MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Minggu, 27 Januari 2013

JAGOAN KANDANG




 


Penemuan sisa-sisa Australopithecus di Afrika Selatan mengungkapkan bahwa kita adalah manusia gua setidaknya satu juta tahun yang lalu.
Konon, suku Maasai di Afrika terkenal sebagai kaum nomaden. Semenjak gurun Sahara mengering, hewan ternak masuk dari Afrika Utara. Orang Maasai pun menjadi penggembala dan membangun rumah temporer bornas mereka yang terbuat dari lumpur dan kotoran ternak yang setelah berpindah ke lahan penggembalaan lain rumah-rumah tersebut kembali menyatu dengan bumi. Ketika orang Maasai pergi meninggalkan suatu lahan, gajah masuk. Rumput sabana yang telah habis dimamah oleh ternak memungkinkan hutan semak tumbuh dan menjadi makanan untuk gajah. Seusai gajah menyantap semak-pepohonan tersebut, gajah berpindah tempat dan rumput dimungkinkan untuk tumbuh lagi, kelak menjadi makanan untuk ternak suku Maasai yang datang ke situ. Sederhananya: ternak menumbuhkan pohon, gajah menumbuhkan rumput.

Bagaikan sebuah koreografi tarian antara gajah dan peternakan. Para peternak berpindah tersebut berfungsi menjadi semacam spesies pengganti binatang liar pemamah rumput bagi gajah. Dalam setahun, orang Maasai rata-rata berpindah sampai delapan kali. Perpindahan inilah yang selama beberapa generasi menguntungkan keberlangsungan keberagaman kehidupan rimba seperti di Kenya dan Tanzania. Ada rumput, ada semak belukar dan ada hutan. Hewannya pun jadi beragam.   

Ketika peternak dari Amerika terus berdatangan untuk menetap dan mematok tanah di antara mereka, suku Maasai terpaksa berbuat hal yang sama. Lokasi-lokasi di mana biasanya jadi tujuan mereka berpindah ternyata sudah dicaplok, dipagar, diakui kepemilikannya oleh para peternak dari bangsa lain tersebut. Apa boleh buat, orang suku Maasai pun mulai mencari pengesahan untuk tanah mereka sendiri dan mulai menetap. Kemudian mereka pun mulai bercocok tanam. Afrika pun berubah.   

“Adalah situasi yang bipolar ketika kita memaksa gajah tinggal dalam sebuah taman suaka, dan di luar batas taman tersebut ternak memakan rumput, sehingga kita mendapatkan dua habitat yang sangat berbeda. Di dalam, kita kehilangan semua pohon sehingga yang tinggal sekedar rumput. Di luar, yang tinggal semak belukar yang lebat,” ujar seorang berdarah Maasai. Dia berpendapat bahwa pematokan tanah selalu menjadi musuh bagi kelangsungan hidup alam dan kaum nomaden.  

Ketika sudah berlangsung kehidupan manusia yang terus bermigrasi seperti suku Maasai selama ribuan tahun, di mana mereka hanya mengambil apa yang mereka butuhkan lalu berpindah, hasilnya adalah alam yang kaya dan keberlangsungannya. Dulu, manusia di Afrika tidak pernah menetap sehingga Afrika tidak mengalami kemusnahan margasatwa dalam skala besar seperti benua-benua lainnya, kecuali Antartika. Namun sekarang, ketika manusia berhenti bermigrasi untuk terus menetap, bukan hanya makanan yang harus bermigrasi, namun juga benda-benda mewah dan konsumsi lain yang sebelumnya tidak pernah ada dalam sejarah hidup manusia, demi memuaskan rasa penasaran yang narsis.

Keseimbangan yang telah terjaga selama ribuan tahun rusak sudah. Semua lepas kendali. Ada terlalu banyak manusia, terlalu banyak sapi, dan ada terlalu banyak gajah yang dipaksa hidup dalam lahan terbatas-terpusat membuat mereka jadi target empuk pemburu gading. Gajah-gajah yang dulunya hidup berpindah pun mulai ditemukan tidak lagi berpindah. Mereka memilih bertahan tinggal dekat sumber-sumber air yang terbatas jumlahnya selain juga lokasi-lokasi lain sudah sudah minim persediaan makanan untuk mereka. Batas-batas teritorial itu suatu ketika dilanggar oleh kedua kelompok penghuni berbeda yang hanya menciptakan lebih banyak konflik dan kehancuran. Pemburu memburu margasatwa liar, hewan liar masuk ke pemukiman manusia menghancurkan dan ‘mencuri’ ternak dan hasil pertanian.


******************


Bangsa atau kaum Gipsy merupakan bangsa yang nomaden. Kaum ini memiliki pandangan hidup yang unik dan tersebar luas di benua benua Amerika dan Timur Tengah. Dewasa ini jumlah mereka diperkirakan mencapai lebih dari 5 juta orang yang tinggal tersebar di setiap penjuru dunia. Gipsi memiliki banyak nama lain, antara lain Gipsy, Gitanos, Tsigani, Cigany, Zigeuner, Sinti, dan Rom.

Menurut catatan sejarah orang-orang yang lantas dikenal dengan orang Rom ini memasuki Eropa sebelum tahun 1300 M melalui Persia dan Turki. Pada awal-awal kedatangan di Eropa hingga jangka waktu yang lama orang Rom cenderung tidak mau berbaur. Hal ini bisa dimengerti mengingat latar belakang orang Rom yang dulunya hidup dalam masyarakat India yang terbagi dalam kasta. Cara hidup orang Rom yang mengisolasi diri dan tidak mau bergaul menimbulkan kecurigaan bagi warga asli. Tidak hanya sebatas curiga, warga asli cenderung bersikap antipati. Kecurigaan dan tuduhan-tuduhan negatif terhadap kaum Gipsi terus saja mengalir. Mereka juga dituduh sebagai kaum pencuri dan kaum penculik anak-anak. Pada masa tertentu di masa lalu etnis ini juga sering dihadapkan pada hukum yang mewajibkan mereka memasak di tempat terbuka dengan tujuan agar siapapun yang ingin tahu bisa mengecek langsung isi belanganya. Mereka dikucilkan dengan cara dipaksa mendirikan kemah di luar perkampungan warga asli, dilarang menimba air di perkampungan dan dilarang masuk kampung untuk berbelanja kebutuhan hidup sehari-hari. Karena jarang diterima, orang Rom tidak pernah menetap.

Prasangka menimbulkan penganiayaan. Orang Rom diusir dari beberapa bagian di Eropa. Di daerah-daerah lain, orang Rom diperbudak selama berabad-abad. Setelah perbudakan tersebut berakhir pada tahun 1860-an, orang Rom semakin tersebar, sebagian besar ke Eropa Barat dan Benua Amerika. Kaum gipsy pernah memiliki masa kelam penganiayaan sewaktu kepemimpinan Hitler di eropa dengan dimasukkannya kaum gipsi kedalam salah satu suku yang dianggap "berbahaya", selain orang Yahudi, orang Slavia dan kaum homo seksual.

Ke mana pun mereka pergi, mereka membawa serta bahasa, kebiasaan, dan bakat mereka. Gaya hidup nomaden ini menghasilkan berbagai keterampilan, seperti kerajinan logam, jual beli dan hiburan. Perempuan gipsy dengan bola kacanya terkenal sebagai ikon peramal nasib dan masa depan. Dengan menawarkan jasa-jasa yang dibutuhkan ini, paling tidak mereka dapat memenuhi kebutuhan keluarga.


*****************


Sebelum didatangi bangsa-bangsa pengembara dari luar, tanah di Nusantara belum menjadi kepemilikan siapapun. Hal ini berbeda dengan Manusia Indonesia Purba yang tidak memerlukan tanah sebagai modal untuk hidup karena mereka berpindah-pindah. Ketika sampai di satu tempat, yang mereka lakukan adalah mengumpulkan makanan (food gathering). Biasanya tempat yang dituju adalah lembah-lembah atau wilayah yang terdapat aliran sungai untuk mendapatkan ikan atau kerang walaupun tidak tertutup kemungkinan ada pula yang memilih mencari di pedalaman.

Ketika bangsa Melanesoide datang, mereka mulai menetap walaupun semi nomaden. Mereka akan pindah jika sudah tidak mendapatkan lagi makanan. Maka pilihan atas tempat-tempat yang akan ditempatinya adalah tanah yang banyak menghasilkan. Wilayah aliran sungai menjadi salah satu target, padahal wilayah ini adalah juga wilayah di mana para penduduk asli mengumpulkan makanannya. Benturan tidak terelakan antara kebudayaan palaeolithikum dengan kebudayaan yang mesolithikum. Alat-alat sederhana seperti kapak genggam (choppers), alat-alat tulang dan tanduk rusa berhadapan dengan kapak genggam yang lebih halus (febble), kapak pendek dan sebagainya. Benturan ini mengakibatkan penduduk asli ditumpas, atau mereka diharuskan masuk dan bersembunyi di pedalaman untuk menyelamatkan diri, atau mereka yang ditaklukkan dijadikan hamba, dan kaum perempuannya dijadikan harem-harem untuk melayani kelompok pemenang.

Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya. Dari semua gelombang pendatang dapat dilihat bahwa mereka adalah bangsa-bangsa yang mulai bahkan telah menetap. Ketika kehidupan mulai menetap maka yang pertama dan yang paling dibutuhkan adalah tanah sebagai media untuk tetap hidup.

Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang akhirnya menetap di Nusantara kedatangan pula bangsa yang kebudayaannya lebih tinggi yang berasal dari rumpun Melayu Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu ras mongoloid yang berasal dari  daerah Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina Selatan. Mereka meninggalkan wilayah asalnya karena desakan suku-suku liar yang datang dari Asia Tengah, peperangan antar suku dan bencana alam berupa banjir akibat sering meluapnya sungai She Kiang dan sungai-sungai lainnya di daerah tersebut. Suku-suku dari Asia tengah yakni Bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu Tua sudah pasti memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu Tua yang terdesak meninggalkan Yunan dan yang tetap tinggal bercampur dengan Bangsa Aria dan Mongol.

Wilayah yang sudah mulai ditempati oleh bangsa melanesoide harus diperjuangkan untuk dipertahankan dari bangsa Melayu Tua. Dengan modal kebudayaan yang lebih tinggi, bangsa Melanesoide harus menerima kenyataan bahwa telah ada bangsa penguasa baru yang menempati wilayah mereka. Dengan pengorganisiran yang lebih rapi dan peralatan yang lebih bermutu, kaum pendatang dapat mengalahkan penduduk asli. Kebudayaan yang mereka usung kemudian menggantikan kebudayaan penduduk asli. Sisa-sisa pengusung kebudayaan yang lebih kuno kemudian menyingkir ke pedalaman, mencari tanah-tanah di wilayah lain. Kedatangan bangsa Melayu Tua juga memungkinkan terjadinya percampuran darah antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang telah terlebih dahulu datang di Nusantara. Bangsa Melanesia yang tidak bercampur terdesak dan mengasingkan diri ke pedalaman, sisa keturunannya sekarang dapat didapati orang-orang Sakai di Siak, Suku Kubu serta Anak Dalam di Jambi dan Sumatera Selatan, orang Semang di pedalaman Malaya, orang Aeta di pedalaman Philipina, orang-orang Papua Melanesoide di Papua dan pulau-pulau Melanesia.

