Dua orang perempuan.
Yang satunya duduk-duduk menikmati dan
merawat tanaman-tanamannya. Hanyut sendiri dalam keasikannya, bernyanyi kecil
dan sesekali bercakap-cakap pada tanaman.
Yang satunya lagi duduk di pinggiran
jurang memandang ke seberang. Menungggu. Bersiap.
“Tidakkah kau ingin tahu apa yang ada di
seberang sana?”
“Mmmmm.... Belum kepingin.”
“Apa yang sedang kau lakukan, teman?”
Dia tersenyum, “Aku sedang merawat
tanaman-tanamanku.”
“Kenapa?”
“Kenapa tidak? Aku menyukainya. Kau
sendiri, apa yang kau lakukan?”
“Aku menunggu untuk bisa melihat dengan
jelas apa yang ada di sisi sebelah sana.”
“Kenapa?”
Yang ditanya menoleh ke yang lainnya,
“Karena aku harus tahu apa yang ada di sana. Karena aku butuh menuju ke sana.
Tapi aku belum bisa melihat dengan jelas. Aku belum mengerti apa yang ada di
sana. Kabut ini terlalu tebal.”
Perempuan dengan tanaman beranjak ke
sebelah temannya dan mencoba melihat menembus kabut. Tidak berhasil. Dia
mengangkat bahunya dan kembali ke tanamannya lagi.
“Tunggu saja sampai kabutnya pergi.
Nanti juga kau bisa melihat sendiri.”
“Justru itu yang sedang kulakukan.
Begitu kabut reda, aku harus bisa langsung melihat. Kalau aku tidak menunggu
seperti ini, bisa-bisa aku kehilangan kesempatan karena kabut bisa saja datang
lagi.”
“Yaah, tidak apa kan? Kau tinggal
menunggu lagi saja. Kenapa kau tidak mengisi waktumu dengan kegiatan lain saja?
Daripada duduk-duduk menunggu seperti itu. Kau tidak bosan? Ke sinilah. Lihat
tanaman-tanamanku. Mereka cantik, ya?”
Perempuan penunggu kabut beranjak dari
tempatnya duduk, menuju ke sisi temannya dan melihat tanaman-tanaman itu.
Sekali-sekali dia masih menoleh ke arah tepian jurang, berharap kabut tersibak.
“Kenapa kau ada di sini?”
Hening. “Aku terluka oleh dukaku. Aku
kehilangan seseorang yang amat kukasihi. Dia pergi untuk selamanya. Aku ingin
melupakan duka ini. Walaupun, yaahhh... ada juga beberapa hal lain, tapi tak
sebermakna duka itu.”
“Tapi kenapa kau datang ke tepi jurang
ini? Apakah kau juga ingin menyeberang ke sisi sana?”
“Ya. Tapi aku belum siap untuk pergi ke
sana. Aku ingin di sini dulu merawat tanaman-tanamanku. Tapi aku tidak mau
kembali ke belakang sana. Rasanya terlalu menyakitkan. Begini lebih baik. Kau
sendiri, kenapa kau ada di sini?”
“Entahlah. Aku tidak merasa tertarik lagi
pada apa-apa yang dulu kutekuni.” Dipilinnya rambutnya. Ada sejumput resah di
sana.
“Tapi bukannya kau selalu mencari lalu
pergi dan melepaskan semua?”
“Iya. Yang kali ini rasanya berbeda.
Sebuah persimpangan besar berikutnya. Bisa jadi lompatan jauh. Tapi sial, kabut
ini tebal nian. Aku tidak bisa mengira apa pun yang ada di seberang sana yang
menunggu untukku. Aku tahu, aku harus menunggu dan berjaga.”
“Sampai kapan kau sanggup menunggu?”
“Entahlah. Entahlah. Aku tidak pernah
bisa memastikan sampai sejauh apa aku tahan menunggu. Kau sendiri, sampai kapan
kau mau bertahan di sisi sini?”
“Sampai aku bosan sendiri, mungkin. Tapi
aku bisa menemukan sesuatu yang menarik untuk kulakukan. Dan selalu ada penunggu
jurang sepertimu. Atau bahkan juga orang-orang yang mau terus bertahan di sisi
sini. Jadi kau lihat? Aku bisa tinggal di sini sampai kapan pun kalau aku menginginkannya.”
“Kau bisa saja mati di sini dan tidak
pernah pergi ke seberang sana?”
Yang ditanya hanya tersenyum.
“Apakah kau tahu apa yang menunggumu di
sisi sana?”
“Mungkin tidak jauh berbeda dengan yang
kulakukan di sini sekarang. Yang sedang kulakukan di sini, sekarang, dan yang
ada di sisi sana, kupikir lebih baik daripada yang sudah kutinggalkan di
belakang sana. Jadi, tidak masalah bagiku bila aku berlama-lama di sini.”
“Hmmm.... ya, ya.” Perempuan penunggu
kabut mengamati baik-baik temannya yang tenggelam dalam kesibukannya. Lalu sambil
tersenyum dia berkata, “Pernahkah terpikir olehmu bahwa jangan-jangan kau masih
terlalu takut untuk melompat ke seberang sana? Takut untuk meninggalkan semua keasikanmu
yang kau bangun di sini? Takut untuk melihat ke seberang sana?”
Dia tertawa kecil. “Ah, kau, dengan gangguan-gangguanmu
itu. Kalau kau sudah siap melompat, melompat sajalah sana. Aku tidak akan
berusaha menahanmu.”
“Hahahaha..... Bila aku sudah akan
melompat, tidak ada seorang pun yang bisa menahanku. Bahkan tidak diriku
sendiri. Tidak juga keasikan-keasikan yang aku bangun, bila aku sempat
membangunnya.” Dia terdiam. Tatapannya kembali mencoba menembus kabut.
Lalu katanya lagi, “Yang kubutuhkan saat
ini adalah kabut ini untuk pergi. Aku butuh kejernihan untuk melihat ke
seberang sana.”
Perempuan penunggu tanaman terpekur
sejenak mencoba merenungkan perkataan temannya itu. Lalu mereka kembali lagi ke
keasyikan masing-masing.
Kita
pernah membincangkan sepenggal kecil percakapan ini, teman....
"Yang kali ini rasanya berbeda. Sebuah persimpangan besar berikutnya."
BalasHapusYoi, bener banget tuh...