“Apa yang akan
terjadi kalau manusia tidak ada di mana pun?” tanya Josie Glausiusz, editor
majalah Discover pada Alan Weisman di
tahun 2004, setelah Josie membaca kembali tulisan Alan di tahun 1994 untuk
majalah Harper tentang kondisi Chernobyl 8 tahun setelah ditinggalkan manusia karena
kebocoran sebuah reaktor nuklir.
Tergugah oleh pertanyaan itu, Alan mulai
menulis novel The World Without Us
yang dipublikasikan tahun 2007. Intinya adalah bagaimana alam bereaksi dalam
ketiadaan manusia dan warisan apa saja yang ditinggalkan oleh manusia.
Kesungguhan Alan
menggarap buku ini memulai lagi penjelajahannya ke berbagai lokasi di bumi,
seperti jalur bawah tanah di New York, tanah tak bertuan di perbatasan Korea
Utara-Selatan, kota tak berpenghuni di Siprus, Istanbul-Turki, kota bawah tanah
di Cappadocia, hutan purba di Polandia, Terusan Panama, Inggris, Kenya, kompleks
kilang minyak di Texas, koral Kingman di kepulauan Hawai, dll. Dia juga
mewawancarai banyak sekali akademisi, peneliti dan pihak-pihak berwenang
lainnya (walaupun tidak ada yang perempuan). Referensi bacaannya sendiri sebagai
bahan riset mencapai 23 halaman di bagian belakang novelnya. Sebegitu
seriusnya...
Hasilnya adalah: novel
setebal 336 halaman, best-seller di
Kanada dan beberapa domain penjualan buku, top-ten
di mana-mana, penghargaan-penghargaan, dilamar oleh 20th Century Fox untuk
dibuat film, pembicaraan di banyak TV, radio dan seminar, dan ribuan komentar
dari banyak pihak. Walau sudah ada buku-buku lain sebelumnya yang juga membahas
kehidupan di planet bumi pasca manusia, Alan menambah lebih kental muatan
ekologis ke dalam bukunya sendiri. Nampaknya buku ini belum diterjemahkan ke
bahasa Indonesia. Sayang sekali. Padahal wilayah Indonesia sempat disinggung
beberapa kali di dalamnya. Tapi barusan kudengar kabar dari teman bahwa ada
versi bahasa Indonesia juga. Selamat berburu buku!
Seorang kritikus
menyatakan bahwa buku ini menyentak kita dari tarian pasif dengan sang maut
agar menemukan cara-cara untuk bertahan hidup. Kritik lain menambahkan bahwa
pembahasan buku ini relevan dengan konteks pasivitas warga dunia terhadap
penipisan persediaan sumber daya dikombinasikan dengan kesombongan antropomorfis
yang sia-sia. Kritik lainnya menuduh Alan lebih peduli pada alam daripada
manusia dan berlagak sebagai aktivis hijau yang ekstrim dan salah arah. Ribuan
masyarakat awam menulis resensi dan komentar mereka di situs GoodReads.
Seorang teman yang
berkebangsaan Amerika menyarankan aku membaca buku ini. Dia sendiri sudah
membacanya lebih dari sekali, juga sudah membelinya berkali-kali untuk dia berikan
ke beberapa temannya. Saat aku membaca buku ini, aku seringkali hanya bisa melongo
dan menganga. Sebagian besar penjelasan di dalamnya, seperti misalnya tentang
produksi dan sampah plastik, walaupun sudah beberapa kali aku pernah membaca
tentang plastik di berbagai referensi lain sebelumnya, aku temukan paparan Alan
lebih dahsyat dan menohok, meruntuhkan dengan telak egoku sebagai manusia.
Padahal bahasanya scientific,
berdasar fakta, dengan gaya pelaporan jurnalis. Berbagai ulasan sejarahnya yang
sangat informatif membuat aku menertawakan pengetahuanku sendiri yang begitu
minim. Deskripsi lansekap-geografis Alan begitu menyedot perhatian bagai magnet.
Pemikiran-pemikiran hipotetisnya tentang masa depan tanpa manusia begitu
imajinatif. Aku belajar banyak. Buanyakh!!!...
Memang pada dasarnya
aku tidak begitu tertarik pada hasil bangun rekonstruksi bikinan manusia. Tapi
penjabaran Alan mengenai berbagai kota dan hasil kebudayaan manusia seperti
jembatan, bendungan dan terusan Panama sampai cara penanganan mayat manusia
yang ekologis maupun yang egois cukup menarik hatiku dan memberikan santapan
ilmu pengetahuan yang berlimpah. Yang paling memukau bagiku adalah di antaranya
tentang alam Afrika, kehidupan laut, koral dan pulau karang, pra-sejarah purba sejak
manusia belum ada sampai manusia mulai muncul. Yang bikin aku paling gerah
adalah pembahasannya tentang genosida beragam satwa, produk plastik,
pabrik-pabrik nuklir dan minyak, pupuk dan zat kimia pengendali hama.
Terus terang, baca
buku ini bikin aku pegel hati. Iyah, perasaanku pegel-pegel dibanting ke
sana-sini oleh fakta-faktanya tentang perilaku dan teknologi buatan manusia
yang demikian massif daya hancurnya. Pembaca juga diajak untuk berpikir tidak
hanya serentang waktu biologis, tapi juga waktu geologis. Itu loh, yang sampai
ribuan dan jutaan tahun. Capek kan bayanginnya? Yang paham bahasa Inggris, baca
sendiri aja deh. Beli bukunya kalau mampu. Atau bisa cari di internet seperti
yang kulakukan. Yang tidak paham bahasa Inggris, kalau boleh, aku ringkas-ulas berikut
ini beberapa bagiannya.
*****************
Kalau tiba-tiba saja
besok seluruh manusia di bumi ini menghilang, apa yang akan terjadi? Apakah kita
akan dirindukan? (bling, bling, kedip-kedip mata berharap...) Heheh, gak usah
sok romantis, ah. Nyamuk saja akan belajar untuk hidup dari darah binatang dan
nektar tumbuhan, berdiam dan berkembang biak di sampah roda-roda kendaraan
peninggalan kita. Mereka jaya karena tidak lagi dikejar-kejar manusia. Kalau
kecoak, iya. Karena kecoak sudah sangat terbiasa hidup dari sampah dan kotoran manusia.
Tanpa suhu hangat ruangan yang selama ini kita pertahankan, kecoak akan musnah.
Yang juga segera hilang begitu manusia tidak ada adalah beberapa spesies kutu,
parasit dan bakteri yang memang khusus hanya hidup di tubuh manusia dan
tergantung pada kita dan tidak di tempat-tempat lain. Yaah, gak jadi sombong,
deh.
“Kalau manusia tidak
ada, paling sedikit sepertiga burung di dunia tidak tahu-menahu,” kata seorang ahli
ornitologis. Yang dimaksud adalah burung-burung yang tidak pernah keluar dari pedalaman
hutan Amazon atau yang di hutan-hutan terjauh di Australi atau di lereng-lereng
yang tertutup kabut-awan di Indonesia. Binatang lain yang selama ini diburu dan
hidupnya terancam oleh keberadaan manusia mungkin akan merayakan kepergian
kita. Yang selama ini tergantung dari makanan yang kita berikan mungkin akan
kehilangan rutinitas pemberian makan itu. Bila mereka tidak bisa bersaing
dengan hewan-hewan liar lainnya, mereka akan segera punah, entah karena
disantap binatang liar lain atau mati kelaparan karena kalah bersaing atau
keburu mati terperangkap dalam kandang-kandang. Anjing lebih cepat punah
daripada kucing karena kebanyakan kucing rumah tidak kehilangan insting
berburunya. Tetumbuhan yang kita tanam dan pelihara pun juga akan dikalahkan
oleh tumbuhan liar yang lebih kuat dan agresif. Sebagaimana yang telah
digariskan oleh hukum rimba.
Rumah-rumah kita
akan memulai kerusakannya sampai runtuh ke tanah. Air adalah kekuatan alam yang
mengherankan. Dia meresap ke atap, tembok, lantai dan perabotan. Dengan bantuan
udara, tumbuhan liar dan satwa, dalam waktu 500 tahun, lingkungan perumahan
akan hilang, meninggalkan sisa-sisa potongan aluminium bak pencuci piring,
perabotan baja anti-karat dan pegangan dari plastik di tengah-tengah lebatnya
pepohonan yang sudah menjadi hutan. Namun, di kota yang kosong ditinggalkan
mendadak karena perang seperti kota Varosha di Siprus, kepulauan Mediterania,
hanya dalam dua dekade alam sudah memperlihatkan dengan jelas hasil proyek
reklamasinya. Karena manusia menjadi makin ekonomis, banyak bangunannya dibuat
dari bahan-bahan dan cara yang sebenarnya akan jauh lebih mudah dihancurkan oleh
alam. Tidak seperti rancang bangun jaman dulu yang memakai batu granit. Semakin
padat kota dan semrawut arsitektur serta rancang tata ruangnya, semakin cepat
rata dengan tanah.
Struktur parit dan
pipa air bawah tanah, begitu tidak ada manusia yang mengendalikan lagi, akan
membanjiri jalan-jalan dan seluruh kota dalam hitungan jam, maksimal beberapa
hari. Air berasal dari bawah tanah maupun dari air hujan yang tercurah dari
langit. Sampah akan menyumbat jalan air, mempercepat naiknya genangan air. Dalam
sebulan, aspal dan semen di jalanan akan mulai retak. Hahaha, jadi terbayang
kota Jakarta yang di musim hujan mudah sekali banjir. Apalagi kalau sudah tidak
ada manusia. Kalau pemanasan global membuat permukaan laut naik, banjir di
kota-kota tidak akan kunjung surut. Alam akan mulai mengambil alih dan
mempercepat kehancuran bangunan. Setelah dua ratus tahun, hutan mulai terbentuk
lagi. Tapi jangan kira peninggalan kita tamat riwayatnya sampai di situ.
Logam-logam dan racun
industri lainnya yang memiliki berat molekul yang tinggi, atau dengan nama lain
logam berat, seperti misalnya timah, merkuri, cadmium dan bahan kimia tertentu
yang dipakai dalam kerja dry-clean,
reaksi karatnya yang bersifat polutan adalah bom waktu. Bila air menyapu
endapan polusi tersebut, akan berakumulasi di danau, sungai dan paling banyak
laut, meracuni kehidupan di tempat-tempat itu. Mungkin ratusan tahun berikutnya
tumbuhan dan beberapa jenis mikroba akan berevolusi untuk mencerna
limbah-limbah tersebut sehingga kekuatan polutannya jadi lebih jinak.
Pengetahuanku tentang alam Afrika dan sejarah bumi
baru ketahuan tidak ada apa-apanya ketika membaca buku ini. Danau Tanganyika di
Afrika Timur yang berusia 10 juta tahun adalah danau terpanjang dan terdalam di
dunia dan kedua tertua setelah Danau Siberia. Danau ini menampung 20% persediaan
air tawar dunia dan begitu banyak spesies endemik ikan. Di luarnya, ke arah
barat, adalah habitat simpanse. Ke arah berlawanan, adalah area para petani
yang punya bedil dan gemas dengan pencurian buah kelapa sawit oleh simpanse. Kelapa
sawit adalah tumbuhan yang terkenal oportunis dan rakus air. Manusia adalah
ancaman untuk keberlangsungan spesies simpanse. Dari semua makhluk, selain
bonobo, simpanse memiliki kemiripan genetik paling dekat dengan manusia dan
merupakan mamalia paling cerdas di darat. Siapa tahu, jika manusia tidak ada
lagi di muka bumi ini, simpanse yang punya nenek moyang yang sama dengan
manusia ini akan berevolusi menjadi spesies manusia berikutnya. Hihihihi.....
Balik ke masa lalu dalam hitungan waktu geologis. Manusia
adalah pelaku punahnya tiga perempat megafauna Amerika era Pleistocene akhir,
kumpulan jenis yang jauh lebih kaya dibanding keragaman satwa Afrika jaman
kini. Dengan perginya manusia, banyak spesies satwa akan berevolusi dan menjadi
megafauna lagi, seperti dulu di jaman Pleistocene ketika manusia belum ada. Mungkin kukang akan kembali jadi sebesar
gajah jaman modern bahkan lebih tinggi dari mammoth.
Beruang akan akan kembali ke ukurannya terdahulu yaitu dua kali ukuran beruang
grizzly, seperti dulu beruang muka pendek, dan berang-berang ke seukuran
beruang hitam masa kini.
Benua Afrika, di
antara benua-benua lain, akan paling cepat memulihkan keragaman hayatinya.
Kenapa? Konon,
Homo sapiens, dulunya hanya ada dan berawal
di benua Afrika. Lalu Homo sapiens
mulai berkelana lewat jalan darat, waktu penghubung benua Afrika ke benua
lainnya belum terendam air, atau lewat air ke benua-benua lain yang jauh
dipisah oleh lautan. Ke mana pun Homo
sapiens berkelana menjadi pendatang, kepunahan macam-macam spesies tumbuhan
dan hewan mulai terjadi dan terpacu. Ajaibnya, di Afrika sendiri, kepunahan
tersebut terbilang jauh lebih sedikit jika dibanding di benua-benua lain yang
dirambah manusia. Menurut para ahli, hal itu disebabkan tumbuhan dan hewan di
situ berevolusi bersama manusia. Mereka sempat belajar bagaimana beradaptasi
atau berevolusi dengan keberadaan manusia, melindungi diri mereka sendiri dari
manusia. Afrika adalah bank warisan genetik kehidupan kita yang paling komplit
di dunia. Inilah Paradoks Afrika.
Sedangkan, ketika manusia
masuk ke benua-benua lain, spesies-spesies di situ masih polos, tidak mengira
bahwa makhluk yang berjalan di atas dua kaki ini berbahaya. Hewan-hewan waktu
itu masih berukuran tubuh besar jauh lebih mudah diburu. Makin besar ukuran
tubuh buruan, makin banyak daging yang bisa dimakan dan makin mendongkrak
prestasi si pemburu. Kukang segede gajah dengan gerakannya yang lambat dan
masih hidup di tanah, menjadi target mudah manusia. Sekarang, kukang memilih
beradaptasi dengan tubuh jauh lebih kecil dan hidup diam-diam di pohon. Burung
dodo sudah total punah dibunuh manusia sampai dodo terakhir hanya dalam waktu
kurang dari satu abad setelah perjumpaannya dengan manusia. Sebelas spesies
Moa, burung darat terbesar yang tidak bisa terbang di Selandia Baru, habis
sudah dalam waktu dua abad kedatangan manusia di Selandia Baru. Moa bisa
mencapai tinggi 10 kaki dengan berat dua kali burung unta Afrika. Setidaknya keseluruhan
70 genera mamalia besar di seluruh Dunia Baru musnah dalam waktu 1.000 tahun
saja. Ck, ck, ck.... Huebaaat.
Kenya, yang telah mengalahkan Israel sebagai pemasok bunga potong
jenis mawar dan anyelir terbesar di dunia, mengambil suplai air dari
sungai-sungai yang asalnya dari dalam taman nasional Aberdares. Kebutuhan air
untuk pasokan bunga ini setara dengan kebutuhan air untuk 20.000 orang yang
haus. Di musim kemarau, pasokan air diambil dari danau Naivasha dekat
Aberdares, yang merupakan tempat berlindung kuda nil dan burung perairan tawar.
Ketika air dari danau ini disedot, bersamaan dengannya tersedot pula seluruh
generasi telur ikan yang terbawa sampai ke kota-kota pecinta wewangian seperti
Paris dan mungkin juga rumah-rumah para pecinta bunga potong. Fosfat dan
nitrat, buangan dari pabrik bunga potong ini, mencemari danau Naivasha, membuat
subur sejenis bakung air di seluruh permukaannya yang rakus menyerap oksigen
sehingga mencekik dan mematikan kehidupan spesies lain di danau tersebut. Mayat
kuda nil yang dipelajari sampelnya ternyata mengandung pestisida DDT sebanyak
40 kali lebih beracun dari standar normal. Jauh setelah manusia tidak ada lagi
di muka bumi ini, DDT, yang berisi molekul Dieldrin buatan pabrik yang bersifat
sangat stabil, masih akan terus berkeliaran.
Ayo bicara soal plastik, penemuan manusia kira-kira 50 tahun yang
lalu. Materi mentah plastik produksi pabrik yang disebut nurdle, yang dilelehkan untuk membuat segala jenis produksi
plastik, buangannya sudah tersebar di hampir seluruh pantai. Hari ini, jika
kita meraup segenggam pasir pantai, sekitar 20%-nya berisi nurdle. Arus laut dan ombak yang mampu menggerus bebatuan menjadi
pasir, menggerus pula plastik menjadi begitu kecilnya sehingga dimakan oleh
banyak hewan laut yang keliru mengira butiran atau tepung plastik itu sebagai
telur ikan atau kril mengakibatkan konstipasi yang mematikan. Sejenis burung
laut yang mayatnya tersapu sampai garis pantai Laut Utara (North Sea) mengungkapkan bahwa 95% mayat burung-burung itu isi
perutnya masing-masing berisi rata-rata 44 potong plastik, atau kalau di tubuh
manusia proporsinya adalah 5 pound
atau 2,27 kg.
Walau remuk menjadi butiran, plastik tetap plastik. Plastik tidak
bersifat bio-degradable. Meskipun
beberapa kantong plastik diiklankan akan terurai dalam tumpukan sampah kompos
yang bersuhu tinggi, hal ini tidak terjadi di laut yang notabene bersuhu
dingin. Temuan partikel plastik yang terbuang ke alam di tahun 1990-an
meningkat menjadi tiga kali lipat dibanding temuan di tahun 1960-an. Dan
percayakah kau, bahwa exfoliant,
butir halus yang terkandung dalam cairan pencuci tangan, sabun pencuci muka dan
krim untuk mandi, ternyata kebanyakan adalah butir plastik? Hanya beberapa merk
produk yang benar-benar memakai biji anggur, biji aprikot, atau produk alami
lainnya. Sederhananya: mereka menjual plastik yang akan langsung menuju saluran
pembuangan, parit, sungai, lalu terjun bebas ke laut, terus dimakan oleh
makhluk kecil laut. Periksa lagi isi kamar mandimu.
Adalah seorang kapten kapal dari California bernama Charles Moore. Pada
tahun 1997 selepas dari perairan Honolulu dia tidak sengaja menemukan Daratan
Sampah Pasifik Besar (Great Pacific
Garbage Patch) terapung di Lautan Pasifik seukuran Texas. Isinya: 90%-nya
adalah segala macam sampah plastik. Sejak saat itu, Kapten Charles Moore giat
meneliti soal sampah plastik. Dia mengemukakan fakta bahwa seluruh sampah
plastik yang ada di laut, 80%-nya adalah buangan dari darat dan sisanya di
antaranya dicampakkan langsung ke laut dari kapal-kapal. Di tahun 2005 Daratan
Sampah Pasifik Besar sudah berkembang nyaris seukuran Afrika.
Apakah plastik pada akhirnya akan terurai? Belum ada yang tahu pasti,
karena umur produk plastik baru setengah abad dan sejauh ini belum ada yang
terurai. Pada saat terurai nanti, apakah akan mengeluarkan zat kimia berbahaya?
Belum ada yang tahu juga. Plastik bisa terapung, atau melayang di dalam air
atau mengendap di dasar laut. Butir-butir plastik terbawa arus global dari
daerah hangat ke daerah dingin, di Arktik dan Antartika. Seorang ilmuwan Jepang
melaporkan bahwa di laut, nurdle dan
potongan plastik lainnya bekerja sebagai magnet dan spons untuk racun yang
agresif dan tangguh seperti DDT & PCB. PCB inilah yang kemudian membawa peningkatan
malapetaka hormonal bagi ikan-ikan dan beruang kutub yang menjadi hermaprodit. Produksi
plastik dunia setengah abad ini sudah melampaui 1 milyar ton, menyumbang lebih
banyak lagi kekacauan di alam. Seorang ilmuwan lain yang optimis mengatakan,
“Beri waktu 100.000 tahun,” katanya, maka alam akan mulai bekerja mengolah dan
mengurai plastik.
Kingman Reef, atau Karang Kingman,
yang terletak 15 meter di bawah permukaan laut Pasifik, adalah salah satu
tempat yang paling sulit dicapai di bumi. Kingman dipercaya sebagai karang yang
paling tak tersentuh manusia, yang cocok untuk dijadikan lokasi penelitian
sebagai basis pengukuran gambaran karang paling sehat mendekati sempurna di
dunia dari sejak manusia belum muncul di bumi ini hingga sekarang. Jika kau
membayangkan bahwa kehidupan karang yang sehat adalah seperti akuarium-akuarium
raksasa ciptaan manusia, maka imajinasimu jinak sekali.
Hiu, snapper (sejenis ikan
karnivor besar yang garang), belut sepanjang lima kaki dan barakuda juga sepanjang
lima kaki (sekitar 1,5 meter) yang berenang berkelompok, adalah yang segera
paling banyak terlihat. Kapal yang dipakai merangkap ruang kerja oleh para
peneliti itu sampai bergoyang-goyang karena buih air yang diciptakan oleh
kawanan hiu. Segera ditemukan bahwa 85% berat kehidupan satwa di Kingman
ditempati oleh hiu, snapper, dan
ikan-ikan karnivor besar lainnya. Namun, para peneliti tamu yang ingin tahu itu
lebih jauh menemukan bahwa spesies Kingman ternyata begitu kaya ragamnya dengan
ikan-ikan berukuran lebih kecil lainnya. Tanpa kehadiran manusia, penghuni
Kingman mengatur sendiri cara hidup mereka.
Kepercayaan para peneliti bahwa Kingman belum tersentuh manusia
ternyata keliru. Dua hari sebelum mereka mengakhiri penelitian di situ, mereka
pergi ke sebuah pulau kecil di ujung Kingman. Apa yang mereka temukan begitu
mengejutkan. Sampah plastik. Dari ujung ke ujung pulau penuh dengan serakan
sampah plastik. Besoknya, mereka kembali dan mengumpulkan sampah tersebut ke
lusinan kantong sampah. Mereka tidak bermimpi bahwa tindakan mereka akan
mengembalikan kemurnian Kingman. Mereka tahu bahwa arus dari Asia akan membawa
lebih banyak lagi plastik ke situ. Bahkan sekarang pun mereka menyadari bahwa
manusia telah mengintervensi populasi hiu di Kingman. Bahwa hiu-hiu yang mereka
lihat di situ adalah hiu yang berumur masih remaja. Dalam dua puluh tahun
terakhir, para pemburu sirip hiu pasti sudah ke situ. Walaupun yang diambil
hanya sirip, kemudian hiu dilempar kembali hidup-hidup ke laut, hiu yang telah
kehilangan kemudi alaminya itu tenggelam ke dasar laut dan mati tercekik. Walaupun
telah dilancarkan kampanye untuk melarang kelezatan semacam ini, sirip hiu
tetap saja diburu. Dalam setahun, diperkirakan manusia mengambil hidup 100 juta
hiu, sementara hiu mungkin hanya menyerang 15 manusia. Sungguh pertarungan yang
tak seimbang.
