Apa kau pernah
merasakan ketertarikan yang kuat pada seseorang, lalu kau tidak/belum berani
menyatakan isi hatimu padanya, dan di satu titik kau merasa bahwa (karena
perhatian khusus yang kau berikan padanya tidak berbalas-padan) kau harus memulai,
walau dengan berat hati, melepaskan dia, meredakan gemuruh perasaan dan
hormonmu, dan mencoba berteman lagi saja dengannya?
Aku baru saja
mengalaminya, lagi. Dia barusan kukenal melalui seorang teman lama. Seperti
biasa, aku segera tertarik kepada kebaikan hati yang tidak culas, tidak terpulas
kepentingan tersembunyi yang egois. Kebaikan yang jujur.
Dan engkau juga tahu
bukan, bahwa kebaikan seseorang bisa membuat orang lain merasa cukup Ge-ER
sehingga melambungkan harapan dan menjadi biang keladi munculnya imajinasi-imajinasi
romantis di dalam sebuah kepala yang sarat gede rasa?
Sama. Aku tak
terkecuali, juga jadi ge-er. Lalu terlalu berharap. Padahal, dia baik ke semua
orang, tanpa kecuali. Tapi aku jadi buta karena pandanganku dikeruhi cairan
semu hidrosefalus yang bikin kepalaku jadi mengembang. Setelah
kutimbang-timbang (ini setelah isi kepalaku agak cukup jernih dan mengempis)
nampaknya dia tidak memperlakukan aku berbeda dengan orang-orang lainnya.
Sederhananya, sekali lagi, dia memang pada dasarnya baik. Titik.
Aku pun mulai merasakan
sedih dan kecewa. Tidak, aku tidak marah. Bagaimana mungkin aku bisa marah pada
orang yang berlaku baik dan santun padaku? Namun, tanpa kemarahan, langka kejadiannya
aku bisa merubah dengan cepat situasiku. Aku butuh kemarahan. Mungkin tidak
perlu banyak-banyak. Karena pertama, dia tidak pantas menjadi sasaran
kemarahanku. Kedua, dia juga adalah seorang teman yang baik bagi
teman-temannya. Aku masih ingin terus berteman dengannya. Kalau aku terlalu
marah padanya, jangankan berteman, bertemu lagi dengannya pun mungkin aku takkan
sanggup. Tapi itu nanti, kemudian. Sekarang, aku perlu merasa cukup marah
padanya untuk aku bisa merubah dengan cepat situasiku sendiri.
Terlebih dulu, aku
perlu berjarak darinya. Keputusan menjauh kuambil sewaktu ada perasaan sedih
yang muncul begitu saja dalam diriku. Sebuah pertanda yang tidak boleh
kuabaikan. Selama beberapa hari aku menghentikan pertemuan dan komunikasi
dengannya, padahal sebelumnya pertemuan kami lumayan intens yang inisiatifnya
datang dariku sendiri. Maksudku, inisiatif
untuk memelihara maupun memutus komunikasi itu. Aku resah, aku juga merasa
kangen. Tapi kukuatkan diriku untuk tidak menyapanya. Selama beberapa hari itu,
memang dia tidak menunjukkan sama sekali inisiatif untuk berkomunikasi
denganku, dan hal itu ternyata cukup membantu untuk mengempiskan gede rasaku. Sedikit
membuatku marah juga. Namun yang lebih penting, aku butuh menyendiri, karena kesendirian
adalah teman akrabku. Di saat-saat seperti itulah aku bisa berproses bersama
diriku sendiri dengan lebih terus terang.
Kemudian, sewaktu
aku merasa bahwa perasaanku masih belum juga signifikan mereda, aku membutuhkan
distraksi. Kegiatan-kegiatan untuk mengalihkan perhatianku dari pikiran-pikiran
dan perasaan tentangnya. Syukurlah aku punya cukup banyak hobi dan waktu luang
yang berlimpah sehingga aku bebas memilih-melakoni distraksiku. Lalu,
perasaanku padanya pun mereda. Hanya dalam hitungan beberapa hari, tidak sampai
seminggu. Berikutnya, aku melanjutkan menuntaskan prosesku.
Adalah sebuah cara
yang cukup kukenal dan sudah beberapa kali kulakukan sebelumnya, dalam situasi
aku merasa tertarik, memuja, tergila-gila, naksir berat pada seseorang, tapi bahwa
kegilaan itu sebaiknya dan sudah saatnya kuhentikan. Sebuah daftar berjudul “10
Things I Hate About Him”. Konon, ada
filmnya juga. Untuk bisa membuat daftar seperti itu, syaratnya: kau harus baik-baik
mengenal dirimu dan kebutuhan-kebutuhanmu sendiri. Lalu, kau juga perlu
mengenal dia, sampai kadar tertentu yang memampukan kau menemukan sepuluh hal
keburukannya yang tidak kau sukai. Lebih banyak lebih baik. Itu kalau kau
memang berniat berhenti Ge-Er. Kalau memang tidak niat, cara apa pun tidak
bakal mempan, bukan begitu?
Sebenarnya, proses
ini lebih dari sekedar sebuah tulisan berisi daftar. Aku tidak hanya berhenti
di point keburukan dia. Aku harus berpikir keras bagaimana
keburukan-keburukannya akan berpengaruh pada diriku sendiri, dan lalu
berpengaruh pada dia dan relasi kami, seandainya relasi itu tetap (dipaksakan) terjadi.
Yang kumaksudkan adalah relasi intim, relasi cinta antara sepasang kekasih. Di
sinilah sangat dibutuhkan pengenalan yang mendalam akan diri sendiri dan
kebutuhan-kebutuhanmu sendiri. Tanpa itu, kau akan tetap tersesat dan kacau.
Oya, aku lupa.
Sebelum aku menulis “daftar” tersebut, aku mengajak seorang teman baikku
mengobrol tentang dia. Aku menceritakan padanya mengenai hal-hal yang kutemui
dan kupahami tentang dia dan meminta temanku itu menyampaikan pandangannya
sendiri. Nantinya, aku akan berbagi hasil “daftar” itu dengan temanku. Aku
butuh pelepasan. Aku perlu mengekspresikan diriku. Dan seorang teman baik
adalah tempat yang tepat, bukan? Aku juga memerlukan pandangan dari orang lain
karena aku perlu menguji apakah pandanganku sendiri sudah benar-benar mulai
jernih atau masih kacau-balau. Jadi, begitulah. Setelah percakapan itu, aku
mulai membuat daftar keburukannya.
Kau ingin tahu apa
saja yang sudah kutulis? Baiknya aku mengambil sebagian saja dari isinya. Siapa
tahu, kau betul-betul memerlukan sekedar contoh jika kau punya niatan yang sama
denganku dan ketertarikan terhadap prosesku. Tulisan daftarku dalam bahasa
Inggris, dan aku terjemahkan di dalam tulisan ini.
Contoh satu: Dia terlalu lembut dan santun. Dan kau
adalah kerbau berkepala keras! Benarkah kalian berdua bisa bernegosiasi? Apa betul
kau bersedia bernegosiasi? Tapi bukannya kau ingin jadi independen?
Tambahan dariku, ini
kuambil dari pengalaman hubunganku dengan mantanku. Ada seorang yang punya
sifat lembut dan santun. Di beberapa peristiwa penting, sifatnya tersebut
membuatku jadi berang karena ada kemarahan-kemarahanku yang tidak mendapatkan
respon yang aku butuhkan. Mungkin contoh
ini membuatmu bingung. Tapi biarlah kau bingung. Ini memang pengalaman
pribadiku yang unik sifatnya.
Contoh dua: Dia lambat merespon. Kau akan jadi pihak
yang menghadapi peran memberikan jawaban dan respon. Tapi, dia tidak akan
menyukainya. Dia akan lebih suka kau menunggu dan menunggu dan tidak mengambil
tindakan apa pun. Dan KAU bukan jenis orang yang suka duduk-duduk manis
menunggu!
Tambahan dariku:
Selama relasiku yang intens dan singkat berteman dengannya (sebelum ini), aku
memberikan beberapa ujian kecil dan memperhatikan bagaimana dia merespon. Dan
demikianlah kesimpulan yang aku ambil tentang dia.
Contoh tiga: Apakah dia romantis? Nampaknya tidak. Dia
tidak menulis atau membacakan puisi, dia tidak bernyanyi, tidak memberikan
tanda-tanda bahwa dia mampu bersikap romantis. Kau suka pria yang romantis,
bukan? Atau kau lebih memilih hubungan cinta yang datar-datar saja? Kau akan
dengan cepat menjadi kering dan garing.
Bagian yang ini
sudah jelas, kan? Ya, seberapa pun kerasnya kepalaku ini, aku menyukai
romantisme. Aku pernah tersentuh dan terbang gara-gara puisi-puisi yang dibuat
dan dibacakan untukku, dan lagu-lagu yang
dinyanyikan khusus untukku. Perasaan itu sungguh indah dan tidak terlupakan.
Contoh empat: Dia tidak sensitif terhadap isyarat-isyarat
yang sudah kau lemparkan padanya. Isyarat-isyarat yang sejelas bulan purnama di
langit yang jernih! Gabungkan itu dengan sifat-sifat dia yang (1).....,
(2)...., (3).... (sorry, tidak kutuliskan di sini). Kesalahpahaman, pilihan-pilihan yang
bertolak belakang, ketidakjujuran, konflik-konflik yang tak terselesaikan, akan
mewarnai hubunganmu dengan dia terlalu sering dan terlalu berat untuk
ditanggung.
Kurasa, cukup empat
contoh saja. Kuharap sudah cukup membantu untuk paham daftar seperti apa yang
aku buat untuk aku berproses dengan diriku sendiri.
Apakah aku terlalu
berlebihan? Mungkin saja. Memang kadang-kadang aku bereaksi berlebihan, apalagi
kalau sudah dalam hubungan percintaan. Bagiku, hubungan cinta adalah hubungan
yang tidak biasa, adalah sebuah hubungan yang ada muatan-muatan berlebihan di
dalamnya, terlebih muatan emosional. Aku percaya, aku masih berada dalam tahap
di mana aku belum bisa menjalani hubungan percintaan dengan stabil dan tenang.
Aku masih belum sampai ke tahap itu. Aku adalah kekasih yang berapi-api dan
resah. Aku cukup mengenal diriku sendiri untuk bisa mengambil kesimpulan
demikian tentang diriku.
Setelah kutulis
daftar itu, aku meminta teman baikku (masih orang yang sama tadi) untuk
membacanya. Kubilang padanya, “Okay, you
can read it now. I know he is a good guy, but I don’t think he’s the one for me.”
Dia membacanya. Lalu kami berdiskusi, dia memberikan sanggahan dan aku
mempertahankan pendapat-pendapatku.
“Gua nggak ngerti
deh. Kenapa orang lain harus sama dengan diri elo. Orang kan beda-beda.”
“Sifat-sifat yang
gue tulis adalah yang menurut gue sifat-sifat orang yang dewasa, yang mature. (Well, nggak semuanya, sih. Tapi, kebanyakan iya.) Hidup gue udah
sampai di sini, di tahap ini, gue mengalami penderitaan gue sendiri untuk
mendewasakan diri gue. The pains of
growing up. Gue nggak mau sebuah hubungan membuat gue mengalami kemunduran
lagi.”
“Gue
masih bingung deh membedakan antara person
dengan relationship.”
Sebenarnya aku tidak
terlalu mengerti pernyataan dia ini, tapi aku dengan sok tahu terus nyerocos
saja menjawabnya.
“Orang punya
sifat-sifatnya sendiri. Tapi kalau udah dalam relationship, sifat-sifatnya itu kan berpengaruh ke orang lain.
Kalau misalnya dia cuma jadi teman gue, gue nggak terlalu peduli sama
sifat-sifatnya yang di 10 things I hate about
him. Biar aja dia punya sifat-sifatnya, gue nggak pingin merubah dia. Tapi
kalo misalnya kita udah dalam relasi pacaran, sifat-sifatnya itu akan
bermasalah untuk gue. Jadi, kenapa daftar itu isinya nggak cuma berhenti sampai
di point-point, tapi juga bagaimana itu akan berpengaruh ke gue.”
“Sekarang elu bikin
10 Things I Love About Him, deh.”
“Oh, gue bisa bikin
lebih dari dua puluh point. Dia punya banyak banget kebaikan. Tapi itu nanti
aja. Sekarang yang gue butuh yang ini.”
“Kalau baca yang ini,
seems like you hate him!”
“Namanya juga daftar 10 Things I Hate About Him. Ya isinya yang hate-hate semua, lah!
Soalnya itu yang gue butuh sekarang. Kalau gue udah selesai dengan proses ini,
gue bisa berteman lagi sama dia tanpa harapan-harapan itu. Gue bisa ketemu dia
dan berteman lagi dengan santai. Nah, nanti baru deh gue bikin daftar 10 Things I Love About Him.” Aku
nyengir.
“Nanti gimana kalo
misalnya dia tiba-tiba nembak elo?” Kali ini gantian dia yang nyengir.
“Hmmm... Setidaknya
gue udah punya sepuluh point yang bisa gue taruh di atas meja untuk gue
bicarain dan negosiasikan sama dia.”
************
Sewaktu menulis ini,
aku teringat pada tulisanku yang dulu yang berjudul “Compromise atau Compliance”
yang juga membahas relationship. Karena
aku tidak ingin dalam hubungan hanya terjadi relasi yang berisi compliance, berisi kepatuhan, pihak yang
satu pada akhirnya menjadi pihak yang lebih banyak memenuhi kebutuhan
pasangannya, sementara si pasangannya yang lain itu lebih banyak menerima, meminta
dan menuntut. Tentu saja kita semua punya perbedaan. Mungkin ada perbedaan yang
bisa menimbulkan masalah pada saatnya nanti, dan masalah itu cukup serius
sehingga harus dibicarakan dan ditindaklanjuti. Lalu, kita pun mulai butuh
melakukan kompromi.
Lagi-lagi aku harus
mengakui, bahwa masih sama seperti waktu aku menulis tulisan yang lalu itu,
saat ini pun aku masih saja harus belajar banyak untuk berkompromi. Jadi, bila
ada seseorang yang ingin menjalin relasi denganku, dan aku juga punya keinginan
yang sama dan kami berdua setuju untuk melanjutkannya, mungkin kita berdua bisa
sama-sama berbagi daftar kami, baik daftar 10 Things I Hate About You, maupun 10 Things I Love About You.” Lalu kami berdua akan sama-sama belajar
untuk berkompromi.
Jika memang worth it, kenapa tidak?
Ub-Ptlu, 20 November
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar