MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Selasa, 08 Oktober 2013

DOA SEBELUM MATI

Tuhan,
Bila kau ada.
(Dan apa pula perlunya kau buktikan dirimu tiap kali manusia memintanya?)
Bisa aku minta sesuatu?


Kurasa tak sulit, Tuhan.
Karena aku tidak bermaksud mempersulit siapa pun selama hidupku dan sisanya.
Aku mengajukan padamu keinginanku untuk kematianku nanti.       

Tuhan,
Aku telah mengamati dan merenungi kisah hidup banyak orang.
Yah, walaupun aku belum pernah menunggui orang di detik-detik menjelang ajal mereka.
Tapi aku sudah terpapar banyak kisah tentang menghadapi kematian.
Dan aku tahu apa yang kuinginkan untuk kematianku sendiri.

Tuhan,
Yang aku mau:
Siapa pun tidak boleh tergantung padaku, dan aku tidak boleh tergantung pada siapa pun.

Suatu waktu aku bertemu seorang asing dalam perjalananku
Dia bertanya-tanya tentang gaya hidupku, seperti banyak orang ingin tahu lainnya
Aku menjawab semua pertanyaannya.  
Lalu dia bertanya
“Mau jadi orang bebas, ya?”
Aku tertegun.
Nampaknya tidak penting lagi bagiku tentang mau menjadi bebas.
Sampai taraf tertentu, aku termasuk orang bebas di muka bumi ini.
“Saya ingin jadi orang yang mandiri,” jawabku.
Dan setelah mengucapkan itu, aku merasa memantap.

Ya, sampai nanti menjelang mati aku tidak ingin menyusahkan siapa pun.
Sebuah kematian yang cepat dan bersih, Tuhan.
Itu mau ku.

Tolong, aku tidak sudi dihinggapi penyakit-penyakit yang membuatku lumpuh dan menderita terlalu lama di tempat tidur sementara orang lain harus merawatku.
Sungguh beruntung orang-orang yang pada hari itu sehat walafiat, pergi tidur, lalu tiba-tiba mati. Tanpa rasa sakit pula.

Aku telah bertemu banyak orang yang menurutku tidak bisa mengurus dirinya sendiri.
Orang-orang yang sedang menabung penyakit.
Mereka yang di masa mudanya takabur dengan vitalitas fisik mereka.
(Aku pun dulu begitu.)
Ketika penyakit-penyakit mulai menetap dan usia semakin lanjut, dengan keras kepalanya mereka masih mempertahankan gaya hidup yang sudah-sudah itu.
Lalu apa?
Mereka berharap nanti kalau sakit sudah semestinya akan ada yang merawat mereka, begitu?

Hmmm... Kemewahan seperti itu tidak ada padaku.
Aku tidak punya keturunan.
Bahkan bila ada, bukan mereka yang akan membenahi kekacauan yang kuciptakan sendiri.
Banyak orang lain yang akan lebih membutuhkan mereka.
Aku juga tidak menginginkan sanak saudara merawatku.
Sedari dulu aku tidak pernah berpaling pada mereka di saat-saat sulitku.
Tidak dulu, tidak sekarang, dan tidak akan.
Aku pun tidak membayangkan teman-temanku bersusah-payah menemaniku di lorong panjang menuju kematianku.
Biarlah mereka lanjut saja dengan jalan hidup mereka.
Bila ada orang yang kukasihi yang berada di dekatku,
Dia-ah orang terakhir yang ingin kupersulit hidupnya dengan menanggung bebanku.
Aku-lah orangnya yang harus bertanggung jawab atas diriku sendiri dan hasil perbuatanku sendiri.

Bila suatu saat kau ingin menjatuhkan padaku suatu penyakit berat,
Jadikanlah itu suatu jenis yang sekaligus dahsyat dan sekejap mata.
Lalu cepat-cepatlah kau ambil kembali nyawaku untukmu.
Atau kau lebih suka dengan kecelakaan?
Lalu kau buat aku tetap hidup dalam kelumpuhan?
Aaaarrrggghhhh,  jangan, Tuhan!
Jangan yang itu.
Pasti rasanya sakit dan menyebalkan sekali.
Aku tidak suka hidup dikasihani
Apalagi jika aku tidak mampu membalasnya.

Dan dengarlah, hai Tuhan
Aku juga tidak ingin berumur begitu panjangnya.
Aku meringis dan mengernyit tiap kali ada orang yang mengucapkan padaku: “Semoga panjang umur”.
Bisakah kau bayangkan kalau itu dirimu sendiri, Tuhan
Harus hidup begitu lama dalam fisik yang menua dan melemah
Daya pikir dan ingatan yang terus memburuk
Tiap hari duduk terpekur sampai membatu
Dan tidak diinginkan...

Kalau aku sudah mati nanti
Aku tidak ingin memakai tanah untuk kuburanku.
Biar dipakai saja oleh mereka yang masih hidup.
Ya, bakar saja tubuhku.
Selesai perkara!
Dan terserah abunya mau diapakan.
Tidak penting lagi bagiku.
Namun sebelum dibakar, bila boleh, bagian-bagian tubuhku yang masih sehat diberikan untuk mereka yang butuh.  

Bapakku sendiri sampai tidak percaya dan melarangku bila nantinya mayatku dibakar dan bagian-bagian yang sehat dibagi-bagikan ke orang-orang lain.
Tapi, tahu apa dia?
Dan apa pula haknya menentukan bagaimana aku berkehendak mayatku diperlakukan?
Jangan biarkan dia dan orang-orang lain yang tak berhak itu memperlakukan mayatku dalam cara-cara yang menurutku tidak perlu-perlu amat.

Dan jika kau masih mau berbaik hati padaku, Tuhan
Akan sangat kuhargai bila kau memberitahuku kapan kematianku datang.
Aku akan menghitung mundur hari-hari yang masih ada
Mengisinya penuh-penuh sampai dead-line
Membayar hutang-hutangku dan membalaskan kebaikan yang diberikan padaku
Lalu menyambut maut yang mendekat dengan senyum dan tawa.

Maka, dengarlah hai Tuhan.
Beginilah aku mengusahakan untuk bekerja sama denganmu.
Berangsur-angsur aku sedang memperkuat diriku dan kesehatanku
Sampai di suatu titik aku tetap tidak perlu bergantung pada siapa pun
Gangguan-gangguan yang masih tingkat ringan dan sedang biar kuhadapi.
Engkau sajalah yang bisa mengukur sampai mana aku bisa menanggungkannya sendiri.

Dan aku tidak punya hutang, Tuhan.
Aku tidak berhutang uang dan barang pada siapa pun yang uang dan barangnya kupinjam.
Masalahku ada di perihal hutang budi
Pada orang-orang baik, apalagi mereka yang tidak berpamrih
Karena mereka yang berpamrih akan lebih bersedia menakar
Dan aku membalas menurut takaran yang kami sepakati.
Maka yang kulakukan seringkali adalah membalaskannya pada yang lain
Yaitu pada mereka yang lebih membutuhkan bila dibanding orang-orang yang kuhutangi budinya.
Rasanya lebih tepat begitu, daripada mubazir.
Seperti kata orang bijak, layaknya menggarami laut.

Dan engkau tahu betul, Tuhan
Aku mulai belajar membuka mataku dan memahami bahwa aku pun banyak sekali berhutang pada seisi alam semesta
Aku, sebutir kecil debu remeh ini.
Aku tahu aku tidak bisa berbuat banyak membalas sang Ibu Jagat Raya
Maka dengan rendah hati aku menapak langkah-langkah kecil untuk membalas kebaikannya.

Sedangkan hutangku padamu?
Aku menyerah, Tuhan.
Biarpun kau buat aku reinkarnasi ratusan kali
Mana mungkin aku bisa membalasmu?
Dan aku yakin kau pun tidak membutuhkannya, bukan?

Dan aku mengusulkan permintaan kerjasama darimu, Tuhan.
Yaitu keinginan-keinginanku yang sudah kupanjatkan tadi ke tempatmu yang tinggi
Mohon dengar dan pertimbangkan.
Bukankah yang kuminta itu tidak merugikanmu, tidak merugikan siapa pun, juga tidak merugikan diriku sendiri?
Dan begitu mudahnya, semudah engkau menjentik sebutir debu remeh?

(Amin)



Jbr-DM, 8 Oktober 2013   

1 komentar: