pedalaman yang
dilakukan oleh para raja. Perdagangan yang tadinya menjadi tulang punggung
perekonomian dan dikerjakan dengan bergairah oleh seluruh rakyat, kini menjadi
suatu pekerjaan yang dianggap hina dan tidak layak dikerjakan oleh orang yang
terhormat. Ekspansionisme dan semangat menjelajah, yang tadinya merupakan
kesadaran rakyat, kini digantikan dengan semangat menutup diri dan
anti-perubahan yang kental. Nusantara memasuki sejarah penjajahan yang panjang dan
kelam.
*******************
Sejarah tak henti-hentinya
mematulkan cermin yang memberi kita pemahaman mengenai diri kita sendiri. Perang-perang dan
pembunuhan terbesar sepanjang sejarah adalah tentang jaminan itu:
mempertahankan, merebutkan dan memperluas teritori. Lalu batasan-batasan dan
klaim teritori menciptakan kandang-kandang besar bagi manusia. Di dalamnya kita
menciptakan kandang-kandang lebih kecil untuk makhluk-makhluk hidup lain yang
dimaksudkan untuk dibuat menetap dan bentuk-bentuk kendali lainnya. Mayoritas
dari kita berkembang menjadi makhluk kandang. Tinggal segelintir saja
kelompok-kelompok yang masih memilih hidup berpindah, seperti misalnya kaum
gipsy, yang kebanyakan dari kita memandangnya sebagai gaya hidup yang asing dan
aneh. Namun mereka pun harus menderita diskriminasi, pengucilan dan perbudakan
dari kelompok-kelompok masyarakat yang lebih supreme. Itu pun tidak merubah pilihan hidup mereka yang tetap
nomaden.
Ketika kaum Maasai di Afrika yang nomaden tersingkir oleh peternak Amerika
yang memiliki peradaban dan kebudayaan lebih tinggi, mereka memilih ikut
beradaptasi seperti kaum pendatang tersebut, merubah gaya hidup nomaden menjadi
lebih menetap, mereka ikut membangun kandang. Lagi-lagi, soal teritori.
Perubahan ini harus ditebus dengan harga mahal oleh alam liar Afrika.
Kelompok-kelompok pendatang yang punya peradaban lebih maju pun ikut
menentukan pergeseran populasi, kebudayaan dan percaturan politik di negara
kita sendiri. Raja-raja kita awalnya memilih beradaptasi (dengan alasan
ekonomis-politis yang oportunistis) pada perubahan yang datang dari
bangsa-bangsa pendatang. Barulah ketika datang penjajahan, raja-raja yang kalah
dan tersingkir dengan ego terluka ini kemudian menutup diri, tertutup pada
perubahan. Ketiadaan teritori turut meniadakan prestasi dan kekuatan. Tebusan
atas aib masa lalu ini kita kemas dalam nilai-nilai baru tentang kaum
pendatang, perbedaan dan perubahan. Memori kolektif tentang ego yang terluka
ini diturunkan ke generasi-generasi berikutnya dan memantapkan mental jago
kandang dengan kompleks inferioritas yang sangat teritorial dan anti pada
pembaharuan dan perubahan dari luar.
Dalam lingkup unit
keluarga dengan kebudayaan komunal di negara tercinta kita ini, banyak “anak”
yang masih terus menumpang di rumah orang tuanya sampai beranak-pinak lagi.
Banyak dari mereka yang sebenarnya masalahnya bukan himpitan ekonomi, melainkan
dorongan untuk melanggengkan keberadaan bersama-sama di teritori yang mereka
akrabi, di kandang yang bernama rumah. Mereka tidak punya cukup nyali untuk
berekspansi, mengadu peruntungannya di luar rumah orang tuanya. Mungkin saja,
kalau si orang tua sudah masuk masa lansia dan sudah hilang taringnya, maka
kandang diambil alih oleh yang lebih muda dan kuat. Kita masih memakai hukum
rimba walaupun mengenakan label kaum beradab. Di kandang-kandang ini, mekanisme
mengendalikan kehidupan makhluk hidup lain tak berlaku hanya kepada yang bukan
manusia, namun juga manusia lain dalam isi kandang yang sama.
Otak manusia berevolusi paling jauh
bila dibandingkan dengan makhluk lainnya. Kemampuan otak manusia yang berupa
proses berpikir menyebabkan manusia dapat memilah-milah tindakan yang dapat
menguntungkan kelangsungan hidupnya. Dalam rangka kelangsungan hidupnya maka
manusia merupakan makhluk pembentuk kebudayaan dan manusia juga sebagai
pembentuk masyarakat. Kita bukan lagi nomaden yang menambal rumah sementara dari ranting dan
lumpur, meniru burung dan berang-berang. Kita membangun rumah-rumah yang bisa
tahan selama mungkin, yang berarti, kita memang ingin menetap. Kita ingin
membangun kandang. Membangun peradaban.
Ketika kita mendengar kata peradaban, biasanya yang terlintas adalah
imaji tentang kota. Bangunan-bangunan yang menyeruak menjulang tinggi adalah
justifikasi prestasi kita dalam membangun peradaban yang maju dan tinggi. Kata
peradaban atau civilization sendiri
berasal dari bahasa Latin civis, yang
berarti “penghuni kota”. Namun, ladang pertanian lah yang memperanakkan kota.
Pertanian adalah tentang mengendalikan makhluk hidup lain, menciptakan
cara-cara untuk mengatur keberadaan makhluk lain, untuk membuat mereka
menghasilkan lebih besar dan lebih banyak.
Pendatang sering
dipersepsi sebagai ancaman teritorial bagi para penghuni yang lebih dahulu
mendiami suatu wilayah. Di beberapa wilayah di Indonesia, telah terjadi konflik
berskala kecil maupun besar antara mereka yang mengklaim diri sebagai orang
asli dengan kaum pendatang. Padahal jika ditilik dari sejarah, hampir semua
dari kita adalah kaum pendatang dan sebagian besar dari kita sudah berdarah
campuran.
Aku punya
teman-teman yang juga (pernah) bekerja di “kandang” orang lain, untuk
perubahan. Pekerjaan mereka tidak pernah mudah. Aneh malah kalau mudah.
Beberapa dari mereka sudah pernah diusir juga oleh para jagoan kandang,
beberapa kali. Aku pun sudah beberapa kali punya pengalaman diusir oleh para
jagoan kandang yang mempersepsi kehadiranku sebagai ancaman teritorial dan
kemapanan.
Di jaman modern ini masih terus terjadi perpindahan manusia (migrasi),
namun sebagian besarnya tidak bisa dibilang sebagai perpindahan ala nomaden. Aku belum dapat memahami mengapa sejumlah
kaum gipsy yang masih berkeras dengan gaya hidup mereka yang tidak sudi dikurung
dalam kandang, sementara kaum Maasai dan bangsa-bangsa lain sepanjang sejarah
justru memilih yang sebaliknya. Di mataku, kaum gipsy adalah kaum yang bebas
dan berani mengambil pilihan untuk tidak dikandangkan. Dalam hal kebebasan dan
keberanian, menurutku mereka lebih supreme.
Salut untuk mereka.
********************
Adalah sebuah
cuplikan dari buku ‘Sejenak Bijak’ tulisan Anthony Mello:
“Engkau begitu bangga akan akal-budimu,” kata
Sang Guru kepada seorang murid.
“Engkau ibarat orang
terhukum, yang bangga akan luas biliknya dalam penjara.”
Sej-Plbg, 27 Januari 2013
*******************
Sumber:
§ De Mello, Anthony. Sejenak Bijak, ....
§ ... Gypsy, Kaum Nomaden Dengan Sejarah Masa Kelam. 5 Oktober, 2011. http://nyatanyag.blogspot.com/2011/10/gypsy-kaum-nomaden-dengan-sejarah-masa.html
§ ... Sejarah Politik Rasisme di Indonesia, http://stopracism.tripod.com/sejarah.htm
§ Weisman, Alan. The World Without Us. New York: St.
Martin’s Press, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar