MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Senin, 11 November 2013

DI TEPI JURANG

Dua orang perempuan.
Di tepi jurang.

Yang satunya duduk-duduk menikmati dan merawat tanaman-tanamannya. Hanyut sendiri dalam keasikannya, bernyanyi kecil dan sesekali bercakap-cakap pada tanaman.

Yang satunya lagi duduk di pinggiran jurang memandang ke seberang. Menungggu. Bersiap.

“Tidakkah kau ingin tahu apa yang ada di seberang sana?”

“Mmmmm.... Belum kepingin.”

“Apa yang sedang kau lakukan, teman?”

Dia tersenyum, “Aku sedang merawat tanaman-tanamanku.”

“Kenapa?”

“Kenapa tidak? Aku menyukainya. Kau sendiri, apa yang kau lakukan?”

“Aku menunggu untuk bisa melihat dengan jelas apa yang ada di sisi sebelah sana.”

“Kenapa?”

Yang ditanya menoleh ke yang lainnya, “Karena aku harus tahu apa yang ada di sana. Karena aku butuh menuju ke sana. Tapi aku belum bisa melihat dengan jelas. Aku belum mengerti apa yang ada di sana. Kabut ini terlalu tebal.”

Perempuan dengan tanaman beranjak ke sebelah temannya dan mencoba melihat menembus kabut. Tidak berhasil. Dia mengangkat bahunya dan kembali ke tanamannya lagi.

“Tunggu saja sampai kabutnya pergi. Nanti juga kau bisa melihat sendiri.”

“Justru itu yang sedang kulakukan. Begitu kabut reda, aku harus bisa langsung melihat. Kalau aku tidak menunggu seperti ini, bisa-bisa aku kehilangan kesempatan karena kabut bisa saja datang lagi.”

“Yaah, tidak apa kan? Kau tinggal menunggu lagi saja. Kenapa kau tidak mengisi waktumu dengan kegiatan lain saja? Daripada duduk-duduk menunggu seperti itu. Kau tidak bosan? Ke sinilah. Lihat tanaman-tanamanku. Mereka cantik, ya?”

Perempuan penunggu kabut beranjak dari tempatnya duduk, menuju ke sisi temannya dan melihat tanaman-tanaman itu. Sekali-sekali dia masih menoleh ke arah tepian jurang, berharap kabut tersibak.

“Kenapa kau ada di sini?”

Hening. “Aku terluka oleh dukaku. Aku kehilangan seseorang yang amat kukasihi. Dia pergi untuk selamanya. Aku ingin melupakan duka ini. Walaupun, yaahhh... ada juga beberapa hal lain, tapi tak sebermakna duka itu.”

“Tapi kenapa kau datang ke tepi jurang ini? Apakah kau juga ingin menyeberang ke sisi sana?”

“Ya. Tapi aku belum siap untuk pergi ke sana. Aku ingin di sini dulu merawat tanaman-tanamanku. Tapi aku tidak mau kembali ke belakang sana. Rasanya terlalu menyakitkan. Begini lebih baik. Kau sendiri, kenapa kau ada di sini?”

“Entahlah. Aku tidak merasa tertarik lagi pada apa-apa yang dulu kutekuni.” Dipilinnya rambutnya. Ada sejumput resah di sana.  

“Tapi bukannya kau selalu mencari lalu pergi dan melepaskan semua?”

“Iya. Yang kali ini rasanya berbeda. Sebuah persimpangan besar berikutnya. Bisa jadi lompatan jauh. Tapi sial, kabut ini tebal nian. Aku tidak bisa mengira apa pun yang ada di seberang sana yang menunggu untukku. Aku tahu, aku harus menunggu dan berjaga.”

“Sampai kapan kau sanggup menunggu?”

“Entahlah. Entahlah. Aku tidak pernah bisa memastikan sampai sejauh apa aku tahan menunggu. Kau sendiri, sampai kapan kau  mau bertahan di sisi sini?”

“Sampai aku bosan sendiri, mungkin. Tapi aku bisa menemukan sesuatu yang menarik untuk kulakukan. Dan selalu ada penunggu jurang sepertimu. Atau bahkan juga orang-orang yang mau terus bertahan di sisi sini. Jadi kau lihat? Aku bisa tinggal di sini sampai kapan pun kalau aku menginginkannya.”

“Kau bisa saja mati di sini dan tidak pernah pergi ke seberang sana?”

Yang ditanya hanya tersenyum.

“Apakah kau tahu apa yang menunggumu di sisi sana?”

“Mungkin tidak jauh berbeda dengan yang kulakukan di sini sekarang. Yang sedang kulakukan di sini, sekarang, dan yang ada di sisi sana, kupikir lebih baik daripada yang sudah kutinggalkan di belakang sana. Jadi, tidak masalah bagiku bila aku berlama-lama di sini.”

“Hmmm.... ya, ya.” Perempuan penunggu kabut mengamati baik-baik temannya yang tenggelam dalam kesibukannya. Lalu sambil tersenyum dia berkata, “Pernahkah terpikir olehmu bahwa jangan-jangan kau masih terlalu takut untuk melompat ke seberang sana? Takut untuk meninggalkan semua keasikanmu yang kau bangun di sini? Takut untuk melihat ke seberang sana?”

Dia tertawa kecil. “Ah, kau, dengan gangguan-gangguanmu itu. Kalau kau sudah siap melompat, melompat sajalah sana. Aku tidak akan berusaha menahanmu.”

“Hahahaha..... Bila aku sudah akan melompat, tidak ada seorang pun yang bisa menahanku. Bahkan tidak diriku sendiri. Tidak juga keasikan-keasikan yang aku bangun, bila aku sempat membangunnya.” Dia terdiam. Tatapannya kembali mencoba menembus kabut.

Lalu katanya lagi, “Yang kubutuhkan saat ini adalah kabut ini untuk pergi. Aku butuh kejernihan untuk melihat ke seberang sana.”   

Perempuan penunggu tanaman terpekur sejenak mencoba merenungkan perkataan temannya itu. Lalu mereka kembali lagi ke keasyikan masing-masing.
  
 


Kita pernah membincangkan sepenggal kecil percakapan ini, teman....

Ub-Han, 11 November 2013

1 komentar:

  1. "Yang kali ini rasanya berbeda. Sebuah persimpangan besar berikutnya."
    Yoi, bener banget tuh...

    BalasHapus