Seorang ahli biologis konservasi kelautan yang pernah meneliti di
pulau karang Palmyra mengungkapkan pandangannya. Bahkan jika pemanasan global
memutihkan karang di Kingman dan Great
Barrier Reef di Australi, mereka pada akhirnya akan kembali pulih.
Karang-karang di dunia ini telah dihantam berkali-kali oleh beberapa jaman es,
dan mereka selalu bangkit kembali. Umur manusia di atas bumi ini hanya 7.000
tahun. Jika tiba-tiba manusia tidak ada lagi di muka bumi, dalam 200 tahun
kehidupan laut dan karang akan mulai pulih dan menyebar. Jika manusia kembali
lagi 500 tahun kemudian dan loncat ke laut, mereka akan ketakutan setengah mati
karena akan ada banyak sekali mulut yang menunggu. Alam punya kekuatan yang
luar biasa untuk bertahan pada apa pun.
Sekarang, kita bicara soal pupuk dan pengendali hama, bagian dari yang
kita konsumsi sehari-hari. John Bennet Lawes adalah pelopornya, dengan
mendirikan Rothamsted Research di
tahun 1843 yang terkenal sebagai pangkalan agrikultur tertua di dunia sekaligus
situs penelitian lapangan berkelanjutan terlama di dunia. Gudang datanya berisi
ribuan botol yang di dalamnya ditaruh berbagai sampel tanah percobaannya selama
sepanjang 160 tahun. Sebagian percobaannya adalah bagaimana tanah pertanian
bisa menghasilkan panen terbanyak dan dengan kualitas yang diinginkan, dengan
penemuan pupuk kimia dan zat kimia pengendali hama. Penelitiannya menjadi
penting ketika sejak abad ke-19 masyarakat dunia berkembang laju sebagai
masyarakat industri perkotaan dengan jumlah populasi yang terus menanjak, diikuti
oleh kebutuhan pangannya. Pertanian organik tidak dapat mencukupi kebutuhan
dunia. Para petani tidak lagi punya kemewahan berupa waktu dan pupuk kandang
yang membutuhkan banyak ternak. Apalagi kemudian ditemukan juga cara
memodifikasi secara genetis tanaman pertanian yang sudah dirancang untuk
tergantung pada pupuk kimia dan pengendali hama kimiawi produksi pabrik. Revolusi
hijau adalah jawabannya.
Zat kimia pengendali hama keluaran Rothamsted memakai PAH & dioxin
yang ternyata kemudian terbukti berdampak fatal pada sistem saraf dan
organ-organ tubuh lain. Di abad ke-20 PAH ditemukan melayang di awan sebagai
buangan kendaraan bermotor dan pabrik-pabrik berbahan bakar batu bara, juga ada
di dalam bau tajam aspal segar. Dioxin punya dampak mengganggu endokrin perubah
jenis kelamin yang sempat juga dipakai sebagai senjata kimia bernama Agent Orange yang disebar oleh Amerika pada
tahun 1964-1971 ke hutan-hutan di Vietnam untuk mengepung musuh. Empat puluh
tahun setelahnya, hutan-hutan itu masih belum pulih kembali.
Berbagai jenis logam berat yang semakin banyak dikandung atau sebagai
buangan di praktek agrikultur modern baik untuk tanaman pertanian maupun hewan
ternak adalah timah, cadmium, tembaga, merkuri, nikel, kobalt, vanadium,
arsenik, dan yang lebih ringan, seng dan aluminium. Daya tahan mereka di alam
beragam mulai dari 3.700 tahun untuk seng (setara dengan rentang sejak jaman
Perunggu hingga jaman sekarang), cadmium 7.500 tahun, timah 35.000 tahun
(setara dengan beberapa jaman es), dan yang paling keras kepala: kromium,
70.000 tahun. Timah saja punya efek pada sistem saraf, perkembangan belajar,
pendengaran, fungsi umum otak dan penyebab penyakit ginjal serta kanker. Paling
beracun adalah merkuri yang ternyata oleh beberapa produk pertanian yang
dimodifikasi secara genetis dapat diserap dan dilepaskan lagi ke lingkungan.
Jika ada yang masih ingat tentang tragedi Minamata di Jepang adalah tentang
betapa jahatnya merkuri itu. Setelah manusia tidak ada lagi, dampak dari semua
pupuk kimia sejak diciptakan dan dijajakan oleh John Lawes adalah 3.700 sampai
70.000 tahun.
Satu jenis hewan yang kelihatannya remeh oleh sebagian orang, sehingga
manusia terus membunuhnya baik sadar maupun tidak sampai jumlah yang tidak bisa
dipercaya, adalah burung. Musuh-musuh besar burung yang diciptakan oleh manusia
atau dekat dengan manusia adalah: bedil, menara pemancar, kabel listrik/telpon,
jendela dan kucing peliharaan.
North American passenger
pigeon,
atau arti harafiahnya merpati penumpang Amerika Utara, konon sempat
diperkirakan sebagai burung yang jumlahnya paling banyak di bumi karena memang
tak terhitung. Langit bisa dibuat gelap saat mereka terbang berkelompok dalam
jumlah milyaran di atas sana, membentuk bayangan bermil-mil jauhnya. Ketika
hutan ditebang menjadi lahan-lahan pertanian sejak tahun 1850, memburu mereka
jadi semakin mudah saja, karena mereka hinggap berkelompok dalam jumlah besar
di pohon-pohon yang masih tertinggal. Kabarnya, dagingnya enak dimakan. Ketika
ketahuan bahwa jumlah mereka yang tak terkira itu merosot drastis, suatu jenis
kegilaan mendorong para pemburu untuk malahan semakin bergegas membantai mereka,
mumpung mereka masih ada, katanya. Tahun 1900 perburuan selesai. Tinggal
sisa-sisa yang masih dikandangkan di kebun binatang Cincinatti. Pada saat
pengurus kebun binatang menyadari bahwa merpati yang mereka punya sudah jadi
hewan langka, terlambat sudah. Merpati terakhir mati di depan mata mereka tahun
1914. Sinting... Aku sampai mengurut keningku sendiri karena merasa pusing membacanya.
Burung-burung yang terbang bermigrasi telah berevolusi untuk terbang
menuju cahaya dalam cuaca buruk. Dulu, burung memakai sinar bulan. Ketika
listrik ditemukan oleh manusia, lampu menara pemancar menipu pandangan mereka.
Medan transmiter elektromagnetik yang dipancarkan oleh menara-menara ini juga
mengacaukan pemandu magnetik alami yang dimiliki oleh banyak burung, sehingga
burung-burung jadi terbang berputar-putar dan tersangkut di bubutan kabelnya. Laporan
tentang burung mati teronggok di sekitar basis menara TV mulai menarik
perhatian para ornitologis di tahun 1950-an. Di tahun 1980 diperkirakan ada
2.500 kematian per menara per tahunnya. Tahun 2000, dengan semakin banyaknya
menara menjulang tinggi menjadi 77.000 menara, U.S. Fish & Wildlife Service mengestimasi 200 juta kematian
burung tiap tahun, di Amerika saja. Di tahun 2005, ditambah dengan 175.000
menara pemancar untuk telepon genggam, kematian burung diperkirakan bertambah
lagi menjadi setengah milyar per tahun.
Pembabatan hutan membuat burung-burung belajar untuk hinggap di
kabel-kabel listrik atau telpon. Sejauh mereka tidak menutup sirkuit listrik
dengan menyentuh jalur kabel lainnya atau dengan tanah, mereka tidak tersetrum.
Jadi, masih relatif aman untuk burung-burung kecil. Namun tidak demikian halnya
untuk burung-burung besar seperti elang, rajawali, bangau dan flamingo yang
rentang sayapnya bisa menghubungkan dua jalur kabel sekaligus. Mati terpanggang
oleh listrik.
Di Amerika Utara dan Eropa, populasi beberapa spesies burung
bernyanyi hilang dua- pertiganya sejak tahun 1975. Beberapa penelitian terpisah
mengungkapkan data bahwa diperkirakan 60-80 juta burung mati terpanggang di
radiator atau terhempas di jendela kendaraan yang melaju kencang di jalan raya.
Di tahun 1990 dikeluarkan temuan bahwa jendela-jendela kaca di bangunan tiap
tahunnya sukses menewaskan 100 juta burung dalam keadaan patah leher, karena
burung tidak mengenal kaca sebagai penghalang. Sekarang diperkirakan sudah
bertambah paling sedikit 10 kali lipatnya menjadi 1 milyar, sekali lagi, itu
perhitungan untuk di Amerika saja.
Kucing, walau diberi makan secara teratur, masih terus
berburu. Dari tahun 1970-1990, kucing-kucing di Amerika jumlahnya bertambah
dari 30 juta menjadi 60 juta ekor. Berbagai penelitian menghitung bahwa tiap
kucing di perkotaan rata-rata membunuh 28 burung per tahun. Kucing di lahan
pertanian bahkan lebih lihai berburu. Di pedalaman Wisconsin, kucing-kucing
yang dibiarkan berkeliaran bebas bisa membunuh keseluruhannya 219 juta burung/tahun.
Bayangkan hitungannya jika itu kucing satu negara, bisa mencapai milyaran. Jika
tiba-tiba manusia menghilang dari muka bumi, maka burung akan menjadi salah
satu hewan yang paling terberkati.
Di tahun 1938, fisikawan Enrico Fermi dihibahkan hadiah Nobel
untuk karyanya di bidang neutron dan inti atom. Percobaan Enrico lebih jauh kemudian
berhasil menciptakan bom atom yang lalu dipakai oleh Amerika untuk meluluh-lantakkan
dua kota di Jepang: Hirosima dan Nagasaki.
Teknologi semakin berkembang. Hingga saat ini, ada 30.000
hulu ledak nuklir yang masih utuh dan sejumlah 441 pabrik nuklir di seluruh
dunia. Waste Isolation Pilot Plant
(WIPP) adalah tempat untuk menyimpan buangan luruhan senjata nuklir dan riset
pertahanan yang mampu menyimpan buangan 6,2 juta kubik kaki, atau sekitar
156.000 drum galon kapasitas 55. Seluruh 441 pabrik nuklir dunia setiap
tahunnya memproduksi hampir 13.000 ton sisa nuklir tingkat tinggi. Sejak sebuah
WIPP beroperasi di tahun 1999, lima tahun kemudian sudah terisi lebih dari 20%.
Anehnya, bahan bakar nuklir yang sudah terpakai kekuatan radioaktifnya malah
meningkat satu juta kali dibanding ketika masih segar. Tersimpan dalam reaktor,
mulai bermutasi menjadi elemen-elemen yang lebih berat dari uranium yang telah
diperkaya, seperti isotop plutonium dan americium. Uranium sendiri saja sudah
mampu menimbulkan dampak mutasi genetis pada makhluk hidup. Salah satu pengguna
WIPP adalah fasilitas pertahanan di Rocky Flats yang detonator plutoniumnya
untuk senjata atom pernah mengalami kebocoran di tahun 1989 hingga FBI
menggerebek dan menutup tempat itu. Situs itu kemudian dijadikan hutan suaka nasional.
Siapa pun dilarang mendekati tempat tersebut untuk jangka waktu 10.000 tahun
kemudian.
Jika manusia tiba-tiba menghilang dari muka bumi, memang pabrik-pabrik
nuklir tidak serta-merta meledak. Pertama kali yang terjadi, fungsi autopilot di 441 pabrik nuklir itu akan
mengambil alih untuk sementara waktu, lalu satu-persatu akan menjadi terlalu
panas. Setengahnya akan meledak, setengah lainnya meleleh. Meledak atau
meleleh, radioaktif akan memenuhi udara, perairan terdekat, lalu akan bertahan
dalam waktu geologis. Jutaan tahun. Bisa membayangkan jutaan tahun?
Akhirnya, Alan Weisman hanya
mengeluarkan 1 rekomendasi solusi di buku ini: setiap perempuan subur
melahirkan hanya 1 anak saja. Jika saja hal ini bisa dimulai besok, populasi
manusia sebanyak 6,5 milyar (ingat, buku ini dipublikasikan tahun 2007,
sekarang populasi manusia sudah mendekati 7,1 milyar) akan berkurang 1 milyar
di pertengahan abad ini. (Jika kita tetap meneruskan laju populasi seperti
biasa, maka di pertengahan abad ini akan meningkat menjadi 9 milyar.) Pada
tahun 2075 kita akan menyusut menjadi setengahnya yaitu 3,43 milyar. Dampaknya
akan besar sekali karena apa yang kita lakukan akan diperkuat oleh reaksi
berantai yang kita lepas ke ekosistem. Pada tahun 2100, kurang dari seabad dari
sekarang, kita akan mencapai jumlah 1,6 milyar, yaitu kembali tingkat populasi
di akhir abad ke-19.
Argumen
Alan untuk rekomendasi solusinya ini adalah: “Intinya, spesies apa pun yang
melebihi basis sumber dayanya akan mengalami kecelakaan populasi. Membatasi
reproduksi kita sudah pasti sulit sekali. Tapi membatasi insting konsumtif kita
adalah lebih sulit lagi... Suatu hari nanti, mungkin, kita akan belajar
mengendalikan nafsu kita, atau kecepatan kita melipatgandakan diri.” Mungkin...
Yang jelas, prediksi Alan di (sebelum) tahun 2007 itu sejauh ini sudah meleset.
**************
Walau “ringkasan” yang kubuat ini mungkin nampaknya kepanjangan,
tapi percayalah, ketika kau membaca langsung bukunya, ringkasan ini masih bukan
apa-apa. Jadi, tetap kurekomendasikan untuk membaca bukunya. Buku ini
menghantuiku selama berminggu-minggu dan merubah cara aku memandang ke
sekitarku. Aku jadi lebih hati-hati dalam mengkonsumsi dan bertindak.
Seperti biasa, ketika populasi manusia disinggung sebagai
penyebab utama bencana ekologis terbesar, banyak pihak tidak setuju. Alan
menyambut ini dengan berkata dia tahu bahwa isu populasi manusia banyak diredam,
didiamkan saja, tidak terang-terangan dibicarakan. Namun, menghilangkan faktor
populasi manusia sama saja dengan mengeliminir faktor utama. Jadi, tetap ada
yang harus berani membahasnya. Komunitas pembaca sendiri punya reaksi beragam
terhadap ini. Ada yang terang-terangan setuju, ada yang bersikap lebih
diplomatis, dan ada yang total skeptis. Seperti yang diibaratkan oleh seorang
pembaca, ada sebagian orang yang mirip burung onta yang membenamkan kepalanya
ke dalam pasir ketika ada bahaya. Konyolnya, kita banyak yang seperti itu,
bukan? Memilih untuk tidak tahu dan berharap orang lain saja yang
membereskannya untuk kita.
Jujur, aku malu pada umat manusia. Kadang-kadang, membaca buku Alan
sempat membuat aku merasa lega dan senang saat disimpulkan oleh beberapa tokoh
di dalamnya bahwa alam akan terus bertahan hidup dan jaya tanpa manusia. Tapi,
bahwa beberapa peninggalan manusia juga sekaligus berdampak bencana ekologis
yang dahsyat seperti plastik dan nuklir, hatiku jadi miris. Yang kita wariskan
ke generasi-generasi berikutnya, selama kita masih ada ribuan tahun sampai
jutaan tahun ke depan, adalah racun-racun dan begitu banyak kesia-siaan yang
tak terkatakan. Kitalah bencana terbesar yang pernah ada di planet bumi
semenjak kita ada.
Oke, aku akan berhenti di sini. Di bawah ini adalah
kutipan dari pernyataan beberapa orang yang sempat diwawancara untuk buku ini.
*******************
Nick Bostrom: “Tapi kalau pun manusia punah, menurut saya,
hal itu lebih disebabkan oleh teknologi-teknologi baru daripada kehancuran
lingkungan.”
Paul Martin: “Sederhana saja. Begitu manusia keluar dari Afrika dan
Asia dan tiba di wilayah-wilayah lain di dunia, semua pintu neraka terbuka.”
Tyler
Volk: “Pada akhirnya, siklus geologis akan mengembalikan CO2 kembali ke tingkat
di mana manusia belum ada. Itu akan butuh waktu 100.000 tahun.”
Partois
ole Santian: “Orang tua itu, Koonyi, sudah mengatakannya sendiri: ‘Akhir dari
Bumi, pada waktunya, AIDS akan menyapu bersih semua manusia. Hewan yang akan
mengambil alih kembali.’”
Richard
Thompson: "Artinya kita terlalu rendah menaksir jumlah plastik yang kita
temukan. Jawaban sebenarnya adalah kita tidak tahu ada berapa banyak plastik di
luar sana... Pikirkan ini: andaikan semua aktivitas manusia berhenti besok, dan
tiba-tiba tidak ada lagi plastik diproduksi. Dari yang sudah ada saja, dilihat
dari caranya plastik terpecah-pecah, organisme tanpa diragukan lagi harus
berurusan dengan barang ini. Ribuan tahun, mungkin. Atau malahan lebih.”
E.C.:
“Bahkan pada hari kerja biasa, sebuah pabrik petrokimia adalah sebuah bom waktu
yang terus berdetak.... Jika ini terjadi pada tiap pabrik di seluruh dunia,
bayangkan jumlah polutannya. Bayangkan pembakaran di Irak. Lalu lipat-gandakan
itu, di manapun... Seluruh generasi berikutnya dari tumbuhan dan binatang yang
tidak mati, mungkin harus bermutasi dalam cara yang bisa mempengaruhi evolusi.”
James
Lovelock: “Bumi berperilaku seperti super-organisme. Tanahnya, atmosfir, dan
samuderanya menggubah sebuah sistem sirkulasi yang diatur oleh flora dan fauna
di dalamnya... Planet yang hidup ini sedang menderita demam tinggi, dan
kita-lah virusnya.”
Abdiel Perez: “Terusan Panama adalah seperti luka
yang dibuat oleh manusia di atas Bumi; luka yang oleh alam ini sedang dicoba disembuhkan."
Kyung
Won: “Jika tidak ada pertanian yang memberi makan 20 juta manusia di Seoul,
belum lagi di Korea Utara, pompa-pompa yang bertahan melawan musim akan
berhenti. Air akan kembali, bersama dengannya kehidupan alam liar. Untuk
tumbuhan dan binatang, itu akan menjadi sebuah pembebasan. Sebuah surga.”
Hyon
Gak Sunim: “Dunia ini tidak permanen. Seperti tubuh kita, kita harus
melepaskannya... Tubuh itu adalah penting untuk pencerahan. Kita punya
kewajiban untuk merawat tubuh kita sendiri.”
E.
O. Wilson: “Di abad ini, kita akan membangun etika menurunkan populasi secara
bertahap, sampai kita mencapai sebuah dunia dengan penurunan drastis dampak
buatan manusia.”
Robert
Baker: “Aktivitas biasa manusia lebih merusak terhadap biodiversitas dan
berlimpahnya flora-fauna lokal daripada bencana terburuk pabrik nuklir.”
Arthur
Demarest: "Masyarakat telah berevolusi memunculkan terlalu banyak kaum
elit, semuanya menuntut barang mainan yang eksotis... Terlalu banyak pewaris
yang menginginkan singgasana, atau mengharuskan ritual pertumpahan darah untuk
memastikan ketinggian status mereka. Sehingga peperangan dinasti memuncak...
Ketika kau mempelajari kelompok-kelompok masyarakat yang sepercaya diri
masyarakat kita yang tercerai-berai dan akhirnya ditelan oleh rimba, kau
melihat bahwa keseimbangan antara ekologi dan masyarakat manusia sangat rapuh.
Jika ada sesuatu yang mengganggu keseimbangan tersebut, maka itu adalah akhir
dari segalanya.”
Doug
Erwin: "Bagaimanapun manusia pada akhirnya akan musnah. Segala sesuatunya
sejauh ini punah. Mirip dengan kematian:. Tidak ada alasan untuk beranggapan
bahwa kita berbeda. Tapi kehidupan akan terus berjalan. Mungkin awalnya
kehidupan mikroba. Atau lipan berlarian ke sana-ke mari. Kemudian hidup akan
membaik dan berlanjut, ada maupuan tidak ada kita di sini.”
Les
Knight: "Dari definisinya, kita adalah makhluk asing penyerbu. Di mana pun
kecuali di Afrika. Tiap kali Homo sapiens pergi ke mana pun, banyak terjadi kepunahan."
Jeremy
Jackson: “Aku hampir tidak bisa melihat dasar laut bahkan sepersepuluhnya saja
(ketika menyelam di pulau karang Palmyra). Pandanganku tertutup oleh hiu-hiu
dan ikan-ikan besar. Kau harus lihat sendiri ke sana.”
Enric
Sala: "Saya sungguh terpukau pada kemampuan hidup untuk bertahan terhadap
apa pun. Beri kesempatan, maka hidup akan merambah ke mana-mana. Sebuah spesies
yang kreatif dan hampir secerdas manusia pasti akan menemukan cara untuk meraih
keseimbangan. Sesungguhnya kita harus banyak belajar. Tapi saya belum menyerah
pada manusia... Bahkan kalau pun kita tidak melakukannya, jika planet ini mampu
keluar hidup-hidup dari Permian, maka dia juga bisa dari manusia.”
Dalai
Lama: “Siapa tahu?” (ketika ditanyakan apakah dunia akan berlanjut tanpa
manusia).
Abdùlhamit
Çakmut: “Dunia ada untuk melayani manusia, karena manusia adalah makhluk paling
mulia dari semua makhluk... Ada terdapat siklus-siklus dalam kehidupan. Dari
biji muncul pohon, dari pohon muncul buah yang kita makan, dan kita sebagai
manusia memberikan kembali. Segala sesuatunya dimaksudkan untuk melayani
manusia. Jika manusia menghilang dari siklus ini, alam itu sendiri juga akan
hilang... Kita melihat tanda-tanda. Keseimbangan sudah rusak. Segala yang baik
dikalahkan. Terjadi lebih banyak ketidakadilan, eksploitasi, korupsi, polusi.
Inilah yang sedang kita hadapi sekarang... Kita memelihara tubuh kita agar bisa
hidup lebih lama. Kita juga harus melakukannya untuk dunia. Jika kita
menghargainya, membuatnya berlangsung selama mungkin, kita bisa menangguhkan
hari kiamat.”
Aku: “Kalau aku mati, aku ingin bisa meninggalkan jejak
materi seminim mungkin. Syukurlah bila alam setuju bahwa itulah salah satu
bentuk tahu-diri dan terima kasihku pada alam ini karena sudah pernah menampung
aku hidup...” (tidak diwawancara oleh Alan, tapi ingin juga mengeluarkan
pendapatku J)
RTTb,
31 Januari 2013
*****************
Sumber:
Weisman, Alan. The World Without Us. New York: St. Martin’s Press, 2007.
jadi ini fiksi atau bukan?
BalasHapusiya ringkasannya kepanjangan. dan spoiler ya. [elu banget] tapi gw akan cari bukunya. versi INDO :p
Non-fiksi, Loly. Walaupun bbrp orang usul dimasukin ke speculative science. Spoiler? Nooo, I'm no spoiler. Rather, agitator or provocator, maybe ;)
BalasHapus