Tuhan,
Bila kau ada.
(Dan apa pula perlunya kau buktikan
dirimu tiap kali manusia memintanya?)
Bisa aku minta sesuatu?
Kurasa tak sulit, Tuhan.
Karena aku tidak bermaksud mempersulit
siapa pun selama hidupku dan sisanya.
Aku mengajukan padamu
keinginanku untuk kematianku nanti.
Tuhan,
Aku telah mengamati dan merenungi kisah
hidup banyak orang.
Yah, walaupun aku belum pernah menunggui
orang di detik-detik menjelang ajal mereka.
Tapi aku sudah terpapar banyak kisah
tentang menghadapi kematian.
Dan aku tahu apa yang kuinginkan untuk
kematianku sendiri.
Tuhan,
Yang aku mau:
Siapa pun tidak boleh tergantung padaku,
dan aku tidak boleh tergantung pada siapa pun.
Suatu waktu aku bertemu seorang asing
dalam perjalananku
Dia bertanya-tanya tentang gaya hidupku,
seperti banyak orang ingin tahu lainnya
Aku menjawab semua pertanyaannya.
Lalu dia bertanya
“Mau jadi orang bebas, ya?”
Aku tertegun.
Nampaknya tidak penting lagi bagiku
tentang mau menjadi bebas.
Sampai taraf tertentu, aku termasuk
orang bebas di muka bumi ini.
“Saya ingin jadi orang yang mandiri,”
jawabku.
Dan setelah mengucapkan itu, aku merasa memantap.
Ya, sampai nanti menjelang mati aku
tidak ingin menyusahkan siapa pun.
Sebuah kematian yang cepat dan bersih,
Tuhan.
Itu mau ku.
Tolong, aku tidak sudi dihinggapi
penyakit-penyakit yang membuatku lumpuh dan menderita terlalu lama di tempat
tidur sementara orang lain harus merawatku.
Sungguh beruntung orang-orang yang pada
hari itu sehat walafiat, pergi tidur, lalu tiba-tiba mati. Tanpa rasa sakit
pula.
Aku telah bertemu banyak orang yang
menurutku tidak bisa mengurus dirinya sendiri.
Orang-orang yang sedang menabung
penyakit.
Mereka yang di masa mudanya takabur
dengan vitalitas fisik mereka.
(Aku pun dulu begitu.)
Ketika penyakit-penyakit mulai menetap dan
usia semakin lanjut, dengan keras kepalanya mereka masih mempertahankan gaya
hidup yang sudah-sudah itu.
Lalu apa?
Mereka berharap nanti kalau sakit sudah
semestinya akan ada yang merawat mereka, begitu?
Hmmm... Kemewahan seperti itu tidak ada
padaku.
Aku tidak punya keturunan.
Bahkan bila ada, bukan mereka yang akan membenahi
kekacauan yang kuciptakan sendiri.
Banyak orang lain yang akan lebih membutuhkan
mereka.
Aku juga tidak menginginkan sanak
saudara merawatku.
Sedari dulu aku tidak pernah berpaling
pada mereka di saat-saat sulitku.
Tidak dulu, tidak sekarang, dan tidak
akan.
Aku pun tidak membayangkan teman-temanku
bersusah-payah menemaniku di lorong panjang menuju kematianku.
Biarlah mereka lanjut saja dengan jalan
hidup mereka.
Bila ada orang yang kukasihi yang berada
di dekatku,
Dia-ah orang terakhir yang ingin
kupersulit hidupnya dengan menanggung bebanku.
Aku-lah orangnya yang harus bertanggung
jawab atas diriku sendiri dan hasil perbuatanku sendiri.
Bila suatu saat kau ingin menjatuhkan
padaku suatu penyakit berat,
Jadikanlah itu suatu jenis yang
sekaligus dahsyat dan sekejap mata.
Lalu cepat-cepatlah kau ambil kembali
nyawaku untukmu.
Atau kau lebih suka dengan kecelakaan?
Lalu kau buat aku tetap hidup dalam
kelumpuhan?
Aaaarrrggghhhh, jangan, Tuhan!
Jangan yang itu.
Pasti rasanya sakit dan menyebalkan
sekali.
Aku tidak suka hidup dikasihani
Apalagi jika aku tidak mampu membalasnya.
Dan dengarlah, hai Tuhan
Aku juga tidak ingin berumur begitu
panjangnya.
Aku meringis dan mengernyit tiap kali
ada orang yang mengucapkan padaku: “Semoga panjang umur”.
Bisakah kau bayangkan kalau itu dirimu
sendiri, Tuhan
Harus hidup begitu lama dalam fisik yang
menua dan melemah
Daya pikir dan ingatan yang terus
memburuk
Tiap hari duduk terpekur sampai membatu
Dan tidak diinginkan...
Kalau aku sudah mati nanti
Aku tidak ingin memakai tanah untuk
kuburanku.
Biar dipakai saja oleh mereka yang masih
hidup.
Ya, bakar saja tubuhku.
Selesai perkara!
Dan terserah abunya mau diapakan.
Tidak penting lagi bagiku.
Namun sebelum dibakar, bila boleh,
bagian-bagian tubuhku yang masih sehat diberikan untuk mereka yang butuh.
Bapakku sendiri sampai tidak percaya dan
melarangku bila nantinya mayatku dibakar dan bagian-bagian yang sehat
dibagi-bagikan ke orang-orang lain.
Tapi, tahu apa dia?
Dan apa pula haknya menentukan bagaimana
aku berkehendak mayatku diperlakukan?
Jangan biarkan dia dan orang-orang lain
yang tak berhak itu memperlakukan mayatku dalam cara-cara yang menurutku tidak
perlu-perlu amat.
Dan jika kau masih mau berbaik hati
padaku, Tuhan
Akan sangat kuhargai bila kau
memberitahuku kapan kematianku datang.
Aku akan menghitung mundur hari-hari
yang masih ada
Mengisinya penuh-penuh sampai dead-line
Membayar hutang-hutangku dan membalaskan
kebaikan yang diberikan padaku
Lalu menyambut maut yang mendekat dengan
senyum dan tawa.
Maka, dengarlah hai Tuhan.
Beginilah aku mengusahakan untuk bekerja
sama denganmu.
Berangsur-angsur aku sedang memperkuat
diriku dan kesehatanku
Sampai di suatu titik aku tetap tidak
perlu bergantung pada siapa pun
Gangguan-gangguan yang masih tingkat ringan
dan sedang biar kuhadapi.
Engkau sajalah yang bisa mengukur sampai
mana aku bisa menanggungkannya sendiri.
Dan aku tidak punya hutang, Tuhan.
Aku tidak berhutang uang dan barang pada
siapa pun yang uang dan barangnya kupinjam.
Masalahku ada di perihal hutang budi
Pada orang-orang baik, apalagi mereka
yang tidak berpamrih
Karena mereka yang berpamrih akan lebih
bersedia menakar
Dan aku membalas menurut takaran yang
kami sepakati.
Maka yang kulakukan seringkali adalah
membalaskannya pada yang lain
Yaitu pada mereka yang lebih membutuhkan
bila dibanding orang-orang yang kuhutangi budinya.
Rasanya lebih tepat begitu, daripada
mubazir.
Seperti kata orang bijak, layaknya
menggarami laut.
Dan engkau tahu betul, Tuhan
Aku mulai belajar membuka mataku dan
memahami bahwa aku pun banyak sekali berhutang pada seisi alam semesta
Aku, sebutir kecil debu remeh ini.
Aku tahu aku tidak bisa berbuat banyak
membalas sang Ibu Jagat Raya
Maka dengan rendah hati aku menapak
langkah-langkah kecil untuk membalas kebaikannya.
Sedangkan hutangku padamu?
Aku menyerah, Tuhan.
Biarpun kau buat aku reinkarnasi ratusan
kali
Mana mungkin aku bisa membalasmu?
Dan aku yakin kau pun tidak
membutuhkannya, bukan?
Dan aku mengusulkan permintaan kerjasama
darimu, Tuhan.
Yaitu keinginan-keinginanku yang sudah
kupanjatkan tadi ke tempatmu yang tinggi
Mohon dengar dan pertimbangkan.
Bukankah yang kuminta itu tidak merugikanmu,
tidak merugikan siapa pun, juga tidak merugikan diriku sendiri?
Dan begitu mudahnya, semudah engkau
menjentik sebutir debu remeh?
(Amin)
Jbr-DM, 8 Oktober 2013
Trimakasih...
BalasHapus