Pada gelombang migrasi kedua dari Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah orang-orang Melayu Tua yang telah bercampur dengan bangsa Aria di daratan Yunan. Mereka disebut orang Melayu Muda atau Deutero Melayu dengan kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi lagi dari kebudayaan Batu Muda yang telah ada karena telah mengenal logam sebagai alat perkakas hidup dan alat produksi. Kedatangan bangsa Melayu Muda mengakibatkan bangsa Melayu Tua yang tadinya hidup di sekitar aliran sungai dan pantai terdesak pula ke pedalaman karena kebudayaannya kalah maju dari bangsa Melayu Muda dan kebudayaannya tidak banyak berubah. Sisa-sisa keturunan bangsa melayu tua banyak ditemukan di daerah pedalaman seperti suku Dayak, Toraja, orang Nias, batak pedalaman, Orang Kubu dan orang Sasak. Dengan menguasai tanah, Bangsa Melayu Muda dapat berkembang dengan pesat kebudayaannya bahkan menjadi penyumbang terbesar untuk cikal-bakal bangsa Indonesia sekarang.

Di masa kerajaan-kerajaan kuno Nusantara atau jaman Imperium Nusantara, perkembangan jalur perdagangan akibat perkembangan teknologi perkapalan juga berpengaruh pada kebudayaan bangsa-bangsa di Nusantara. Perdagangan mulai memegang faktor kunci dalam perkembangan peradaban di Nusantara. Jalur perdagangan ini juga membawa pengaruh perkembangan politik dari daratan Asia (mainland) ke dalam peradaban penghuni Nusantara. Para pedagang India lebih berpengaruh ketimbang para pedagang Tiongkok karena mereka memiliki kebiasaan menetap di tempat tujuan perdagangan, membangun komunitas dan berinteraksi dengan penduduk setempat, bahkan juga menyebarkan pengaruh agama Hindu. Para raja melihat agama Hindu sebagai alat yang sangat potensial sebagai basis legitimasi kekuasaan mereka. Agama Hindu lebih terstruktur daripada kepercayaan animisme-dinamisme tradisional, memberikan kebulatan ideologi yang lebih ketat terhadap pengakuan bahwa raja adalah utusan tertinggi para Dewa.

Bahwa alasan ekonomi dan politik merupakan alasan utama bagi penerimaan sistem nilai baru dari daratan Asia dapat dibuktikan dari pergeseran penggunaan agama Hindu kepada agama Budha ketika mulai timbul kebutuhan untuk berdagang dengan Tiongkok yang Budhis. Pada abad ke-7, di mana agama Budha mencapai masa kejayaannya di Tiongkok, penggunaan agama Budha sebagai agama resmi kerajaan akan sangat memperlancar perdagangan dan mempermulus hubungan politik dengan kaum penguasa Tiongkok. Perdagangan dan perluasan imperium ini demikian berhasil, terbukti dari tidak diharuskannya rakyat Sriwijaya untuk membayar pajak.

Ketika kepentingan politik dan ekonomi berkembang lebih jauh, diperlukan satu agama "Siwa-Budha" untuk dapat memperluas pengaruh sampai ke India yang Hindu. Dengan agama baru ini, imperium Majapahit dapat menggantikan posisi Sriwijaya dalam memonopoli perdagangan. Agama yang lebih fleksibel ini memungkinkan Majapahit (yang dibangun sejak Kertanegara dari Singasari) memperluas jangkauan perdagangannya dan menggulingkan imperium perdagangan dari Selat Malaka. Trend berganti-ganti agama dan keyakinan Ini menunjukkan bahwa kaum nobility Nusantara memiliki watak oportunis dalam menyikapi perkembangan situasi politik internasional.
Mobilitas yang sangat tinggi dan intervensi dari berbagai peradaban menyebabkan tidak pernah ada kestabilan politik yang benar-benar kuat di Nusantara. Karena itu, oportunisme menjadi jalan keluar yang paling mudah untuk menyikapi kondisi yang terus berkembang dan berubah ini. Oportunisme ini diteruskan dalam arus pergeseran perdagangan di India yang mulai bergeser ke Gujarat. Gujarat adalah sebuah daerah kekuasaan yang menganut sistem ekonomi-politik Islam. Islam adalah satu agama yang menganut garis kepercayaan terhadap satu Tuhan. Kepercayaan semacam ini baru timbul setelah terjadi revolusi di bidang pertanian, yaitu dengan ditemukannya sistem irigasi yang memungkinkan penjagaan terhadap kesuburan tanah, menghilangkan keperluan untuk berjaga terhadap keperluan banjir dan kekeringan. Dengan demikian, teknologi irigasi ini mengurangi dengan drastis keperluan untuk bergantung dari kondisi alam. Secara ekonomi-politik, inilah basis untuk menghilangkan keperluan memuja banyak dewa penguasa kekuatan alam. Kini, cukup diperlukan satu deity untuk menjaga superstruktur.
Budaya Islam adalah budaya yang mengandung teknologi yang lebih tinggi dan, bersama itu, surplus produksi yang lebih besar. Perdagangan dengan negeri-negeri Islam membawa kemungkinan lebih banyak keuntungan dan transfer teknologi. Ditambah lagi, Islam lebih mudah diterima oleh massa karena ia menawarkan konsep bahwa semua orang sama di hadapan Tuhan. Ini adalah satu tawaran superstruktur yang lebih menarik ketimbang sistem kasta Hindu dan praktek-praktek kaum bangsawan yang dialami selama ini. Namun rakyat tetap tidak menyadari bahwa kelas penguasa hanya mempergunakan legitimasi agama tanpa kehendak untuk mengubah sistem penindasan yang dijalankannya selama ini. Praktek penindasan tetap saja bertahan sekalipun agama yang dianut berganti-ganti.
Para pedagang Eropa, yang sudah mulai melepaskan paham Merkantilisme dan memasuki tahap Kolonialisme, telah menjelajahi Afrika dan Amerika Selatan dan menemukan sumber tambang yang luar biasa di sana. Bangsa Portugis pun juga tahu Nusantara memiliki sumber daya alam yang luar biasa. Kebudayaan Eropa, yang telah menemukan teknologi besi cor, memungkinkan Portugis memperlengkapi kapal-kapal mereka dengan meriam-meriam yang berkualitas tinggi. Dengan meriam-meriam ini, armada Portugis di bawah Alfonso d'Alburquerque yang hanya berjumlah 700 orang sanggup menekuk armada Malaka yang berjumlah sekitar 100.000 prajurit. Kedatangan armada Portugis mengubah keseimbangan kekuatan di Selat Malaka, dan dengan demikian seluruh keseimbangan kekuatan di Nusantara. Kekalahan armada laut imperium Nusantara semakin mempersempit ruang ekonomi mereka. Menyempitnya ruang ekonomi ini semakin melemahkan pengaruh imperium-imperium Nusantara secara politik. Armada-armada laut Nusantara akhirnya menjadi jago kandang, sekedar menjaga perairan setempat dari bajak-bajak laut.

Para raja Nusantara bukannya tinggal diam menghadapi keadaan ini. Namun, bahkan setelah mereka membentuk aliansi-aliansi, mereka masih tetap mengalami kekalahan-kekalahan berhadapan dengan armada Eropa. Kekalahan-kekalahan ini semakin mendorong raja-raja Nusantara untuk semakin mundur ke pedalaman, mengubah struktur ekonomi-politiknya dari struktur maritim-ekspansionis menjadi struktur agraris-konservatif. Berbagai macam nilai yang tadinya diagungkan, kini mulai diharamkan sebagai pembenaran atas tindakan mundur ke pedalaman yang dilakukan oleh para raja. Perdagangan yang tadinya menjadi tulang punggung perekonomian dan dikerjakan dengan bergairah oleh seluruh rakyat, kini menjadi suatu pekerjaan yang dianggap hina dan tidak layak dikerjakan oleh orang yang terhormat. Ekspansionisme dan semangat menjelajah, yang tadinya merupakan kesadaran rakyat, kini digantikan dengan semangat menutup diri dan anti-perubahan yang kental. Nusantara memasuki sejarah penjajahan yang panjang dan kelam.


*******************


Sejarah tak henti-hentinya mematulkan cermin yang memberi kita pemahaman mengenai diri kita sendiri. Perang-perang dan pembunuhan terbesar sepanjang sejarah adalah tentang jaminan itu: mempertahankan, merebutkan dan memperluas teritori. Lalu batasan-batasan dan klaim teritori menciptakan kandang-kandang besar bagi manusia. Di dalamnya kita menciptakan kandang-kandang lebih kecil untuk makhluk-makhluk hidup lain yang dimaksudkan untuk dibuat menetap dan bentuk-bentuk kendali lainnya. Mayoritas dari kita berkembang menjadi makhluk kandang. Tinggal segelintir saja kelompok-kelompok yang masih memilih hidup berpindah, seperti misalnya kaum gipsy, yang kebanyakan dari kita memandangnya sebagai gaya hidup yang asing dan aneh. Namun mereka pun harus menderita diskriminasi, pengucilan dan perbudakan dari kelompok-kelompok masyarakat yang lebih supreme. Itu pun tidak merubah pilihan hidup mereka yang tetap nomaden.

Ketika kaum Maasai di Afrika yang nomaden tersingkir oleh peternak Amerika yang memiliki peradaban dan kebudayaan lebih tinggi, mereka memilih ikut beradaptasi seperti kaum pendatang tersebut, merubah gaya hidup nomaden menjadi lebih menetap, mereka ikut membangun kandang. Lagi-lagi, soal teritori. Perubahan ini harus ditebus dengan harga mahal oleh alam liar Afrika.

Kelompok-kelompok pendatang yang punya peradaban lebih maju pun ikut menentukan pergeseran populasi, kebudayaan dan percaturan politik di negara kita sendiri. Raja-raja kita awalnya memilih beradaptasi (dengan alasan ekonomis-politis yang oportunistis) pada perubahan yang datang dari bangsa-bangsa pendatang. Barulah ketika datang penjajahan, raja-raja yang kalah dan tersingkir dengan ego terluka ini kemudian menutup diri, tertutup pada perubahan. Ketiadaan teritori turut meniadakan prestasi dan kekuatan. Tebusan atas aib masa lalu ini kita kemas dalam nilai-nilai baru tentang kaum pendatang, perbedaan dan perubahan. Memori kolektif tentang ego yang terluka ini diturunkan ke generasi-generasi berikutnya dan memantapkan mental jago kandang dengan kompleks inferioritas yang sangat teritorial dan anti pada pembaharuan dan perubahan dari luar.  

Dalam lingkup unit keluarga dengan kebudayaan komunal di negara tercinta kita ini, banyak “anak” yang masih terus menumpang di rumah orang tuanya sampai beranak-pinak lagi. Banyak dari mereka yang sebenarnya masalahnya bukan himpitan ekonomi, melainkan dorongan untuk melanggengkan keberadaan bersama-sama di teritori yang mereka akrabi, di kandang yang bernama rumah. Mereka tidak punya cukup nyali untuk berekspansi, mengadu peruntungannya di luar rumah orang tuanya. Mungkin saja, kalau si orang tua sudah masuk masa lansia dan sudah hilang taringnya, maka kandang diambil alih oleh yang lebih muda dan kuat. Kita masih memakai hukum rimba walaupun mengenakan label kaum beradab. Di kandang-kandang ini, mekanisme mengendalikan kehidupan makhluk hidup lain tak berlaku hanya kepada yang bukan manusia, namun juga manusia lain dalam isi kandang yang sama.    

Otak manusia berevolusi paling jauh bila dibandingkan dengan makhluk lainnya. Kemampuan otak manusia yang berupa proses berpikir menyebabkan manusia dapat memilah-milah tindakan yang dapat menguntungkan kelangsungan hidupnya. Dalam rangka kelangsungan hidupnya maka manusia merupakan makhluk pembentuk kebudayaan dan manusia juga sebagai pembentuk masyarakat. Kita bukan lagi nomaden yang menambal rumah sementara dari ranting dan lumpur, meniru burung dan berang-berang. Kita membangun rumah-rumah yang bisa tahan selama mungkin, yang berarti, kita memang ingin menetap. Kita ingin membangun kandang. Membangun peradaban.

Ketika kita mendengar kata peradaban, biasanya yang terlintas adalah imaji tentang kota. Bangunan-bangunan yang menyeruak menjulang tinggi adalah justifikasi prestasi kita dalam membangun peradaban yang maju dan tinggi. Kata peradaban atau civilization sendiri berasal dari bahasa Latin civis, yang berarti “penghuni kota”. Namun, ladang pertanian lah yang memperanakkan kota. Pertanian adalah tentang mengendalikan makhluk hidup lain, menciptakan cara-cara untuk mengatur keberadaan makhluk lain, untuk membuat mereka menghasilkan lebih besar dan lebih banyak.

Pendatang sering dipersepsi sebagai ancaman teritorial bagi para penghuni yang lebih dahulu mendiami suatu wilayah. Di beberapa wilayah di Indonesia, telah terjadi konflik berskala kecil maupun besar antara mereka yang mengklaim diri sebagai orang asli dengan kaum pendatang. Padahal jika ditilik dari sejarah, hampir semua dari kita adalah kaum pendatang dan sebagian besar dari kita sudah berdarah campuran.

Aku punya teman-teman yang juga (pernah) bekerja di “kandang” orang lain, untuk perubahan. Pekerjaan mereka tidak pernah mudah. Aneh malah kalau mudah. Beberapa dari mereka sudah pernah diusir juga oleh para jagoan kandang, beberapa kali. Aku pun sudah beberapa kali punya pengalaman diusir oleh para jagoan kandang yang mempersepsi kehadiranku sebagai ancaman teritorial dan kemapanan.  

Di jaman modern ini masih terus terjadi perpindahan manusia (migrasi), namun sebagian besarnya tidak bisa dibilang sebagai perpindahan ala nomaden. Aku belum dapat memahami mengapa sejumlah kaum gipsy yang masih berkeras dengan gaya hidup mereka yang tidak sudi dikurung dalam kandang, sementara kaum Maasai dan bangsa-bangsa lain sepanjang sejarah justru memilih yang sebaliknya. Di mataku, kaum gipsy adalah kaum yang bebas dan berani mengambil pilihan untuk tidak dikandangkan. Dalam hal kebebasan dan keberanian, menurutku mereka lebih supreme. Salut untuk mereka.


********************


Adalah sebuah cuplikan dari buku ‘Sejenak Bijak’ tulisan Anthony Mello:   
 “Engkau begitu bangga akan akal-budimu,” kata Sang Guru kepada seorang murid.
“Engkau ibarat orang terhukum, yang bangga akan luas biliknya dalam penjara.”



Sej-Plbg, 27 Januari 2013


*******************


Sumber:

§  De Mello, Anthony. Sejenak Bijak, ....

§  ... Gypsy, Kaum Nomaden Dengan Sejarah Masa Kelam. 5 Oktober, 2011. http://nyatanyag.blogspot.com/2011/10/gypsy-kaum-nomaden-dengan-sejarah-masa.html

§  ... Sejarah Politik Rasisme di Indonesia, http://stopracism.tripod.com/sejarah.htm
§  Weisman, Alan. The World Without Us. New York: St. Martin’s Press, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar