MENGANTAR DI PINTU RUANG BERCERMIN

Berbagi Cermin Hidup...

Adalah niatanku (dan mereka yang turut berkisah) untuk saling berbagi proses dan hasil perenungan hidup kami. Aku masih seorang pemula, dan pasti juga bukan perintis. Kita teruskan saja apa yang pernah dan masih menjadi baik.
Jika kau bisa menemukan cerminmu di kisah-kisah yang kuceritakan, aku ikut merasa senang. Jika tidak, berbagilah dengan orang-orang lain, karena mungkin seseorang yang lain bisa menemukan cerminnya di situ.
Mari berbagi cermin hidup.

Rabu, 20 November 2013

10 THINGS I HATE ABOUT HIM


Apa kau pernah merasakan ketertarikan yang kuat pada seseorang, lalu kau tidak/belum berani menyatakan isi hatimu padanya, dan di satu titik kau merasa bahwa (karena perhatian khusus yang kau berikan padanya tidak berbalas-padan) kau harus memulai, walau dengan berat hati, melepaskan dia, meredakan gemuruh perasaan dan hormonmu, dan mencoba berteman lagi saja dengannya?


Aku baru saja mengalaminya, lagi. Dia barusan kukenal melalui seorang teman lama. Seperti biasa, aku segera tertarik kepada kebaikan hati yang tidak culas, tidak terpulas kepentingan tersembunyi yang egois. Kebaikan yang jujur.

Dan engkau juga tahu bukan, bahwa kebaikan seseorang bisa membuat orang lain merasa cukup Ge-ER sehingga melambungkan harapan dan menjadi biang keladi munculnya imajinasi-imajinasi romantis di dalam sebuah kepala yang sarat gede rasa?

Sama. Aku tak terkecuali, juga jadi ge-er. Lalu terlalu berharap. Padahal, dia baik ke semua orang, tanpa kecuali. Tapi aku jadi buta karena pandanganku dikeruhi cairan semu hidrosefalus yang bikin kepalaku jadi mengembang. Setelah kutimbang-timbang (ini setelah isi kepalaku agak cukup jernih dan mengempis) nampaknya dia tidak memperlakukan aku berbeda dengan orang-orang lainnya. Sederhananya, sekali lagi, dia memang pada dasarnya baik. Titik.

Aku pun mulai merasakan sedih dan kecewa. Tidak, aku tidak marah. Bagaimana mungkin aku bisa marah pada orang yang berlaku baik dan santun padaku? Namun, tanpa kemarahan, langka kejadiannya aku bisa merubah dengan cepat situasiku. Aku butuh kemarahan. Mungkin tidak perlu banyak-banyak. Karena pertama, dia tidak pantas menjadi sasaran kemarahanku. Kedua, dia juga adalah seorang teman yang baik bagi teman-temannya. Aku masih ingin terus berteman dengannya. Kalau aku terlalu marah padanya, jangankan berteman, bertemu lagi dengannya pun mungkin aku takkan sanggup. Tapi itu nanti, kemudian. Sekarang, aku perlu merasa cukup marah padanya untuk aku bisa merubah dengan cepat situasiku sendiri.

Terlebih dulu, aku perlu berjarak darinya. Keputusan menjauh kuambil sewaktu ada perasaan sedih yang muncul begitu saja dalam diriku. Sebuah pertanda yang tidak boleh kuabaikan. Selama beberapa hari aku menghentikan pertemuan dan komunikasi dengannya, padahal sebelumnya pertemuan kami lumayan intens yang inisiatifnya datang dariku sendiri. Maksudku,  inisiatif untuk memelihara maupun memutus komunikasi itu. Aku resah, aku juga merasa kangen. Tapi kukuatkan diriku untuk tidak menyapanya. Selama beberapa hari itu, memang dia tidak menunjukkan sama sekali inisiatif untuk berkomunikasi denganku, dan hal itu ternyata cukup membantu untuk mengempiskan gede rasaku. Sedikit membuatku marah juga. Namun yang lebih penting, aku butuh menyendiri, karena kesendirian adalah teman akrabku. Di saat-saat seperti itulah aku bisa berproses bersama diriku sendiri dengan lebih terus terang.

Kemudian, sewaktu aku merasa bahwa perasaanku masih belum juga signifikan mereda, aku membutuhkan distraksi. Kegiatan-kegiatan untuk mengalihkan perhatianku dari pikiran-pikiran dan perasaan tentangnya. Syukurlah aku punya cukup banyak hobi dan waktu luang yang berlimpah sehingga aku bebas memilih-melakoni distraksiku. Lalu, perasaanku padanya pun mereda. Hanya dalam hitungan beberapa hari, tidak sampai seminggu. Berikutnya, aku melanjutkan menuntaskan prosesku.

Adalah sebuah cara yang cukup kukenal dan sudah beberapa kali kulakukan sebelumnya, dalam situasi aku merasa tertarik, memuja, tergila-gila, naksir berat pada seseorang, tapi bahwa kegilaan itu sebaiknya dan sudah saatnya kuhentikan. Sebuah daftar berjudul “10 Things I Hate About Him”. Konon, ada filmnya juga. Untuk bisa membuat daftar seperti itu, syaratnya: kau harus baik-baik mengenal dirimu dan kebutuhan-kebutuhanmu sendiri. Lalu, kau juga perlu mengenal dia, sampai kadar tertentu yang memampukan kau menemukan sepuluh hal keburukannya yang tidak kau sukai. Lebih banyak lebih baik. Itu kalau kau memang berniat berhenti Ge-Er. Kalau memang tidak niat, cara apa pun tidak bakal mempan, bukan begitu?

Sebenarnya, proses ini lebih dari sekedar sebuah tulisan berisi daftar. Aku tidak hanya berhenti di point keburukan dia. Aku harus berpikir keras bagaimana keburukan-keburukannya akan berpengaruh pada diriku sendiri, dan lalu berpengaruh pada dia dan relasi kami, seandainya relasi itu tetap (dipaksakan) terjadi. Yang kumaksudkan adalah relasi intim, relasi cinta antara sepasang kekasih. Di sinilah sangat dibutuhkan pengenalan yang mendalam akan diri sendiri dan kebutuhan-kebutuhanmu sendiri. Tanpa itu, kau akan tetap tersesat dan kacau.  

Oya, aku lupa. Sebelum aku menulis “daftar” tersebut, aku mengajak seorang teman baikku mengobrol tentang dia. Aku menceritakan padanya mengenai hal-hal yang kutemui dan kupahami tentang dia dan meminta temanku itu menyampaikan pandangannya sendiri. Nantinya, aku akan berbagi hasil “daftar” itu dengan temanku. Aku butuh pelepasan. Aku perlu mengekspresikan diriku. Dan seorang teman baik adalah tempat yang tepat, bukan? Aku juga memerlukan pandangan dari orang lain karena aku perlu menguji apakah pandanganku sendiri sudah benar-benar mulai jernih atau masih kacau-balau. Jadi, begitulah. Setelah percakapan itu, aku mulai membuat daftar keburukannya.

Kau ingin tahu apa saja yang sudah kutulis? Baiknya aku mengambil sebagian saja dari isinya. Siapa tahu, kau betul-betul memerlukan sekedar contoh jika kau punya niatan yang sama denganku dan ketertarikan terhadap prosesku. Tulisan daftarku dalam bahasa Inggris, dan aku terjemahkan di dalam tulisan ini. 
   
Contoh satu: Dia terlalu lembut dan santun. Dan kau adalah kerbau berkepala keras! Benarkah kalian berdua bisa bernegosiasi? Apa betul kau bersedia bernegosiasi? Tapi bukannya kau ingin jadi independen?

Tambahan dariku, ini kuambil dari pengalaman hubunganku dengan mantanku. Ada seorang yang punya sifat lembut dan santun. Di beberapa peristiwa penting, sifatnya tersebut membuatku jadi berang karena ada kemarahan-kemarahanku yang tidak mendapatkan respon yang aku  butuhkan. Mungkin contoh ini membuatmu bingung. Tapi biarlah kau bingung. Ini memang pengalaman pribadiku yang unik sifatnya.

Contoh dua: Dia lambat merespon. Kau akan jadi pihak yang menghadapi peran memberikan jawaban dan respon. Tapi, dia tidak akan menyukainya. Dia akan lebih suka kau menunggu dan menunggu dan tidak mengambil tindakan apa pun. Dan KAU bukan jenis orang yang suka duduk-duduk manis menunggu!      

Tambahan dariku: Selama relasiku yang intens dan singkat berteman dengannya (sebelum ini), aku memberikan beberapa ujian kecil dan memperhatikan bagaimana dia merespon. Dan demikianlah kesimpulan yang aku ambil tentang dia. 

Contoh tiga: Apakah dia romantis? Nampaknya tidak. Dia tidak menulis atau membacakan puisi, dia tidak bernyanyi, tidak memberikan tanda-tanda bahwa dia mampu bersikap romantis. Kau suka pria yang romantis, bukan? Atau kau lebih memilih hubungan cinta yang datar-datar saja? Kau akan dengan cepat menjadi kering dan garing.

Bagian yang ini sudah jelas, kan? Ya, seberapa pun kerasnya kepalaku ini, aku menyukai romantisme. Aku pernah tersentuh dan terbang gara-gara puisi-puisi yang dibuat dan dibacakan untukku, dan lagu-lagu  yang dinyanyikan khusus untukku. Perasaan itu sungguh indah dan tidak terlupakan.

Contoh empat: Dia tidak sensitif terhadap isyarat-isyarat yang sudah kau lemparkan padanya. Isyarat-isyarat yang sejelas bulan purnama di langit yang jernih! Gabungkan itu dengan sifat-sifat dia yang (1)....., (2)...., (3).... (sorry, tidak kutuliskan di sini). Kesalahpahaman, pilihan-pilihan yang bertolak belakang, ketidakjujuran, konflik-konflik yang tak terselesaikan, akan mewarnai hubunganmu dengan dia terlalu sering dan terlalu berat untuk ditanggung.

Kurasa, cukup empat contoh saja. Kuharap sudah cukup membantu untuk paham daftar seperti apa yang aku buat untuk aku berproses dengan diriku sendiri.

Apakah aku terlalu berlebihan? Mungkin saja. Memang kadang-kadang aku bereaksi berlebihan, apalagi kalau sudah dalam hubungan percintaan. Bagiku, hubungan cinta adalah hubungan yang tidak biasa, adalah sebuah hubungan yang ada muatan-muatan berlebihan di dalamnya, terlebih muatan emosional. Aku percaya, aku masih berada dalam tahap di mana aku belum bisa menjalani hubungan percintaan dengan stabil dan tenang. Aku masih belum sampai ke tahap itu. Aku adalah kekasih yang berapi-api dan resah. Aku cukup mengenal diriku sendiri untuk bisa mengambil kesimpulan demikian tentang diriku.    

Setelah kutulis daftar itu, aku meminta teman baikku (masih orang yang sama tadi) untuk membacanya. Kubilang padanya, “Okay, you can read it now. I know he is a good guy, but I don’t think he’s the one for me.” Dia membacanya. Lalu kami berdiskusi, dia memberikan sanggahan dan aku mempertahankan pendapat-pendapatku.

“Gua nggak ngerti deh. Kenapa orang lain harus sama dengan diri elo. Orang kan beda-beda.”

“Sifat-sifat yang gue tulis adalah yang menurut gue sifat-sifat orang yang dewasa, yang mature. (Well, nggak semuanya, sih. Tapi, kebanyakan iya.) Hidup gue udah sampai di sini, di tahap ini, gue mengalami penderitaan gue sendiri untuk mendewasakan diri gue. The pains of growing up. Gue nggak mau sebuah hubungan membuat gue mengalami kemunduran lagi.”

“Gue masih bingung deh membedakan antara person dengan relationship.”   

Sebenarnya aku tidak terlalu mengerti pernyataan dia ini, tapi aku dengan sok tahu terus nyerocos saja menjawabnya.

“Orang punya sifat-sifatnya sendiri. Tapi kalau udah dalam relationship, sifat-sifatnya itu kan berpengaruh ke orang lain. Kalau misalnya dia cuma jadi teman gue, gue nggak terlalu peduli sama sifat-sifatnya yang di 10 things I hate about him. Biar aja dia punya sifat-sifatnya, gue nggak pingin merubah dia. Tapi kalo misalnya kita udah dalam relasi pacaran, sifat-sifatnya itu akan bermasalah untuk gue. Jadi, kenapa daftar itu isinya nggak cuma berhenti sampai di point-point, tapi juga bagaimana itu akan berpengaruh ke gue.” 

“Sekarang elu bikin 10 Things I Love About Him, deh.”

“Oh, gue bisa bikin lebih dari dua puluh point. Dia punya banyak banget kebaikan. Tapi itu nanti aja. Sekarang yang gue butuh yang ini.”

“Kalau baca yang ini, seems like you hate him!

 “Namanya juga daftar 10 Things I Hate About Him. Ya isinya yang hate-hate semua, lah! Soalnya itu yang gue butuh sekarang. Kalau gue udah selesai dengan proses ini, gue bisa berteman lagi sama dia tanpa harapan-harapan itu. Gue bisa ketemu dia dan berteman lagi dengan santai. Nah, nanti baru deh gue bikin daftar 10 Things I Love About Him.” Aku nyengir. 

“Nanti gimana kalo misalnya dia tiba-tiba nembak elo?” Kali ini gantian dia yang nyengir.

“Hmmm... Setidaknya gue udah punya sepuluh point yang bisa gue taruh di atas meja untuk gue bicarain dan negosiasikan sama dia.”


************


Sewaktu menulis ini, aku teringat pada tulisanku yang dulu yang berjudul “Compromise atau Compliance” yang juga membahas relationship. Karena aku tidak ingin dalam hubungan hanya terjadi relasi yang berisi compliance, berisi kepatuhan, pihak yang satu pada akhirnya menjadi pihak yang lebih banyak memenuhi kebutuhan pasangannya, sementara si pasangannya yang lain itu lebih banyak menerima, meminta dan menuntut. Tentu saja kita semua punya perbedaan. Mungkin ada perbedaan yang bisa menimbulkan masalah pada saatnya nanti, dan masalah itu cukup serius sehingga harus dibicarakan dan ditindaklanjuti. Lalu, kita pun mulai butuh melakukan kompromi.

Lagi-lagi aku harus mengakui, bahwa masih sama seperti waktu aku menulis tulisan yang lalu itu, saat ini pun aku masih saja harus belajar banyak untuk berkompromi. Jadi, bila ada seseorang yang ingin menjalin relasi denganku, dan aku juga punya keinginan yang sama dan kami berdua setuju untuk melanjutkannya, mungkin kita berdua bisa sama-sama berbagi daftar kami, baik daftar 10 Things I Hate About You, maupun 10 Things I Love About You.” Lalu kami berdua akan sama-sama belajar untuk berkompromi.

Jika memang worth it, kenapa tidak?



Ub-Ptlu, 20 November 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar